BAB 39 - Stay With Me, Please
Huahaaa baru selesai nulis langsung up 😂😂😂😅🤣 kasian Arkan sama Bara yang diteror terus
Follow ig @indahmuladiatin
Happy reading guys! Hope you like this chapter 😘😘😘
🍬🍬🍬
Di depan ruangan, semua menunggu dengan wajah cemas. Bunda terus menangis dan Rafan berusaha menenangkan sebisa mungkin. Ayah sudah masuk untuk mendonorkan darahnya. Tinggal Raka yang belum datang. Padahal Caramel membutuhnya banyak darah.
"Kemana Abangmu itu?" tanya bunda sambil terus menangis.
"Sabar Nda," kata Rafan.
Raka berlari di sepanjang koridor. Tidak peduli dengan teriakan orang-orang. Keningnya sudah berkeringat deras. Jantungnya seperti berkejaran sejak mendapat kabar mengagetkan itu. Di belakangnya Chika juga berlari dengan wajah cemas.
"Dimana Ayah?" tanya Raka dengan nafas cepat. Raka langsung masuk ke tempat yang ditunjuk bunda.
Lagi, mereka menunggu. Selama itu, yang dilakukan bunda hanya memejamkan mata sambil berdoa. Putrinya masih muda, kalau saja bisa menukar posisi dia rela ada di posisi putrinya sekarang.
"Bunda tenang," kata Chika sambil memeluk bunda.
Malam semakin larut, dan ketegangan semakin meningkat. Bunda sampai lelah menangis dan sekarang bersandar pada Rafan. Ayah dan Raka belum juga keluar.
"Dimana Arkan?" tanya Chika.
"Ohh iya benar, kabari dia sayang. Bunda sampai lupa," kata bunda.
Om Satrio yang duduk memisahkan diri sejak tadi, mendekat. "Biar saya yang menghubungi dia."
Sebenarnya bunda ingin menolak, tapi rasanya tenanganya sudah habis. Bunda hanya mengalihkan pandangan dan kembali menatap pintu yang ruangannya diisi oleh Caramel. Belum ada penjelasan kenapa putrinya bisa begini.
Setelah menunggu lama akhirnya ayah dan Raka keluar. Wajah keduanya pucat karena darahnya baru saja diambil. Ayah langsung duduk di samping bunda.
Tidak bisa dipungkiri. Meski selalu memasang wajah tenang, kali ini mereka melihat kekhawatiran yang jelas di wajah itu. Raka pun begitu. Dua pria itu terlihat benar-benar khawatir.
Om Satrio menjauh untuk menelepon Arkan. Ada bunyi sambungan tapi tidak juga diangkat. Kemana anak itu sampai tidak mengangkat teleponnya. Beberapa kali om Satrio mencoba untuk menghubungi Arkan sampai anak itu mengangkatnya.
"Arkan?" panggil om Satrio.
"Ya, siapa ini?"
"Arkan saya Satrio, kamu sedang dimana sekarang?"
Hening di seberang sana. "Di bengkel."
"Cepat datang ke rumah sakit Pelita."
"Untuk apa?"
Om Satrio menghela nafas panjang. "Adikmu kecelakaan," ucapnya sebelum mematikan sambungannya. Dia duduk di kursi tunggu sambil menundukan kepala dalam-dalam.
"Maaf sayang, aku gagal melindungi keponakan kita," gumamnya pelan sambil menangis. Mengingat kerasnya benturan tadi. Pikiran buruk sudah menghantuinya. Apa mungkin bisa selamat. Apa Caramel masih sanggup untuk bangun.
Tadi saat dalam perjalanan Caramel sempat memamanggil semuanya sebelum kesadarannya hilang. Suaranya benar-benar pelan seperti bisikan. Ayah, bunda, abang, dan Bara. Itu yang tadi dia sebut dengan mata basah.
Di depan ruangan, ayah menggenggam tangan bunda. Mencoba untuk menguatkan, meski sebenarmya dia juga lemas sekarang. Sudah berjam-jam tapi belum ada satu pun tim medis yang keluar untuk memberi kabar. Separah apa kondisi putrinya.
Chika menahan airmatanya melihat Raka terus-terusan menunduk. Dia mengusap pelan bahu Raka. "Tenang Kaka."
"Harusnya tadi aku yang mengantarnya," kata Raka pelan. Tadi sebelum pergi Caramel memang sempat mengganggunya. Adiknya itu bilang akan main ke rumah Bella.
"Tumben di rumah," kata Caramel.
"Nanti Abang juga pergi bertemu klien," jawab Raka sambil mengetik sesuatu di laptopnya.
"Anter Kara dong Bang.." pinta Caramel.
"Kemarin kamu bilang tidak mau minta apa-apa lagi," ledek Raka.
Caramel tertawa kecil. "Dasar, kalau gitu aja inget! yaudah Kara pergi yaa? nggak usah kangen!"
"Lagian Kara bercanda, Kara udah punya jemputan pribadi dong," kata Caramel lagi.
"Siapa?"
"Pak Maman," kekeh Caramel.
"Kasian Pak Maman," jawab Raka.
"Idih!" jawab Caramel sambil tertawa.
Beberapa perawat keluar disusul tiga dokter yang bertugas membantu Caramel. Wajah orang-orang itu tidak menampakkan kabar bahagia. Sebaliknya, itu membuat semua semakin panik. Tangan bunda bahkan sudah dingin.
Ayah memejamkan mata sebentar. Berusaha untuk menyiapkan hati dengan kemungkinan-kemungkinan terburuk tentang putrinya. Sekarang, yang ingin didengar hanyalah kabar Caramel.
"Saya ingin bicara dengan orangtua korban," kata dokter.
Ayah dan bunda ikut ke ruangan dokter.
Dokter itu menghela nafas berat dengan wajah muram. "Pasien kehilangan banyak darah dan mengalami syok. Cidera pada kepalanya juga berat. Ditambah benturan keras pada kaki yang membuat dia mengalami patah tulang terbuka."
Ayah menghela nafas panjang sambil memijat keningnya sendiri dan langsung mengusap matanya yang basah. "Lalu bagaimana sekarang?"
"Ini yang menjadi masalah, dia harus segera dipindahkan ke rumah sakit lain. Rumah sakit ini tidak memadai dan lebih baik dipindah ke rumah sakit yang lebih besar dengan ruang ICU yang lebih lengkap sembari menunggu jadwal operasinya."
"Kalau begitu lakukan apa saja! Berapa pun biayanya!" kata ayah tanpa berpikir panjang. Apapun akan dia lakukan asal putrinya selamat.
Dokter tersenyum kecil. "Tapi ada beberapa risiko, karena kondisi putri Bapak sekarang semakin menurun. Semua ada di tangan Bapak dan Ibu, kita harus cepat, setelah memikirkan baik-baik silahkan kembali untuk menandatangani suratnya."
Bunda menangis dan tidak tahu harus melakukan apa. Lidahnya terasa kelu tidak sanggup bicara. Ini pilihan yang sangat sulit.
"Kita pindahkan saja Kara," kata ayah.
"Ta-tapi bagaimana jika nanti-"
"Setidaknya kita sudah mengusahakan yang terbaik untuknya sayang," jawab ayah pada bunda di kursi depan ruang dokter. "Dia kuat, kita tahu itu. Kara pasti mampu."
Bunda terisak hingga sesak dan memeluk ayah. "Baiklah."
Setelah menandatangani surat itu, semua persiapan pemindahan Caramel dilakukan. Ambulans dengan fasilitas lengkap sudah disiapkan oleh rumah sakit tempat Caramel akan dirawat nanti. Beberapa tim medis juga sudah disiapkan untuk ikut.
Bunda duduk lemas di samping Rafan. "Arkan belum datang?" tanya bunda serak.
"Belum Nda mungkin masih di jalan," jawab Rafan.
Pintu besar itu terbuka. Beberapa orang mendorong bed dimana Caramel terbaring dengan wajah pucat dan beberapa alat menempel di tubuhnya. Bunda kembali menangis menatap wajah putrinya dengan mata terpejam rapat itu. Mereka mengikuti ke depan.
Ayah menunggu di dekat mobil dengan Raka. Di depan mereka sudah ada ambulans yang akan membawa Caramel. Mereka bertemu dengan Arkan dan Bara yang baru saja sampai.
"Ayah? dimana Kara?" tanya Arkan.
"Darimana saja kamu?" tanya ayah.
Arkan menundukan kepalanya. "Maaf, tadi Arkan baru dapat kabar."
"Dimana motormu? Caramel harus dipindahkan sekarang," kata Raka.
Arkan menatap wajah ayah dan Raka yang terlihat pucat dan muram. Ketakutannya makin meningkat. Dia pikir hanya kecelakaan biasa, tapi kenapa wajah dua orang ini kelihatan sangat khawatir.
Kekhawatirannya terjawab saat dia melihat Caramel dibawa ke ambulance. Matanya terbelalak melihat kondisi adiknya itu. Dia langsung berlari mendekat. "Kara!"
Rafan menahan Arkan yang ingin berlari ke Caramel. Itu akan menghambat kerja tim medis. "Arkan! jangan! Kara harus cepet ditangani!"
"Lepas! Gue cuma mau liat Kara!" bentak Arkan sambil memberontak dari kuncian Rafan.
"Iya nanti! lo mau bikin Kara makin kritis?!" bentak Rafan.
Arkan langsung berhenti memberontak. Wajahnya seperti tidak percaya. "Kara kritis?"
🍬🍬🍬
Bara dan Arkan langsung ke rumah sakit setelah mendapat kabar dari Bang Rio. Mereka tadi sedang beristirahat setelah mencari Gita. Untungnya Gita mau diajak pulang.
Selama perjalanan ke rumah sakit. Bara terus memikirkan bagaimana kondisi Caramel sekarang. Semoga hanya luka ringan. Atau seperti waktu dia mendapatkan kabar dari Bella.
Dasar bodoh, tolol. Bagaimana dia bisa mengabaikan Caramel. Cewek itu selalu ceroboh. Kenapa dia bukannya mengejar Caramel tadi, meski sikapnya sudah sangat keterlaluan.
Sampai di rumah sakit Bara melihat Raka sedang berdiri di dekat mobil. Dia langsung memarkirkan motornya. Kenapa mereka di luar.
Arkan memarkirkan motor di samping motor Bara dan langsung menghampiri abang dan ayahnya. Bara menatap ke sekitar. Kenapa bunda dan Rafan tidak ada. Tidak mungkin mereka tidak datang.
"Darimana saja kamu?" tanya suara itu.
Bara menoleh dan memperhatikan wajah gusar itu. Tidak ada ketenangan di wajah itu seperti biasanya. Tangannya mendingin. Sepetinya kondisi Caramel tidak baik sampai membuat dua orang ini gusar.
Beberapa orang datang sambil mendorong bed pasien. Bara melebarkan mata melihat Caramel yang berada di tempat tidur pasien itu. Mata itu terpejam dengan wajah putih pucat. Ada luka-luka di wajah cantik itu. Kepalanya juga diperban.
Kakinya sulit bergerak. Percayalah, rasanya jantungnya seperti mencelos. Dia hanya bisa menatap nanar saat keributan di sekitarnya berlangsung. Arkan mengamuk karena tidak diizinkan untuk mendekat.
"Kara kritis?" tanya Arkan kaget.
Harusnya dia langsung berlari dan memeluk Caramel sekarang. Tapi yang dilakukan hanya diam. Masih belum percaya dengan apa yang ada di depan matanya.
Caramel sudah masuk ke dalam ambulance. Pintu pun sudah ditutup tapi tetap saja Bara tidak bergerak sejengkal pun. Tangannya mendingin, gemetar.
"Cepat masuk ke dalam mobil, kita ikuti ambulance," kata ayah.
Sebelum masuk ke dalam mobil, bunda berhenti sebentar dan menepuk bahu Bara. "Ayo Ken, kita temani Kara."
Bara menggelengkan kepalanya dan berjalan mundur. "Maaf Bunda," bisiknya. Sebelum berlari menjauh.
"Kenneth kamu mau kemana?!" panggil Bang Satrio. "Biar saya temani dia," ucapnya pada bunda.
"Bodoh! Bodoh! Bodoh!" Kata Bara dengan tangan gemetar. Dia menonjok tembok yang ada di dekatnya beberapa kali. Kenapa lagi-lagi begini. Kenapa orang yang dia sayangi selalu sial.
"Kamu gila!" bentak bang Satrio sambil menarik tangan Bara agar berhenti menonjok tembok.
"Kalau kamu takut dia pergi kenapa kamu tidak ikut saja ke rumah sakit?"
Bara duduk di lantai dan melipat satu sikunya. Dia menangis dan menggelengkan kepala. Dia benar-benar takut mendengar kabar yang tidak dia harapkan.
"Kenapa dia bisa begitu?" tanya Bara pelan setelah dirinya mulai sedikit tenang.
"Sepertinya Remond marah padamu karena kamu tidak mau diajak balapan. Dia dan teman-temannya mengeroyok Kara, kamu tahu kan? Anak itu tidak ada takutnya. Sebenarnya kami hampir menang, tapi sayangnya Remond mendorong Kara ke tengah jalan saat melihat ada mobil melintas."
"Remond?" tanya Bara.
"Tidak perlu memikirkan mereka, mereka tidak akan lepas begitu saja kalau sudah mengusik keluarga Rajendra." Itu pengalamannya
Bara menundukan kepalanya dalam-dalam. Kurang ajar. Kenapa Caramel harus bertemu orang seperti dirinya. Andai dia dan cewek itu tidak pernah bertemu. Hari ini pasti Caramel masih bisa bersantai-santai di rumah.
Bara bangkit dan langsung pergi begitu saja meninggalkan Bang Rio. Dia mengendarai motornya dengan kecepatan gila. Dia tahu dimana biasanya orang-orang itu berkumpul.
Di tempat itu, suasananya sepi. Biasanya akan ada orang-orang berkumpul di luar. Mungkin karena kejadian tadi, orang-orang itu berkumpul di dalam.
Bara menendang pintu itu sambil terbuka dengan keras. Dia langsung menerjang masuk dengan wajah memerah marah. Tidak ada toleransi bagi orang-orang ini. Benar, mereka semua sedang berkumpul di dalam.
Bara mencengkram kerah baju orang yang paling dekat dengannya. "Mana bos lo?" desisnya.
Orang itu langsung ketakutan. "Ng-ngak ada."
Bara tersenyum sinis dan menghajar orang-orang itu tanpa ampun. Dia murka, tenaga biasanya saja sudah menyeramkan. Apalagi sekarang kemarahan menutupi semua.
Orang-orang itu dengan mudah dilumpuhkan karena memang belum pulih. Bara menginjak dada satu orang itu. Wajahnya benar-benar menyeramkan.
"Dimana bos lo?" tanya Bara sekali lagi.
"Ng-ngak ada," jawabnya lagi.
Bara menginjak sedikit leher orang itu. "Lo yang mati apa bos lo yang mati?" ucap suara itu dengan nada dingin. Sepertinya ucapan itu bukan ancaman.
"Di-atas," jawab orang itu dengan susah payah karena makin lama injakan itu makin keras.
Bara langsung melepaskan orang itu dan pergi ke atas. Dia menelusuri tempat ini. Setiap pintu dibuka, sampai di ruangan terakhir dia kembali menendang pintu.
Remond ada di sana dengan wajah pucat. Sangat tidak cocok dengan badan kekarnya. "A-ada apaan?"
Bara mendengus geli dan tersenyum sambil melangkah maju. Tanpa banyak bicara dia menghajar Remond yang berusaha menghindar. Dia tendangi semua barang-barang yang ada di ruangan ini.
"Sini lo bangsat!" bentak Bara karena Remond terus menghindar. Dia berhasil menendang orang itu dan menjatuhkannya. Bara menonjok rahang itu berkali-kali. "Kenapa harus dia?"
"Kenapa lo nggak langsung bunuh gue?" tanya Bara. "Musuh lo gue! bukan Starla!!"
Remond terhenyak melihat Bara menghajarnya sambil menangis. Sepertinya dia sudah membangunkan macan tidur. Ahh kalau begini lebih baik dipenjara daripada mati di tangan musuhnya.
"Dia nggak tau apa-apa! dia nggak kenal lo!!"
"Ampun! Ampun.." pinta Remond.
"Bisa lo balikin dia?" tanya Bara sambil mencengkram kerah baju orang itu. "Ampun lo nggak bakal bikin dia sembuh!"
Dari luar terdengar bunyi orang berlari. Bara sudah tidak peduli kalau anggota geng ini ingin mengeroyoknya. Silahkan, yang penting urusannya dengan orang ini selesai dulu.
"Angkat tangan!" ucap tegas seseorang di belakang Bara.
Bang Satrio membawa polisi datang untuk menghentikan Bara. Karena kalau tidak, Bara akan benar-benar menjadi pembunuh.
Bara masuk ke dalam sel untuk sementara. Menunggu ada keluarganya datang. Dia hanya duduk sambil menundukan kepala dalam-dalam. Dia tidak mau diajak bicara bahkan dengan bang Satrio sekali pun. Mau tidak mau bang Satrio menjelaskan semua kepada polisi.
Beberapa jam mereka menunggu daddy datang dan akhirnya daddy datang dengan seorang pengacara.
Entah bagaimana prosesnya, sekarang Bara sudah bisa keluar. Bara masih diam tidak ingin bicara padahal daddy sudah bicara panjang lebar. Sepertinya bicara dengan anak ini tidak ada gunanya untuk sekarang.
"Daddy sudah tahu kondisi Kara, tapi apa dengan kamu menghajar orang-orang itu kondisinya akan membaik?" tanya daddy.
Tidak ada jawaban dari Bara.
"Astaga! ya sudah ayo kita ke rumah sakit. Kakakmu sudah ke sana tadi."
Sudah dini hari, jalanan sepi lancar. Mereka langsung ke rumah sakit tempat Caramel dirawat. Bara cuma menatap jalanan dari balik kaca. Apa dia pantas ada di dekat Caramel.
Satu airmatanya kembali lolos. Bara langsung menghapusnya dan kembali menundukan kepala. Jangan ambil Caramel. Jangan ambil bintangnya lagi. Dia rela menukar nyawanya sendiri asal Caramel bisa tetap hidup. Hidup Caramel lebih berharga untuk orang lain dibandingkan hidupnya.
🍬🍬🍬
Caramel langsung ditempatkan di ruang ICU. Tadi kondisinya sempat memburuk saat dalam perjalanan. Tindakan langsung dilakukan untuk menyelamatkannya.
Arkan mengingat semua ucapannya tadi pada Caramel. Dia menyesal. Sangat. Kalau saja ada yang mampu menggambarkan penyesalannya. Bagaimana jika nanti Caramel memang tidak bisa ikut campur dalam masalahnya lagi.
"Ini salah Arkan Nda," lirih Arkan.
Bunda mengerutkan keningnya. "Maksud kamu?"
"Harusnya Arkan jaga Kara," isak Arkan dengan kepala tertunduk. "Maaf Bunda."
Ayah baru saja kembali dengan Raka. Segala urusan sudah beres. "Besok Kara akan di operasi."
Bunda menganggukan kepala dan mengusap airmatanya. "Yaa sudah, Raka antar Chika pulang ini sudah lewat tengah malam. Rafan Arkan juga, pulang saja. Biar Ayah dan Bunda yang menunggu di sini."
"Nggak Nda, Rafan tetep di sini," jawab Rafan.
"Chika juga nggak apa-apa," jawab Chika. Dia juga ingin menunggu Caramel.
Mereka hanya bisa menunggu Caramel. Satu persatu yang sudah dikabari, langsung datang meski ini adalah waktu-waktu untuk beristirahat. Sebelum waktu subuh, Daddy datang dengan Bara dan om Satrio. Ayah sudah tidak berniat untuk membuat keributan.
"Bagaimana kondisi Kara?" tanya daddy.
"Kata dokter kondisinya makin menurun," jawab bunda sedih.
Bunda sekarang sedang duduk dengan tante Rain dan tante Putri. Mencoba untuk menenangkan sebisa mungkin. Bunda ingin sekali tegar tapi setiap berusaha untuk biasa saja, semua kemungkinan buruk kembali dan itu membuatnya kembali menangis.
"Tenang lah, dokter yang menangani Kara adalah dokter-dokter terbaik di sini. Mereka teman Stella," kata daddy untuk menenangkan ayah dan Raka. "Kapan jadwal operasinya?"
Ayah menghela nafas berat dan bersandar pada kursi tunggu. "Nanti siang."
Rafan menatap curiga Arkan dan Bara yang sejak tadi diam. Kenapa tadi Arkan menyalahkan diri sendiri. Apa ada sesuatu sebelum kecelakaan Caramel. Ditambah yang menemukan adiknya itu adalah om Satrio.
"Gue mau ngomong bentar sama lo berdua," kata Rafan.
Arkan mendongak, dia menganggukan kepala dan mengikuti saudara kembarnya itu. Bara yang lebih banyak diam juga mengikuti di samping Arkan. Mereka pergi ke lorong yang cukup sepi.
"Apa kalian ketemu Kara sebelum dia kecelakaan?" tanya Rafan.
Arkan mengangguk dengan wajah sedih. "Dia ke bengkel."
"Kata Bunda, Kara sempet nangis di telepon. Lo apain Kara?" tanya Rafan lagi.
Arkan menjambak rambutnya sendiri. Dia juga masih kaget sekarang. "Sumpah! Gue nggak sengaja bilang gitu! Sumpah gue nggak nyangka Kara bakal kaya sekarang!"
Rafan mengerutkan keningnya. Dia mencengkram kerah baju Arkan. "Apa yang lo bilang ke dia?"
"Mulai sekarang nggak usah ikut campur urusan gue," jawab Arkan dengan lidah kelu. Itu ucapan paling bodoh yang pernah dia ucapkan.
"Apa?!" tanya Rafan kaget.
"Cukup!" kata Bara. "Caramel dikeroyok sama musuh-musuh gue Fan! lo nggak usah nyalahin Arkan. Gue yang salah!!"
"Dikeroyok?" tanya Rafan dan Arkan secara bersamaan. Bukannya Caramel ditabrak mobil.
Bara sudah tidak bisa menjelaskan lagi. Percayalah, yang ingin dia lakukan hanya diam sekarang. Dia mendarkan punggunya ke tembok dan menundukan kepala. "Kalau mau hajar orang yang nyelakain adek lo. Hajar gue."
"Shit!" Kata Rafan frustasi. Dia juga ingin mengamuk sekarang melihat kondisi Caramel. Tapi dalam kondisi sekacau ini, dia tidak ingin memperkeruh suasana. Dia mengusap matanya. "Kalau sampai ada apa-apa, kalian berdua yang harus jelasin semua."
Siang ini Caramel kembali dipindahkan ke ruang operasi. Semua kembali cemas. Setiap detik yang dijalani semakin terasa berat. Rasanya masih berjalam di atas mimpi mengingat kemarin Caramel masih baik-baik saja dan mengoceh seperti biasanya.
Bella datang pagi-pagi dengan keluarganya. Dia menangis meski tidak melihat secara langsung. Caramel belum diizinkan untuk dijenguk oleh siapa pun karena kondisinya masih tidak stabil.
Setelah beberapa jam, akhirnya operasi selesai. Caramel kembali masuk ke ruang ICU. Dengan pengawasan ketat dari para tim medis.
Ayah menatap Caramel dari jendela. Malam sudah kembali datang. Mata Caramel masih betah terpejam. Putrinya hanya tertidur seperti biasa, besok pagi setelah matahari mulai bersinar maka mata itu akan terbuka. Cahaya cokelatnya akan kembali.
"Caramel pasti sembuh kan?" tanya bunda.
"Harus," jawab ayah. "Kita akan lakukan apapun untuknya. Kalau harus pengobatan di luar. Kita akan lakukan."
"Aku takut," isak bunda.
Ayah memeluk bunda. Sekarang dirinya juga sedang takut. Tapi optimis adalah bagian dari doa. Putus asa bukan hal yang harus dipilih. Semua usaha harus dilakukan.
Arkan menghampiri ayah dan bunda. Dia ikut melihat kondisi Caramel dari kaca. "Ayah Bunda. Om Gavyn dan Lyza ingin pamit pulang."
"Ohh yaa mereka juga sudah menunggu sejak pagi," jawab bunda. "Ken gimana? dia belum juga belum istirahat."
Arkan menggelengkan kepala. Bara tidak bicara sama sekali. Diajak bicara pun hanya diam. "Biar aja Nda, dia masih mau di sini mungkin."
Bunda menghela nafas dan keluar untuk menemui yang lainnya. Pelan bunda menepuk bahu Bara. "Ken pulang saja dengan Daddy, Kara pasti baik-baik saja. Jika terjadi apa-apa nanti Bunda kabari."
Bara mendongak dan tersenyum sedih. "Maaf Bunda. Semua salah Ken."
"Apa maksud kamu?" tanya bunda. Karena terlalu fokus pada kondisi Caramel, mereka sampai melupakan penyebab dari Caramel sampai begini.
Semua dia ceritakan pada bunda termasuk saat keributan di depan bengkel, kecuali ucapan Arkan pada Caramel. Rasanya tidak adil kalau bunda tidak tahu semua, apalagi ini menyangkut Caramel. Meski nanti dia mungkin dibenci, dia harus tetap menceritakan semua. Agar semuanya jelas. Bara mencium tangan bunda. "Maaf Ndaa."
Om Satrio yang sebenarnya tidak dianggap ada di sini menyela pembicaraan. "Itu bukan salahnya, Kenneth tidak pernah mencari masalah pada orang-orang itu. Saya harusnya melindungi Kara."
Bunda mengusap keningnya sendiri membayangkan putrinya dikeroyok sebelum kecelakaan. Kenapa bisa sampai seperti ini. "Sekarang bagaimana dengan orang-orang itu?"
"Sudah di penjara," jawab om Satrio.
Ayah mendengar semuanya. "Mereka mengincarmu kenapa putriku yang menjadi sasaran?"
Bara menundukan kepala. "Maaf."
Raka mengepalkan tangan. Dia ingin marah, bukan karena siapa orang-orang yang menghajar Caramel. Siapa yang akan menyangka kalau Caramel yang akan dijadikan sasaran. Yang membuatnya marah adalah kenapa Bara tidak bisa menjaga adiknya. Kenapa justru memarahi Caramel yang sebenarnya hanya terlalu peduli pada cowok itu.
"Ini juga salah Arkan Nda, Arkan nggak bisa jaga Kara," ucapnya. Dia juga menceritakan apa yang dia ucapkan pada Caramel.
"Kenapa kamu bisa bicara begitu pada adikmu sendiri?" tanya Raka.
"Arkan nyesel Bang," kata Arkan. Dia sungguh-sungguh menyesal. Rasanya ingin sekali mencabut semua ucapannya kemarin. Dia ingin minta maaf pada Caramel tapi jangamkan untuk meminta maaf. Mendekat saja tidak bisa.
"Ayah kecewa padamu, apa pun kesalahannya apa kamu pikir ucapanmu itu pantas?" tanya ayah. "Dan kau, kalau tidak mampu menjaga putriku. Lebih baik menjauh lah," kata ayah pada Bara.
"Sayang," panggil bunda mengingatkan ayah karena di sini ada daddy.
"Aku tidak ingin siapapun membahayakan putriku," jawab ayah tanpa ingin dibantah. Siapa pun itu, jika membuat putrinya dalam bahaya akan dia lawan. Bara memiliki banyak musuh, ayah tidak ingin mengambil risiko untuk tetap membiarkan putrinya dekat dengan anak ini. Apalagi anak ini tidak mampu melindungi Caramel.
"Tidak apa-apa Fi, aku setuju dengan Karel. Caramel sudah kuanggap seperti putriku sendiri. Jika anakku tidak mampu menjaganya maka lebih baik dia mendapatkan yang lain. Yang lebih pantas untuknya," jawab daddy yang ikut kecewa mendengar ucapan Bara. Bisa-bisanya anak ini membiarkan Caramel pergi sendiri dalam keadaan kacau begitu.
"Kenneth ayo pulang, kamu harus menenangkan dirimu," kata Lyza.
Bara menganggukan kepalanya. Bukan karena untuk menenangkan diri, tapi karena sekarang dia sudah menjelaskan semua. Dia sudah mengakui kesalahannya. Dia menatap pintu ICU. Gue pergi La, lo harus sembuh, batinnya.
"Kenneth pamit Nda," ucapnya pelan sambil mencium tangan bunda. "Maaf, tolong sampaikan kata maaf Ken untuk Starla." Dia mencoba untuk tersenyum dan mengusap airmatanya yang jatuh.
Baru saja ingin melangkah pergi, suara seperti alarm terdengar. Code blue, code blue. Tidak lama, tim dokter dan perawat langsung datang dan masuk ke dalam ruangan ICU. Apalagi sekarang.
"Ada apalagi ini?" tanya ayah pada perawat yang keluar.
"Detak jantung pasien atas nama Caramel Starla Rajendra makin melemah," jawab perawat sebelum kembali pergi.
Bara melebarkan matanya. Jangan pergi. Tolong bertahanlah. Untuk semuanya. Tolong berjuang lebih kuat lagi.
🍬🍬🍬
See you in the next chapter 😘😘😍
Trailer iseng TBWAFS
Ditonton, dengerin lagunya 😍
Jangan lupa follow ig mereka yaa
@kennethaldebaran
@caramelstarla
@rafansafaraz
@umbrellakirei
@arkanlazuard
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top