19
"Roh-roh dalam jimat itu sudah kewalahan menghadapi ancaman kegelapan yang intens belakangan ini, makanya 'tubuh' jimat menjadi rusak. Saya kemari untuk menolong mereka."
'Menolong mereka', Sujeong bilang. Yoonoh menggenggam jimat kerawang; dalam hati, ia merasa berdosa telah melukai para arwah. Selain itu, setelah direnungkan lebih jauh, Sujeong pasti akan mengalami hal seperti roh dalam jimat tersebut jika terus-menerus mendatanginya.
Ah, pikiran buruk lagi. Yoonoh mengangkat wajahnya dan menatap lurus, mantap ingin mencari tahu cara 'menyelamatkan' jimatnya. Ia berharap tekadnya dapat memudarkan kegelapan yang barusan diberi makan. Namun, alangkah terkejutnya dia ketika Sujeong memasuki halaman dan berjalan tenang menujunya.
"Nona Sujeong, jangan mendekat! Kekuatan Anda akan—"
"Tidak apa-apa."
Yoonoh terus berjalan mundur dan memperingatkan Sujeong agar menjauhinya dengan bermacam cara. Nihil hasilnya. Hingga punggung Yoonoh melekat ke salah satu pilar rumah, Sujeong tidak berhenti. Perempuan itu kini berjarak kurang dari sedepa darinya.
"Tabib Jung, bisa berikan jimatnya?"
Jimat dipegang pada talinya ketika diletakkan di atas telapak Sujeong; Yoonoh berhati-hati agar kulit mereka tak sampai bersentuhan. Sujeong kemudian menggantungkan jimat di tempat norigae berloncengnya tergantung.
"Saya akan membawa jimat ini sementara waktu untuk memperbarui kekuatan di dalamnya. Sementara itu," Sujeong tersenyum, "tetaplah berbahagia, Tabib Jung."
"Ya?"
Sejenak Sujeong menoleh pada Yein yang tampak khawatir di belakang; mungkin gadis itu mengira kakaknya akan mengalami 'pembersihan' yang menyakitkan seperti saat ritual pemberkatan rumah.
"Saya sempat melihat Anda berdua bercanda sebelum ini. Hubungan yang hangat mengurangi kegelapan Anda besar-besaran. Bahkan ketika saya datang, saya melihat cahaya menelan kegelapan-kegelapan itu. Karenanya, saya berani mendekati Anda tanpa takut kekuatan saya tercemarkan."
Yein menyimpulkan bahwa dirinya dapat memudarkan kegelapan pada diri Yoonoh, maka ia dengan bersemangat berkata, "Saya akan membuat Kak Yoonoh tertawa setiap hari, kalau begitu!"
Mau tidak mau, Yoonoh tertawa dan mengatai sang adik tidak lucu. Yein menggembungkan pipi, lalu memukul pelan lengan atas si sulung Jung, pada akhirnya memancing kekehan Sujeong pula. Mumpung gadis sederhana itu asyik menertawakan Yein, Yoonoh mencuri waktu untuk menikmati senyumnya.
Manis sekali. Jika cahaya menelan kegelapan Yoonoh, mungkin hal itu bukan sepenuhnya karena Yein. Bisa jadi kerinduan pada Sujeong-lah biang cahaya tadi, terpicu serta-merta begitu si gadis menampakkan diri. Merasa wajahnya terbakar, buru-buru Yoonoh mengalihkan pandang sembari menyatakan kelegaan bahwa kegelapannya tidak mengganggu Sujeong.
"Tapi, jika suatu waktu, kegelapan menelan saya, Nona harus—"
"Saya akan datang lagi."
Yoonoh tercenung. Didapatinya pendirian yang kokoh hanya dalam beberapa kata lawan bicaranya. Ia tidak terlalu menyukai itu. Perasaannya semakin tak keruan ketika tatapannya jatuh ke keranjang sayuran Sujeong.
"Anda sudah terlalu banyak saya sulitkan," kata Yoonoh. "Nona Mijoo juga sudah memperingatkan Anda tentang saya, bukan?"
"Di bukit, saya mengatakan bahwa pandangan saya kepada Anda tidak akan berubah, setebal apa juga kegelapan yang meliputi Anda. Tabib Jung sudah menyelamatkan nyawa banyak warga Baekseonchon. Bukan sekali-dua kali pula Anda menolong saya, jadi biarkan saya melindungi Anda dengan cara yang saya tahu." Samar, Sujeong mengeratkan kepalan tangan di sisi pakaian. "Saya ingin Anda tidak merasa sendiri."
Berusaha tidak terenyuh, Yoonoh mengejar, "Bahkan jika Anda harus mengorbankan banyak hal? Terkurasnya tenaga spiritual Anda, habisnya simpanan uang Anda ... tidakkah Anda muak dengan itu semua?"
"Bagi saya, hal-hal yang Tabib Jung sebut tadi bukan pengorbanan," sela Sujeong. "Saya telah memutuskan untuk membahagiakan diri sendiri dan mencapai kedamaian demi kemurnian kekuatan roh saya. Salah satu dari hal-hal yang saya ingin raih ..."
Kalimat Sujeong mengambang sejemang. Sang dara menunduk, wajahnya merah padam, dan tangannya gemetar di sisi tubuh.
"Salah satu dari hal-hal itu adalah kebahagiaan Anda, Tabib Jung."
Bukan Yoonoh, Yein-lah yang lebih dulu bereaksi. Ia menarik napas dramatis dan menutup mulut, tidak menyangka bisa mendengar kalimat ini dari sahabatnya untuk kakaknya. Di lain pihak, lidah Yoonoh kelu. Jantungnya bertalu-talu, degup menggema hingga ke telinga.
Apa yang baru saja Sujeong katakan?
"Apakah Anda ingat hari di mana Anda memberi saya uang agar bisa membayar pajak? Saat itu, Anda mengatakan tidak membantu saya atas dasar imbal balik saja, melainkan juga karena mengharapkan kebahagiaan saya. Saya telah sadar bahwa setiap menolong Tabib Jung, saya merasakan hal yang sama. Jadi ... jadi ... karena itu ...." Netra Sujeong berlinang-linang akibat malu berat. "Jangan pernah merasa terbebani. Kebahagiaan Tabib Jung adalah kebahagiaan saya juga."
"KAK SUJEONG!" Sekali lagi, Yein lebih cepat ketimbang Yoonoh ketika menanggapi Sujeong. Ia merangkul Sujeong erat-erat sampai sang syaman terenyak. "Syukurlah, syukurlah! Banyak orang bilang menyayangi kakak saya, tetapi dia selalu saja kesepian di penghujung hari. Kalau ada Kakak, saya yakin dia akan selamanya bahagia!"
"No-Nona Yein ...."
Selagi Yein memperhebat malu Sujeong dengan mengungkap rencana-rencana pernikahan ganda, Yoonoh berjuang keras untuk menata kalbunya yang porak poranda. Tentu ia menyayangi Yein, Kepala Pelayan Seo, Jiyeon, dan Jaemin muridnya. Mereka juga menyayanginya balik, tetapi kalimat semenggetarkan milik Sujeong baru pertama kali ia dengar. Ia tak tahu kalbunya mendamba ungkapan kasih yang demikian gamblang hingga Sujeong mengucapkan.
"Kalau begitu, bolehkah sayurannya kami bawa masuk?"
Permintaan Yoonoh lekas diiakan oleh Sujeong. Sambil terkikik jahil, Yein mengambil alih keranjang dari tangan Sujeong dan mohon izin ke dapur. Sebelum jauh, dara mata rusa dipesani kakaknya untuk membawakan dompet beludru di kamar. Mendengar 'dompet beludru', kewaspadaan Sujeong sontak meningkat.
"Lagi?" gumam Sujeong pada dirinya sendiri. "Tabib Jung, Anda tidak perlu membayar untuk sayuran Anda!"
"Hanya sedikit yang akan saya berikan, jadi janganlah Nona terbebani." Yoonoh membalikkan kata-kata Sujeong. "Itu pun tidak bakal cukup untuk mewakili rasa terima kasih saya."
Sebelumnya, Sujeong menyampaikan bahwa kegelapan Yoonoh telah tertelan cahaya. Ini membangkitkan kepercayaan diri Yoonoh untuk memangkas jarak dengan sang syaman. Kini, mereka hanya terpisahkan sejengkal tanah. Napas Sujeong tertahan lantaran suhu tubuh Yoonoh menghangatkan udara yang dihirupnya. Tangan sang tabib terangkat, dekat sekali dengan paras lawan bicaranya, dan bagaikan disihir, gadis itu tidak menghindar.
Kepala Yoonoh terasa kosong, ringan. Sebelah tangannya sebentar lagi akan membelai pipi penuh yang bersemu merah itu. Anehnya, meski tidak beranjak, Sujeong memejam rapat-rapat, seakan terusik oleh hangat kulit Yoonoh yang tersalurkan melalui udara tipis. Benarkah ia terusik?
Benar atau tidak, Yoonoh tetap menjauhkan tangannya dan mundur tanpa menyentuh Sujeong. Semilir lembut di sisi kepala akhirnya memaksa Sujeong membuka mata yang tadinya memejam rapat.
"Eh?"
Dalam pendengaran Yoonoh, 'eh' yang meluncur setengah sadar itu nyaris terkesan kecewa.
"Maaf." Suara Yoonoh rendah dan goyah. "Tak semestinya saya menyentuh Anda, lebih-lebih tanpa persetujuan Anda. Saya tidak tahu ... tangan ini seperti memiliki pikirannya sendiri ...." Berikutnya, Yoonoh membungkuk dalam-dalam. "Sekali lagi maafkan saya, Nona Sujeong."
"T-T-Ti-Ti-Tidak perlu minta maaf, Tabib Jung, sungguh!" Sujeong melambai-lambaikan tangan panik, lalu membungkuk canggung, berulang-ulang. "Saya yang salah, saya yang salah! Harusnya tadi saya menarik diri .... Maaf, maaf!"
Ketika menegakkan punggungnya kembali, Yoonoh tidak bisa menahan kekehan, sedangkan Sujeong yang salah tingkah memainkan ujung pita bajunya. Sampai kapan kami saling rikuh begini? batin Yoonoh geli. Sepanjang ingatannya, semua interaksinya dengan Sujeong memang rikuh karena ada batasan-batasan yang ingin mereka jaga. Yang jelas, hanya dengan hadir di hadapannya sekarang, Sujeong telah menguatkan Yoonoh sekaligus memperbarui janji-janji tersirat untuk tidak meninggalkannya.
Saya juga tidak akan pergi dari Anda, Nona Sujeong. Jika mungkin, atas izin Anda, suatu hari saya akan melindungi Anda dalam sebuah ikatan suci.
***
Tekanan arwah jimat kerawang yang rusak jauh lebih rendah dibanding saat pertama kali dibuat. Sujeong menyembunyikan jimat itu dekat peralatan-peralatan syamannya, berharap roh-roh jimat dapat bertahan jika diletakkan di antara barang-barang keramat lainnya. Ia harus menunggu waktu yang tepat untuk memperbaiki jimat itu; akan lebih mudah melakukannya pada hari energi Langit membanjir. Selama itu, jangan sampai koin penampung roh pasien Yoonoh terlihat oleh Mijoo—atau seluruh rencana Sujeong akan kacau.
"Tanggal ini ... berarti empat belas hari lagi. Memang itulah waktu yang tepat untuk berkumpul dengan suami Anda." Mijoo menguap di balik lengan. Perilakunya mengundang kerut di kening wanita kelas menengah yang menjadi tamunya, tetapi seperti biasa, Mijoo mengabaikan tanggapan itu. "Energi matahari sangat berlimpah hari itu, besar kemungkinannya akan beroleh anak lelaki. Dalam hal ini, saya setuju dengan ahli nujum yang suami Anda mintai pendapat."
"Begitukah? Setelah Nona Mijoo memastikannya, saya menjadi sangat lega. Kalau begitu—"
Selagi konsultasi cinta berlangsung, Sujeong duduk menyimak di samping Mijoo dengan wajah mirip kepiting rebus. Bagaimana tidak? Dirinya yang masih perawan ini mesti mendengar dua orang wanita berbincang soal waktu sanggama! Rasanya gatal sekali di telinga, apalagi Sujeong—seperti yang pernah Kakek Han cemoohkan dulu—harusnya memang sudah punya pasangan.
Padahal Nona Mijoo juga belum menikah, kok santai sekali membicarakan ini?!
"—jeong. Sujeong!"
"Y-Ya?!"
Tepukan yang lumayan kuat di paha kontan meluruskan tubuh Sujeong, mengakukannya. Mijoo tersenyum miring dengan sisi kiri wajah bersandar ke punggung tangan.
"Apa yang Anda pikirkan, Nona Sujeong?"
Mijoo benar-benar mendidihkan muka Sujeong dengan pertanyaan isengnya barusan. Pilihan katanya, cara menyapanya, dan suara yang sengaja direndah-rendahkan seperti pria jelas disengaja agar menyerupai Yoonoh! Sujeong tidak tahu harus kesal atau berdebar khawatir; jangan-jangan, Mijoo sudah tahu apa yang disembunyikannya beberapa hari belakangan?
Namun, bersikap gelisah akan membongkar penyamaran. Sujeong pun lekas menjawab dingin, "Tidak ada, Nona Mijoo. Ada yang bisa saya bantu?"
"Ambilkan jimat teratai pesanan Nyonya Park. Tahu tempatku menyimpannya, kan?"
"Saya tahu. Akan saya ambilkan."
Sujeong undur diri ke balik sekat yang membelah ruang depan menjadi dua. Di sana, terdapat serangkaian alat-alat keramat Mijoo, termasuk kotak penyimpanan jimat yang sudah diberkati. Seingat Sujeong, jimat kesuburan yang dimaksud Mijoo ditaruh dalam kotak tersebut, tetapi ternyata, tidak ada koin kerawang yang bermotif teratai di sana.
Apa di kamar, ya?
Bergegaslah Sujeong melangkah ke kamar Mijoo, tidak ingin membuat Nyonya Park menunggu (atau Mijoo akan menyemburnya). Ia cukup hapal letak barang-barang di kamar tersebut, jadi segera dicarinya sebuah cepuk tanah liat. Ketemu. Sehelai tali hasis menjuntai dari cepuk yang sudah sering dibuka-tutupnya; Sujeong yakin pasti itulah pesanan Nyonya Park.
"Aduh, untunglah cepat ketemunya!" desah Sujeong lega, bersegera menjimpit koin kerawang itu ...
... lantas ia menjerit.
***
Mijoo hampir membalikkan meja yang memisahkannya dengan Nyonya Park—saking tiba-tibanya ia bangkit—tatkala lengking panik Sujeong menyambangi rungunya.
Suaranya dari kamarku. Apa yang dia lakukan, sih?
"Saya permisi sebentar."
Langkah-langkah Mijoo tegas lagi terburu-buru, tetapi ia masih tak sanggup menyusul Sujeong. Begitu masuk ke bagian yang lebih dalam dari rumah sempitnya, yang tampak dari Sujeong tinggal sepucuk pakaian dan ujung ikat rambutnya yang panjang. Sujeong kemudian menghilang ke balik pintu dapur, tidak menghiraukan seruan peringatan sang guru.
Bau anyir mengalihkan perhatian Mijoo ke sekitar kamar. Rupanya, ia berdiri di tengah jejak titik darah. Jejak itu berakhir di ambang dapur, tempat terakhir kali Sujeong terlihat. Pangkalnya?
Mijoo menggeser pintu kamarnya lebih lebar. Cepuk tanah liatnya terbuka; jimat teratai Nyonya Park berada di luar. Titik-titik darah yang Mijoo yakini adalah darah Sujeong melingkari jimat tersebut. Kelihatannya, Sujeong terluka usai mengambil jimat itu dan—karenanya—menjerit. Ganjilnya, di sekitar cepuk, tidak ada benda yang berpeluang melukai muridnya itu.
Roh dalam jimat Nyonya Park pasti telah memperingatkan Sujeong dengan melukai kelingkingnya.
"Huh, berapa kali lagi dia harus menghadapi bahaya yang tak mampu kulawan?"
***
Peringatan dari benang merah di kelingking membuat Sujeong lari begitu saja keluar rumah. Orang akan menilainya gegabah jika mengetahui ancaman yang dia hadapi terlalu besar untuk raga mungilnya. Namun, dia tak gentar; dia tak boleh gentar karena keberanian merupakan salah satu senjatanya. Bibir Sujeong berkomat-kamit, kedua tangannya bertaut di depan dada, memusatkan kekuatan spiritualnya ke sana.
Tekanan arwah dalam jimat teratai tadi cukup besar untuk memanipulasi benang takdir pada jari Sujeong. Kasusnya mirip dengan dua arwah pengantin pada ritual pernikahan, hanya saja gambaran yang menyusupi benak Sujeong berbeda. Tidak ada Yoonoh, cuma hitam—dan sepasang mata merah besar menyala.
Denyut di pangkal kelingking Sujeong menghebat. Darahnya masih menetes sepanjang jalan.
Miryeon, jangan berani-berani!
Penerangan desa yang bersumber dari bintang-bintang dan bulan cembung sesungguhnya amat kurang, tetapi tarikan benang itu lebih berguna daripada lentera sebagai penunjuk arah. Tanpa terpeleset maupun tersandung, Sujeong akhirnya tiba di sebuah persimpangan.
"Menjauh dari Tabib Jung sekarang juga!"
Sepasang tangan Sujeong yang jenuh oleh energi spiritual mencengkeram kedua lengan atas Yoonoh, mencegah sejumlah besar kegelapan menjangkau nurani sang tabib. Si gadis kemudian membantu Yoonoh—yang semula terkapar di tengah jalanan sepi desa—untuk duduk. Nyeri yang memalu kepala pria itu hilang begitu mengenali wajah penolongnya.
"Nona Sujeong!" []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top