BAB 34 - Anger
Hello.. ada yg nunggu Kenneth sama Kara?
Kenapa update maju? Aku takut sabtu nggak sempet up karena harus ngurusin revisian skripsi 😂😂
Untuk yang mau ikut PO 2 NADW silahkan add line aku id : indahmuladiatin
Follow ig @indahmuladiatin
Happy reading guys! Hope you like this chapter 😘😘😍
🍬🍬🍬
Caramel menunggu dengan gelisah. Dia menggigit jempolnya sambil berjalan bolak-balik sampai kadang tersandung kursi tunggu. Rafan dan Bara sudah lelah menyuruhnya duduk. Biar saja, nanti kalau capek juga dia duduk.
Arkan masuk ke UGD rumah sakit dekat rumah. Sampai sekarang mereka belum mendapatkan kabar. Di UGD para tim medis berlalu lalang dari satu pasien ke pasien yang lainnya. Jadilah Caramel menunggu di luar daripada mengganggu pekerjaan dokter.
Rafan bangkit dari kursi. "Kamu di sini, biar Abang tanya ke dokter di dalam."
Caramel menganggukan kepala masih dengan wajah cemas. Dia duduk di samping Bara. "Bang Arkan kenapa yaa?"
Bara menghela nafas dan menepuk-nepuk bahu Caramel. "Tenang, dia pasti cuma capek."
"Ck iya bener capek," jawab Caramel sambil memandang sinis Bara. "Gara-gara Kak Gita yang nggak mau bukain pintu buat Bang Arkan."
"Lo nyalahin Gita?" tanya Bara.
"Terus gue harus nyalahin siapa?" tanya Caramel dengan sengit. Dia jadi emosi sekarang. "Lo nggak mau dia disalahin soalnya lo nganggep dia saudara kan? gue juga gitu, gue nggak suka sikap Kak Gita ke Bang Arkan soalnya Bang Arkan saudara gue! Kandung! Bukan nganggep doang."
Caramel langsung pergi menyusul Rafan, masih dengan wajah memerah kesal. Kalau bukan karena Gita, terus ini salah siapa. Jelas-jelas Arkan selalu pulang malam untuk menemani Gita. Tanpa hasil pula, Arkan cuma bisa menunggu di luar padahal sudah jauh-jauh datang.
"Gimana Bang?" tanya Caramel.
Rafan menghela nafas panjang. "Dehidrasi sedang."
Caramel berdecak kesal, sampai dehidrasi sedang. Untung abangnya tidak kejang. Pelan dia menghampiri Arkan yang masih belum sadar. Matanya kelihatan cekung. Pucat. Tidak seperti biasa. Pergelangan tangan kanannya terpasang infus.
"Jagain Arkan sebentar, Abang mau hubungin Bang Raka," kata Rafan sebelum pergi.
Caramel mengangguk tapi tetap menatap Arkan. Dia kembali menangis. Harusnya Arkan tidak perlu kenal Gita. Lebih baik Arkan main saja seperti kemarin-kemarin.
"Bang Arkan," panggilnya.
Arkan masih belum ingin bangun. Caramel mengusap pelan tangan abangnya itu. Ya sudah, istirahat saja. Kemarin-kemarin pasti abangnya kurang istirahat.
Tidak ada setengah jam, Raka sudah datang dengan wajah cemas. Setelah Rafan menghubunginya, dia memang langsung pergi tanpa berpikir. Seperti Caramel, dia juga kaget mendengar kondisi Arkan yang memang selalu aktif dan jarang sekali sakit.
"Belum sadar?" tanya Raka.
"Belum Bang," jawab Rafan.
Raka menatap Arkan. "Yaa sudah, kalian jaga dia," katanya sebelum pergi untuk mengurus administrasi dan meminta rawat inap untuk Arkan.
Setelah menempuh beberapa prosedur, Arkan langsung dipindahkan ke ruang rawat kelas satu. Sekarang sudah lewat tengah malam. Raka menyuruh Caramel untuk istirahat tapi Caramel menolak. Jangankan istirahat, memejamkan mata saja susah.
Caramel duduk di samping Arkan dengan Raka. Di sofa Rafan dan Bara juga memilih diam. Ruangan hening, hanya ada suara jarum jam yang bergerak setiap detik.
"Ayah belum tau?" tanya Caramel.
Raka menggelengkan kepala. "Abang izin pergi ke rumah teman."
Caramel terisak kecil dan menundukan kepala. "Bang Arkan belum sadar juga Bang."
"Tenang dulu, biar Arkan istirahat," jawab Raka sambil mengusap kepala Caramel.
Semua tidak tidur untuk menunggu Arkan bangun. Sampai jam tiga pagi, belum ada tanda-tanda Arkan akan bangun. Caramel bertopang dagu sambil terus menunggu.
Arkan mengerang kecil sebelum matanya terbuka perlahan. Caramel langsung tersenyum dan menepuk-nepuk tangan Raka. "Bang Arkan sadar!"
Rafan dan Bara ikut mendekat.
Pandangan Arkan masih buram. Dia diam sebentar sambil berusaha memfokuskan pandangan. "Gue dimana?"
Caramel hampir menangis dan langsung memeluk Arkan yang masih lemas. "Bang!!!!"
"Aduh Ra, badan gue sakit!" kata Arkan pelan.
"Ehh maaf," jawab Caramel sambil menjauhkan diri.
Raka tersenyum melihat adiknya sudah sadar. "Kamu membuat semua cemas. Terlebih adikmu ini, dia terus menangis."
Arkan mendengus kecil dan mencoba untuk duduk. Bibirnya kering dan pucat. "Maaf Bang, Arkan cuma capek."
"Makanya jangan-"
"Ra!" potong Arkan sambil menggeleng samar.
Caramel mengerti maksud Arkan. Dia cemberut kesal dan tidak melanjutkan ucapannya. Kenapa harus ditutupi. Biar saja bang Raka tahu. Mungkin kalau Raka yang melarang Arkan untuk datang lagi menemui Gita, Arkan akan patuh.
Raka jelas curiga melihat dua adiknya ini. "Ada yang kalian sembunyikan?"
"Begini Bang," jawab Rafan ragu.
"Apa yang kalian sembunyikan?" tanya Raka lagi.
Rafan dan Arkan sali melempar pandangan dengan ragu. Tidak dengan Caramel yang kekesalannya sudah berada di puncak. Bara sendiri memilih diam karena ini bukan hal yang bisa dia campuri.
Melihat tidak ada satupun yang berniat menjelaskan Raka hanya menghela nafas panjang. "Baik, kalian tidak ingin bicara. Tidak apa, nanti Abang juga akan tahu apa yang kalian sembunyikan."
Benar, Raka pasti akan tahu nanti. Entah dengan cara apa, mereka tidak bisa menutupi apapun dari abangnya yang satu ini. Sebenarnya percuma menutupi ini dari Raka atau ayah.
Pagi ini setelah kondisi Arkan lebih baik, Raka bisa kembali ke rumah sakit tempat opa di rawat. Sekaligus untuk mengabari ayah dan bunda. Karena bagaimanapun ayah dan bunda harus tahu.
Rafan menghampiri Arkan. "Gue balik dulu, mau ambil barang-barang lo."
Arkan menganggukan kepala. "Sekalian hp sama charger gue ya, kayanya hp gue jatoh di rumah semalem."
Rafan menganggukan kepala. "Kamu mau titip apa Ra?"
"Nggak usah, nanti kalau Abang udah balik ke sini biar Kara pulang. Mau mandi juga," jawab Caramel.
"Oke," jawab Rafan. "Lo balik nggak Ken?"
"Duluan, biar nanti gue anter Starla," jawab Bara. Meski sejak semalam Caramel marah tapi tetap saja dia harus menjaga cewek itu. "Ni kunci mobil."
"Nggak, gue naik angkot aja," jawab Rafan sebelum keluar kamar.
Caramel menghela nafas panjang. Dia masih malas untuk ngomong dengan Bara. Gara-gara semalam, dia jadi ikut kesal pada Bara. Padahal yang salah itu cuma Gita.
Arkan berdecak kesal. "Kapan gue balik?"
"Kapan-kapan!" jawab Caramel. "Makanya jangan sakit biar nggak usah dirawat!"
"Judes amat," keluh Arkan.
"Bodo!" jawab Caramel.
Arkan menoleh ke Bara. "Dia kenapa sih? PMS?"
Bara terkekeh kecil dan mengangkat bahu. "Gue juga kena damprat semalem, sampe sekarang dia juga nggak mau ngomong. Padahal gue nggak salah."
Arkan tertawa geli. Caramel itu kalau sedang emosi yaa semua kena amukannya. Makanya sebisa mungkin lebih baik menghindar kalau emosi Caramel sedang memuncak. Agar tidak kena damprat.
Caramel menyubit lengan Arkan sampai abangnya itu mengaduh kesakitan. "Gue mau cari makan dulu! Bang Arkan tolong tau diri, lo lagi sakit. Mending tiduran, daripada duduk-duduk tebar pesona."
"Bodo amat, siapa tau ada dokter sama perawat yang nyantol sama gue," jawab Arkan.
"Idih geli," jawab Caramel sambil berjalan keluar.
Bara menghampiri Arkan. "Gue nemenin dia dulu."
"Ken!" panggil Arkan. "Gue nggak bisa ke tempat Gita. Lo gantiin gue ya? kasian Gita."
Bara menganggukan kepala. "Thanks kemaren lo gantiin gue."
Dari luar kamar rawat, Caramel mendengar percakapan singkat itu. Dia mengepalkan tangannya dan lanjut berjalan. Kenapa Arkan sampai segitunya sekarang.
Bara menyusul di belakang Caramel. "Lo mau makan apa?"
Caramel langsung menghentikan langkahnya. Dia menoleh pada Bara yang sekarang sudah ada di sampingnya. "Lo mau jenguk Kak Gita kan? bagus deh, sekalian bilang sama dia. Nggak usah khawatir, Bang Arkan nggak bakal dateng lagi jadi dia nggak usah susah payah ngunci pintu rapet-rapet."
Bara menghela nafas panjang. Dia mencoba tersenyum sambil menarik tangan Caramel ke taman rumah sakit. Mereka duduk di kursi dekat pohon. "Starla, gue tau Gita salah."
"Emang," jawab Caramel.
"Tapi coba pikir, mungkin nggak Gita ngelakuin itu tanpa alesan?" tanya Bara.
Caramel menatap Bara dengan wajah datar. "Alesannya dia itu nggak suka sama Bang Arkan."
"Nggak suka? lo kenal Gita kan? baru sebentar tapi lo pasti tau gimana sikap Gita," kata Bara. "Dia akrab sama Arkan waktu di Bali kalau nggak suka pasti dari pertama ketemu Gita udah nolak."
Caramel diam, iya dia tahu Gita itu baik. Bahkan waktu di Bali, Gita ikut melarangnya mencoba minuman yang ternyata tidak baik itu. Gita juga sangat bersahabat.
"Jangan gara-gara lo cemburu sama dia, lo nutup mata. Sampe semua kebaikan dia nggak lo liat," kata Bara lagi.
"Gue nggak cemburu!" kata Caramel.
"Lo cemburu Starla, lo emang udah kesel sama Gita. Ditambah masalah ini," jawab Bara.
Caramel berdecak kesal. "Pokoknya gue nggak mau Bang Arkan ketemu sama Kak Gita lagi. Sampe Kak Gita minta maaf sama Bang Arkan!" ucapnya sebelum pergi.
Cemburulah apalah, intinya dia memang sedang sensitif dengan nama Gita. Mungkin iya benar kata Bara. Karena cemburu emosinya makin bertambah. Tapi intinya dia hanya tidak suka abangnya diperlakukan begitu.
🍬🍬🍬
Bara mengantar Caramel ke rumah. Di rumah sakit sudah ada bunda, ayah dan Rafan. Reaksi bunda sudah jelas kaget dan kesal karena tidak ada yang mengabari dari semalam. Semua kena omelan bunda. Termasuk Raka.
"Lo mau balik ke rumah sakit lagi?" tanya Bara.
"Nanti malem, yaudah gue masuk. Thanks," jawab Caramel sebelum masuk ke rumah.
Bara menunggu Caramel masuk ke dalam rumah. Dia menyalakan mesin motornya dan langsung pergi ke tempat Gita. Dia juga penasaran kenapa Gita berubah.
Karena ini hari sabtu, jadi jalanan tidak terlalu ramai. Bara mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, melewati batas kota Jakarta. Sampai di sana dia langsung memarkirkan motornya.
Bara langsung ke gedung bagian kamar tempat Gita tinggal. Dia mengetuk pintu itu. "Gitaa."
"Ken?" panggil Gita dari dalam.
"Iya ini gue Ken, gue mau ngomong sebentar Git," kata Bara lagi.
Lama tidak ada jawaban sampai akhirnya Gita keluar. Cewek ini melihat ke belakang Bara dan ke sekitar. "Dimana Arkan?"
Bara tersenyum kecil dan menarik tangan Gita. Dia mengajak sahabatnya itu untuk duduk di taman seperti biasa kalau dia sedang main ke sini. "Lama nggak ngobrol."
"Gue paham lo sibuk," jawab Gita.
"Maaf Git," ucap Bara dengan wajah menyesal. Dia mengakui kalau belakangan ini dia terlalu sibuk dengan diri sendiri. Sampai lupa bahwa menjaga Gita juga tanggung jawabnya. Itu pesan dari orang tua cewek itu.
"Gue nggak apa-apa Ken, serius," jawab Gita sambil menepuk-nepuk bahu Bara. Dia menampilkan senyum menenangkan seperti biasa. "Gue rasa udah waktunya kita fokus sama jalan masing-masing. Lo fokus sama cita-cita lo, sama keluarga baru lo. Gue juga bakal fokus buat rehab, abis itu ngelanjutin hidup, nata ulang semua yang udah gue rusak."
Bara mengerutkan keningnya. "Maksud lo apa? Git lo tau kan Lo, Defan, Thomas, Roni, Wisnu, semua udah gue anggep saudara. Keluarga."
Gita mengalihkan pandangan. Menutup sedih yang ada di wajahnya sekarang ini. Dia juga mau tetap dengan Bara dan teman-teman lainnya. Tapi semua sudah berubah sekarang. Waktu tidak dapat diulang. Dia tidak bisa kembali ke masalalu. Masa dimana dia memiliki keluarga.
"Lo selalu bantu gue Git," kata Bara pelan. "Kenapa sekarang gue nggak boleh bantu lo?"
"Lo nggak ngerti Ken," isak Gita sambil menutup wajahnya dengan tangan. Dia sudah tidak bisa menahannya lagi.
"Apa yang nggak gue ngerti?"
Gita mengangkat wajahnya. Wajah yang dulu cerah dengan pipi bulat kemerahan sekarang berubah menjadi tirus pucat. Seperti tidak ada aura bahagia sama sekali. "Gue nggak bisa balik sama kalian."
Suaranya terdengar serak karena menangis.
"Kenapa?" tanya Bara dengan penekanan. Dia tidak suka berbelit-belit.
Gita mengusap airmata. Dia mengambil sesuatu dari saku celananya. Sebuah lipatan kecil kertas dibentangkan. "Baca baik-baik. Yakin lo masih mau temenan sama gue?"
Bara mengambil kertas itu. Ini hasil test kesehatan milik Gita. Matanya menyipit pada satu tulisan. Seperti ada palu godam yang menghantam. Matanyanya langsung berkunang-kunang. Dia ingin bicara tapi tenggorokannya seperti terjepit.
"See?" tanya Gita.
Bara menatap nanar Gita. Dia menggelengkan kepala. "HIV reaktif?"
"Yapp Ken, udah positif HIV," jawab Gita sambil berusaha untuk tersenyum meski matanya meneteskan airmata. Siapa yang tidak depresi saat mendapati hasil kesehatannya begitu. Rasanya dia ingin mati saja sekarang.
Bara mendengus dan mengibaskan tangan. "Test kesehatan begini sering ada kesalahan-"
"Udah test kedua Ken!" jawab Gita. "Nggak ada perubahan."
Bara masih merasa kalau ini salah. Ini cuma bercandaan Gita yang kadang keterlaluan. Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Matanya kembali menatap kertas yang ada di genggamannya. Ini tidak bisa membuktikan apa-apa.
"Nggak lucu Git," gumam Bara.
"Gue juga ngarep ini bercanda," jawab Gita.
Bara menjambak rambutnya sendiri. Dia menundukan kepala dalam-dalam. Susah payah, Bara membangun ketenangannya. Semua belum berakhir. Masih ada kemungkinan test itu salah.
"Kita harus test lagi!" kata Bara tegas.
Gita menghela nafas panjang. "Buat apa? buat bikin gue berharap lagi?" tanyanya pahit. Dia sudah pasrah sekarang. Hidupnya sudah tidak ada harapan lagi. Apalagi masa depan dan cita-citanya. Dia jatuh seperti sekarang, cukup dirinya sendiri. Gita tidak ingin mengajak orang-orang yang disayanginya untuk ikut jatuh. Semua harus melanjutkan hidup seperti biasa.
"Maafin gue Git," lirih Bara dengan kepala tertunduk.
"Salah gue Ken, berenti nyalahin diri sendiri. Gue sendiri yang mau pake barang itu," jawab Gita. Pelan dia mengusap bahu cowok itu. Sudah diduga, kalau Bara tahu pasti Bara akan menyalahkan diri sendiri. Karena itu sebenarnya dia tidak ingin ada orang yang tahu.
Bara mengangkat wajah, mata birunya tertutupi kabut tipis. Dia menangis, karena melihat Gita harus sehancur ini karena cowok seperti Beni. Harusnya dia bunuh saja si Beni waktu itu. Masabodo dengan penjara. Hama seperti Beni harus dibasmi. Bara memijat keningnya sendiri untuk menenangkan diri.
Gita jadi ikut menangis sekarang. Dia belum pernah melihat Bara menangis. Dulu waktu pertama kali bertemu dengan Bara yang dia lihat adalah wajah sedih dan marah. Dia jadi ingat waktu pertama kali Bang Rio datang membawa Bara ke bengkel.
"Dia siapa Bang?" tanya Gita antusias.
"Tanya sama orangnya langsung," jawab Bang Rio.
Gita tersenyum lebar sambil mengulurkan tangannya. "Lo siapa? Mata lo bagus yaa?"
"Kenneth," jawab Bara singkat.
Gita tersenyum kecut karena balasan yang kesannya cuek banget itu. Anak-anak lainnya memang pendiam saat pertama datang ke bengkel ini tapi semua tidak ada yang secuek Bara. Ditambah wajah Bara yang kelihatan marah, dan mata birunya menambah kesan dingin. Bara jadi orang yang menyeramkan untuk didekati.
"Gue Gita, nah yang itu namanya Defan. Kalau yang itu namanya Roni, kalau yang dua itu si Wisnu sama Thomas," ucapnya masih berusaha untuk ramah.
Bara cuma melirik sekilas seperti Gita itu adalah serpihan kotoran yang mengganggu. "Oh."
Gita meringis kecil dan langsung menghampiri Bang Rio. "Bang nemu dimana yang begitu?"
"Hust sembarangan, memang dia anak kucing? Maklumi saja, sepertinya masalahnya lebih berat. Dia juga sepertinya tidak punya siapa-siapa," jawab Bang Rio.
Gita yang berusaha dengan Bara, dia juga mengajak yang lain untuk tetap menyapa anak itu meski jawabannya sering ketus dan nyakitin hati. Bara adalah tipe orang yang susah didekati. Susah mempercayai orang. Gita saja butuh waktu tiga bulan agar Bara mau ngobrol dengannya.
"Hari ini Ibu masak banyak, kalian dateng aja ke rumah," ajak Gita.
Waktu itu Bang Rio juga masih tinggal di salah satu tempat apartemen sederhana yang lebih mirip rumah susun itu. Entah siapa yang menamainya apartemen. Mungkin biar sedikit keren di telinga orang-orang.
"Boleh-boleh, Ken lo ikut kan?" tanya Defan.
"Hem," jawab Bara.
Defan tertawa garing. "Haha udah setengah tahun masih irit ya."
Gita berjalan di samping Bara, yang lain sudah berjalan duluan di depan. "Suka makanan Indonesia?"
Bara menganggukan kepalanya. Kedua tangannya dimasukan di saku celana. Dia berjalan sambil menendang apa yang ada di dekat kakinya.
"Wahh bagus deh, gue udah takut lo nggak suka," kekeh Gita.
Bara menoleh dan memiringkan kepalanya. Wajahnya mendekat dengan ekspresi bingung. "Kenapa?"
Wajah Gita memerah dan kepalanya mundur sedikit. "Haha apa-apaan sih, jangan deket gitu dong. Di sini nggak wajar kalau cewek sama cowok sedeket itu. Apalagi cuma temen."
"Oh yaa?" tanya Bara. "Di sana wajar saja."
Gita ingat saat itu Bara benar-benar masih polos dan tidak terlalu suka membuat onar. Bara juga lebih suka fokus bekerja daripada ikut balapan. Katanya dia hanya ingin membayar uang yang sudah diberikan bang Rio padahal bang Rio tidak pernah meminta balasan. Bara suka masakan Indonesia, meski dulu sempat kaget. Dulu juga Bara sulit mengucapkan Bahasa dengan benar.
"Ayo semua silahkan masuk," ajak Gita. "Ibu yang lain datang."
Semua sudah biasa main ke kamar ini. Cuma Bara yang baru pertama kali. Cowok itu cuma duduk di sofa sambil bertopang dagu dengan wajah bosan. Yah mimik wajahnya memang begitu, kalau tidak datar yaa dingin, atau marah atau bosan. Seperti semua yang ada di dekitarnya tidaklah menarik.
"Bu ini Kenneth anak baru di bengkel," kata Gita.
"Nak Ken? Gita banyak cerita loh," kata ibu Gita dengan senyum keibuan yang lembut.
Hari itulah untuk pertama kali Gita dan yang lainnya melihat senyum Bara. Cowok itu tidak tersenyum pada mereka, tapi hanya pada ibu Gita. Setelah hari itu, Bara lebih lunak. Sudah mulai mau bicara. Apalagi kalau dengan Gita.
"Boleh main ke rumah lagi?" tanya Bara.
Gita tersenyum geli dan merangkul tangan Bara. "Jelas dong, rumah gue terbuka buat lo sama semua temen-temen gue"
Bara dekat dengan orangtua Gita, bahkan sudah dianggap anak sendiri sampai Bara memutuskan untuk pindah di samping tempat Gita. Katanya biar bisa menemani ibu masak. Kenneth Aldebaran sudah menjadi lebih baik sekarang. Kepribadiannya tidak terlalu buruk. Bara juga makin akrab dengan teman-teman bengkel sampai akhirnya dia tertarik untuk ikut balapan dan sekarang menjadi hobinya. Bahasa formalnya sedikit demi sedikit sudah berkurang dan dia sudah bisa menyesuaikan diri dengan pergaulan di sekitarnya.
Sampai hari kelam kembali hadir, hari dimana kecelakaat merenggut nyawa ayah dan ibu Gita. Itu juga salah satu hari yang menyedihkan. Hari itu hujan lebat dan Bara harus menerobos hujan dengan Gita untuk datang ke rumah sakit.
Dengan suara yang lemah tidak berdaya ibu berusaha bicara pada Bara. "Ibu titip Gita." Itu kata yang terakhir diucapkan oleh ibu Gita.
Gita makin menangis mengingat kedua orangtuanya. Bagaimana kecewanya mereka kalau tahu dia telah jatuh ke lubang galap yang menyeramkan ini. Dia mengusap wajah berkali-kali. Nasi sudah menjadi bubur, sekarang dia hanya bisa menyesali semua perbuatannya. Jarum suntik yang digunakan secara bergantian itu membawa penyakit mematikan.
Bara menghela nafas. Dia berlutut di depan Gita. Dengan wajah yang memerah karena menangis, Bara mencoba tersenyum. "Nggak apa-apa, gue di sini Git. Nggak ada yang berubah, apa bedanya lo dulu sama sekarang?"
"Jangan gila Ken! gue-" Gita berhenti sejenak, "gue bukan sakit flu, gu-gue nggak mau lo ikut dikucilin. Cukup hidup gue yang hancur."
"Peduli amat sama yang lain," jawab Bara dengan santai. "Apa perlu sekarang juga kita pindah ke pulau yang nggak berpenghuni? Biar nanti cuma ada lo sama gue."
"Ken gue merinding kalo lo romantis gini," kata Gita.
Bara tertawa dan menggenggeam erat tangan Gita. "Nggak akan yang berubah. Lo tetep Gita sahabat gue, semua orang ngejauhin lo? Biarin aja. Lo punya gue, Defan, sama yang lain."
"Mereka masih mau temenan sama gue?"
"Jangan picik Git, kesetiaan kita nggak sekecil yang lo pikir."
Gita tersenyum sambil mengusap pipinya yang kembali basah. "Thanks."
Bara memeluk Gita, mengusap kepala cewek ini. Dia benar-benar merasa tidak berguna, dia gagal menjaga Gita. Bahkan dia juga gagal menjadi sahabat yang baik, di saat Gita benar-benar membutuhkannya, dia justru sibuk dengan dunianya senidri. Padahal Gita memakai narkoba karena kesalahannya. Andai saja waktu itu dia tidak terlambat menjemput Gita.
"Lo nggak jijik sama gue?"
"Harusnya lo yang jijik sama gue," jawab Bara serak. "Gue lupa mandi dari kemaren."
"Jorok banget Ken!!"
Bara tertawa dan terus memeluk Gita. Dalam hati, dia terus mengucapkan kata maaf. Dia tidak bisa menebus kesalahan fatalnya.
"Lo belom jawab pertanyaan gue, Arkan dimana?"
"Kenapa nanya Arkan? lo kemaren nggak mau buka pintu buat dia," tanya Bara.
Gita mengaitkan jarinya. Andai tadi yang muncul adalah suara Arkan, dia tidak akan membukanya. Arkan tahu semuanya. Dia tidak mau dikasihani. Tapi tadi, waktu suara Bara yang muncul, dia jadi penasaran kenapa bukan Arkan. Padahal cowok itu janji untuk datang pagi hari. Makanya dia terpaksa membuka pintu.
"Arkan bilang mau dateng," jawab Gita.
"Arkan masuk rumah sakit Git," kata Bara.
Wajah Gita langsung cemas. "Kenapa?"
"Dehidrasi sedang kata dokter, tapi tadi udah sadar."
Gita menggigit bibirnya sendiri. Cuaca di sini memang sedang ekstrim. Hujannya lebat, angin. Ditambah Arkan ada di luar sampai malam setiap hari. Perjalanan dari sini ke rumahnya juga jaraknya tidak dekat. Pantas cowok itu sakit.
Gita menggenggam tangan Bara. "Anter gue ke rumah sakit Ken!"
"Apa lo boleh keluar dari sini?" tanya Bara.
"Tolong urus, gue mau ketemu Arkan."
Tanpa berpikir Bara langsung menganggukan kepalanya. Sebisa mungkin dia akan menuruti semua permintaan cewek itu. Dia mengusap kepala Gita. "Gue urus izinnya dulu. Lo siap-siap."
🍬🍬🍬
See you in the next chapter 😘😘
Jangan lupa follow ig mereka yaa
@kennethaldebaran
@caramelstarla
@rafansafaraz
@umbrellakirei
@arkanlazuard
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top