BAB 28 - Commotion
Halohaaa
Indah balik dengan update Bara sama Strala. Ada yang kangen mereka?? Hehe maaf kemarin aku nonton final bola jadi nggak sempet nulis. Plakk😂😂 I like super simic 😍😍
Fyi aku dari jaman dulu emang dicekokin bola terus sampe kaki banyak bekas luka gara-gara main bola. Maklum, temen dulu banyak cowoknya. Hayoo disini siapa yang suka bolanya musiman?wkwk nggak apa-apa sih. Asal kalau cinta sama orang jangan musiman juga yaa*ehh
Langsung aja deh jangan lupa follow ig : @indahmuladiatin
Happy reading guys! hope you like this chapter 😉😘😘
🍬🍬🍬
Caramel dan teman-temannya berjalan di antara orang-orang yang rata-rata wajahnya kelihatan senang dan lelah. Iyaa jam pulang selalu didominasi dengan wajah itu. Ada sih yang kelihatan sedih, tapi itu hanya sebagian. Bisalah dihitung dengan jari. Memangnya belum puas berada di sekolah selama tujuh sampai delapan jam setiap harinya. Kalau Caramel sih bosan.
"Liburan jadiin nggak nih?" tanya Bimo.
Bella mengisap jempolnya yang katanya tadi berdarah gara-gara tertusuk jarum pentul yang ada di tas. Katanya lagi, si Bella itu tidak tahu siapa yang menaruh benda tajam berbahaya itu. Tapi, Caramel yakin pelakunya pasti yaa si Bella sendiri. Terlalu lama bersahabat sifat mereka itu bagai pinang dibelah dua.
"Jadiin," kata Bella.
"Sipp deh," kata Kevin senang.
Langkah mereka terhenti karena tiba-tiba bel kembali berbunyi. Caramel langsung berdecak kesal. Ini pasti ada tauran lagi. Dia menoleh ke Deni yang mengerutkan kening. "Masalah apalagi?"
"Kagak tau," jawab Deni.
Caramel berdecak kesal dan langsung berlari ke depan disusul teman-temannya. Pintu gerbang utama sudah ditutup rapat, otomatis pintu samping dan belakang juga sudah ditutup dan guru juga sudah siaga di setiap pintu. Itu sudah tidak asing bagi sekolah ini. Entah tradisi jelek itu dimulai dari siapa.
"Gue mau ke depan Ra, ntar kalo gue liat Bang Arkan gue bilangin," kata Deni sambil mengikat kencang tali sepatunya.
Gerombolan Deni semua mengikuti pemimpinnya. Mereka kelihatan sangat senang. Dasar, tidak ada bedanya dengan Arkan.
"Terus kita ngapain?" tanya Bella.
"Ke kelas Bang Rafan!" kata Caramel sebelum berlari. Abangnya itu pasti tau dimana Arkan sekarang.
Di kelas dua belas IPA satu masih ada banyak murid yang tertahan. Ada yang sibuk melihat pertempuran di depan sekolah dari jendela. Ada yang tidak peduli sama sekali dan memelih untuk mendengarkan musik dengan headphone. Caramel mencari ke satu ruangan.
"Nyari siapa Ra?" tanya Bayu.
Caramel mengerjapkan mata. Iya Bayu ada di kelas ini juga. Dia sampai tidak sadar karena kemarin-kemarin terlalu sibuk membujuk Bara. "Bang Rafan mana?"
"Rafan sama Bara ada di sana," kata Bayu sambil menunjuk jendela.
"Ada di jendela?" tanya Caramel bodoh.
Bayu memutar bola matanya. "Di sana, di bawah."
"Kak Bara sama Bang Rafan ikut tauran?" tanya Bella kaget. Masalahnya yang dia tahu Rafan itu tidak tertarik ikut ajang tarung bebas itu. Selain bikin capek, itu juga tidak ada gunanya. Kalau mau jadi petinju langsung saja daftar. Kalau tauran, dapat uang tidak, bonyok iya. Itu juga kalau sedang beruntung, kalau lagi apes bisa-bisa berujung di rumah sakit.
"Iya tadi Arkan ke sini terus mereka bertiga turun," kata Bayu.
Caramel mengerutkan keningnya. Dia langsung mendekati jendela dan melihat ke bawah. Tumben taurannya tidak terlalu ramai. "Aneh nggak sih?"
"Aneh banget," kata Bella.
"Apa yang aneh? mereka biasa begitu kan? kecuali Rafan," kata Bayu cuek.
Caramel menghela nafas kesal dan memicingkan mata. Dia bertolak pinggang di depan Bayu. "Kayanya waktu itu lo sendiri yang bilang jangan gampang nilai orang."
"Aku nilai dari apa yang aku liat bukan dari apa yang aku denger dari orang-orang," jawab Bayu.
Caramel tersenyum geli dan melangkah maju. Matanya menantang mata Bayu. "Oh yaa? pernah liat Bara marah sama mukulin orang tanpa alesan?"
Bella berdecak kesal dan langsung menarik tangan Caramel. "Nggak usah diladenin!" katanya sambil mengajak sohibnya itu keluar. Sekarang ini Bayu sedang cemburu, jadi sudah pasti logikanya tidak jalan sebagus biasanya. Lagian tidak penting menghadapi si Bayu.
"Gue penasaran di depan gerombolan sekolah mana sampe Bara sama Bang Rafan turun tangan," kata Caramel sambil menggigit jempolnya. Wajahnya sudah panik. Ini bukan takut tiga cowok itu babak belur. Dia yakin kemampuan bela diri tiga orang itu tidak diragukan. Masalahnya adalah bagaimana kalau nanti mereka kena hukuman. Sudah kelas tiga, lebih baik menghindari hukuman.
Bella melihat satpam yang siaga di depan gerbang utama. Dia melirik Caramel yang masih kelihatan panik. "Ck ayo keluar!"
"Hah? gimana caranya?" tanya Caramel.
"Lewat tembok belakang toilet," kata Bella yang buru-buru berlari ke toilet perempuan.
Caramel ikut menyusul Bella. Benar, di sana ada tembok tinggi. Agak susah tapi karena ada pohon beringin jadi lumayan terbantu. Wah ternyata diam-diam Bella tahu dimana tempat strategis untuk kabur dari sekolah.
Di toilet Caramel dan Bella saling membantu untuk naik ke jendela atas toilet. "Badan lo berat amat sih!" protes Bella yang membantu Caramel naik.
"Berisik!" kata Caramel.
Setelah berhasil Caramel mengulurkan tangannya dan menarik Bella. Dasar, padahal sama-sama berat. "Narik apasih gue."
"Narik gajah!" omel Bella cemberut.
Bella menatap ngeri tanah di bawah pohon. Iyaa pohon ini lumayan tinggi. Kalau jatuh pasti luka. Dia tidak pernah suka panjat memanjat. Ini gara-gara kasihan pada Caramel saja. Ehh tidak juga, dia juga penasaran siapa musuh di depan.
"Gimana turunnya?" tanya Bella.
Caramel mendengus geli dan mulai merangkak turun. Gerakannya lincah berpindah dari satu dahan ke dahan yang lain. Dia harus berterima kasih pada abang kembarnya yang dulu sering mengajaknya memanjat pohon mangga setiap di rumah oma.
"Ikutin cara gue tadi!" perintah Caramel dari bawah.
Bella keringat dingin. Sial sahabatnya itu. Dia memang punya kakak laki-laki tapi selama ini dia tidak pernah mau diajak main manjat memanjat. Takut dikira monyet. "Raa tangan gue gemeteran," kata Bella panik.
Caramel meringis kecil, dia jadi kasian. "Yaudah lo loncat aja nanti gue tangkep."
"Kuat?" tanya Bella.
"Mudah-mudahan," ringis Caramel.
Bella melotot kesal dan melempar ranting kecil ke Caramel. Dia sudah mau menangis sekarang. Tahu begitu dia lebih baik tidak ikut dan membantu doa saja dari dalam. Dia memejamkan mata dan menarik nafas dalam. "Tangkep gue Ra! kalau gue jatoh lo gue kubur!"
"Ck iyaa udah lo loncat aja!" kata Caramel tidak sabar. Keburu taurannya selesai.
Bella kembali mengatur nafas dan memejamkan matanya. Bibirnya merapalkan doa apapun. Doa mau makan, doa mau tidur, doa ke kamar mandi. Biar, yang penting doa. "Gue loncat yaa?" tanyanya sebelum loncat.
Brukkk. Tubuh Bella di tangkap dengan pas. Bella sampai mengambil nafas lega. Untung Caramel kuat.
"Dasar bego! ngapain merem?" tanya suara cowok.
Bella membuka matanya dan mengerjapkan mata. "Bang Rafan?"
Rafan berdecak kesal. Dua orang bodoh ini memang benar-benar. Untung tadi dia lihat dan sempat berlari ke sini. Kalau tidak sudah dipastikan dua cewek ini luka-luka.
"Kenapa Bang Rafan yang nangkep?" tanya Bella.
"Caramel mana kuat nangkep lo," kata Rafan cuek. "Ngapain keluar?" tanya Rafan ke Caramel yang masih kaget waktu tiba-tiba Rafan datang.
Caramel langsung menggenggam erat tangan Rafan. "Kenapa Abang sama Bara ikut tauran?"
Rafan menghela nafas dan menoleh ke arah pertempuran yang ramai itu. "Ini masalah personal, nggak ada sangkut pautnya sama sekolah."
"Maksudnya?" tanya Caramel bingung.
"Beni pacarnya Gita mau ngeroyok Ken," jawab Rafan. Tadi sebelum bel sekolah ada insiden di depan, dimana ada gerombolan sekolah lain yang tiba-tiba menghajar salah satu satpam sekolah ini karena tidak menjawab dimana Bara. Itu yang menyulut tauran. Padahal niatnya cuma mau menghajar Bara tapi karena perlakuan brutal itu menarik perhatian gerombolan Arkan jadilah begini.
"Kenapa dia mau ngeroyok Bara?" tanya Caramel.
"Panjang ceritanya, kamu tanya sama dia aja nanti," kata Rafan. Dia menggenggam kedua bahu Caramel. "Sekarang kamu masuk ke sekolah, nanti kalau udah selesai baru kamu boleh keluar."
Caramel menepis lengan Rafan. Enak aja masuk lagi. Selain susah, dia juga mau membantu Bara. Bagaimana kalau nanti Bara luka. Kadang kekuatan orang yang kalap itu menyeramkan. Apalagi kata Rafan si Beni itu mau balas dendam. Ingat si Beni yang kasar pada Gita saja dia merinding. "Kara mau ke sana."
"Kamu gila?" tanya Rafan. "Ck Ra Abang nggak bisa lama-lama!"
"Pokoknya Kara mau ke sana!" kata Caramel kekeh.
"Mereka bawa senjata!" bentak Rafan.
Mata Caramel langsung melebar, pantas sejak tadi wajah Rafan kelihatan khawatir dan terus melihat ke sana. Dia juga belum pernah mendapat bentakan dari Rafan seperti sekarang. Seberapa genting keadaan di sana. Kepalanya menoleh ke arah gerbang depan dekat tikungan. Di sana ada Bara dan Arkan, belum lagi Rafan mau kembali bergabung. Mana bisa dia bertopang dagu di dalam kelas.
"Maaf Bang," kata Caramel pelan sebelum berlari pergi ke area depan sekolah.
"Kara!!" panggil Rafan.
Caramel masuk ke area pertempuran, dia mencari Bara di kumpulan orang-orang yang sibuk itu. Kemana Bara dan Arkan, kenapa tidak ada di sini. Dia justru bertemu dengan Deni yang sedang asik memukuli orang. Matanya melebar melihat ada satu orang yang datang dari arah belakang mau memukul Deni dengan balok kayu.
"Awas!" kata Caramel sambil menendang cowok pemegang balok kayu itu.
"Loh Raa? lo ngapain?" tanya Deni kaget dan bingung.
Caramel mengibaskan tangannya. "Dimana Bang Arkan sama Bara?"
Deni menunjuk ke area tikungan. "Lo mau ke sono?"
Caramel langsung mengangguk cepat. Dia mau melihat langsung kondisi dua orang itu.
"Woy!! coverin si Kara!" perintah Deni ke sekumpulan orang yang Caramel tidak tahu dari kelas berapa.
Orang-orang itu langsung menutup jalan sampai Caramel bisa leluasa berlari ke dekat tikungan tanpa gangguan dari gerombolan anak SMA lain itu. "Thanks Den!"
"Sipp thanks juga tadi," kata Deni yang sudah kembali sibuk dengan mangsanya.
Caramel membekap mulutnya sendiri melihat Bara dan Arkan dikepung banyak orang begitu. Tangannya terkepal keras, dua orang itu sudah babak belur meskipun musuhnya juga tidak kalah babak belur. Dia melepaskan dasinya dan melilitnya di telapak tangan. Kalau begini dia juga mau turun tangan. Tidak peduli senjata apa yang orang-orang itu simpan. Berani mengusik orang-orang yang dia sayangi itu berarti nantang. Dan kalau ada yang menantangnya secara terang-terangan mana mungkin dia bisa diam.
"Kara?" panggil Arkan kaget.
Bara yang awalnya sedang melawan langsung menoleh sampai terkena pukulan. "Shit!" dia langsung menghajar dua orang yang tadi menyerangnya. Dua kali pukulan dan tendangan, dua orang itu terkapar. Selesai dengan dua orang itu, Bara langsung menghampiri Caramel.
"Lo ngapain?"
"Fokus aja sama musuh lo," kata Caramel yang maju dengan wajah memerah marah. Wajah Bara lebih parah dari Arkan, berarti mereka semua memang cuma menargetkan Bara. Tidak tahu apa salah cowok ini. Tapi, apapun salahnya kenapa harus main keroyokan. Dasar banci. Banci saja berani maju sendiri.
Caramel memukuli orang yang tadi terkapar tapi kembali bangun. Karena baru bergabung, dari segi tenaga dia unggul meskipun dia perempuan. Lagipula orang-orang ini juga sepertinya sudah mulai kelelahan. Meskipun banyak tapi mereka menghadapi dua orang yang sudah ahli dalam bidang pertengkaran.
Bara menggeleng pelan dan kembali fokus menghajar orang itu. Sembari menepis semua serangan-serangan brutal yang menuju padanya dia tetap terus mengawasi Caramel, takut tiba-tiba ada yang memukul cewek itu dari belakang. Dia kembali menangkis pukulan tongkat besi yang mengarah ke kepalanya. Jangan tanya sakit tangannya bagaimana sekarang.
"Wah masih bisa nahan," kata Beni dengan tawa geli. Menyeramkan karena wajah orang itu juga dipenuhi luka-luka.
"Dasar psiko!" kata Bara sambil menghajar orang itu. Dia bingung kenapa si Beni ini masih bisa bangun meskipun sudah dihajar habis.
Rafan juga langsung ikut bergabung. Dia memilih untuk membantu Bara yang sekarang sudah kembali dikelilingi orang, karena melarang Caramel akan percuma. Arkan masih kelihatan aman.
"Lindungin Starla!" suruh Bara.
"Lo yakin?" tanya Rafan. Masalahnya mereka benar-benar bebel. Tidak tahu si Beni itu bayar berapa sampai orang-orang ini meskipun sudah bonyok tetap ngotot menghabisi Bara.
Bara tidak menjawab karena dia kembali sibuk dengan para musuhnya. Kalau ada Rafan di dekat Caramel, dia bisa sedikit tenang. Rafan tidak mungkin membiarkan Caramel terkena pukulan. Sengaja, Bara mundur sedikit demi sedikit agar orang-orang itu juga mengikutinya. Sampai jarak antara dia dan Caramel lumayan jauh barulah dia kembali fokus menyerang setelah daritadi cuma menangkis.
Caramel menahan tongkat besi yang hampir mengenai kepalanya. "Dasar banci kaleng mulut rombeng! lawan cewek aja lo pake tongkat besi. Ke pasar sono beli kutang selusin!" ocehnya.
Rafan cuma geleng-geleng kepala dan menghajar orang yang berniat memukul Caramel tadi. "Sialan lo! buat dia luka, lo gue abisin!"
Caramel menoleh ke Bara. "Abang bantu Bara aja sana!"
"Tadi Abang di sana disuruh ke sini terus sekarang Abang ke sini kamu suruh ke sana," keluh Rafan.
"Abang!!" rengek Caramel. Dia sudah mau menangis sekarang. Orang-orang itu benar-benar sadis. Sudah pasti mereka akan dapat hukuman yang setimpal nanti kalau polisi datang.
"Ck iya Abang ke sana. Jaga diri!" kata Rafan sebelum pergi ke Bara.
Caramel menoleh sebentar dan kembali ke dua orang di depannya. Matanya memicing seram dan menarik kerah cowok yang tadi sudah tumbang karena tendangannya. "Untung gue kalem, kalo nggak gue abisin lo sekarang!" desisnya sebelum menonjok wajah cowok yang sudah bonyok itu.
Dua musuhnya sudah tumbang. Yaa karena fokus mereka pada Bara jadi setiap bangun, mereka akan langsung ke Bara dengan senjata seadanya.
"Gila!" keluh Arkan yang nafas yang tidak teratur. "Olahraga siang gue mantep banget!"
Caramel mendengus geli. Abangnya ini sudah berhasil menumbangkan lawan. "Ayo ke sana!" ajaknya untuk bergabung dengan Bara dan Rafan.
"Pahlawan dateng bro.. tenang posisi barat udah aman," kata Arkan dengan senyum senang meskipun wajahnya babak belur.
"Jangan terlalu seneng-seneng," kata Rafan mengingatkan.
Bara mendengus geli meskipun masih fokus pada musuhnya. "Jangan sampe luka!" katanya yang jelas ditujukan pada Caramel.
Caramel tersenyum miring dan memukuli orang yang tadi dia lihat memukul Bara dengan balok kayu. Kalau dia tega sudah pasti dia membalas orang ini dengan pukulan balok kayu tapi dia tidak sejahat itu. Lagian ngapain harus pakai senjata kalau tangan kosong masih bisa.
Karena sudah ada empat orang jadilah mereka semakin mudah menjatuhkan lawan. Bara menoleh ke Caramel dan langsung menarik cewek itu lalu merangkulnya karena tiba-tiba si Beni itu bangun lagi dan mau memukul Caramel dengan balok kayu.
Jadilah punggung Bara yang terkena balok itu. Untung bukan bagian kepala. Kalau sampai kena, sudah dipastikan dia akan gegar otak. Ini saja sakitnya luar biasa. Bara memejamkan mata sebentar untuk menahan sakit.
"Bara lo nggak apa-apa?" tanya Caramel.
Bara meringis kecil dan menggeleng pelan. Dia melepaskan rangkulan Caramel dan langsung menuju Beni yang sedang dihajar oleh Rafan. "Biar gue yang selesain."
Bara meraih kerah seragam Beni. "Harusnya gue yang marah."
Beni yang mukanya sudah tidak jelas itu tertawa geli. "Apa yang gue lakuin? gue cuma bales dendam karena lo ngehajar gue!"
Bara menggeram kesal dan menonjok wajah Beni. "Bangsat! lo mau rusak lo mau mati terserah! asal jangan bawa Gita!" bentaknya.
"Rusak sono sendiri! kenapa harus bawa Gita!!" bentak Bara.
Beni menoleh ke kiri dan meludah karena mulutnya berdarah. "Kalo gue mau bawa Gita kenapa?"
"Lo nggak tau ngadepin siapa, lo pikir gue takut buat bunuh lo sekarang?" desis Bara dengan mata menyeramkan.
Rafan, Arkan, dan Caramel saja merinding. Ucapan itu bukan cuma ancaman. Bara serius, kalau tidak dicegah si Beni itu mungkin akan benar-benar mati. Dan Caramel tidak mau kalau Bara jadi pembunuh dan masuk penjara. Masa depan Bara masih panjang.
Caramel langsung mendekati Bara. "Bara, lepasin dia."
"Jangan ikut campur La," kata Bara masih menatap tajam Beni.
Bara mendekat dan membisikan sesuatu. "Deketin Gita lagi kalo lo berani."
Beni diam, dan Caramel yakin kalau si Beni itu pasti ketakutan.
"Tapi inget, siapin kain kafan lo sebelum deketin Gita," bisik Bara lagi.
Oke kali ini Caramel benar-benar yakin karena sekarang kaki si Beni itu gemeteran. Kalau dia jadi Beni mungkin dia sudah pipis di celana saking takutnya. Caramel langsung menahan tangan Bara.
Bara tersenyum miring dan mendorong Beni sampai jatuh. "Lo nggak apa-apa?" tanyanya ke Caramel.
Caramel tersenyum dan menggelengkan kepala. Sebenarnya yang harus ditanya kenapa-kenapa itu Bara. Entah sudah berapa kali badannya itu terkena balok kayu dan tongkat besi. Kenapa Bara masih kelihatan biasa saja. Dia sendiri cuma mendapat beberapa pukulan dan tadi tangannya terkena pukulan balok kayu.
"Kayanya lo harus ke rumah sakit," kata Caramel sambil menahan darah yang menetes di kening Bara.
"Robek kayanya," kata Arkan.
Bara mengusap pelan keningnya. "Oh pantes perih."
"Dasar gila," gumam Rafan. Luka begitu cuma dibilang perih. Kadang dia heran, sohibnya ini pakai ilmu kebal apa.
Dari ujung Bella berlari dengan penggorengan dan spatula. Tidak tahu orang itu dapat darimana. Caramel tertawa geli. "Gilaa senjata lo cupu amat!"
Bella mengatur nafasnya dan mendelik kesal lalu mengetuk kepala Caramel dengan spatula. Tidak kencang sih tapi lumayan sakit. "Gara-gara lo lari nih! gue jadi nekat pinjem punya Bang Maman."
"Bang Maman?" tanya Arkan.
"Tukang gorengan depan halte," jawab Caramel sambil mengusap kepalanya.
"Cupu-cupu gini gue berhasil jatohin lawan tau!" kata Bella bangga.
Arkan berdecak kagum dan merangkul bahu Bella. "Tumben pinter."
"Ngok, sini lo gue hajar juga Bang!" damprat Bella.
"Udah sekarang obatin luka-luka kalian," kata Rafan.
Bara masih menahan darah yang keluar. Kalau begini, lukanya memang harus dijahit. "Ada klinik nggak deket sini?"
"Ada di ujung," jawab Arkan.
"Anter gue Kan," kata Bara. Masalahnya seluruh badannya sakit. Dia tidak sanggup untuk membawa motor sendiri.
"Sipp gue ngambil motor dulu," kata Arkan sebelum berlari ke sekolah.
Bara menoleh ke Caramel dan mengusap pipi cewek itu yang lebam. "Lo obatin dulu luka lo. Gue pergi bentar."
Caramel menganggukan kepala. "Tenang aja, lagian luka gue nggak serius."
Caramel, Bella dan Rafan pergi ke UKS sekolah. Mereka mengobati luka masing-masing kecuali Bella tentu saja. Bella membantu Caramel mengobati luka-luka ringan itu.
Rafan melepas seragam untuk mengecek punggungnya yang tadi juga terkena pukulan. Gila, kena dua kali saja rasanya sakit sekali. Dia mungkin sudah tidak bisa bangun kalau jadi Bara.
"Huaa Bang Rafan ngapain buka baju?" tanya Bella heboh.
Rafan cuma mendengus geli dan menatap memar dari pantulan kaca. Lebam yang begini hilangnya pasti cukup lama.
"Bang memarnya parah," kata Caramel cemas.
Rafan menghela nafas panjang. "Ra jangan ceritain sama Bunda."
"Iyaa," jawab Caramel.
Bella melihat memar itu dengan wajah ngeri. Dia suka main game bertengkar. Tapi kalau aslinya sih ogah. Jadi kalau melihat luka-luka begitu dia merasa ngeri. "Gue ambil kompresan dulu deh."
Caramel menatap Rafan. "Sebenernya apa masalahnya? kenapa tadi Bara bilang ngerusak Kak Gita?"
Rafan diam, ini masalah yang sensitif untuk dibicarakan di sekolah. Ada banyak telinga di sini. Kata orang, dinding juga bisa mendengar. "Gita jadi pecandu."
"Apa?" tanya Caramel kaget. Jadi yang direhabilitasi itu Gita.
"Beni buat Gita begitu dan kamu tau kan Gita udah dianggep saudara sama Ken. Wajar kalau sekarang dia marah banget," gumam Rafan.
Caramel mengepalkan tangannya. Kalau tau begitu kenapa tadi dia mencegah Bara. Harusnya biar saja si Beni itu mati. Benar, kalau mau rusak silahkan rusak sendiri. Asal jangan merusak orang lain.
"Aku nggak tau ada banyak kejadian yang aku lewatin," gumamnya. Waktu tahu Gita begitu, Bara pasti sedih. Sudah banyak masalah yang Bara alami dan sekarang masalah Gita.
Rafan tersenyum dan menepuk-nepuk bahu Caramel. "Sekarang yang penting masalah udah selesai. Bunda udah ketemu sama Ken, dia juga udah baikan sama Om Gavyn. Masalah Gita juga udah hampir selesai, kita doain aja Gita bisa lepas dari barang itu."
"Kara kasian sama Bara," kata Caramel.
"Dia bisa nyelesein masalahnya, buktinya sampe sekarang dia masih bertahan kan?" tanya Rafan.
Bella datang dengan satu baskom air dan handuk kecil. Untung UKS sekolah ini cukup lengkap fasilitasnya. Dia mengerutkan kening. "Pada ngomongin apa sih? serius amat."
"Kepo," kekeh Caramel.
Bella membantu Caramel membersihkan luka. "Lo tuh yaa bisa nggak sih pikir-pikir dulu? kalau tadi lo sampe kenapa-kenapa gimana?"
"Gue nggak bakal kenapa-kenapa," kata Caramel dengan yakin.
"Yakin amat," cibir Bella.
"Yakin dong, Abang-abang gue sama Bara nggak bakal biarin," jawab Caramel bangga. Dia tersenyum dan mengambil waslap itu. "Tolong kompresin luka Bang Rafan."
Bella langsung mengangguk dan menghampiri Rafan yang kesusahan mengompres lebamnya. "Kenapa sih pada hobi banget berantem?" omelnya sambil merebuh waslap itu dari tangan Rafan.
"Gue sih nggak hobi, mereka aja yang hobi ngajak ribut," kata Caramel.
Bella mendengus kesal dan menekan keras punggung Rafan.
"Woy lo niat nggak?!" ringis Rafan.
"Ehh maaf Bang nggak sengaja," kata Bella.
🍬🍬🍬
"Lo yakin nggak mau ke rumah sakit?" tanya Arkan setelah kening Bara selesai dijahit.
Bara mendengus kecil dan mengangkat bahunya. "Bawa istirahat juga sakitnya ilang."
Arkan menggeleng pelan. Iya dia juga paling malas ke rumah sakit. Kalau masih bisa ditahan yaa dia tahan. "Yaudah ayo," katanya sambil menyalakan motor. Mereka kembali ke sekolah.
Sekolah sudah mulai sepi. Siswa yang ikut turun pasti sekarang sedang berkumpul di ruang guru. Mungkin siswa sekolah Beni sudah membawa teman-temannya pergi. Tidak tahu pakai apa menyeret orang-orang yang sudah roboh itu. Bara menepuk bahu Arkan.
"Lo ke UKS duluan, gue ke ruang guru dulu," kata Bara. Ini karena dia, jadi mana mungkin dia menghindar dan teman-temannya harus terkena masalah.
Bara masuk ke ruang guru yang mengangguk hormat. Selama ini dia tidak pernah berniat membuat masalah di sekolah. Masalahnya di luar sudah sangat banyak. Dia langsung menghadap guru yang sedang berdiri di depan deretan teman-temannya.
"Siang Bu," kata Bara.
"Kamu anak baru itu kan?" tanya Bu Oyoh yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Bara. "Ohh kamu mau jadi jagoan baru sekolah ini?"
"Maaf Bu, itu bukan tauran. Mereka tadi mau mengeroyok saya," kata Bara jujur.
"Apa salahmu? kamu menantang sekolah mereka?" tanya bu Oyoh dengan wajah tegas.
Bara menggelengkan kepalanya. "Masalah personal, saya juga tidak tahu kalau dia tiba-tiba datang dengan rombongannya."
Bu Oyoh menghela nafas lelah dan melepaskan kacamatanya. "Kalian semua tetap mendapat hukuman. Dan kamu Kenneth, ikut saya ke ruangan.
Bara mengikuti guru itu masuk ke ruangan khusus. Bu Oyoh langsung duduk di kursinya. "Pihak sekolah sudah melapor ke polisi. Karena ini masalah personalmu jadi kamu akan jadi saksi nanti."
"Baik Bu," kata Bara.
"Tenang saja, kalau kamu benar kamu hanya akan jadi saksi," kata bu Oyoh.
Bara tersenyum dan menganggukan kepalanya. Dia sudah sering masuk ke situasi begini. Jadi ini bukan hal yang baru. Bukankah dia sudah pernah bilang kalau musuhnya ada dimana-mana.
"Kamu boleh keluar, ohh iya lebih baik kamu ke rumah sakit," kata bu Oyoh yang prihatin melihat wajah Bara.
Bara langsung pergi ke UKS. Dia memghampiri Caramel yang masih mengompres luka di wajahnya sendiri. "Sakit?"
"Biasa sih, nyut-nyutan aja," jawab Caramel enteng.
Bara tersenyum dan mengacak rambut Caramel. Lagi-lagi dia membuat cewek ini dalam bahaya. "Lo langsung balik aja."
"Lo mau kemana?" tanya Caramel.
"Ke bengkel," jawab Bara.
"Nggak usah kerja dulu," kata Rafan.
Bara mengompres luka Caramel. "Gue mau numpang istirahat."
"Lo nggak tinggal sama Daddy?" tanya Caramel dengan kening berkerut.
Bara cuma tersenyum dan mengangkat alisnya. Benar-benar menggemaskan meskipun wajahnya babak belur. Dia memang sudah baikan dengan daddy. Tapi dia juga sudah terbiasa dengan hidupnya sekarang. Dia suka tinggal di tempat kecil dengan teman-temannya. Dia juga suka bekerja di bengkel itu.
"Gue ikut ke bengkel," kata Caramel.
"Nggak usah, gue nggak bisa bonceng lo," larang Bara. Dia saja mau nebeng ke Rafan.
"Oh nggak apa-apa, gue naik angkot aja sama si Umbel," kata Caramel.
Bara mendengus geli. Percuma melarang Caramel. "Yaudah biar gue telepon Pak Hamdi."
Jadilah Bara dan Caramel naik mobil yang dikemudikan pak Hamdi. Caramel menitipkan Bella ke Rafan. Sengaja katanya, biar si Bella bisa move on ke abangnya. Daripada dengan Gio yang menyebalkan.
"Siapa yang memukuli Tuan Muda?" tanya pak Hamdi.
"Orang gila," jawab Bara asal.
Caramel terkekeh geli. "Lo juga sama gilanya."
Bara menatap Caramel dengan pandangan menantang. "Udah nggak marah lagi?"
"Hah marah apa?" tanya Caramel.
"Foto gue sama Fina," jawab Bara.
Caramel langsung cemberut kesal. Dia bersedekap dan menatap keluar jendela. "Gue kesel, tapi bukan sama lo."
"Terus?" tanya Bara.
Caramel menoleh ke Bara. "Sama gue sendiri. Harusnya gue nggak minta putus."
"Harusnya gue nggak mau diputusin," kata Bara sambil menahan senyum.
"Nahhh iyaa! harusnya lo nggak mau!" kata Caramel sambil memukul tangan Bara sampai cowok itu meringis kesakitan. "Ehh maaf! gue lupaa."
Sampai di bengkel, Defan dan yang lainnya kaget melihat wajah-wajah babak belur itu. Mereka langsung berlomba untuk mendapatkan informasi. Semua pertanyaan dikeliarkan dalam satu waktu. Jelas bukan Bara yang menjawab karena setelah turun dari mobil, dia langsung ke ruangan. Mungkin ganti baju.
Caramel dan Bella dengan senang hati menceritakan kronologinya. Meskipun tidak terlalu tahu bagaimana diawal, tapi itu sudah cukup menjelaskan. Defan menggeram kesal dan memukul meja.
"Kurang ajar!" desis Defan.
"Sebenernya ada apasih?" tanya Arkan yang dari awal memang tidak tahu kronologisnya.
"Beni, orang yang bawa tongkat besi itu mantan pacarnya Gita," jawab Rafan.
"Ohh yang itu? terus?" tanya Arkan.
"Dia pecandu, dan dia bawa Gita juga," jawab Defan pelan.
Arkan langsung diam. Matanya cuma mengerjap tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Fakta ini mengagetkannya.
"Bang Arkan nggak apa-apa?" tanya Caramel.
Arkan kembali mengerjapkan mata. "Terus gimana Gita?"
"Kita bujuk Gita buat rehabilitasi, untungnya dia mau," lanjut Thomas.
Sore ini karena kejadian tadi. Mereka memilih untuk menutup bengkel. Di sini mereka hanya berkumpul dan ngobrol tentang beberapa hal. Caramel dan Bella lebih banyak menyimak.
"Gita itu yang waktu itu di Bali kan?" tanya Bella.
"Iya," jawab Caramel sambil menoleh ke ruangan. Dari tadi Bara belum keluar. "Gue nyemperin Bara dulu deh."
Caramel mengetuk pintu dan memanggil Bara. Tidak ada jawaban dari dalam. Dia langsung membuka pintu dan melihat Bara yang tengkurap di sofa dengan mata terpejam. Senyumnya mengembang, jadi Bara tidur.
Pelan langkahnya mendekat. Wajah Bara sudah bersih. Bajunya juga sudah diganti. Mungkin karena kelelahan jadi Bara memilih tidur.
Dia mengusap bahu Bara pelan tapi cowok itu meringis kesakitan.
Caramel mengerutkan keningnya. Dia langsung melihat punggung Bara yang ditutupi kaus hitam itu. Matanya melebar melihat lebam parah itu. "Bara bangun!"
Bara mengerang kecil dan membuka matanya. "Gue mau tidur bentar La," lirihnya.
"Bara lo harus ke rumah sakit!" kata Caramel.
"Dibawa tidur juga sakitnya ilang," kata Bara lagi.
Caramel berdecak kesal. Dia langsung bangkit dan mencari kompresan. Apanya yang akan hilang. Mana bisa tidur dengan keadaan seluruh badan nyeri begitu. Dasar gila.
"Loh Kara?" panggil om Satrio.
"Eh iya Om," kata Caramel.
Om Satrio tersenyum. "Udah lama Om nggak liat kamu datang ke bengkel."
"Ohh iya kemaren lagi sibuk tugas sekolah. Om baru dateng?"
"Iyaa, katanya Ken dan abangmu dipukuli? bagaimana kondisi Ken?" tanya om Satrio.
Caramel menepuk keningnya. "Om, Kara pinjem baskom sama handuk kecil. Ada?"
Om Satrio membantu Caramel merawat punggung Bara. Om Satrio juga sempat marah-marah pada Bara karena tidak mau dibawa ke rumah sakit. Caramel kira kalau om Satrio yang membujuk, Bara akan luluh. Tapi ternyata sama saja hasilnya.
Karena sibuk di dalam, yang lain ikut masuk dan melihat luka Bara, kecuali Roni yang jalan ke depan membeli gorengan untuk dimakan sama-sama. Mereka meringis ngeri. Lagi-lagi babak belur.
"Wah ternyata kamu ini jagoan?" tanya om Satrio takjub.
Caramel terkekeh dan menganggukan kepalanya. "Dari kecil Ayah selalu ngebekalin Kara bela diri. Penting katanya."
"Ayahmu hebat," kata om Satrio.
Caramel tertawa dan menganggukan kepalanya. "Ayah emang yang terhebat."
"Di sini Om," kata Roni yang baru masuk dengan dua pria berjas hitam.
Caramel tersenyum senang. "Daddy!!" panggilnya.
Daddy tersenyum pada Caramel, tapi senyumnya langsung hilang saat melihat orang yang duduk di samping anak perempuan itu. Reflek, sangat reflek daddy langsung menarik tangan Caramel dan menyuruh anak itu berdiri di belakangnya.
"Ada apa?" tanya Bara bingung.
"Om siapa?" tanya Defan.
Om Satrio berdeham pelan. "Iya anak-anak, beliau ini ayahnya Kenneth."
"Wahh udah gue duga, anak orang kaya. Muka lo mulus," kata Wisnu.
Teman-teman yang lain meringis ngeri. "Geli banget lo!" kata Roni.
"Kenapa kau di sini?" tanya daddy pada om Satrio.
"Oh maaf saya Rio, saya pemilik bengkel ini," kata om Satrio seramah biasanya.
Caramel masih mengerutkan keningnya. "Daddy kenapa?"
Daddy mengerjapkan mata. "Pak Hamdi. Bawa Kenneth ke rumah sakit, dan Caramel, Rafan, Arkan, kalian ikut."
"Ini bukan masalah Daddy," kata Bara.
Daddy menghela nafas dan mendekat pada putranya. "Kali ini dengarkan Daddy, untuk Caramel," bisiknya.
Bara mengerutkan keningnya. Dia langsung menganggukan kepala. Sikap daddy tadi sudah menunjukan keanehan. Apalagi cara daddy menatap om Satrio.
"Om maaf, boleh kita ikut?" tanya Defan.
"Kalian teman Kenneth?" tanya daddy.
"Iya," jawab Defan.
Daddy masih berusaha untuk tersenyum. "Kalau begitu, kalian tidak perlu meminta izin Om."
Di ruangan ini hanya menyisakan daddy dan om Satrio yang masih kelihatan bingung. Daddy kenal betul orang di depannya ini. Orang ini adalah suami sekaligus pembunuh dari tantenya Caramel. Bagaimana mungkin bisa kelolosan sampai sejauh ini.
Karena selama ini yang pak Hamdi lapornya hanyalah nama Rio, maka tidak pernah ada kecurigaan kalau Rio adalah Satrio. Daddy juga tidak pernah melihat langsung orang yang sudah menolong putranya ini.
"Maaf apa Anda mengenal saya?" tanya om Satrio.
"Kinan Rajendra," kata daddy singkat.
Memang singkat tapi efeknya sangat dahsyat bagi om Satrio yang langsung memucat. Wajahnya benar-benar pucat pasi. Itu masa lalu yang paling kelam selama dia hidup. Masa lalu yanf kalau bisa dihindari maka dia akan hindari.
"Seberapa dekat kau dengan Caramel?" tanya daddy.
"Kenapa dengan anak itu?" tanya om Satrio pelan.
Daddy mendengus pelan. "Apa kau tidak merasa ada kemiripan antara Caramel dengan Kinan?"
Om Satrio terdiam sebentar. "Ya anak itu mirip dengan Kinan kalau sedang tersenyum."
"Kau tahu alasannya?" tanya daddy. Tidak ada jawaban dari om Satrio. "Dia adalah Rajendra. Caramel Starla Rajendra, putri dari Karel Gibran Rajendra."
Bagaimana sambaran petir. Om Satrio terperengah. Pantas anak itu mirip dengan almarhumah istrinya. "Dia keponakanku?"
Daddy menghela nafas panjang. "Kalau Karel tahu kau dekat dengan putrinya kau pasti tahu apa yang akan dia perbuat."
"Dia akan membunuhku," kata om Satrio dengan wajah sedih. "Aku tidak berniat jahat. Dia anak yang baik dan kami berteman dengan baik."
"Jauhi Caramel. Saya akan pura-pura tidak pernah melihatmu. Anggap itu balasan karena kau sudah membantu putraku," kata daddy.
Om Satrio menggeleng pelan. "Aku masih Omnya. Dia keponakanku, meskipun aku bukan Om yang baik tapi aku ingin dekat dengan keponakanku sendiri."
"Bodoh!" bentak daddy.
Om Satrio menundukan kepalanya. "Mungkin dekat dengan Caramel adalah caraku untuk sedikit menebus kesalahanku pada Kinan."
"Karel tidak akan membiarkanmu," desis daddy.
"Yaa tapi dia juga harus tahu kalau aku benar-benar menyesal," jawab om Satrio. Dulu tidak ada penyesalan sama sekali. Tapi setelah mendapatkan pelajaran dari kakak iparnya saat persidangan dia perlahan sadar kalau ternyata siksaan paling menyakitkan adalah rasa bersalah. Rasa bersalah yang menusuk sampai rasanya ingin mati setiap harinya, itu lebih buruk daripada hukuman mati.
🍬🍬🍬
See you in the next chapter 😘😘😘
Ohh iyaa part ini udah panjang loh.. 5000 kata 😂
Jangan lupa follow ig mereka yaa
@kennethaldebaran
@caramelstarla
@rafansafaraz
@umbrellakirei
@arkanlazuard
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top