BAB 32 - The Winner
Halohaaa malem minggu up lagi hehe
PENGUMUMAN!
Oke jadi TBWAFS ini ada grup line loh. Ada RP dari masing-masing karakter. Ada Kenneth ada Caramel ada sikembar si umbel. Ada yang mau gabung? Koment yaa😉
Jangan lupa follow ig @indahmuladiatin
Happy reading guys! Hope you like this chapter😘😘
🍬🍬🍬
Arena kursi penonton sudah penuh. Caramel duduk di dekat bunda, Chika dan Bella. Hari ini ayah yang sebenarnya malas juga menonton. Ayah duduk di dekat Raka, sedangkan Rafan bergabung dengan teman-teman bengkel. Arkan tidak ikut karena memilih untuk menemani Gita.
"Kenapa gue yang gugup ya?" tanya Caramel.
Chika tertawa dan merangkul Caramel. "Kenapa kamu tidak turun ke sana?"
"Katanya Bara takut aku ganggu," keluh Caramel dengan wajah kesal. Tapi benar juga sih, kalau dia di sana mungkin akan menghambat pekerjaan team Bara.
"Doain dia menang," kata bunda.
"Pasti," kekeh Caramel. Dia menoleh ke arah sekitar. Daddy belum datang juga, padahal Bara pasti senang kalau daddy dan Lyza ikut menonton balapan ini.
"Mencari Daddy?"
Caramel menoleh, dia tersenyum senang dan langsung memeluk daddy. "Kara pikir Daddy nggak dateng."
"Mana mungkin? Daddy memang tidak suka, tapi ini pilihan Ken. Apapun itu Daddy harus mendukungnya," kata daddy tenang dan bijak seperti biasa.
Caramel tersenyum dan menganggukan kepalanya. Dia senang daddy selalu memiliki pemikiran yang terbuka. Sama seperti ayah, saat dia bicara dengan daddy dia seperti sedang bicara dengan ayah. Meski kata bunda dulu ayah dan daddy ini musuh bebuyutan.
Beberapa menit lagi balapan akan dimulai. Para peserta sudah masuk ke arena dan menempati posisi startnya masing-masing, yang ditentukan dari hasil akumulasi sesi latihan bebas pertama hingga ketiga. Bara ada di posisi ke enam, dan katanya itu sudah termasuk bagus untuk yang baru pertama kali ikut ajang balapan ini.
Meski kemungkinan menang itu kecil, tapi tetap saja harapan akan selalu terbuka bagi siapa saja yang berusaha. Karena proses tidak akan mengkhianati hasilnya. Caramel tahu kalau Bara benar-benar serius latihan kemarin.
"Emm itu Ken," kata bunda sambil menangkupkan tangannya.
Caramel ikut tersenyum, dia juga melihat Bara yang sudah siap diposisinya dengan motor dan helm yang menutupi wajah. Jantungnya makin berdetak cepat. "Aduh makin deg-deg kan!"
"Tenang sedikit Kara," kekeh Lyza. Dia menoleh ke Chika yang duduk di sampingnya. "Datang dengan siapa tadi?" tanya Lyza.
"Kaka, tadi dia ke tempatku," jawab Chika.
Lyza diam lalu tersenyum dan menganggukan kepalanya. "Bagaimana rumah barumu?"
"Tidak besar tapi cukup nyaman," jawab Chika. "Kata Kaka kamu sudah pindah ke rumah Daddymu?"
"Iya Kak, Kak Lyza udah baikan sama Daddy," sambung Caramel.
Chika menepuk lembut tangan Lyza. "Aku senang, kamu bisa berdamai dengan hidupmu sendiri. Kaka juga senang, sangat. Aku bisa lihat ekspresinya meskipun minim sekali."
Kali ini Caramel yang tersenyum. Dia melirik abangnya yang sedang bicara dengan ayah dan daddy. Ternyata abangnya ini menceritakan semuanya pada Chika. Padahal dia sangat tahu kalau Raka itu lebih suka menutup diri. Matanya menyipit curiga.
"Bang Raka cerita ke Kakak?" tanya Caramel.
Chika menganggukan kepala. Belum sadar arah pembicaraan Caramel. "Kenapa?"
"Hemm hebat, ngomong aja Bang Raka biasanya males. Oh iyaa Bang Raka cerita sama Kakak dimana?" tanya Caramel dengan senyum meledek.
Bella yang sejak tadi mendengarkan jadi tertawa. Dia juga ikut kepo dengan hubungan Raka dan Chika. Masalahnya Caramel sering cerita kalau dua orang itu sebenarnya cocok tapi mereka seolah tidak sadar perasaan masing-masing. Kalau Raka sih wajar, yang dia tahu selama bersahabat dengan Caramel, Raka itu tidak pernah pacaran. Dekat dengan perempuan saja tidak. Yaa mungkin masa remaja Raka itu seperti Rafan. Tapi jelas, Raka dengan sikap dingin dan kaku yang lebih-lebih dari Rafan.
Wajah Chika merona, dia meringis kecil. "Kenapa kamu tanya itu?"
"Emmm di rumah Kakak yaa?" tanya Caramel.
Bunda menahan senyumnya. "Jangan tanya begitu sayang. Kasian Kak Chika malu."
"Kenapa Nda? kan Kara cuma mau tau," kata Caramel.
"Tanya langsung saja ke Bang Raka," usul Lyza.
Caramel menjentikan jarinya. Ide bagus. Dia langsung pindah duduk di sela ayah dan Raka. Benar-benar merusak obrolan pekerjaan. Wajahnya menatap Raka dengan alis terangkat dan senyum tertahan.
"Kamu kenapa?" tanya Raka.
"Bang Raka sering ke rumah Kak Chika ya?" tanya Caramel langsung.
Raka mengerjapkan mata. "Kenapa tanya itu?"
"Ciyee pertanyaannya sama kaya Kak Chikaa!!" teriaknya.
Raka langsung membekap mulut adiknya ini. Mereka sekarang jadi tontonan karena suara nyaring Caramel. "Suaramu."
Ayah berdeham pelan dan menepuk bahu Raka. "Suruh Chika kembali ke rumah. Daripada timbul fitnah nantinya."
"Nahh iyaa, bener!" kata Caramel.
"Kamu tidak suka Abang tinggal di rumah?" tanya Raka.
Caramel tersenyum dan mencium pipi Raka. "Kara seneng banget Abang tinggal di rumah. Apalagi kalau Abang sama Kak Chika tinggal di rumah."
Raka berdecak kesal dan memalingkan wajah Caramel. "Sudah lihat Ken saja sana!"
Caramel menatap sekitar. Sepertinya sudah akan dimulai. Dia langsung melupakan godaannya ke Raka. Sekarang dia ingin fokus melihat Bara. "Emm nggak keliatan wajahnya aja dia tetep keren."
Raka mendengus geli melihat wajah ayah yang menatap putrinya dengan wajah ngeri dan wajah daddy yang kelihatan bangga. Dia merangkul bahu Caramel. "Diam sedikit."
Balapan sudah dimulai, ketegangan menyelimuti Caramel. Persaingan ketat di bawah sana benar-benar terasa. Semua yang ada di bawah sana sudah berpengalaman. Suara mesin dari masing-masing motor terdengar salip menyalip.
"Ternyata dia memang berbakat," gumam daddy.
Caramel menoleh dan mengangguk dengan antusias. "Dia itu The Angel Dad, duhh Kara heran waktu hamil Bara, Mommy Stella itu ngidam apa sih? kenapa anaknya bisa keren banget?"
"Haha dia mengikuti Daddynya," kekeh daddy.
"Mana mungkin, kalaupun ada sisi keren. Semua milik Stella," sanggah ayah dengan senyum geli.
Caramel memutar bola matanya. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana dulu ayah dan daddy saat bertengkar. Saat sudah tua saja masih begini, hal sederhana selalu diperdebatkan. Padahal ayah itu paling malas untuk berdebat. Tapi kalau dengan daddy, ayah dan daddy sudah seperti adik kakak yang tidak mau mengalah sama sekali.
"Tentu saja dariku," kata daddy.
Raka yang juga sudah terbiasa, hanya melipat tangan dan fokus pada tontonan di arena balap. Daripada melihat dua orang tua yang sedang berdebat tidak jelas. "Abaikan."
Caramel terkekeh geli dan menganggukan kepalanya.
🍬🍬🍬
Bara menggunakan sarung tangannya. Pertandingan sudah akan dimulai. Sebelum keluar dia dan Defan berpelukan. Ini mimpi mereka bersama. Mimpi yang sekarang menjadi kenyataan. "Good luck," katanya sambil menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu.
Defan terkekeh dan mengangguk. "Hasil terbaik buat kita semua!"
"Siap!" kekeh Bara.
Mereka keluar dan menuju motor masing-masing. Bara memastikan helmnya terpakai dengan baik. Jangan sampai ada kesalahan sekecil apapun. Matanya menatap sekitar, beberapa pembalap sudah siap di motornya.
"Itu pendatang barunya," kata orang yang sedang mengurus motor di dekatnya.
"Pembalap jalanan mau main di sirkuit resmi?" tanya orang yang duduk di motor. Itu orang yang menempati posisi start pertama. Memang sudah lama ikut dalam kompetisi ini. Wajahnya kelihatan meremehkan.
"Sadis sombongnya," gumam Defan.
Bara tertawa dan mengangkat bahu dengan santai. "Emang bener, cuma pembalap jalanan."
Beberapa pembalap menatap penasaran team pendatang baru itu. Team yang sedang hangat dibicarakan orang-orang. Karena pesertanya adalah anak SMA yang menyukai balapan jalanan. Belum lagi katanya, pembalap dan para staffnya ganteng-ganteng. Jadilah hari ini penonton didominasi perempuan.
"Jangan dengar mereka, kalian harus fokus," kata bang Aryo.
Bara dan Defan menganggukan kepala. Mereka memang tidak terlalu peduli dengan ucapan orang-orang yang meremehkan. Cara membalas orang yang meremehkan kita adalah menghasilkan prestasi. Dengan begitu, mereka akan bungkam dengan sendirinya.
Para peserta sudah harus berada di posisi startnya masing-masing. Hasil start Bara dan Defan memang tidak terlalu baik. Posisi keenam dan kesepuluh. Tapi setidaknya mereka berhasil mempelajari medan arena ini. Peserta lain mungkin sudah terbiasa, tapi bagi Bara dan Defan sirkuit ini adalah lingkungan baru.
Mesin-mesin berderu, semua sedang memainkan gasnya hingga bendera mulai dikibarkan. Sekumpulan motor besar itu mulai melesat. Bara menatap ke depan fokus. Kecepatan motornya makin bertambah menyalip beberapa orang di depannya.
Balapan ini berlangsung sengit. Semua susul menyusul hingga dengan susah payah Bara bisa menempati posisi ketiga. Dia tetap fokus untuk menyelesaikan balapan yang hanya tersisa beberapa putaran. Di posisi pertama ada orang yang tadi meremehkannya. Jadi orang itu ternyata memang hebat.
Rasanya keringat mengucur deras. Bara menghela nafas, dari sisi kiri dekat tikungan dia mendapatkan celah. Dan sekarang dia tepat berada di belakang orang itu. Tinggal satu putaran lagi. Jarak mereka mulai agak jauh.
Bara menambah kecepatan motornya untuk memperkecil jarak. Orang itu tidak memberi celah sama sekali. Sulit bagi Bara untuk menyalip. Kata bang Aryo, posisi satu dua tiga sudah bagus untuk permulaan. Tidak perlu ngotot dan membahayakan diri sendiri.
Dibelakang terdengar bunyi gesekan kuat. Sepertinya ada yang jatuh, tapi Bara tidak sempat untuk menoleh. Semoga bukan Defan.
Garis finish sudah mulai terlihat. Bara melirik celah sempit di samping kiri itu. Sebenarnya tidak mungkin, tapi bagaimana bisa tahu kalau belum mencoba. Meski dia mungkin keluar arena dan jatuh, setidaknya dia sudah mencoba.
Saat mendekati tikungan Bara mulai menyalip. Mungkin karena kaget Bara yang nekat mengambil celah sempit itu akhirnya orang itu sedikit oleng tapi tidak sampai kehilangan keseimbangan. Suara-suara gemuruh teriakan penonton menemani dua orang yang sedang bersaing ketat itu.
Bara kembali meningkatkan kecepatan motornya hingga si sombong itu ketinggalan cukup jauh. Dan saat melewati garis finish, rasanya benar-benar luar biasa. Dia melepaskan kedua tangannya dan meninju udara. Teriakan dari penonton menyambutnya.
Defan menyusul Bara di belakang. Mereka bertos ria. "Berhasil!"
"Mantap!" kata Defan.
Bara dan Defan kembali ke teman-temannya. Wajah keduanya berkeringat deras, tapi semua terbayarkan. Semua menyambut dengan pelukan dan wajah senang. Akhirnya mimpi mereka semua terwujud. Ini berkat kerja sama team yang baik.
"Selamat," kata bang Satrio.
Bara menganggukan kepalanya. "Makasih Bang."
Di podium tempat pemberian piala, wartawan sudah mengantri. Ternyata Defan mendapat juara ke tiga. Jadi intinya hari ini adalah hari milik team Bara. Team yang sedang hangat dibicarakan dan team yang dianggap remeh para peserta.
"Permisi Bang, saya mau ke atas," kata Bara ke orang yang tadi meremehkannya.
Pandangan sinis didapatkan Bara. Memang dasar tidak ada takutnya, Bara cuma mengangkat alis dan tersenyum hangat. Jujur sekarang dia juga mau mengacungkan jari tengah. Tapi untuk apa mencari keributan.
Bara, Defan, dan orang sombong yang ternyata namanya adalah Justin itu naik ke podium. Para wartawan mulai mewawancarai mereka, khususnya Bara yang mendapatkan juara di turnamen pertamanya.
"Terima kasih," kata Bara sambil menundukan kepala pada semua yang memujinya.
Bara turun dari podium dan mencari Caramel. Tumben cewek itu tidak langsung kemari. "Kemana Starla?"
"Masih di kursi penonton mungkin," jawab Defan.
Bara mengangguk dan langsung memberikan pialanya ke Defan. Dia berlari ke kursi penonton mencari Caramel. Matanya menyipit melihat cewek itu sedang cemberut kesal di dekat ayah dan daddy.
Sepertinya dia tahu alasannya. Pintu-pintu itu sudah dipenuhi orang-orang yang berebut untuk keluar dan bergabung ke sana. Bara langsung memanjat dan melompati pagar penonton untuk menghampiri Caramel.
Orang-orang yang tadi mengantri keluar untuk melihat juara baru hanya bisa bengong melihat tingkah idola baru mereka itu. Terlebih para perempuan yang makin kagum melihat aksi heroik itu. "Huaaa keren banget!"
Caramel masih cemberut dan merengek pada ayah sampai tidak sadar kalau Bara sudah ada di dekatnya. "Ayah Kara mau ke Baraaa."
"Gue di sini," kata Bara.
Caramel menoleh kaget. Dia mengerjapkan mata. "Ehh kenapa bisa di sini?"
Bara mengangkat bahunya. "Lo mau ngapain ke gue?"
Caramel menahan air matanya. Tadi dia sudah menangis karena terlalu senang Bara menang. Dia langsung memeluk Bara tanpa berpikir. Padahal di sini ada keluarganya dan keluarga cowok itu.
"Huaaa gue seneng!! mau langsung ke sana tapi jalanannya ketutup," rengek Caramel.
Bara tersenyum dan mengusap rambut Caramel. "Thanks."
Ayah berdeham sampai Bara akhirnya melepaskan pelukan Caramel.
"Mengganggu saja," kata daddy.
Caramel terkekeh, dia benar-benar senang sekarang sampai ingin berteriak. "Gue bener kan? lo menang."
"Ohh itu pacarnya?"
"Yah udah punya pacar."
"Pacarnya cantik."
Suara-suara itu membuat Caramel kembali cemberut. "Jadi lo sekarang terkenal?"
"Lo ikut terkenal," kekeh Bara.
Bunda tersenyum dan mengusap kepala Bara. "Bunda bangga, pasti Mommymu juga bangga di sana."
Bara menganggukan kepalanya. "Terima kasih Nda." Dia menoleh ke Caramel. "Mau ikut ke sana?"
"Boleh?" tanya Caramel.
Bara mengulurkan tangannya. "Sama gue, biar nggak ada yang halangin."
Caramel menganggukan kepalanya dan menggenggam tangan itu. "Ayoo!"
Tadinya ayah tidak mengizinkan, tapi bunda menahan ayah. Lagi pula di sana ada Bara dan Rafan. Sudah pasti Caramel aman meski di sana sangat ramai.
"Caramel itu sudah besar," kata bunda.
"Dia tetap putri kecilku," kata ayah.
🍬🍬🍬
Caramel diajak bergabung dengan teman-teman lainnya yang sedang berpesta. Di sini sangat ramai. Ada wartawan, ada anggota team lain yang sedang mengucapkan selamat. Rafan juga sedang asik bicara dengan teman-teman bengkelnya.
Tangan Caramel masih digenggam oleh Bara yang sekarang sedang diajak bicara beberapa orang. Dia ingin bergabung dengan yang lain, tapi tangannya tidak bisa lepas. "Gue ke sana bentar."
"Nggak, lo sama gue," bisik Bara.
Caramel tersenyum dan mengacak rambut Bara. "Bentar, gue mau ke Defan. Kan belum ngucapin selamat."
Bara berpikir sebentar. "Oke sama gue," katanya sambil menarik Caramel ke Defan.
"Defan selamat," kata Caramel.
Defan menganggukan kepalanya. "Thanks Ra, si Bella mana?"
"Masih di sana, nggak bisa keluar," jawab Caramel.
Defan tertawa, iya penonton memang sangat banyak. Ini di luar dugaannya. Antusias yang luar biasa. Mungkin ini pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan.
"Ada wawancara nanti," kata bang Aryo pada Bara dan Defan.
Bara menghela nafas dan mengusap tengkuknya. Wawancara lagi. Dia risih kalau harus bersikap formal di depan camera. Belum terbiasa dengan semuanya.
"Kabur aja," kata Defan.
"Sembarangan! ini untuk team kita berikutnya," kata bang Aryo.
Sebelum persiapan untuk wawancara, Bara dan yang lain berkumpul dulu. Caramel ikut menyimak apa yang dibahas bang Aryo meski dia tidak mengerti sama sekali. Dia duduk di samping Bara dan memainkan jari cowok itu.
"Bosen," keluhnya.
Bara tersenyum kecil dan memberikan ponselnya ke cewek itu. "Tunggu bentar, abis ini kita makan."
"Emm traktiran yaa?" kekeh Caramel.
Bara menganggukan kepala. "Terserah mau dimana."
"Siap," kekeh Caramel.
Setelah beberapa arahan sudah diberikan baru Bara, Defan dan bang Aryo melakukan wawancara dengan beberapa wartawan. Konferensi pers seperti artis-artis, kata Caramel. Di belakang, Roni dan yang lain tertawa geli melihat wajah kaku ketiganya.
"Woy," panggil Bella.
Caramel menoleh dan melambaikan tangan. "Udah bisa keluar?"
"Baru bisa, fans membludak," kekeh Bella. "Mana Defan sama Kak Bara?"
"Lagi wawancara," jawab Caramel sambil menunjuk ke sana.
Bella berdecak kagum dan geleng-geleng kepala. "Keren!"
Caramel dan Bella pergi ke tempat team Bara yang lainnya berkumpul. Mereka memilih menunggu di temoat itu saja biar nanti tidak berdesakan dengan penonton lain. Mereka bertemu Rafan yang sedang ngobrol dengan cewek berambut kuncir kuda itu.
"Itu siapa?" tanya Bella.
Caramel menggelengkan kepalanya. "Nggak tau," jawabnya sambil menghampiri abangnya itu.
"Bang," panggil Caramel.
"Nggak ke sana?" tanya Rafan.
"Nggak, nunggu di sini aja. Ini siapa? kayanya baru liat," tanya Caramel langsung.
Cewek itu tersenyum dan mengulurkan tangan. "Jingga," jawabnya.
"Temen les Abang," jawab Rafan. "Kenalin adek gue, ini Caramel ini Bella."
"Dua-duanya adek lo?" tanya Jingga.
Rafan menganggukan kepala. "Iya."
"Ohh seneng ketemu kalian," sapa Jingga.
Caramel membalas senyumnya. Dia melirik Bella yang ikut tersenyum dan masih kelihatan santai. "Kalian nggak sengaja ketemu?"
"Iya aku nonton Kakakku, sayangnya tahun ini nggak dapet juara. Temen Rafan itu jago," kata Jingga.
"Pastinya Kak Bara sama Defan emang sering menang," jawab Bella semangat.
"Emm iya keren banget tadi Defan, lo liat ada orang yang mau jatohin dia eh malah tu orang yang jatoh," cerita Caramel tadi. Persaingan memperebutkan juara tiga lebih sadis. Senggol bacok ibaratnya. Defan hampir jatuh tapi cowok itu berhasil lolos.
Bella mengangguk setuju. Dia saja tadi ikut gemetar. "Untung bukan Defan yang jatoh."
"Sadis-sadis," kata Caramel.
Sekarang jadi Rafan yang dicuekin tiga orang ini. Padahal tadi sedang membahas materi yang kemarin dibahas karena dia bolos untuk lihat balapan. "Udah sana kalian ganggu!"
"Loh kita ganggu?" tanya Caramel.
Jingga tertawa. "Nanti biar gue kirimin materinya, gue ngobrol sama mereka dulu yaa."
Bella tertawa geli. "Ngobrol sama Bang Rafan nggak menarik ya?"
"Apa lo bilang?" tanya Rafan sengit.
"Hah gue emang bilang apaan tadi?" tanya Bella.
Mata Rafan kelihatan tajam dan menyeramkan. Kalau sudah begini, ujung-ujungnya Bella akan memilih kabur dengan Caramel. Daripada kena damprat. Sepertinya memang obrolan dua orang itu penting.
Caramel menatap jam tangannya. "Eh Ayah sama Bunda udah balik?"
"Katanya sih Bunda mau ke sini dulu," jawab Bella.
"Masih kejebak di luar kali yaa?"
"Siapa yang kejebak di luar?" tanya om Satrio yang menghampiri mereka dengan dua gelas es teh yang kelihatan sangat segar untuk siang yang panas ini.
"Bunda Om, katanya mau ke sini," jawab Caramel sambil menerima es teh itu.
"Orang tuamu ikut?"
"Iyaa lengkap, Ayah Bunda Abang, tapi Bang Arkan nggak," jawab Caramel.
Om Satrio duduk di sampin Caramel. "Harap maklum kalau sekarang Gita begitu, emosinya labil karena obat itu. Untuk berhenti juga bukan hal yang mudah meski harus."
"Iyaa bener, pernah baca sih ciri-ciri yang kecanduan itu gitu," kata Bella.
"Kalian jangan dekati barang haram itu. Sekali kalian mendekat, tidak ada jaminan kalian akan keluar dari lingkaran hitam itu dengan selamat," kata om Satrio.
Caramel menganggukan kepalanya. "Kara juga nggak mau bunuh diri perlahan."
"Bagus."
"Om Rio cocok jadi motivator," kata Bella.
Om Satrio hanya tertawa mendengar itu. "Om hanya belajar dari pengalaman hidup."
"Caramel," panggil bunda.
Caramel menoleh, bersamaan dengan om Satrio dan Bella. "Nah itu Bunda."
Bunda langsung mematung, wajahnya tiba-tiba pucat. Putih pasi. Matanya terbelalak menatap orang yang duduk di samping putrinya. Ekspresi itu sama seperti saat daddy melihat om Satrio.
Om Satrio masih kelihatan tenang. Dia bangkit dan menghampiri bunda yang masih mematung. "Apa kabar Kak Fian?"
Caramel dan Bella saling tatap dengan wajah bingung.
"Satrio?" gumam bunda.
Om Satrio mengusap matanya yang basah. "Yaa." Sepertinya om Satrio memang sudah menunggu kedatangan bunda.
"Bunda kenal Om Rio?"
Bunda buru-buru menarik tangan Caramel untuk melindungi putrinya. Karena emosi yang berada di puncak, bunda menampar keras pipi om Satrio. "Kenapa kamu muncul dihadapan kami? berani kamu mendekati putriku?"
Semua kaget melihat reaksi bunda. Chika langsung menahan bunda agar emosinya mereda. "Sabar Nda."
Rafan langsung mendekati keributan di dekatnya itu. Dia juga kaget karena ternyata bunda yang membuat keributan. "Ada apa?"
Caramel menggeleng dengan wajah bingung. Dia juga masih kaget dengam reaksi bunda. "Nda tenang."
Bunda menangkup wajah Caramel dan memeriksa putrinya, takut ada luka atau apapun itu. "Kamu enggak apa-apa?"
"Kara baik-baik aja Nda."
"Saya tidak ada niat untuk menyakiti Kara dan anak-anak Kakak," kata om Satrio.
"Siapa yang tahu? kamu tega membunuh Kinan, siapa yang akan menjamin kamu tidak akan melukai anak-anakku?" tanya bunda lantang.
Caramel melebarkan matanya. Kinan. Rafan juga sama kagetnya sekarang. Mereka tahu kisah meninggalnya tante Kinan, tapi tidak lebih dari itu. Ayah tidak pernah mau memberitahu siapa nama orang yang membunuh tante Kinan.
"Om Rio?" gumam Caramel.
"Maaf, Bundamu benar. Kamu dan Rafan adalah keponakan Om," jawab om Satrio sambil menundukan kepala.
Caramel membekap mulutnya sendiri. Dia menggeleng pelan, dari cerita tante Kinan dia jadi penasaran siapa pria yang bisa sejahat itu menganiaya istri sendiri. Tidak pernah ada pemikiran sedikitpun kalau itu adalah om Satrio. Orang baik yang masa lalunya menyeramkan. Meski sudah dengar masa lalu Om Satrio yang membunuh istrinya sendiri tetap saja tidak ada pikiran sampai ke sana.
Om Satrio menjatuhkan lututnya ke lantai. Kepalanya tertunduk dalam di depan bunda. "Maafkan saya Kak, saya benar-benar menyesal."
Bunda menangis, mengingat semua kesedihan ayah saat menceritakan kepergian adik kesayangannya. "Apa salah Kinan?"
Caramel jadi ikut menangis karena melihat bunda. Dia mengusap bahu bunda. "Ndaa."
"Apa salah Kinan sampai kamu harus siksa dia? dia bersikeras untuk tetap menikah dengan kamu meski Karel melarang dia. Dia menentang kakak yang paling dia patuhi untuk orang seperti kamu!"
Rafan mengusap bahu bunda. Di sini ada banyak orang dan dia tidak ingin bunda menjadi tontonan. "Ndaa tenang."
"Saya menyesal, jika waktu bisa diputar. Saya ingin Kinan kembali, saya juga ingin dia ada di sini. Saya ingin membuat dia bahagia," kata om Satrio. "Tapi saya tidak bisa merubah masalalu. Kinan tetap pergi, dan saya disini dengan penyesalan yang menumpuk."
Bunda mengusap air mata. "Caramel Rafan ayo kita pulang."
"Tolong maafkan saya," kata om Satrio.
"Minta maaf pada Karel, kamu sudah membunuh adik yang sangat dia sayangi," kata bunda.
Caramel menatap om Satrio dengan pandangan kecewa. Dia benar-benar percaya dan kagum pada orang ini. Tapi semua hancur dalam hitungan detik. Apa perlakuan baik om Satrio padanya selama ini cuma untuk menebus kesalahan. Atau justru ada niatan buruk.
Caramel menghela nafas panjang dan mengusap pipinya yang basah. "Mbel, gue balik duluan. Titip salam buat Bara sama yang lain."
Bunda berjalan diapit Caramel dan Rafan. Sebelum tiba di mobil, bunda menghentikan langkahnya dan mengusap kepala kudua anaknya. "Tolong jangan dekati orang itu. Ayah kalian tidak akan suka."
"Iya Nda," jawab Caramel.
"Jangan bicarakan masalah tadi, Bunda takut Ayahmu kalap nantinya," kata bunda lagi.
Caramel tersenyum dan menganggukan kepalanya. "Iyaa, Bunda jangan nangis dong. Biar nggak ketauan."
Bunda terkekeh dan mengusap air matanya. "Janji pada bunda, kalian tidak boleh ke bengkel itu lagi."
Rafan mengangguk sambil tersenyum. Apapun akan dia lakukan untuk bunda. Walaupun sebenarnya di bengkel itu dia bisa menyalurkan hobinya. Tapi yang terpenting adalah membuat bunda bahagia.
"Kenapa kalian lama sekali?" tanya Raka.
"Maaf tadi aku ke toilet, di sana sangat antri," potong Chika.
Raka mengerutkan kening dan menganggukan kepalanya. "Mata Bunda sembab?"
Caramel kadang kesal karena mata Raka itu sangat jeli. Apalagi mata ayah. Pasti ayah dan Raka sekarang sedang curiga. Susah untuk berbohong pada dua orang itu.
"Bunda terharu, Ken di sana lagi wawancara Bang," jawab Rafan.
Bunda tersenyum dan masuk ke dalam mobil. Tangannya merangkul tangan ayah. "Sayang, malam ini kita makan malam di rumah yaa. Undang Gavyn dan anak-anaknya. Kita syukuran kecil-kecilan untuk Kenneth."
"Ide bagus," kata Rafan.
Ayah tersenyum dan mengusap kepala bunda. "Terserah kamu saja."
🍬🍬🍬
See you in the next chapter 😘😘😍
Jangan lupa follow ig mereka yaa
@kennethaldebaran
@caramelstarla
@rafansafaraz
@umbrellakirei
@arkanlazuard
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top