1
Rumah baru di perbatasan Baekseonchon itu menjulang megah, dibangun atas perintah seorang jenderal dari Hansong untuk putra-putrinya. Meski bisa dibilang berdarah biru, mereka yang beribukan selir terhalang dari memperoleh gelar kebangsawanan dan dipandang sebelah mata oleh keluarga besar. Si putra sulung gosipnya lebih pandai dibanding anak-anak istri pertama jenderal, tetapi lantaran kelewat baik, ia tidak mengantisipasi kelicikan saudara-saudaranya sehingga terusir ke pinggiran Provinsi Jeolla ini. Kediaman sekeren miliknya pun pasti tidak dapat menandingi tempat tinggal para bangsawan ibukota.
Namun, Ryu Sujeong, mudang magang Desa Baekseonchon, telah menyaksikan sesuatu mengenai rumah itu yang lebih buruk ketimbang sejarahnya.
"Apa tempatnya semenyeramkan itu, Kak?" Joochan—pemuda berambut jerami yang menenteng haegeum—bertanya cemas. "Mengapa kami yang cuma chaebi harus mempersiapkan diri segala untuk menghadapi kekuatan roh di sana?"
"Jangan takut," senyum Sujeong. "Ini sekadar peringatan awal agar kalian terus menjaga fokus walaupun nanti 'dicolek' satu-dua arwah jahil."
"Bagaimana Kakak bisa mengatakan hal itu dengan santai, sih?" Jibeom yang memanggul gendang merapat pada Joochan, hanya untuk didorong jijik kemudian. Sujeong tertawa.
"Kalianlah yang berlebihan. Sudah sering ikut ritual, masa masih tidak paham kalau para roh 'mengganggu' karena butuh pemurnian? Urusan itu biar aku dan Nona Mijoo yang bereskan, tetapi untuk jaga-jaga, ada baiknya kalian tahu apa yang akan kami hadapi lebih dulu."
"Lagi pula, kalian laki-laki yang bugar dan bahagia. Roh-roh tidak berbadan itu mustahil mengalahkan kalian." Pemimpin rombongan, Lee Mijoo sang mudang senior, melirik tajam para musisinya. "Arwah penjaga dapurku saja tidak sanggup mencegah kalian mencuri daging sapi."
Para musisi remaja di belakang menelan ludah gugup.
Dia masih kesal gara-gara kehabisan daging kemarin, ya?, ringis Sujeong.
"Nona Mijoo, menyimpan dendam bisa mengganggu kesetimbangan energi. Nona akan melakukan ritual sebentar lagi, lho—AAAH! Aduh, aduh!"
Mijoo memencet hidung Donghyun, si keriting peniup seruling yang baru saja bicara, menggunakan ujung kipas.
"Menurutmu, siapa yang harus bertanggung jawab atas 'ketidakseimbangan energi itu', hah? Dasar anak-anak rakus! Kalian kira daging sapi itu gampang didapat?! Aku tidak akan kuat beli sendiri, makanya kusayang-sayang karena itu pemberian bangsawan yang kemarin kuramal! Kalian malah menghabiskan masakanku sampai kuah-kuahnya!"
Orang-orang yang berjalan dekat mereka menoleh penasaran akibat omelan lantang Mijoo, membuat Sujeong malu berat. Ia menarik perlahan lengan baju Mijoo.
"Nanti akan saya sisihkan tabungan untuk beli daging seperti itu lagi. Mari kita lanjutkan perjalanan ...."
Mijoo mendengus sebelum mempercepat langkah, memaksa muridnya dan para chaebi bergegas. Tak seberapa lama, jalannya melambat dan ia berpaling pada Sujeong.
"Daripada aku, kau lebih mungkin mengalami ketidakseimbangan energi. Jangan terus menyalahkan dirimu. Aku tidak membiarkanmu memimpin ritual ini bukan karena kurangnya kemampuanmu, tetapi karena tingkat kesulitannya yang tinggi. Melalui beberapa kali kunjungan ke rumah Tabib Jung, kau pasti paham betapa kotornya tempat itu." Pilihan kata Mijoo memancing bisik-bisik khawatir para musisinya kembali. "Hampir menyempurnakan latihanmu sebagai mudang tidak berarti kau harus memimpin semua ritual, apalagi kau masih berada di bawah pengawasanku."
Menanggapi itu, Sujeong cuma mengangguk lemah. Benar kata Mijoo; beberapa hari terakhir, ia terus mencari dan berusaha memperbaiki apa yang mungkin melemahkannya sebagai mudang. Tidak biasanya ia sakit parah gara-gara padatnya roh jahat yang mendiami sebuah rumah, maka ia mengerapkan meditasi dan berdoa kepada dewa untuk meningkatkan energi rohaniahnya. Ini bekerja selama kunjungan-kunjungan berikutnya, tetapi tidak lantas menghapus rasa bersalahnya yang merasa kurang berlatih.
"Omong-omong, Kak Sujeong sungguhan sudah sembuh, kan?" Jaehyun, si tembam yang juga meniup seruling, tumben turut ketakutan. Sebagaimana kawan-kawannya, ia juga menyaksikan betapa Sujeong seolah mengalami shinbyeong kedua setelah mengunjungi rumah Tabib Jung.
Sujeong tak suka membuat orang lain khawatir, maka ia buru-buru melambaikan tangan, mengisyaratkan bahwa dirinya telah pulih betulan.
"Kalau masih sakit, aku tidak bakal sesemangat ini. Sekarang, aku siap untuk menjalankan ritual apa pun!" Tulusnya lengkung riang di bibir Sujeong memerahkan pipi Jaehyun. "Terima kasih sudah memperhatikanku, Bongjae."
Yang diajak bicara menunduk seraya mengusap-usap tengkuk canggung. Jibeom dan Joochan menyikut iganya iseng, paling paham soal perasaan si tembam, sementara Donghyun mencoba meredam keriuhan. Mencairnya suasana antara pemuda-pemuda yang ia anggap adik sendiri ini menghangatkan hati Sujeong, meyakinkannya bahwa ritual pembersihan Kediaman Jung akan sama dengan puluhan ritual yang telah ia laksanakan sebelumnya. Mantra peneguh jiwa pun dibisikkannya kepada diri sendiri hingga langkahnya mantap.
Wahai Dewa, lindungilah kami semua dari roh-roh jahat di rumah itu agar kami bisa makan daging sapi lagi bersama-sama ....
***
Keramahan sambutan Kepala Pelayan Seo tidak mengubah kenyataan bahwa rumah majikannya disesaki arwah gentayangan. Musisi-musisi Mijoo beruntung tidak perlu melihat sehitam apa setiap dinding bangunan itu meskipun mengaku terusik oleh barang tak kasatmata. Sujeong menghela napas dalam. Jujur, sepanjang pengalaman belajarnya, kediaman Jung merupakan lokasi ritual dengan roh gelap terbanyak.
"Tabib Jung di rumah?" tanya Mijoo. Beberapa kali bertamu, kedua mudang hanya menjumpai adik perempuan dan pelayan-pelayan sebab sang tabib sibuk menghampiri pasien-pasien dari kalangan bangsawan. Kendati demikian, Mijoo ingin menghindarkan seluruh penghuni dari mala, terutama kepala rumah tangganya. Semua penghuni harusnya hadir pada hari ritual.
"Sesuai permintaan Anda, Nona Mijoo. Beliau bersama penghuni rumah lainnya telah berkumpul di ruang tengah."
Napas Sujeong memberat. Ia begitu iri pada manusia biasa yang tak peka akan kekentalan aura mistis ini, juga Mijoo yang pantang ciut nyali. Sempat Sujeong merapalkan nukilan sutra sembari mengibas arwah-arwah kasar sesamar mungkin agar para chaebi tidak panik. Arwah-arwah itu menjalarkan nafsu ganas yang amat meremangkan bulu roma, merenggut keberanian.
Tiba-tiba, Mijoo menepuk tengkuknya sendiri.
"Banyak sekali nyamuk di sini."
Kepala Pelayan Seo meminta maaf, berjanji akan segera membasmi serangga-serangga itu. Ketika Sujeong menengok, ia melihat asap hitam menyelip keluar dari celah jemari Mijoo sebelum lenyap sebentar kemudian.
"Nona Mijoo juga merasakannya? Roh-roh ini haus akan energi kita."
"Sialan. Tanah bekas pembantaian saja tidak 'serusuh' ini," umpat Mijoo di bawah napasnya. "Sesuatu—tidak—seseorang pasti menarik dan merangsang mereka."
Begitu pintu ruang tengah digeser membuka, Sujeong dan Mijoo memicing. Dari dalam, menghambur arwah-arwah kecil yang menjerit mengerikan. Pucatlah wajah Sujeong, sementara Mijoo mengatupkan rahang tak suka. Sebuah umpatan terlontar lagi darinya diam-diam.
Ada empat orang di ruang tengah. Satu pelayan wanita duduk paling jauh dari pintu; murid belia si tabib di depannya; nona muda Jung di depannya lagi. Sujeong dan Mijoo sudah pernah bertemu mereka semua. Hanya pria sopan dekat pintu yang belum mereka lihat: si pemicu.
"Maafkan saya baru bisa menemui Anda berdua hari ini, Nona Lee Mijoo, Nona Ryu Sujeong. Saya Jung Yoonoh."
Leher Sujeong tercekat. Ia menyaksikan begitu banyak roh gelap berukuran sedang hingga besar meliputi sang kepala keluarga: meradang, memekik, menggerogoti jiwa lelaki itu seakan cuma ada satu jiwa di dunia yang boleh mereka santap. Anehnya, Yoonoh tidak menampakkan gejala kelemahan tubuh atau kerasukan—dan seketika, Sujeong dapat memastikan bahwa sumber masalah rumah ini bukan tanah atau bangunannya.
Mijoo memasuki ruangan usai mengatur napas.
"Terima kasih telah meluangkan waktu Anda, Tabib Jung. Kami akan segera memulai ritualnya."
Altar dipersiapkan, sesaji untuk para dewa ditata rapi, dan Mijoo mengenakan jubah ritual warna-warninya. Sujeong mengatur posisi para chaebi, lalu mengawali ritual dengan memanjatkan doa serta puji-pujian di depan altar. Mijoo, kelompok chaebi, dan para penghuni rumah bersujud selagi Sujeong melantunkan puja.
Syukurlah, arwah-arwah itu sudah terkendali, batin Sujeong. Indra keenamnya tidak lagi menangkap pergerakan mengancam sebab roh-roh hitam sudah dikekang oleh doa-doanya.
Tahap kedua, musik dimainkan. Peserta ritual minggir, memberikan cukup ruang bagi Mijoo untuk menari dan menyanyikan mantra-mantra, mengundang dewi perapian Jowangshin—pelindung rumah baru—merasuki tubuhnya. Sujeong membunyikan lonceng, menciptakan irama yang memudahkan seniornya memasuki keadaan trans. Darahnya berdesir seiring geliang api lilin-lilin di altar.
Jowangshin akan datang.
Prediksi Sujeong terbukti. Api semua lilin membesar, nyaris membakar bunga-bunga kertas penghias altar, dan nyanyian Mijoo yang menegangkan berhenti mendadak. Perempuan berjubah warna-warni itu pingsan dan biarpun ini mengagetkan penghuni rumah, Sujeong tidak mengizinkan seorang pun menolong. Mijoo bangkit sendiri selang beberapa waktu, mengedarkan pandang saksama ke seluruh penjuru. Mata itu memang mata guru galak Sujeong, tetapi Jowangshin-lah yang tengah menggunakannya. Pada Yoonoh, tatapan sang dewi tertambat lama sekali.
Jowangshin berbalik.
"Kemuraman yang pekat akan menyambangi rumah ini selama putra Miryeon masih menghuninya. Walaupun begitu, aku—Jowangshin—akan memberikan perlindunganku tanpa kecuali."
Miryeon ... dewi kegelapan?! Bagaimana mungkin anaknya ada di rumah ini? Apa mungkin penghuni nirwana mempunyai keturunan seorang manusia biasa?
Selendang putih Jowangshin melambai seritme dengan gerak api lilin. Tanpa sepatah kata, Sujeong bersujud, membiarkan punggungnya disapu selendang sebagai bentuk pemberkatan. Para penghuni rumah menirunya. Satu demi satu perisai spiritual terbentuk, tetapi ketika sampai pada Yoonoh, Jowangshin mengerutkan kening. Gerakannya menjadi lebih cepat, begitu pula lantunan mantranya. Api lilin menggeliat makin besar seiring dengan makin kuatnya Jowangshin menyabetkan selendang ke punggung Yoonoh. Yang mengejutkan, pada sabetan kesepuluh, selendang Jowangshin memercikkan api.
Jangan mengganggu Jowangshin. Titik-titik peluh membasahi telapak tangan Sujeong yang saling mencengkeram. Kalau Tabib Jung cedera, itu setimpal dengan perlindungan yang akan ia terima dari dewa.
Namun, percikan merah tadi lambat laun bertumbuh, menyalakan punggung Yoonoh. Sang tabib tampaknya mengerti bahwa ritual tidak boleh disela, maka masih dalam keadaan bersujud, ia hanya dapat mengerang kesakitan dan mengepalkan tangan.
"Tuan ...."
Kepala Pelayan Seo yang hampir beranjak dari duduknya, maka lengan Sujeong terentang mencegahnya. Manusia biasa cuma akan menyakiti diri mereka sendiri jika mencoba menghentikan kekuatan nirwana dengan tangan kosong.
"Nona Sujeong, Ka-Kakak terbakar ...." Kecemasan sang pelayan merembet pada Jung Yein, adik perempuan Yoonoh. "T-Tolong hentikan ritualnya ...."
"Jangan bertindak gegabah. Kembalilah ke tempat masing-masing."
"Tapi, Kak Yoonoh—"
Dari sudut matanya saja, Sujeong tahu Jowangshin belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Ritual semacam ini bukan sekali-dua kali memakan korban. Namun, sebagai murid Mijoo, Sujeong memastikan tidak akan ada nyawa terenggut dalam ritual pimpinan gurunya, bahkan jika ia harus menanggung kemarahan dewa akibat tersendatnya prosesi. Jadi, Sujeong merangsek ke tengah, mendentingkan loncengnya di luar irama para chaebi, dan menyiramkan segelas air ke punggung Yoonoh sambil mendorong tubuh Mijoo. Kacaunya bebunyian pengiring melepaskan Jowangshin dari sang mudang—dan Mijoo terjerembap.
"Tabib Jung, Anda baik-baik saja?"
Napas Yoonoh memburu ketika ia menengadah. Segera Sujeong menangkap raga gemetar yang limbung itu supaya tak menumbuk lantai. Yoonoh mengernyit menahan nyeri; badannya melembap oleh keringat. Genangan air yang Sujeong siramkan tadi menampakkan dengan buram lepuhan kulit punggung Yoonoh, juga beberapa bercak gosong. Belum lagi, arwah-arwah yang sebelum ini melipir karena menyegani Jowangshin kembali menyerang.
Mendidih, Sujeong memusatkan energi spiritualnya ke punggung tangan, menggunakan mantra pemusnah untuk melenyapkan arwah-arwah tanpa upacara, sebuah langkah yang sejatinya kurang bijaksana. Selanjutnya, ia mengganti mantra yang menempeli tangannya dengan mantra penyembuhan. Disentuhnya luka sang tabib dengan telapak penyembuh itu.
Kerutan nyeri di kening Yoonoh bertambah, sejenak kemudian menghilang kembali. Panas dan pedih dirasanya terus berkurang hingga ia cukup kuat untuk menegakkan badan.
"Nona Sujeong, terima ka—"
"Cukup!!!"
Alangkah kagetnya sang calon mudang begitu gurunya membentak. Kekuatan penyembuh menguap dari telapaknya sebelum luka Yoonoh sembuh benar. Hendak menghadap Mijoo untuk mohon ampun, Sujeong mendadak tak bisa mengangkat kaki dan penglihatannya mengabur.
Gawat, energiku terkuras terlalu banyak ....
Sebelum kehilangan kesadaran, Sujeong mendengar panggilan panik Yoonoh, melatarbelakangi suara dingin Mijoo.
"Mengecewakan! Anak-anak, bawa kakak kalian keluar!"
***
Membuka matanya yang seakan terjejali pasir, sekujur badan Sujeong terasa kaku pagi itu. Ia berusaha beradaptasi sehabis tidur panjang sembari mengingat apa yang terjadi sebelum ia terlelap. Ritual pemberkatan rumah. Pemanggilan Jowangshin. Api di punggung Jung Yoonoh, sang kepala keluarga. Energi spiritual yang terkuras. Kemurkaan Mijoo.
Walaupun Nona Mijoo marah, aku yakin sudah melakukan hal yang tepat ....
Kata-kata ini patah sebelum sempat diucapkan, menjelma menjadi erangan parau yang terdengar hingga luar kamar. Gadis itu lantas dikejutkan oleh pintu kamar yang tergesa digeser; dari baliknya muncul Mijoo dan para chaebi.
"Kak Sujeong baik-baik sa—ah, Nona Mijoo, jangan menghalangi kami, dong!" protes Joochan dan Jibeom yang akan merangsek masuk andai Mijoo tidak merentangkan tangannya tegas di hadapan mereka.
"Dia masih butuh ketenangan dan kalian terlalu berisik. Panggil saja Tabib Jung kemari dan buat diri kalian berguna!"
Demi mendengar nama kepala keluarga Jung disebut, Sujeong menjadi panik.
Seorang pria akan memasuki kamarku! []
1 Mudang: sebutan dukun wanita di Korea
2 Haegeum: rebab bersenar dua.
3 Chaebi: musisi pengiring ritual mudang
4 Shinbyeong: sakit fisik yang diikuti halusinasi dan kerasukan, dialami calon mudang yang baru 'dipanggil' oleh dewa, terjadi sekali seumur hidup.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top