BAB 29 - In Hospital
Halolaaaa kali ini update nggak ngaret wkwk malem minggu sesuai jadwal
Mohon maaf komentar2 yang belum sempet aku bales. Nanti aku balesin yaaa 😘
Disini ada yang suka buat cover? bisa lah buat cover cerita ini. Tema simple/manip/minimalis juga boleh. Asal nuansa darknya dapet hehe biar sesuai. Kalau tertarik bisa dm aku ya 😉
Jangan lupa follow ig @indahmuladiatin
Happy reading guys! Hope you like this chapter 😘😍
🍬🍬🍬
Caramel mengangkat telepon dari Bunda. Pasti bunda sekarang sudah menyiapkan kata-kata panjang untuk marah. Wajar, dia tadi belum sempat izin pulang terlambar. "Iyaaa Bundaku cantik."
"Ya yaa pujian kamu enggak akan buat Bunda luluh," jawab bunda.
Caramel tertawa geli. "Maaf yaa Nda, Kara pulang telat. Bang Rafan sama Bang Arkan juga ada sama Kara."
"Loh? tumben, kalian dimana?" tanya bunda.
"Di rumah sakit Nda," jawab Caramel.
"Hah? siapa yang sakit? kamu ya? kamu kenapa lagi? keserempet? jatoh ke selokan? dipukulin orang? Karaaa Bunda kan udah sering bilang kamu itu kalau jalan matanya juga dipake! sekarang bilang sama Bunda dimana rumah sakitnya?"
"Ndaa-"
"Kamu harusnya ngabarin Bunda daritadi. Lukamu parah nggak? ada yang bahaya? gegar otak? patah tulang?" tanya bunda yang langsung memotong ucapan Caramel.
Caramel mencibir pelan dan menunggu ocehan bunda selesai. Biarin, nanti kalau capek bicara juga bunda akan diam dan mengatur nafas. "Udah Ndaa? gantian yaa Kara yang ngomong. Kara baik-baik aja Nda, kita di sini nemenin Bara."
"Apaa? kenapa Kenneth masuk rumah sakit? kamu apain dia?" tanya bunda.
Bella yang mendengar obrolan itu cuma tertawa geli sambil memegang perutnya. Benar sih, Caramel ini kadang-kadang jadi ancaman. Waktu itu Arkan juga pernah masuk ke rumah sakit gara-gara menolong Caramel yang berjalan di tengah jalan karena mau menangkap kucing liar.
Caramel melotot kesal dan mencubit tangan Bella. "Kara cakar saking gemesnya," jawabnya asal.
"Nahh kan sadis banget sih! kasian Kenneth, kenapa dia mau sama kamu," kata bunda.
"Ndaaaa," rengek Caramel.
Di seberang sana, tawa bunda terdengar. "Di rumah sakit mana? biar Bunda datang ke sana sama Ayah."
Caramel langsung menyebutkan nama rumah sakit besar itu beserta nomer kamar ruangan rawat Bara. Senangnya bunda ke sini. Pasti nanti bunda bawa banyak makanan. Perutnya sudah lapar dari tadi.
"Ayo Mbel," ajaknya. Tadi dia dan Bella memang sedang keluar. Mereka membeli beberapa makanan untuk yang lain karena tadi memang semua belum sempat makan.
Mata Caramel langsung bersinar melihat Bara duduk dengan baju pasien yang mirip dengan piyama tidur. Cowok itu benar-benar kelihatan cute. Apalagi sekarang Bara sedang tertawa sambil ngobrol dengan teman-temannya.
"Ra tutup tuh mulut lo! takut ileran," kata Bella geli.
Caramel tersenyum dan menangkupkan tangannya di depan dada. "Ganteng banget sih! cowoknya siapa coba??"
"Cowoknya Kak Raya," jawab Bella polos.
Senyum Caramel langsung hilang. Dia berdecak kesal dan mengangguk tidak ikhlas. "Yaa bener, cowoknya Kak Raya."
"Bunda sama Ayah mau dateng," kata Caramel setelah menghampiri Bara.
"Si Ken dijenguk calon mertua," kekeh Roni.
Defan menggeleng takjub dan menepuk-nepuk pelan bahu Bara. "Hebat! lampu ijo!"
Caramel cuma mendengus kecil dan duduk di antara Rafan dan Arkan. Dia cuma menjadi pendengar yang baik sampai akhirnya dia menguap. Karena semalam kurang tidur dan tadi bangun di pagi buta, dia jadi ngantuk sekarang. Belum lagi tenaganya terkuras tadi. Kepalanya bersandar di bahu Arkan.
Jari Arkan mendorong kepala Caramel. "Enak aja nyender-nyender! berat."
Caramel cemberut kesal dan bersandar di Rafan. Kalau Rafan sih sudah pasti terima saja. Abangnya ini diam-diam punya jiwa seperti Raka. Baik banget. Sayang kadang kalau sedang kumat jailnya yaa pasti sama seperti Arkan. Yah namanya juga kembar.
Bara tersenyum geli dan berdiri dari tempat tidur. "Tidur di sono!" katanya sambil menepuk pelan pipi Caramel.
Caramel kembali membuka mata. "Lo?"
"Gue nggak ngantuk," jawab Bara.
Caramel mencibir pelan, kalau tidak ngantuk kenapa tadi tidur. Dia rebahan di tempat tidur pasien. Yaa lumayan, daripada benda ini kehilangan fungsi. Toh daritadi si Bara cuma mendudukinya.
Bara duduk di kursi dekat Caramel dan kembali ngobrol dengan yang lainnya. Sesekali dia menepuk-nepuk pelan punggung tangan Caramel. Itu cara yang dia gunakan dulu waktu menemani cewek ini di rumah sakit.
Bella duduk di samping Defan dan membicarakan tentang tantenya yang dulu dia jadikan umpan agar si Defan ini mau bicara dimana tempat Bara kerja. Sesekali dia tertawa geli mendengar lelucon Defan. Kadang dia heran kenapa cowok ini masih jomblo padahal dikelilingi banyak perempuan.
"Jangan lo modusin si Bella," kata Thomas.
"Iri aja, gue bebas dong," jawab Defan.
Bara mendengarkan pembicaraan sambil bertopang dagu. Jujur, matanya juga sudah berat. Semalaman dia tidak bisa tidur. Apalagi kemarin adalah salah satu hari bersejarah di hidupnya. Rasanya memejamkan mata saja susah.
"Oke kita ditinggal tidur sama ni orang," keluh Roni yang tadi bicara panjang lebar tapi pas mau bertanya pada Bara malah cowok ini sudah tidur.
Thomas merangkul bahu Roni. "Yaudah ayo balik, si Ken mau istirahat."
Benar, mereka mengangguk setuju. Defan mengambil ponsel di tasnya dan meletakan ponsel itu di nakas dekat tempat tidur. Itu ponsel Bara yang memang jarang sekali dibawa.
"Defan, gue nebeng," kata Bella.
Defan melirik Rafan yang seperti tidak peduli dan masih memainkan ponsel. "Ayoo, tumben nggak minta anter si Rafan?" ledeknya dengan cengirang jail.
Kalau di bengkel dan pulang malam yaa mau tidak mau Bella pasti minta antar si Rafan. Kalau dengan Rafan mamanya sudah kenal lama. Pokoknya seluruh keluarga Caramel memang dekat dengan keluarganya. Jadi kalau pulang dengan Defan atau yang lainnya nanti bisa ditanya habis-habisan, ribet.
"Kan sekalian, lagian nanti Bunda mau ke sini," jawab Bella.
"Fan nggak apa-apa kan?" tanya Defan.
Rafan mengerutkan keningnya. "Lo mau balik sama dia?" tanyanya ke Bella.
Bella menganggukan kepalanya.
"Yaudah, nggak perlu izin gue. Gue bukan bokapnya," jawab Rafan dengan santai. "Jangan lo apa-apain, ntar nyokapnya ngamuk ke gue."
"Uuuuuuh," ledek anak-anak.
Di ruangan ini yang tinggal adalah Caramel, Bara, Rafan dan Arkan. Karena Caramel dan Bara tidur, Arkan bisa bertanya pada saudara kembarnya itu tentang Gita. Pertanyaan yang sejak tadi dia tahan karena banyak orang.
"Gue boleh nemuin Gita?" tanya Arkan.
Rafan menghela nafas panjang. Sebagai abang dan saudara kembar Arkan, dia mungkin adalah orang yang paling mengerti Arkan. Dia tahu kali ini Arkan tidak main-main. Arkan itu tidak pernah peduli dengan pacar-pacarnya. Mau sakit, mau marah, mau apapun itu.
"Sekarang Gita bener-bener susah ditemuin, gue aja jarang. Tapi mungkin dia mau ketemu lo, toh lo sama dia sempet akrab kan?" tanya Rafan.
Arkan menganggukan kepalanya. Iya, beberapa hari di Bali. Cuma sebentar, tapi dia suka bicara dengan Gita. "Kirimin alamatnya."
"Kapan lo ke sono?"
"Besok," jawab Arkan.
Rafan tersenyum dan menepuk bahu Arkan. "Nanti gue kasih."
Bunda dan ayah datang setengah jam kemudian. Mereka datang dengan Raka dan Lyza. Bunda menghampiri Caramel dan Bara. "Siapa yang sakit ini?" tanya bunda karena yang tidur di tempat tidur pasien justru putrinya.
Ayah menghampiri dua putranya yang duduk di sofa. Mata hitam tajamnya menelusuri dua wajah kembar putranya yang lebam-lebam. "Ada masalah apa?"
"Kalian tidak membuat masalah kan?" tanya Raka di belakang ayah.
Rafan dan Arkan memutar bola mata. Oke mereka memang sering membuat keributan. "Ada yang mau mengeroyok Ken," jawab Rafan jujur. Kalau ayah sudah bertanya begini, dia tidak bisa bohong.
Ayah menghela nafas panjang dan duduk di seberang kedua putranya. Tidak ada pertanyaan yang lebih lanjut, karena ayah percaya pada semua anaknya. Mereka tidak akan berbuat sesuatu tanpa berpikir. Yaa kecuali Arkan, yang memang suka sekali membuat keributan. Tapi, sekarang Arkan juga sudah sedikit membaik. Terbukti, surat panggilan dari sekolah berkurang.
"Luka kalian sudah diobati?" tanya ayah.
"Sudah Yah," jawab Arkan.
Ayah tersenyum tipis dan mengangguk. Disamping, Raka duduk sambil menatap Caramel yang sedang tertidur pulas. Dari sini, terlihat Caramel juga ikut dalam pertempuran. Meskipun lukanya tidak terlalu kelihatan seperti dua adiknya yang lain. Yah tidak heran, Caramel meskipun punya wajah semanis itu, tapi kalau sudah marah pasti menyeramkan.
"Kenapa dia sampai babak belur begitu?" tanya Lyza cemas.
Bunda mengusap lengan Lyza. "Tenang sayang, dia pasti baik-baik saja."
Sambil menunggu Caramel dan Bara bangun, bunda mengintrogasi dua putranya. Rafan dan Arkan jelas menjawab seadanya. Tapi, tentang Gita mereka belum berani bicara jujur. Meskipun mereka yakin, ayah dan bunda tidak akan melarang untuk tetap berteman dengan Gita.
"Tapi kenapa si Beni itu balas dendam? pasti ada sebabnya kan?" tanya Lyza dengan wajah memaksa.
Rafan diam, Arkan juga diam. Cuma Bara yang berhak menceritakan masalah Gita. "Tanya sama Ken langsung," kata Rafan.
Caramel mengerjapkan matanya. Suara-suara yang disekitar, tidak asing. Matanya terbuka meski masih lumayan berat. Buram, dia lihat ayah sedang bicara dengan tiga abangnya dan bunda sedang bicara dengan Lyza. Dia bergumam kecil dan meregangkan tangannya.
"Loh kenapa Bara tidur di kursi?" tanyanya bodoh.
Bunda langsung menghampiri anak perempuannya itu dan melayangkan satu cubitan. "Terus dia mau tidur di tempat tidur juga gitu? lagian kamu ini, yang sakit itu Ken."
Caramel cemberut kesal dan melipat tangannya. Baru bangun sudah kena damprat bunda. "Orang Bara yang nyuruh Kara tidur di sini, salahin dia dong Nda."
"Kalian mengganggu dia tidur," kata ayah singkat.
"Sepertinya dia kelelahan," gumam Raka.
"Jelas, dia itu abis ngadepin banyak orang," jawab Arkan.
Caramel tersenyum sambil menatap wajah tenang Bara. Rambut cowok itu sudah mulai memanjang. Beberapa ada yang menutupi kening. Ternyata dia sudah cukup lama kenal dengan Bara. Padahal rasanya baru sebentar.
Bulu mata panjang dan lentik itu tergerak, Bara bergumam kecil tapi matanya tidak terbuka. Caramel terkekeh geli dan menoleh pada bunda yang juga tersenyum sambil menatap Bara. "Ndaa, Mommy Stella waktu itu ngidam apa sih?"
"Hemm kamu sangat menyukai adikku?" kekeh Lyza.
"Dia ini suka sama Kenneth dari kecil, waktu itu dia suka lihat mata Ken," cerita bunda dengan kekehannya.
Lyza menatap takjub Caramel. "Wahh luar biasa."
🍬🍬🍬
Suara-suara di sekitar Bara membuatnya membuka mata. Dia terdiam sebentar untuk mengumpulkan tenaga. Gila, rasanya seluruh badannya sakit seperti habis digebuki orang satu RT. Untuk mengangkat badan saja susah.
Bara cuma mengerang kecil untuk sedikit menggeser lengannya. "Nda?" panggilnya.
Bunda yang tadi sedang ngobrol dengan Lyza dan Caramel langsung menoleh. Senyum, menghiasi wajah cantik bunda. "Ken tidak apa?"
Bara tersenyum kecik dan menggeleng pelan. Dia menghela nafas panjang. "Kapan Bunda datang?"
"Belum lama," jawab bunda.
Caramel langsung turun dari tempat tidur. "Lo pindah gih, nanti gue diomelin lagi sama Bunda."
Bara bangun perlahan, perasaan tadi tidak terlalu sakit begini. Lyza dan Caramel langsung membantu melihat cowok itu sedikit kesusahan. "Sakit banget ya?" tanya Caramel cemas.
Bara menggeleng. "Cuma kaku," jawabnya bohong. Kalau tidak begitu, Caramel akan cemas, dan cewek itu ribut sekali kalau cemas.
Lyza mengusap kepala Bara. Wajahnya prihatin, sebegitu menyeramkan kehidupan adiknya ini. Dari cerita Rafan dan Arkan, sepertinya itu hal yang biasa. Tentu, lalau tidak biasa mungkin sekarang adiknya ini tidak bisa bangun dari tempat tidur.
"Aku tidak apa Lyza," kata Bara.
"Apanya yang tidak apa?" tanya Lyza kesal.
Bunda tersenyum. "Sepertinya kalian butuh waktu untuk bicara."
Bara membalas senyum bunda. Iya benar, ternyata bunda sangat paham. Dia harus membahas tentang daddy dengan Lyza. Semua harus selesai dengan baik, hubungan daddy dan Lyza juga harus diperbaiki.
"Ayo kita cari makanan untuk anak-anak," ajak ayah.
Bunda tersenyum dan menggandeng lengan ayah. "Aku ingin beli buah-buahan juga sayang."
Raka juga mengajak adik-adiknya untuk keluar termasuk Caramel yang daritadi masih duduk di dekat Bara.
"Gue mau ngomong sama Lyza bentar," kata Bara ke Caramel.
Caramel mengangguk dan ikut dengan Raka keluar ruangan. Dia juga tidak mau menggangu Bara bicara. Apalagi ini tentang daddy.
Bara menghela nafas panjang dan terdiam sebentar. Sebenarnya dia juga sedang berpikir. Iya berpikir tentang apa yang harus dia bicarakan di awal. Jarang bicara dengan Lyza membuatnya agak kaku.
"Kata Bunda kau sudah berdamai dengan Daddy," ucap Lyza.
Bara menganggukan kepalanya. "Yaa kami berdamai."
"Bagaimana mungkin?" tanya Lyza dengan wajah sedih. "Kau bisa memaafkan Daddy begitu saja?"
"Lyza semua ada diluar batas pikiran kita," kata Bara. "Aku minta maaf karena memang alasan kenapa kau dikirim ke London itu adalah aku."
Lyza diam, dia hanya menunggu penjelasan selanjutnya dari Bara.
"Kau pernah menyalahkan aku karena Mom meninggal, orang-orang di sana juga banyak yang menyalahkan aku. Tapi di sini semua juga kacau, banyak pembicaraan tidak enak tentang aku. Daddy ingin menolongku, Daddy tidak mau aku mendengar kata-kata itu, sayangnya memindahkan aku bukan berarti kata-kata itu hilang," kata Bara panjang.
"Lyza, ada banyak orang yang mengatakan itu, tapi aku tidak peduli. Kau tahu kenapa?" tanya Bara yang tidak butuh jawaban. "Karena mereka bukan apa-apa untukku. Pukulan terberat itu saat kau yang menyalahkan aku, kau orang yang paling aku sayangi, kau orang yang paling aku percaya Lyza. Saat kata-kata itu keluar dari mulutmu aku langsung beranggapan kalau daddy pasti punya pemikiran yang sama denganmu," kata Bara lagi. Akhirnya dia bisa bicara selancar ini meski awalnya sangat kaku.
"Aku menyesal," lirih Lyza. "Tapi Daddy yang menganggapku berpikir begitu."
"Daddy tidak pernah bicara kalau aku yang menyebabkan Mom meninggal kan?" tanya Bara.
"Yaa tapi Daddy memberitahu dengan tindakannya yang membuang kita!" jawab Lyza.
"Sudah kubilang Daddy hanya tidak mau aku mendengar semua," kata Bara masih dengan nada sabar.
"Bisa saja itu hanya alasan agar kita kembali padanya," kata Lyza kekeh.
Bara tersenyum dan melipat tangannya. "Percaya dengan instingku? aku yakin Daddy tidak berbohong."
"Kenapa aku harus percaya dengan instingmu itu?" tanya Lyza.
Bara mengangkat bahunya. "Aku selalu percaya dengan instingku. Lagipula aku yakin Daddy bukan orang yang berbohong untuk mendapatkan simpati."
"Aku tidak yakin Ken," gumam Lyza.
Bara tersenyum dan meraih tangan Lyza. Dia menggenggam tangan kakaknya itu. "Lyza, kau yang bisa mengingat bagaimana kasih sayang Daddy. Harusnya kau lebih mengenal Daddy daripada aku yang tidak mengingat apapun."
Lyza meneteskan air matanya. Tangisnya menderas, mengingat setiap detail kenangan yang tersisa dengan daddy. Singkat, tapi itu adalah memori indah meski menyakitkan. Daddy, pria yang selalu menjadi idolanya sejak dulu.
"Aku yakin Mom juga ingin kita kembali pada Daddy," kata Bara lagi. Dia memeluk Lyza dan menepuk-nepuk pelan bahu kakaknya agar tenang. "Maafkan Daddy Lyza, untuk Mommy."
Malam ini Bara ditemani banyak orang. Di sampingnya ada bunda dan Caramel yang sedang asik merapikan buah-buahan di nakas. Di sofa ada keluarga Caramel yang memang belum pulang. Katanya mereka akan pulang nanti setelah jam besuk habis. Dan untuk nanti yang tetap di sini adalah Rafan.
"Kenapa Daddy belum kemari? padahal ada Lyza," tanya Caramel.
"Sibuk mungkin," kata bunda.
"Nggak Nda, tadi Daddy di bengkel ngobrol sama Om Rio," bantah Caramel.
Bunda mengerutkan keningnya. "Om Rio?"
"Bang Rio pemilik bengkel tempat Ken kerja Nda," jawab Bara.
Bunda membulatkan mulutnya. Senyum hangatnya kembali terukir dengan indah. Bunda mengupas buah apel dan mengirisnya untuk Bara. Buah itu diletakan di piring kecil dengan motif bunga yang baru bunda beli tadi.
Caramel langsung mencomot potongan apel itu dengan mata berbinar. Dia sudah siap membuka mulut, tapi tangannya tiba-tiba dipukul Bara.
"Enak aja! Bunda motongin buat gue," kata Bara dengan wajah menyebalkan.
"Minta satu!" kata Caramel cemberut.
Bara menggelengkan kepalanya. "Nggak! lo kan nggak sakit, sana kupas sendiri."
Caramel mendelik kesal. Bibirnya terkatup dengan suara rahang yang bergemelutuk. Dalam kondisi sakit begini saja, Bara berhasil membuatnya naik darah. Dia langsung menjambak rambut Bara. "Dasar pelit!!!" jeritnya.
"Ehh ampun! sakit Starla!" kata Bara sambil berusaha melepaskan diri. Karena sakit ruang geraknya terbatasi, dia jadi susah melepaskan tangan Caramel dari rambutnya.
Rafan mengibaskan tangannya. "Mereka udah biasa ribut," kata Rafan pada orang-orang yang menatap kaget Caramel dan Bara.
Ayah menggelengkan kepala. Anak perempuannya ini benar-benar barbar sama seperti istrinya. Entah kenapa sikap itu bisa menurun ke Caramel.
Daddy datang setelah keributan antara Caramel dan Bara selesai. Bara tersenyum sambil melihat ekspresi Lyza. Dia menunggu apa yang akan kakaknya itu lakukan.
Lyza mendekat pada daddy. Matanya kembali basah.
"Maafkan Daddy," kata daddy.
Lyza terisak kecil dan langsung memeluk daddy. Satu hal yang sejak dulu sekali ingin dia lakukan. Kembali memeluk daddy, dan menangis di pelukan pria terhebat ini. "Lyza yang harus minta maaf. Harusnya Lyza selalu ingat pesan Daddy untuk jadi anak yang baik."
"Lyza putri Daddy yang terbaik," kata daddy sambil mengusap kepala Lyza.
"Lyza membuat Daddy hampir kehilangan Kenneth, maaf Daddy."
Daddy menggelengkan kepalanya. "Bukan salah Lyza," daddy melepaskan pelukannya dan menangkup wajah Lyza. "Maaf bertahun-tahun Daddy tidak ada di samping Lyza dan membantu untuk mengusap air mata Lyza."
Caramel mengusap airmatanya. Dia memasang wajah pura-pura cool. Masa menonton begini saja dia nangis. Dia membuang muka dan menatap Bara yang sedang menatapnya geli. "Apa?" bisiknya.
"Lo nangis?" tanya Bara sambil menahan tawanya.
"Nggak, gue kelilipan debu," jawab Caramel.
Bara mengangkat satu alisnya. Dia menangkup wajah Caramel. "Mana debunya?" tanyanya pura-pura bodoh.
Di tatap sedekat itu jelas membuat wajah Caramel langsung bersemu merah. Ini terlalu dekat, sampai dia bisa melihat jelas urat wajah putih Bara. Dia mengerjapkan matanya.
Bunda berdeham pelan pada dua orang itu.
Bara menoleh dan tersenyum kecil. Dia melepaskan tangannya dari wajah Caramel yang masih memerah. "Dia kelilipan Nda."
"Anak muda," kekeh bunda.
Obrolan-obrolan seru memenuhi ruangan rawat ini. Caramel memilih duduk di samping ayah dan bermanja-manja di sana. Dia makan cake yang ada di piring ayah. "Oh iya tadi Daddy ngomongin apa sama Om Rio?"
Daddy terbatuk kecil. "Yaa? emm biasa masalah bisnis."
"Om Rio itu siapa?" tanya Lyza yang duduk di samping daddy.
"Pemilik bengkel tempat si Ken kerja," jawab Rafan. Di sampingnya, Arkan lebih banyak diam. Biasanya kalau lihat Caramel sedang manja pada ayah maka jailnya akan kumat.
"Terus kenapa tadi Daddy langsung narik Kara?" tanya Caramel lagi. Dia masih bingung kenapa tadi ekspresi daddy begitu. "Daddy pernah ketemu Om Rio?"
Daddy diam sebentar dan menggelengkan kepalanya. "Awalnya Daddy pikir begitu, tapi ternyata salah."
Caramel membulatkan mulutnya. Dia bertopang dagu. "Kara pikir gara-gara rumornya Om Rio yang nyeremin," kekehnya. "Tapi Om Rio baik."
"Kamu akrab dengan Om Rio itu?" tanya ayah.
Caramel mengangguk dengan antusias. Dia mengayunkan lengan ayah. "Om Rio itu baik banget Yah! ramah sama Kara, setiap main ke bengkel pasti Om Rio neraktir Kara makan. Terus nih yaa di sana ada anak-anak kaya Bara yang Om Rio tolong."
"Oh ya?" tanya ayah.
Daddy cuma bisa diam mendengarkan semua cerita baik dari mulut Caramel tentang Satrio. Bagaimana tanggapan anak itu nanti kalau tahu siapa Satrio sebenarnya. Apa Caramel akan tetap menganggap orang itu baik.
"Iyaa Yah, kata Defan buat mereka semua Om Rio itu penolong. Kalau nggak ada Om Rio, dia bakal jadi sampah masyarakat," kata Caramel.
Ayah mengusap kepala Caramel. "Kapan-kapan ajak Ayah bertemu dengan dia."
Caramel menatap antusias. "Wah serius Yah?"
"Untuk apa?" tanya Rafan.
"Untuk berterima kasih, tanpa disadari dia sudah mengajarkan pada kalian tentang bagaimana hidup untuk berguna bagi kehidupan orang lain. Bicara itu mudah, mempraktikannya yang sulit. Dia mengajarkan kalian tanpa bicara," kata ayah.
"Bener juga. Oke kapan-kapan kita ke sana," kata Caramel semangat.
"Memang benar begitu?" tanya bunda ke Bara. Masalahnya Caramel itu memang sering heboh kalau menceritakan sesuatu.
Bara terkekeh dan menganggukan kepalanya. "Bang Rio memang baik, dia sudah seperti Ayah untuk Ken dan yang lain."
Daddy menghela nafas panjang. "Sudahlah, jangan membahasnya lagi." Daddy mendekat ke Bara. "Bagaimana keadaanmu?"
"Baik, besok pagi mungkin ada pemeriksaan," kata Bara.
"Dengan kondisi begini kau tidak akan bisa sekolah lebih dari satu minggu," kata Lyza.
Caramel mengerutkan keningnya. Dia langsung menoleh ke ayah yang sedang memperhatikan ponsel. Wajahnya dibuat memelas. "Ayah badan Kara sakit. Kara nggak usah sekolah yaa?"
"Hahh pura-pura dia, bilang aja mau sama Ken," kata bunda dari jauh.
Ayah mendengus dan menyubit pipi Caramel. Anaknya ini memang luar biasa. "Kalau ingin jenguk pulang sekolah."
Caramel cemberut kesal dan bersedekap. "Iya deh."
Sebelum pulang bunda mencium pipi Rafan. "Besok pagi biar Bunda ke sini bawa seragam kamu."
"Iya Nda hati-hati," kata Rafan.
"Jagain yang bener yaa Bang," kata Caramel dengan alis terangkat. Dia mendekati Bara. "Mau salam nggak buat Kak Raya?"
"Boleh, salamin. Bilang ke dia, Bara sayang," kata Bara.
"Cih males lah," kata Caramel sambil berlalu pergi menyusul ayah dan bundanya.
Bara tertawa geli melihat tingkat cewek itu. Dia tidak pernah bosan membuat Caramel kesal. Apalagi kalau pipinya menggembung lucu.
"Hari ini aku pulang ke rumah Daddy," kata Lyza.
Bara mengangguk. "Hati-hati."
"Cepat sembuh! aku ingin kita sarapan bertiga di rumah," kata Lyza lagi.
"Yaa benar," tambah daddy.
Bara tersenyum dan menganggukan kepalanya. Sepertinya setelah ini dia akan sering ke rumah daddy. Dia tidak bisa meninggalkan rumahnya yang sekarang. Terlebih ada Gita yang sangat membutuhkannya. Bicara soal Gita, dia sudah tidak berkunjung ke sana beberapa hari. Bagaimana kondisi cewek itu. Dan bagaimana hasil tes kesehatannya.
"Fan tolong telepon panti," kata Bara.
Rafan langsung mengerti dan menelepon panti tempat Gita tinggal sementara. "Nih."
"Malem Bu Ayu," sapa Bara.
"Malam Nak, tumben enggak datang ke sini?"
Bara tersenyum dan melilit jarinya dengan selimut. "Lagi sibuk sekolah Bu. Gimana kabar Gita?"
Hening di seberang, cukup lama, sampai dehaman dari ibu Ayu terdengar. "Sejak kemarin tidak mau keluar kamar, makan pun di dalam kamar. Ibu tidak tahu kenapa, mungkin kalau Nak Ken yang bujuk, Nak Gita mau."
"Oh ya? begini Bu, saya nggak bisa datang dulu. Tapi saya usahakan secepatnya datang, Ibu tolong bujuk Gita dulu ya? saya percaya Ibu," kata Bara.
Ibu Ayu menghela nafas berat. "Yaa, Ibu usahakan."
"Baik, terima kasih banyak Bu, maaf mengganggu malam-malam," kata Bara sebelum memutuskan sambungan.
"Kenapa?" tanya Rafan penasaran.
Bara meletakan ponselnya ke nakas. Dia memijat kening, kenapa lagi Gita sekarang. Kemarin, Gita sudah mulai lunak. "Gita nggak mau keluar kamar."
Rafan ikut diam. "Ken, si Arkan mau ke sono besok."
"Arkan?" tanya Bara bingung.
Rafan mengangguk. "Sorry, tapi kayanya Arkan suka sama Gita."
"Suka? Arkan bukannya suka gonta ganti pacar?" tanya Bara lagi.
Rafan mengangguk tanpa ragu. Itu memang salah satu kelakuan buruk dari saudara kembarnya. Pernah dia dilabrak banyak perempuan karena dikira dia itu Arkan. Wajar, mereka memang kembar identik. Orang yang setiap hari bertemu saja banyak yang susah membedakan.
"Kalo dia main-main sama Gita gue pasti maju duluan, tapi sekarang si Arkan beda," kata Rafan.
"Oke, gue percaya. Besok bilang sama Arkan, gu minta tolong buat bujuk Gita," kata Bara.
Rafan mengangkat jempolnya. "Sipp."
🍬🍬🍬
See you in the next chapter 😘😘😘
Oh iya di sini ada yang udah peluk NADW versi cetak? Kalo udah foto bukunya yukk terus bikin review/ quotes favorit kalian di novel NADW dan upload di instagram kalian. Jangan lupa tag aku yaa siapa tau bisa aku repost hehe😘😘😘 Thank you guys
Kenneth Aldebaran Soller 😍😍
Caramel Starla Rajendra
Jangan lupa follow ig mereka yaa
@kennethaldebaran
@caramelstarla
@rafansafaraz
@umbrellakirei
@arkanlazuard
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top