BAB 26 - An Answer

Halohaaaa update lagi yaaa.. mohon maaf belum sempat balesin komentar. Nanti pasti aku bales hehe

Jangan lupa follow ig @indahmuladiatin

Happy reading guys! Hope you like this chapter 😘😘

🍬🍬🍬

"Kenapa ngajak gue?" tanya Caramel kesal karena dengan paksa Bara menyeretnya ke rumah besar ini. Untung setelah jam istirahat hanya ada pelajaran seni budaya dan jam kosong. Kalau ada pelajaran guru killer bisa habis dia.

"Biar lo liat, gue bukan pengecut," kata Bara sambil menarik tangan Caramel masuk ke dalam rumah yang sudah tidak asing lagi untuk mereka.

Para pekerja di rumah ini menghentikan aktivitas masing-masing melihat tuan muda rumah ini datang dengan suka rela tanpa paksaan. Tumben banget. Pemandangan langka, apalagi sambil menyeret perempuan. Semua sudah berpikir kalau tuannya ini sudah menghamili anak orang sampai akhirnya pulang dan minta tolong pada tuan besar rumah ini.

"Dimana Daddy?" tanya Bara pada salah satu pekerja rumah ini.

"Selamat siang Tuan muda, Tuan Gavyn sedang ada di ruangannya," kata salah satu pekerja dengan rambut pendek dan wajah sedikit salah tingkah.

Bara langsung menyeret Caramel pergi ke ruangan kerja daddy. Tidak peduli sejak tadi cewek ini terus aja mengeluh. Dia tidak suka diremehkan. Apalagi dianggap pengecut.

Caramel mengeluh dalam hati. Dia jadi merasa seperti hewan peliharaan. Diseret kemana-mana. Kalau tidak sayang pada cowok ini, mungkin sudah dia tendang Bara sejak tadi. "Woy! lepas kali tangan gue, digandeng mulu kaya mau nyeberang jalan."

"Berisik," jawab Bara singkat.

Tuh kan, cowok ini memang sangat menyebalkan. Sudah berapa kali dia kena damprat dalam waktu kurang dari satu jam terakhir. Harusnya kan dia yang marah pada Bara. Kalau ingat kejadian tadi rasanya dia benar-benar gemas mau menghajar Bara sampai wajah sok coolnya itu bonyok. Atau setidaknya sedikit memar, karena sepertinya Bara bukan lawan yang mudah untuk dikalahkan. Kalau nekat malah dia sendiri yang babak belur.

Bara membuka pintu berwarna cokelat tua itu. Tempat dimana orang-orang tidak berani masuk tanpa izin langsung dari si empunya ruangan. Mereka disambut wajah daddy yang bertopang dagu di meja kerjanya. Tidak ada kaget-kagetnya. Pasti orang luar sudah ada yang mengabari kalau putranya datang dengan menyeret anak perempuan.

"Ada apa anak-anak?" Tanya daddy.

Caramel melotot kesal ke Bara yang masih menatap datar ke arah daddy. "Nggak tau Daddy, Kara cuma korban."

Daddy menahan senyum dan bangkit dari kursinya. "Duduklah, sepertinya ada yang ingin kau bicarakan dengan Daddy."

Bara menghela nafas panjang dan duduk di sofa panjang berwarna hitam. Berseberangan dengan daddy yang sudah duduk duluan. Tangannya masih menggandeng tangan Caramel. Jujur saja, ada rasa takut yang sekarang sedang berputar-putar di kepalanya. Dia mau menanyakan pertanyaan yang selama ini mengganggunya. Pertanyaan yang jawabannya bisa mengubah hidupnya. Bisa membaik atau justru semakin menghancurkannya.

Caramel menunggu Bara bicara. Dia memang tidak tahu perasaan Bara sekarang, tapi yang dia tahu adalah tangan yang menggenggam tangannya sekarang itu mendingin. Dehaman kecil keluar dari mulutnya. "Kara mau minta minum ke dapur yaa?" katanya.

"Lo di sini!" kata Bara.

Caramel melirik dan daddy menganggukan kepala. Dia berdecak kecil lalu duduk di samping Bara yang sekarang ini sedang jadi orang yang paling menyebalkan. "Oke gue di sini."

Bara menelan salivanya. Dia menatap lurus ke depan, ke arah meja kerja milik daddy dimana ada foto mommy sedang tersenyum manis. Semua emosinya seperti sedang berkumpul sekarang. Semua seperti kembali, masa-masa beratnya saat terus berpikir orang-orang yang dia sayangi membenci dirinya. "Kenapa Daddy membuangku?" tanyanya setelah berhasil mengumpulkan hampir seluruh tenaganya.

Daddy terdiam sebentar. Akhirnya Bara bertanya langsung. Tidak tahu bagaimana caranya Caramel sampai bias membuat anaknya ini berani untuk menanyakan pertanyaan yang pasti sudah disimpan sejak lama itu. "Daddy tidak pernah membuangmu."

"Tapi Daddy membuangku!" jawab Bara cepat. "Dan Lyza," lanjutnya.

"Apa menurutmu Daddy orang yang sejahat itu?" Daddy tersenyum tipis, ini memang bukan obrolan yang menyenangkan. Tapi bisa bicara dengan putranya saja itu adalah hal yang paling diinginkan. "Waktu yang paling membahagiakan untuk Daddy adalah saat menyadari bahwa Daddy mencintai Mommymu dan saat mendengar tangisan pertamamu dan Lyza," kata daddy sambil menerawang. "Waktu itu perasaan senang dan sedih menyatu. Kau pasti tahu kenapa."

"Yaa karena Mommy pergi setelah melahirkanku," kata Bara dengan kepala tertunduk dan suara serak.

"Itu kejadian paling dramatis yang pernah Daddy alami, kau tahu? yang menangani Mommymu adalah sahabat-sahabatnya, dokter-dokter terbaik. Mereka menangis, tapi harus tetap fokus menyelamatkan mommymu," kata daddy lagi.

Caramel mengusap pipinya yang basah. Meskipun hanya mendengar tapi dia bisa merasakan suasa waktu itu. Waktu dimana mommy Stella pergi untuk selamanya. Dia melihat Bara yang masih menundukan kepalanya.

"Mommymu menangis sebelum operasi, bukan karena sakit, karena dia sangat kuat menahan semuanya. Dia menangis karena takut tidak bisa melihatmu karena kondisinya semakin menurun, dia sangat sadar kondisinya," kata daddy lagi.

"Harusnya kalian melepaskanku," kata Bara sambil menutup wajahnya.

Baru kali ini Caramel melihat Bara menangis. Dia mengusap pelan bahu Bara. Bagaimana perasaan Bara  sekarang. Bagaimana Bara bisa hidup dalam bayangan rasa bersalah yang begitu besar.

"Sadarlah! ini bukan salahmu! tidak pernah ada yang memberikan pilihan. Kau harus tahu kalaupun disuruh memilih apa kau pikir Mommymu akan memilih untuk melepaskan anaknya?" tanya daddy. "Tidak Kenneth. Mommymu sudah pergi dan itu memang jalannya. Saat ini Daddy memiliki kau dan Lyza. Bagi Daddy hidup dengan kalian itu sudah cukup."

"Semua menyalahkanku, bahkan Lyza juga ikut menyalahkanku," kata Bara sambil mendongak. Matanya sudah memerah. Senyumnya mengembang pahit.

"Karena itu Daddy terpaksa mengirim kalian ke sana, banyak yang mengatakan Mommymu meninggal karena melahirkanmu. Kematian itu sudah ditakdirkan sejak awal, mana mungkin anak yang tidak berdosa disalahkan. Daddy mungkin bisa membungkam mulut orang-orang itu, tapi Daddy tidak bisa menutup telingamu terus."

Bara terdiam lama mendengar jawaban daddy barusan.

"Daddy tidak ingin kau mendengar kata-kata itu, tapi sayangnya di sana pun sama saja. Bahkan kakakmu sendiri mengatakan begitu," kata daddy. "Yah tapi itu hanya sebagian, jika kau tetap di sini, akan lebih banyak kata-kata menyakitkan yang akan kau dengar. Karena itu dulu daddy bertanya padamu, apakah kau sanggup kalau saat itu tetap barada di sini?"

Pertanyaan itu menutup semua rasa penasarannya. Bara kembali menundukan kepalanya. Apa jika saja dia tetap tinggal di sini dulu, dia sanggup mendengar kata-kata itu. Satu kalimat saja sudah seperti pisau yang menghunus sampai ke jantung. Kepalanya mengeleng pelan. Dia tidak akan sanggup.

"Kenneth," panggil daddy. "Tidak ada yang membencimu, Daddy dan Mommy menyayangimu dan Lyza. Sadarlah semakin kau menyalahkan diri maka Mommymu akan semakin sedih di sana."

Ruangan ini hening. Hanya ada suara nafas dari ketiga orang yang mengisi tempat ini. Bara diam untuk merenungkan semua jawaban yang baru saja dia dapat, dan daddy memilih diam karena hanya itu jawaban yang bisa diberikan.

"Daddy, Kara pamit ke toilet yaa," kata Caramel sebelum berdiri dan berbalik meninggalkan ruangan kerja ini. Sekarang adalah waktu milik Bara dan daddy yang sudah lama terbuang. Dia tidak boleh mengganggunya. Dia senang karena sekarang Bara sudah mendapatkan jawabannya dan semoga jawaban itu cukup untuk membuat keduanya menjadi dekat.

"Non Caramel mau minum apa?" tanya pekerja rumah ini yang sudah agak tua.

"Hemmm susu cokelat ada?" tanya Caramel.

"Ada, mau?"

Caramel langsung menganggukan kepalanya. "Mau banget," kekehnya.

🍬🍬🍬

Caramel duduk di sofa merah ruangan keluarga yang nyaman ini. Yaa ruangan keluarga yang pastinya jarang digunakan. Dia jadi membayangkan kalau saja mommy Stella masih hidup, bagaimana hangatnya rumah ini. Bagaimana manisnya sikap Bara sekarang. Rumah ini harusnya menjadi tempat yang paing nyaman.

Pandangannya jatuh pada foto keluarga. Ada daddy, mommy dan gadis kecil yang pastinya itu Lyza. Tidak ada Kenneth disana. Foto Kenneth saat bayi terpisah. Rasanya pasti sangat berat, dan dia paham kalau sekarang Bara lebih suka menutupi semuanya. Siapa yang mau hidup seperti itu.

Keningnya berkerut dalam melihat foto di sisi sebelah kanan. Itu mommy Stella dengan gaun yang sangat cantik dan senyum yang khas. Sepertinya dia pernah bertemu sebelumnya, tapi dia lupa. Matanya terpejam dengan alis bertaut. Mencoba menggali ingatannya yang memang memiliki kapasitas sedikit itu.

"Ohhhh!" katanya dengan wajah berbinar. Dia ingat sekarang, waktu itu dia pernah mimpi bertemu dengan wanita cantik dengan mata biru. Waktu dia dirawat setelah dikeroyok di depan sekolah. Jadi wanita cantik itu mommy Stella. Senyumya mengembang lebar. "Hey Mom, aku Caramel."

"Mommy males kenalan sama lo," kata Bara yang sudah berganti pakaian rumahan. Celana jeans pendek selutut dan tshirt hitam dengan gambar tengkorak menyeramkan. Dark khas si misterius ini.

Caramel tersenyum manis dan melambaikan tangan. "Hey Abang Kenneth."

"Geli," kata Bara sambil duduk di samping Caramel.

Senyum Caramel langsung hilang. Salahnya sendiri menyapa orang seperti Bara dengan ramah. "Nyesel gue," gumamnya kesal. Tapi setelah itu dia kembali tersenyum. "Gue seneng lo mau dengerin Daddy."

Bara menoleh dan menghela nafas panjang. "Pancingan lo berhasil."

Caramel terkekeh kecil dan menganggukan kepalanya. "Kata Bunda nggak ada salahnya untuk mendengarkan penjelasan. Gue putus sama Bayu gara-gara dia selingkuh. Waktu itu Bayu ketauan selingkuh sama Dera, kalau dipikir buat apa ada penjelasan lagi? toh udah jelas banget kan intinya mereka bohongin gue. Tapi gue inget Bunda, katanya kalau kita nggak mau ngedengerin penjelasan orang itu namanya nggak adil, mereka tetep berhak ngejelasin. Gue denger semuanya dan abis ngedenger cerita mereka gue jadi sadar, sebenernya gue juga salah. Gue selalu maksa Bayu buat anter jemput Dera."

Bara mendengarkan cerita Caramel sambil memandang wajah cewek itu.

"Gue salah, tapi bukan berarti mereka nggak salah yaa, mereka tetep salah. Jadi semuanya selesai," kata Caramel dengan senyum senang. Tidak ada penyesalan di matanya. Bara tahu Caramel memang sudah tidak ada perasaan apa-apa pada Bayu.

Bara tersenyum tipis. "Dan lo marah ke gue."

Caramel mengerutkan keningnya. "Kapan?"

"Waktu gue nggak sengaja nginjek kaki lo," kata Bara dengan tawa geli.

Mata Caramel melebar. Iya dia ingat itu baginya adalah hari paling sial. Diselingkuhin dan diinjak orang. Jadi cowok keren itu Bara. Astaga kenapa dia bisa lupa wajah itu. Wajah tanpa rasa bersalah padalah mengucapkan kata sorry. "Jadi lo yang nginjek kaki gue?" tanyanya disusul dengan tawa geli.

Daddy tersenyum melihat tawa-tawa itu. Selama ini dia jarang sekali melihat tawa putranya. Pertemuan selalu ditemani dengan ketegangan. Setelah hari ini berlalu, semoga semua membaik. Karena sudah banyak waktu yang terbuang, sedangkan tidak ada yang tahu seberapa lama waktu kita untuk ada di dunia ini.

Caramel menoleh dan tidak sengaja melihat daddy yang sedang tersenyum melihat ke arahnya dan Bara. Dia ikut tersenyum, hari ini dia ingin terus tersenyum karena terlalu senang. Akan dia lupakan masalah tadi pagi dan yang kemarin-kemarin. Karena kemarin itu yang dihadapannya bukan Bara yang dia kenal.

"Maaf," kata Bara.

"Hah maaf buat apa?" tanya Caramel.

"Buat kemaren-kemaren," jawab Bara.

Caramel bertopang dagu dengan wajah berpikir. "Dimaafin nggak yaa enaknya?"

Bara mendengus kecil. "Terserah lo."

"Hehe oke gue maafin," jawab Caramel. "Bunda pasti seneng lo udah balik. Lo kapan mau ketemu Bunda?'

"Bunda masih mau ketemu gue?

"Pasti dong. Kalau lo mau dapet jawaban dari sisa-sisa pertanyaan lo pasti bisa dapet dari Bunda, yang gue tau Bunda deket sama Mommy Stella dan Daddy," kata Caramel meyakinkan.

Bara diam sebentar dan menganggukan kepalanya. "Oke nanti kita ke rumah lo."

"Yesss!!!"

Bara tersenyum dan mengacak rambut Caramel. Dia jadi ingat bagaimana rasanya waktu caramel terus mengikutinya kemana-mana. Dia juga mengingat berapa kali cewek ini menangis karena dirinya.

Ponsel Bara bordering pelan, nama Raya muncul di layar. Si pengganggu ini kenapa lagi. "Yaa?"

"Di rumah," jawab Bara.

"Sorry bokap gue sibuk," kata Bara lagi.

Caramel mengerutkan keningnya. Dia mendekatkan telinganya ke ponsel Bara. "Siapa sih?"

Bara tersenyum dan memberikan ponselnya ke telinga Caramel. "Raya."

"Loh kamu lagi sama Kara?"

"Hay Kak hehe Baranya gue pinjem dulu yaa," kekeh Caramel.

"Sembarangan! gue bukan barang," protes Bara masih dengan senyum gelinya. Dia kembali merebut ponselnya. "Sorry Ray gue sibuk," katanya sebelum memutuskan sambungan. Ponselnya diletakan di meja.

"Nggak usah ngerasa nggak enak," kata Caramel. "Gue nggak apa-apa"

Bara tersenyum geli, dia bersandar ke sofa. "Buat yang tadi, gue juga kaget Raya berani."

"Tapi nggak nolak?" tanya Caramel dengan alis terangkat. "Yaah tenang aja, toh gue sama lo udah putus."

Bara tidak menjawab ucapan Caramel, dia cuma menunggu cewek ini mengeluarkan semua keluhannya. Dia sadar meskipun Caramel bilang sudah memaafkan dia tapi tetap saja semua tindakannya kemarin susah untuk dilupakan.

"Gue mau nyerah kemaren, tapi gue inget Bunda. Kita selesai tapi hubungan lo sama Bunda nggak boleh selesai, nggak ada yang namanya bekas ibu," kata Caramel lagi. "Sekarang lo udah balik ke Daddy dan mau balik ke Bunda, gue seneng, kita putus tapi gue tetep jadi adek lo kan?"

"Adek kakak ya?" tanya Bara. Dia melirik keatas. "Hemm, tadi gue denger lo bilang gue cowok lo."

"Kapan?" tanya Caramel.

"Enak aja nyium cowok gue, gue aja belom pernah," kata Bara yang menirukan ucapan Caramel adi siang waktu mengamuk ke Raya.

"Salah denger," kata Caramel cepat dengan pipi memerah. Dia cemberut kesal dan mengalihkan pandangannya ke ruangan besar ini. Sial, dia lupa kalau Bara itu ingatannya bagus. Harusnya tadi siang dia tidak kelepasan bilang begitu. Semua gara-gara si Raya itu.

"Oh," jawab Bara sambil menganggukan kepalanya.

Caramel melirik Bara yang masih menatapnya dengan pandangan meledek. Dia berdecak kesal dan melempar wajah Bara dengan bantal. "Berenti ngeledek gue!" teriaknya.

"Gue diem Starla," kekeh Bara.

Mata Caramel memanas, dia kembali berkaca-kaca. Aneh, padahal cuma mendengar Bara memanggilnya Starla, tapi kenapa dia bisa sesenang ini.

"Lo nangis?" tanya Bara.

Caramel menggelengkan kepalaya sambil mengusap matanya. "Kangen dipanggil Starla," rengeknya.

Bara tersenyum dan mengusap kepala Caramel. "Starla, Starla, Starla."

Caramel tertawa dan bertopang dagu mendengarkan Bara memanggil namanya.

🍬🍬🍬

Karena mereka tidak kembali ke sekolah akhirnya lagi-lagi Bella yang harus membawa tas Caramel. Yaa Caramel harus bersyukur karena punya sohib seperti Bella. Meskipun sama tidak warasnya tapi sohibnya itu baik hati dan tidak sombong.

Malam ini Caramel pulang ke rumah dengan Bara dan daddy. Katanya sekalian mau menjemput Lyza. Baguslah, setidaknya hari ini ada banyak hubungan yang membaik. Hubungan antara Bara dan daddy, hubungan antara Bara dan Lyza dan hubungan antara Lyza dan daddy.

"Bundaaaa," panggil Caramel sambil memeluk ibunya itu. "Kara bawa anaknya Bunda," katanya setelah melepaskan pelukannya.

"Bunda," panggil Bara.

Bunda tersenyum hangat. Airmatanya menetes, dia yakin putrinya bisa menyeret Bara dari lubang hitam itu. "Kenneth anak Bunda?"

Bara tersenyum dan langsung menyalami tangan bunda. "Maaf Kenneth nakal Bunda."

Bunda menangkup wajah Bara dan mengusap pipi putranya yang basah. "Kenneth anak baik. Ken nggak bikin salah apa-apa, nggak perlu minta maaf sama Bunda."

Bara tersenyum dan memeluk bunda. Dia menangis di sana. Merasakan seperti sedang memeluk mommy. "Harusnya Kenneth langsung pergi ke Bunda."

"Ken nggak ingat Bunda kan? Kalau ingat pasti Ken akan langsung datang menemui Bunda," kata bunda. Bunda mengusap kepala Bara dan mengecup kening anaknya itu. Bayi laki-laki yang dulu setiap menangis selalu dia timang sekarang sudah sebesar ini. "Kenneth kembali pada Bunda, itu sudah membuat Bunda senang."

Caramel menghampiri dua abangnya yang takjub melihat bunda dan Bara. "Dunia sempit yaa."

"Banget," kata Arkan.

Rafan tersenyum dan merangkul bahu Caramel. "Jadi kamu pacaran sama abangmu sendiri?"

Mereka semua berkumpul di meja makan. Ayah sibuk bicara dengan daddy, yang pasti masalah pekerjaan. Heran, apa tidak bosan membahas pekerjaan terus. Bahkan membahas cuaca kelihatan lebih baik daripada tentang indeks kenaikan saham atau apalah itu.

Bunda mengambil makanan untuk Bara. "Makan yang banyak, ini masakan Bunda."

Caramel tersenyum melihat wajah senang bunda. Dia bertopang dagu melihat interaksi antara bunda dan Bara. Bagaimana bunda yang sangat senang dan Bara yang sedikit canggung, mungkin karena belum terbiasa. Selama ini Bara sudah biasa sendiri. Melakukan apapun sendiri.

"Raka sama Lyza ini kenapa belum pulang yaa?" tanya bunda ditengah acara makan malam.

"Sibuk mungkin Nda," jawab Arkan.

"Perlu Kara telepon Nda?" tanya Caramel.

"Tidak perlu, kami menunggu saja," kata daddy.

Bunda tersenyum dan kembali mengusap kepala Bara. "Ken suka makanan apa? biar Bunda masakan nanti."

Bara menggenggam tangan bunda. "Apapun yang Bunda masak, Ken suka."

"Uhhhh so sweet banget si, kali-kali dong ke gue sweet gitu," kekeh Caramel.

Ayah cuma menggelengkan kepala mendengar ocehan putrinya ini. Tidak heran karena karakter putrinya ini memang mengikuti karakter bundanya yang kalau bicara sering langsug ke intinya. Tidak perlu basa-basi, dan tidak perlu melihat tempat.

Daddy tertawa dan menepuk bahu ayah. "Lihat? kita benar-benar akan berbesan."

"Jangan senang dulu, mereka hanya anak-anak," kata ayah cuek.

Selesai makan malam Caramel langsung pergi ke kamanya. Dia harus mandi karena badannya sudah terasa lengket. Mungkin dia juga akan beristirahat sebentar. Kakinya sedikit sakit efek kemarin yang belum hilang. Heran, rasanya hari ini terasa sangat panjang.

Bara masih di meja makan menemani bunda yang sedang membereskan meja makan dengan para pekerja rumah ini. Dia hanya bertopang dagu sambil memperhatikan semua aktivitas bunda. Seperti anak kecil yang senang sekali mengikuti aktivitas ibunya. Senyumnya mengembang senang.

"Ada apa sayang? kamu tidak ikut Rafan dan Arkan?" tanya bunda.

"Ken mau dengan Bunda," jawab Bara.

Bunda tersenyum dan mengacak rambut Bara. "Tunggu sebentar yaaa sebentar lagi pekerjaan Bunda selesai." Setelah beres semua bunda duduk di samping Bara. "Bagaimana masalahmu dengan Daddy?"

"Ken sudah bertanya pada Daddy tadi," jawab Bara dengan helaan nafas panjang. "Daddy sudah menjelaskan semua alasannya."

Bunda ikut menghela nafas panjang. "Kalau Ken bertanya pada Bunda siapa yang paling menyayangi Ken maka Bunda akan jawab kalau Daddymu orangnya."

Bara tersenyum dan menganggukan kepalanya.

"Terdengar sepele alasannya, tapi tidak untuk Daddymu. Setahun sebelum kamu dan Lyza pergi, Bunda yang menyaksikan wajah bahagia Daddymu setiap bermain dengan kalian berdua. Bunda juga yang menyaksikan wajah sedihnya saat mengantarkan kalian berdua ke bandara. Berpisah dengan anak bukan hal yang mudah sayang, tapi Daddymu melakukan itu untukmu Ken. Bayangkan berapa kali Daddymu menahan diri untuk tidak pergi ke sana dan memelukmu dan Lyza?" tanya bunda. "Daddymu takut kalau sering bertemu kalian nantinya kalian akan minta untuk kembali ke sini."

"Jadi itu alasan kenapa Daddy terlihat tidak peduli pada kami?" tanya Bara.

"Yaa, tapi Bunda yakin Daddymu tetap mengawasi dari jauh, dan kamu tidak akan tahu," kata bunda lagi.

Bara tersenyum dan menganggukan kepalanya. "Terima kasih Bunda."

"Bunda tidak melakukan apa-apa," kata bunda.

"Bunda sudah menjawab pertanyaan yang masih mengambang tadi," kata Bara. "Oh iya dimana kamar Rafan dan Arkan?"

"Di atas, yang pintunya cokelat yaa karena yang putih itu kamar Kara," kata bunda dengan alis terangkat.

Bara tertawa kecil dan menganggukan kepalanya. "Ken ke kamar mereka ya Nda."

Bara menaiki tangga, dia mau menghampiri dua sohibnya yang ternyata sejak bayi sudah menjadi teman bermainnya. Dia tersenyum geli kalau membayangkan itu. Mungkin itu yang menariknya sampai jadi senang bermain dengan dua orang itu, dan mugkin memang sudah ada ikatan yang kuat antara dirinya dengan rumah ini sampai dulu senang sekali bisa melihat rumah ini.

Langkahnya terhenti waktu meliat Caramel berjalan dengan kaki terpincang. Perasaan tadi cewek ini kelihatan biasa saja. Apa tadi waktu menaiki tangga Caramel terjauh. "Kaki lo kenapa?"

Caramel yang kaget langsung menoleh. Dia mendelik kesal. "Ngagetin aja!" omelnya.

Bara tersenyum melihat Caramel menggunakan baju tidur beruang berwarna pink. Kekanakan tapi sangat manis, khas Caramel. "Sorry, lo kenapa jalan pincang gitu?"

"Hah mana? enggak tuh," katanya sambil meloncat-loncat. "Kaki gue sehat-sehat aja. Ehh emm lo mau ke kamar Bang Rafan sama bang Arkan yaa?"

Bara menatap lurus kaki Caramel, tadi dia yakin melihat cewek itu berjalan pincang. Kenapa sekarang jadi biasa saja. Dia langsung mendekat dan mengetuk kaki kanan Caramel sampai Caramel meringis kesakitan. "Masih mau bohong?" tanyanya sambil mendongak.

Bara melihat memar kebiruan di lutut Caramel. Ini bukan luka baru pastinya. "Ini luka pas lo jatoh kemaren?"

"Nggak tau gue lupa," kata Caramel.

"Caramel," panggil Bara.

"Ck iya-iya luka kemaren," ralat Caramel karena Bara sudah memanggilnya begitu. "Panggil Starla!" katanya.

"Kenapa tadi biasa aja?" tanya Bara.

"Kalau pincang gue nggak bisa ngejar lo. Lo kan lari terus," jawab Caramel.

Bara kembali diam, jawaban itu memukulnya. Mengingatkan dia tentang sikap keterlaluannya kemarin. "Gimana cara nebusnya?"

Caramel tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Gue nggak apa-apa," katanya sambil mengedipkan matanya. "Liat kan gue nggak apa-apa? lo balik juga gue udah seneng banget!"

Bara memeluk Caramel. "Thanks," bisiknya.

Caramel menepuk-nepuk bahu Bara. "Lo udah ngelakuin hal terbaik. Hari ini lo hebat."

Bara heran kenapa Caramel yang sering kekanakan bisa bersikap dewasa dalam menghadapi masalah. Seperti dua orang yang berbeda dengan sikap bertolak belakang. Malam ini jadilah mereka menghabiskan waktu dengan membicarakan banyak hal.

"Berenti ngelitain mata gue," kata Bara.

"Emmm malu yaa?" tanya Caramel geli. Dia masih bertopang dagu sambil menatap mata biru itu.

"Bukan, gue takut lo nyongkel mata gue," jawab Bara asal.

Caramel langsung cemberut kesal dan memukul bahu Bara. "Iyaa sini biar gue congkel beneran mata lo!"

Bara terkekeh geli dan ikut bertopang dagu. "Jangan ntar gue nggak bisa ngeliat lo."

"Idih belajar ngegombal dari siapa lo?" tanya Caramel geli. Dia tersenyum dan menunjuk mata Bara. "Gue suka mata lo, bagus banget!"

Bara menggenggam tangan itu. "Bagus si bagus, tapi nggak usah nyolok mata gue."

"Hehe khilaf," kekeh Caramel. "Gue suka, mau mata lo warna apa aja. Tadinya gue nggak suka, soalnya pas mata lo biru sifat lo berubah. Tapi sekarang enggak. Mau jadi Bara mau jadi Kenneth, gue tetep suka lo."

Bara mengerutkan keningnya. "Ini lo nembak?"

"Nggak, cuma ngomong jujur," jawab Caramel. "Ehh gue manggil lo apa yaa?? Ken apa Bara?"

"Terserah," jawab Bara sambil mengangkat bahu. Baginya panggilan itu sama saja sekarang. Toh Caramel sudah tahu semuanya.

"Hemm Kenn sama Kara, Bara sama Starla," gumam Caramel. "Oke Bara! gue panggil Bara aja biar lo tetep manggil gue Starla."

"Terserah lo," kata Bara lagi.

Setelah hampir jam sepuluh malam, Raka dan Lyza belum pulang juga akhirnya daddy mengajak Bara pulang. Iya pulang ke rumah keluarga Soller. Bara memang belum memutuskan nanti akan tinggal dimana. Tapi untuk malam ini dia akan pulang ke rumah.

"Ken nggak nginep di sini?" tanya bunda.

Bara melirik Caramel sebentar dan kembali melihat bunda. "Nggak Nda, besok Ken ke sini."

"Takut sama Kara ya?" bisik bunda.

Bara menahan tawanya dan menggelengkan kepala. "Ken pulang Nda," katanya sebelum menyalami tangan bunda.

"Om saya pulang dulu," kata Bara pada ayah Caramel.

"Yaa hati-hati," kata ayah.

Bara menganggukan kepalanya. Dia mengetuk kening Caramel sebelum masuk ke dalam mobil. Tawa gelinya keluar melihat wajah protes Caramel yang melotot sambil mengusap-usap kening.

"Dasar ngeselin!" kata Caramel.

Bunda tertawa geli dan merangkul bahu anaknya. "Emm jadi inget masa muda."

🍬🍬🍬

See you in the next chapter 😘😘😘

Mohon maaf kalau feelnya kurang 😅

Jangan lupa follow ig mereka yaa

@kennethaldebaran

@caramelstarla

@rafansafaraz

@umbrellakirei

@arkanlazuard

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top