15
Kulit Sujeong dan Yoonoh dingin lagi lembap, bukan disebabkan oleh sengatan hawa fajar, melainkan kecemasan. Mereka jelas dilarang menengok Chaewon oleh kepala keluarga Kim, tetapi bermodalkan rasa benar dan kenekatan, mereka tetap memasuki salah satu kamar. Di dalamnya, terlelap dara tirus calon pasien Yoonoh; Sujeong bersyukur Chaewon sudah diizinkan tidur dengan alas yang layak walaupun kakinya masih dirantai satu sama lain.
"Chaewon, bangunlah, Nak." Nyonya Kwon menggoyang bahu putrinya. Yang dipanggil membuka mata dan menatap kosong ke depan, tetapi langsung riang ketika melihat Sujeong.
"Nona Mudang!"
Sujeong, Yoonoh, dan Nyonya Kwon kontan terbelalak. Tuan Kim bisa saja mendengar panggilan lantang Chaewon ini! Nyonya Kwon buru-buru membungkam bibir anak gadisnya sebelum Chaewon jadi lebih berisik.
"Kita bermain petak umpet dari Ayahanda, jadi jangan sampai ketahuan."
Layaknya anak kecil, Chaewon mengangguk patuh. Binar matanya mengisyaratkan Sujeong mendekat.
"Bagaimana kabar Nona Chaewon?"
"Baik! Saya senang sudah boleh keluar dari gudang beras." Meskipun tangannya terasa mirip tulang-kulit saja, Chaewon memang terlihat lebih sehat sehabis bertemu Sujeong. Tampaknya mimpi belakangan memang berasal dari panggilan Nona kepadaku, Sujeong tersenyum lembut. Sayang sekali, raut gembira Chaewon hanya bertahan sebentar.
"Siapa?" tanyanya, mengerutkan kening ke arah Yoonoh. Yang dipandang memperkenalkan diri sebagai tabib, tetapi keramahan pria itu tidak serta-merta mengubah pandangan Chaewon terhadap kaum penyembuh. Chaewon mencengkeram erat tangan ibunya.
"Tidak mau obat."
"Saya tidak membawa obat kemari," masih tersenyum, Yoonoh mengeluarkan sebuah kotak berukuran sedang, "hanya permen, sebagai hadiah jika Nona bersedia diperiksa."
Sujeong mengenali aroma manis yang menyusup keluar kotak Yoonoh. Itu pasti yeot—makanan manis dari madu, kacang, dan bebungaan yang bisa dimakan. Yeot dikatakan lebih menawan perempuan dibandingkan laki-laki tampan karena wangi serta rasanya; Chaewon bukan pengecualian.
"Kalau mau diperiksa, permennya untuk saya?"
"Tentu saja." Yoonoh menyerahkan yeot kepada Nyonya Kwon agar disimpan. Chaewon menatap Sujeong—yang kontan mengulas senyum paling meyakinkan. Terbujuk, Chaewon pun membentangkan lengan agar Nyonya Kwon dapat menanggalkan pakaiannya.
Senyum Sujeong seketika menguap. Punggung Chaewon dihiasi beberapa garis kebiruan, mirip pembuluh-pembuluh yang biasanya cuma tampak di punggung tangan. Yoonoh meminta Chaewon membuka mulut lebar-lebar, lalu tampaklah warna kebiruan yang sama di gusi gadis itu. Setelah melakukan pemeriksaan nadi dan suhu badan, Yoonoh meminta izin untuk memeriksa perut Chaewon.
"T-Tolong jangan ditekan di situ ...." mohon Chaewon takut ketika tangan Yoonoh mengambang di atas ulu hatinya. Nyonya Kwon memukul paha gadis itu sebagai peringatan.
"Jangan membantah! Patuhlah pada Tabib Jung yang akan menyembuhkanmu!"
Gawat, sepertinya Nona Chaewon akan menangis, batin Sujeong gelisah, dengan segera mengusap punggung tangan Chaewon untuk menghindari pecahnya tangis. Chaewon memang sudah mencebik, mengibakan siapa pun termasuk ibunya yang barusan menegur.
"Tidak mengapa. Saya akan memeriksa bagian lain." Yoonoh dengan kalem menggeser tangannya dan menekan daerah pusar. "Yang ini sakit, Nona?"
Chaewon menggeleng bingung, barangkali karena perlakuan Yoonoh berbeda dari tabib-tabib wanita sebelumnya. Biarpun sesama perempuan, mereka kadang terlalu kasar dan memaksa; badan Chaewon malah semakin sakit setelah diperiksa.
"Syukurlah." Yoonoh menekan bagian perut lain dan Chaewon tidak bereaksi. "Biasanya, apa yang meringankan nyeri perut Nona?"
"Ibunda akan membalurkan minyak obat ke perut saya, lalu memasakkan dadar akar manis biru."
Yoonoh membulatkan bibir. "Akar manis biru memang nyaman di perut, apalagi kalau didadar dan dicelupkan bumbu wijen."
Chaewon menyetujui dengan bersemangat. "Apalagi ditambah bawang! Sayang sekali, Ibunda tidak pernah memberi banyak karena takut mulut saya bau."
Yoonoh tertawa kecil, tulus lagi santun, dan meneruskan pembahasan soal saus dadar. Sujeong tersihir oleh cahaya yang dipancarkan lelaki itu sampai-sampai baru sadar bahwa tangan Yoonoh kembali ke ulu hati Chaewon. Chaewon memicing—berarti ulu hatinya sungguhan sakit—tetapi tidak ambil pusing dan kembali berbincang dengan Yoonoh begitu tangan itu menjauh.
Begitu rupanya. Tabib Jung mengalihkan Nona Chaewon dari kekhawatirannya sebelum memeriksa bagian yang tersakit.
Samar, Sujeong memperdalam helaan napas. Sampai kapan Yoonoh akan memesonanya sekaligus memperparah sakit hatinya? Sepedih itu mencintai seseorang yang sempurna, tetapi tak dapat dimiliki!
Takjub lantaran dua tamunya berhasil 'menaklukkan' Chaewon, Nyonya Kwon akhirnya mengakui kemampuan tabib yang lebih muda darinya itu. Ketika Yoonoh menanyainya tentang penyakit sang putri, ia membeberkan semuanya tanpa menyembunyikan sesuatu pun. Lain benar sikapnya dengan saat menemui Mijoo pertama kali.
"Obat menyerupai bubuk merah?" Yoonoh mengernyit. "Nyonya, bisakah saya melihat semua obat Nona Chaewon?"
Bungkus-bungkus perkamen mungil ditata dekat tempat tidur Chaewon usai dibuka satu persatu. Beberapa di antaranya mirip dengan yang Sujeong minum belakangan ini—obat tidur—tetapi beberapa lainnya tidak ia kenali. Pandangan Yoonoh menyisir cepat semuanya hingga tertambat pada perkamen bubuk merah. Dikeluarkannya timbangan dan bubuk merahnya sendiri dari kotak alatnya. Selanjutnya, kedua jenis bubuk merah dituangkan ke sisi timbangan yang berbeda. Sekilas jumlahnya terlihat sama, tetapi timbangan itu ternyata miring ke sisi di mana bubuk merah para tabib wanita berada.
Keresahan terpampang di paras Yoonoh selesai menimbang. Dihentikannya Nyonya Kwon yang tengah memasangkan pakaian luar Chaewon kembali, jadi tubuh gadis itu hanya dilindungi selimut sampai sebatas leher.
"Apakah tabib-tabib terdahulu selalu menanyakan dan memeriksa obat-obatan dari tabib yang datang sebelum mereka, Nyonya?"
"Tidak, Tabib Jung. Beberapa hanya menanyakan obat apa yang diberikan, beberapa langsung meresepkan obat baru. Saya memerinci ciri-ciri obat yang pernah Chaewon minum agar mereka tidak keliru, tetapi tampaknya jarang yang menggubris perkataan saya," gerutu Nyonya Kwon. "Mereka pasti melakukan kesalahan, ya?"
"Bukan begitu. Para tabib wanita sudah memberikan obat sesuai keluhan, tetapi ada paduan-paduan obat yang reaksinya tidak diterima baik oleh tubuh Nona. Selain itu," Yoonoh meminggirkan perkamen-perkamen bubuk merah dari tabib terdahulu, "kawan saya, seorang tabib pemerintah yang bekerja di Hansong, mengatakan bahwa bubuk merah dari beberapa penyuplai yang ditunjuk istana tercemar."
"Maksud Anda?" Nyonya Kwon mengernyit.
"Sinabar, bubuk merah ini, memang mengandung zat tertentu yang bisa digunakan untuk meredakan gangguan berpikir. Jika tercemar zat lain, maka dampaknya justru akan merusak. Di Hansong, saat ini penggunaan sinabar sangat dibatasi. Yang sedang beredar pun ditarik atau terlarang diperdagangkan sebab beberapa pasien yang menggunakannya mengalami gejala serupa Nona Chaewon."
Sujeong terperanjat. Apakah itu berarti Nona Chaewon justru teracuni obat yang harusnya mengatasi keracunannya?
"La-Lalu," suara Nyonya Kwon memelan seakan telah terempas ke titik terendah hidupnya, "bagaimana cara mengobati putri saya, Tabib Jung?"
"Pertama, penggunaan semua obat ini harus dihentikan. Selanjutnya, Nona Chaewon harus menjalani banghyeol rutin untuk membersihkan darahnya. Jika Nyonya Kwon bersedia, saya akan melakukan terapi pertamanya hari ini."
Chaewon menatap penyembuhnya tidak mengerti, tetapi Sujeong dan Nyonya Kwon tahu benar apa itu banghyeol. Pembuluh dangkal akan ditusuk miring supaya darah kotor keluar ke cawan penampung, kemudian setelah dirasa cukup, luka akan dibersihkan dan ditutup agar tidak bernanah. Banghyeol merupakan metode penghilang racun yang cukup efektif, tetapi sedikit menyakitkan dan seram karena, yah, melibatkan tusukan. Perilaku Chaewon sekarang rentan kacau; mungkinkah metode pengobatan tersebut dilaksanakan?
"Saya bersedia." Nyonya Kwon tidak pikir panjang meskipun masih takut Chaewon mengamuk di tengah-tengah terapi. Selain karena Yoonoh membawa harapan baru untuk putrinya, mereka cuma punya waktu sampai matahari meninggi sepenggal.
"Kalau begitu, saya akan melakukan terapinya." Yoonoh beringsut ke sebelah Sujeong, lantas berbisik. "Bisakah Nona Sujeong mengalihkan perhatian Nona Chaewon saat banghyeol nanti?"
Diberikan kepercayaan penting seperti itu, Sujeong jadi tegang juga. Ini pertama kalinya Sujeong membantu seorang tabib!
"Saya akan melakukan sebisa saya, tetapi bagaimana kalau Nona Chaewon memberontak karena," Sujeong balik berbisik, "merasa ditusuk?"
Yoonoh tersenyum percaya diri.
"Untuk itu, saya memiliki rencana lain. Nona Sujeong tinggal menyamankan Nona Chaewon saja."
Berikutnya, Nyonya Kwon diminta memangku Chaewon, menyamankan gadis itu dalam posisi miring selama banghyeol dilakukan. Meski singkat, Chaewon tidak boleh merasa terancam sedikit pun atau dia akan meradang, pada gilirannya akan melukai diri sendiri.
"Nona senang sekali dipeluk, rupanya," kata Sujeong, sementara Yoonoh mempersiapkan peralatan banghyeol.
"Benar, Nona Mudang. Setiap dipeluk Ibunda, saya merasa baik, tetapi saya tidak pernah dipeluk lagi sejak sakit ini."
Usai putrinya bicara begitu, Nyonya Kwon merapatkan dekapan. Perempuan itu mungkin masih malu atas perbuatannya membelenggu Chaewon sehingga enggan berkata maaf. Namun, setidaknya, ia sudah menunjukkan niat memperbaiki ikatan dengan putri satu-satunya.
"Nona Chaewon, jika Anda merasa tidak nyaman karena dingin atau tekanan, silakan memeluk ibu Nona. Tolong jangan terlalu banyak bergerak." Yoonoh memberikan instruksi.
"A-Apa yang akan Tabib lakukan? Sakitkah?" Chaewon menoleh ke belakang, memandangi satu persatu alat Yoonoh. Tidak ada yang berbahaya: selembar kain, garpu kayu yang tumpul kedua giginya, mangkok kosong, dan mangkok yang terisi air bersih. Kening Sujeong hampir berkerut; di mana jarum banghyeol-nya?
"Saya akan menekan dan menggetarkan beberapa titik di punggung Nona. Sebagai percobaan, bolehkah ulurkan lengan Nona?"
Bimbang, Chaewon menuruti perintah Yoonoh. Pangkal gagang garpu kayu ditekan ke permukaan kulitnya, lalu gigi-gigi garpu dipetik hingga bergetar. Ketika garpu diangkat, Chaewon memandangi lengannya tak mengerti.
"Seperti masih ada yang bergetar?"
"Memang demikian. Getaran dan tekanan ini saya harapkan dapat membantu menumpulkan rasa sakit di tubuh Nona. Berdasarkan gejala yang terlihat, saya mesti melakukannya di punggung Nona pula," jelas Yoonoh.
"Lihat, Chaewon, Tabib Jung tidak akan menyakitimu atau memberi obat. Beliau baik sekali, bukan? Jadi, bersikap baiklah agar bisa sembuh," rayu Nyonya Kwon. Chaewon setuju dan kembali bersandar miring pada ibunya. Yoonoh berpindah menghadap punggung telanjang Chaewon, menggetarkan garpu dan menekan beberapa titik di permukaan kulit itu, sedangkan Sujeong meneruskan percakapannya dengan sang nona muda.
"Sebelumnya maafkan kelancangan saya, Nona, tetapi mengapa Nona terlihat gembira ketika saya datang tadi?"
"Itu karena Nona Mudang sangat baik! Atas saran Nona, saya jadi boleh tidur di kamar lagi." Wajah tirus Chaewon berseri. "Saya sangat berterima kasih!"
Hati Sujeong tergetar mendengarnya. "Terima kasih kembali, Nona Chaewon. Seseorang yang tidak mengalami shinbyeong memang tidak perlu melalui penderitaan yang sama dengan yang mengalaminya, bukan?"
Sejemang, Chaewon mencerna ucapan Sujeong.
"Apakah shinbyeong aslinya sesakit itu, Nona Mudang?"
Sakit sekali, tentu saja. Tubuh Sujeong dulu seolah-olah ditarik para roh ke segala penjuru. Keluarga yang panik hanya bisa mengikat dan menelantarkannya agar Sujeong tak punya tenaga untuk mengamuk, lalu meratap di luar tempat Sujeong diikat. Kedatangan 'ibu roh' Sujeong—gurunya terdahulu—bersama Mijoo bagaikan cahaya pada masa-masa gelap itu, pelita yang memadamkan pelita lain dalam hidup Sujeong, yaitu keluarganya.
Untung saja kasus ini bukan shinbyeong. Menyakitkan membayangkan Nona Chaewon harus berpisah dari ibu yang amat ia sayangi.
"Shinbyeong itu sakit," Sujeong menjawab Chaewon sambil menyembunyikan kegetiran dalam dadanya, "tetapi saya sudah lupa bagaimana sakitnya karena sudah lama sekali. Daripada itu, tidakkah Nona senang karena akan makan yeot setelah selesai diobati?"
"Senang sekali! Saya sangat suka yeot; kalau bisa, saya akan makan itu setiap hari."
"Gigimu bisa berlubang nanti." Nyonya Kwon memasuki percakapan. Chaewon cemberut dan Sujeong terkekeh. Berangkat dari sana, ketiga perempuan ini bersenda gurau hingga kadang mesti saling memperingatkan untuk mengecilkan suara. Keakraban Sujeong dan perempuan-perempuan bangsawan ini membuat mereka melupakan musibah yang mempertemukan mereka. Siapa sangka, sesi terapi yang awalnya dianggap menakutkan itu justru menjembatani kesenjangan?
"Sudah selesai."
"Ya?" Chaewon bertanya tak percaya. Sujeong sendiri kaget melihat cawan yang mulutnya ditutupi kain lap di samping Yoonoh. Ada setitik noda darah di sisi cawan itu, mewakili isinya.
Aku bahkan tidak sadar Tabib Jung sudah menusukkan jarum banghyeol-nya! Nona Chaewon juga tidak mengeluh sama sekali. Bagaimana bisa?
"Hari ini, saya sudah selesai mengobati Nona, tetapi sesi ini akan kita lakukan lagi lain waktu, setahap demi setahap sampai Nona sembuh." Yoonoh memaparkan. Chaewon yang semula murung langsung lega mendengarnya. Apa gadis itu baru saja menunjukkan bahwa dirinya senang diobati?
Darah dalam cawan dibuang, alat-alat dibersihkan, dan serangkai pesan untuk perawatan Chaewon disampaikan. Chaewon harus makan makanan lunak dengan sedikit bumbu agar tidak mual. Ia juga harus sering-sering diajak berjalan keluar rumah. Jika belum kuat berjalan jauh, setidaknya Chaewon mesti menikmati sejuk udara serta matahari pagi. Pembelengguan baru boleh dilakukan andai sewaktu-waktu Chaewon gelisah dan membahayakan sekitar; pembelengguan sepanjang waktu hanya akan membuat kaki Chaewon nyeri. Yoonoh telah menyiapkan sebuah catatan panjang untuk membantu Nyonya Kwon merawat putrinya.
Lucunya, obat yang Yoonoh berikan cuma teh krisan dan ramuan penambah nafsu makan.
Baru sekali berobat, Chaewon sudah terlihat mendingan. Tak terbayang betapa besarnya rasa terima kasih Nyonya Kwon kepada tamu-tamunya yang andal. Ia hampir menawarkan jamuan ...
"Nyonya, Tuan Besar sudah bangun!"
... tetapi sang surya telah naik cukup tinggi, maka tamu-tamu yang tak diundang harus segera angkat kaki. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top