BAB 23 - The Secret

Halohaaaaaa akhirnya bisa up jugaaa 😂😂😅😅 maafkan kengaretan ini karena tugas baru selesai sabtu siang.

Oh iya pengumuman pemenang giveaway akan aku umumin hari ini

Jangan lupa follow ig @indahmuladiatin

Happy reading guys! 😘😘

🍬🍬🍬

Bunda menangkup wajah Bara dengan mata berkaca-kaca. Sudah lebih dari lima belas tahun. Dan saat sudah dekat, kenapa tidak bisa langsung sadar kalau anak laki-laki ini adalah putranya. "Ken anak Bunda?"

"Anak Bunda?" tanya Bara dengan wajah bingung.

Bunda tersenyum dengan air mata yang sudah menetes dan langsung memeluk Bara. "Kenneth sayang, Bunda rindu."

Diam cukup lama sampai Bara melepaskan pelukan itu. Wajahnya kelihatan sangat bingung. Dia hanya satu kali bertemu dengan wanita ini. Ngobrol saja belum pernah. "Maaf saya harus pergi."

"Dia Bunda Ken," potong Lyza.

Lyza mengusap bahu bunda. "Kau tidak akan ingat, tapi dia Bunda. Dia Bunda yang mengurus kita saat Mom sudah pergi."

Bara mengerutkan keningnya. "Daddy menikah lagi?"

"Tidak. Panjang ceritanya, dan aku juga tidak terlalu ingat," jawab Lyza dengan wajah sedih. Saat itu dia juga masih kecil. Bahkan saat pertama kali datang ke Indonesia dirinya juga lupa siapa itu Raka.

"Biar Daddy yang menjelaskan semuanya. Kenneth, duduk sebentar ada yang kamu harus tahu," kata daddy sembari menunggu di sofa besar ruang keluarga. Ruangan yang kelihatan dingin karena tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Ruangan keluarga ini sudah lama kosong. Tidak ada yang berkumpul untuk sekedar tertawa dan bertukar cerita. Atau setidaknya menanyakan cuaca setiap paginya.

Bara duduk berseberangan dengan daddy. Wajahnya sudah kaku sejak tadi karena obrolan mereka tidak pernah berakhir baik. Selalu saja ada emosi yang memuncak. Jelas itu emosi miliknya sendiri karena daddy orang yang sangat tenang.

"Bunda ini sahabat daddy dan mommy.  Dulu sebelum Daddy dan Mommy menikah, Mommymu sempat tinggal dengan Bunda. Mereka mengurus Raka bersama karena ada beberapa masalah. Karena itu Raka menganggap Daddy dan Mommy seperti orang tuanya sendiri dan akhirnya Lyza pun sudah dianggap anak oleh Bunda. Setelah Mommymu meninggal, Bunda membantu mengurus kamu dan Lyza. Dia sudah menganggapmu seperti anaknya sendiri."

"Keluarga Caramel banyak membantu Daddy," jelas daddy dengan suara beratnya. Senyumnya mengembang samar dengan mata menerawang. "Saat itu kau dan kakakmu masih kecil. Sangat kecil sampai Daddy menggendong kalian hanya dengan satu tangan."

"Aku yang banyak dibantu olehmu," kata bunda.

Bara menghela nafas panjang. Dia tidak pernah mendengar cerita itu. Atau mungkin dia tidak pernah mau mendengar semua cerita daddy. Apalagi cerita manis yang barusan didengarnya.

Bunda duduk di samping Bara yang masih diam. "Kenneth, Bunda tahu kamu tidak ingat. Bunda juga tidak akan memaksa Ken untuk panggil Bunda. Melihat Ken sekarang itu sudah cukup untuk Bunda."

Bara menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Maaf tapi aku hanya punya satu ibu."

"Yaa tentu saja, Mommy adalah ibumu. Ibu terbaik, tidak ada yang lebih menyayangimu daripada dia," jawab bunda dengan senyum yang menghangatkan.

Daddy memanggil pegawai rumah dan menyuruhnya untuk mengambil beberapa album foto yang berisi semua tentang Lyza dan Kenneth. Kenangan tentang satu tahun terberat yang pernah dijalani setelah kepergian istrinya yang tiba-tiba. Beruntung waktu itu meskipun sedih tapi kedua anaknya masih memiliki bunda.

"Hanya ini yang Daddy miliki," kata daddy sambil mengulurkan buku album foto berwarna hitam dengan tulisan bertinta warna emas cantik terukir di depan.

Bara membuka setiap lembar dengan hati-hati. Matanya menelusuri setiap foto yang ada di depannya. Ini benar-benar wajahnya saat kecil. Dia melihat dirinya dengan tawa renyah bermain dengan wanita yang sekarang duduk di sampingnya. Bunda, apa karena itu sejak awal dia sangat tertarik dengan rumah besar milik keluarga Caramel.

"Waktu itu ulangtahunmu yang pertama. Bunda senang tapi Bunda juga sedih karena itu juga saat Bunda harus siap melepas Ken pergi ke London," jelas bunda dengan wajah sedih.

Bara menundukan kepalanya. Dia belum bisa menerima semuanya. Ini terlalu mendadak untuknya. Dia sudah terbiasa dengan kehidupan sendirinya.

Lyza berdecak kesal dan menarik lengan Bara untuk bicara berdua. Mereka menuju taman belakang rumah ini. "Kenneth! sadarlah, ini kesempatan kita untuk hidup seperti biasa. Kita punya ibu dan itu kan yang kita mau?!"

Bara mendengus samar. "Apa menurutmu mudah? kau mungkin bisa menerima karna kau ingat dia. Bunda atau apapun, aku tidak ingat. Yang aku tahu selama ini aku berjuang sendiri dan aku sudah nyaman dengan itu."

"Nyaman? yakin? apa ada yang mengenalmu lebih dari aku? Kenneth aku tahu kau marah pada semuanya. Aku juga begitu, tapi dia Bunda. Dia tulus menyayangi kita," kata Lyza sambil memegang kedua bahu Bara.

"Tapi dia akan pergi juga nantinya! dia akan membenciku nanti," kata Bara sambil menundukan kepalanya.

"Mana mungkin? apa alasan Bunda membencimu?" tanya Lyza dengan wajah bingung.

Bara mendongak, dia menghela nafas panjang dan berat sambil memejamkan mata. "Aku sudah menyakiti putri kesayangannya."

"Hah?" tanya Lyza.

"Caramel," jawab Bara pelan.

Lyza menggelengkan kepala. Jadi benar Bara yang dimaksud Caramel itu Aldebaran adiknya. Dan sekarang pasti Caramel sudah tahu kalau Bara adalah Kenneth. "Apa yang kau lakukan?"

"Bukan urusanmu," jawab Bara.

"Jangan membuat masalah, dia anak Bunda. Adik kita, kalau kau menyakitinya aku yang akan melawanmu," kata Lyza dengan tegas. Bunda sudah baik selama ini. Semua keluarga bunda sudah dia anggap seperti keluarganya sendiri termasuk Caramel meski anak itu sepertinya masih belum bisa akrab dengannya.

Bara tersenyum samar dan langsung berbalik kembali ke ruangan keluarga itu. "Maaf aku harus pergi."

"Kenneth! hargai Bundamu," kata daddy.

Bunda menggeleng samar dan menghampiri Bara. Anak yang dulu sangat manis dan sedikit pendiam. Jika bisa berubah sedrastis ini, berarti beban itu sangat besar. "Bunda tidak tahu bebanmu selama ini di sana. Selama ini Bunda cuma bisa berdoa dari jauh. Apapun itu, dimana pun kamu Bunda hanya bisa berdoa."

Bara mengalihkan pandangannya. "Aku pamit," katanya sebelum pergi.

"Kenneth!" panggil daddy yang tentu saja diabaikan seperti biasa.

"Sudahlah Gavyn, jangan membuat dia semakin jauh," kata bunda.

Lyza mendengus kesal. "Sadarlah kami begini karena siapa?"

"Lyza sopan pada Daddymu," kata bunda tegas.

Lyza memutar bola matanya dan langsung pergi ke atas untuk menghampiri Caramel. Dia juga belum bisa memaafkan daddy. Terlalu banyak rasa sakit yang dia lewati setelah daddy memutuskan untuk mengirim dirinya dan Kenneth ke tempat yang jauh.

"Masih ingin menutupi semua? biarkan mereka tahu apa alasanmu mengirim mereka pergi Gavyn," kata bunda setelah Lyza pergi.

"Biarkan saja. Jika mereka lebih nyaman menganggap aku membenci mereka ya sudah, yang terpenting aku tidak begitu," jawab daddy Gavyn dengan santai seperti biasa.

"Astaga Gavyn! kamu ini selalu begitu. Tidak pernah berubah, seenaknya saja. Mana mungkin kamu membenci mereka? oke aku tahu kamu ingin yang terbaik untuk mereka tapi bukan begini. Saat mereka tahu kebenarannya apa rasa bersalah mereka tidak akan semakin menumpuk?" tanya bunda lagi.

Daddy Gavyn menundukan kepala sambil memejamkan mata. "Dulu aku membenci ayahku dan aku menyesal. Aku tahu rasanya."

"Nah, kenapa sekarang kamu membiarkan anak-anakmu merasakan itu juga?"

"Mungkin itu lebih baik, selamanya mereka tidak perlu tahu kalau aku mengirim mereka untuk kebaikan mereka sendiri. Kau tahu Fi? tetap tinggal di sini itu akan sangat menyulitkan bagi Kenneth lebih-lebih keluarga besarku dan Stella yang selalu menyalahkan putraku."

"Yaa pemikiran yang paling bodoh," jawab bunda dengan wajah kesal. "Semua sudah takdir, bagaimana mungkin seorang anak tanpa dosa bisa disalahkan?"

"Yaa, beruntung orang tua Stella tidak berpikir begitu," jawab daddy Gavyn dengan senyuman. Selama ini baginya yang terpenting adalah kebahagiaan kedua anaknya. Tidak ada waktu untuk memikirkan kebahagiaan diri sendiri. Bertahun-tahun harus menahan diri dan hanya bisa melihat pertumbuhan Lyza dan Kenneth dari jarak jauh. Percayalah itu hal yang paling sulit.

Hanya satu tujuannya, agar Kenneth tidak perlu merasakan perasaan bersalah. Hanya itu yang selama ini dihindarinya. Sayangnya semua hancur setelah Lyza tidak sengaja mengucapkan kata-kata itu. Satu kalimat yang mengubah kehidupan Kenneth sampai sekarang ini.

"Maafkan kelakuannya," kata daddy Gavyn.

Bunda mengusap airmatanya. "Aku justru menyesal karena tidak bisa menjadi bunda yang baik untuknya. Kamu tahu kan Stella selalu jadi Mommy yang baik untuk Raka."

"Ahh Stella? aku jadi merindukannya," kekeh daddy Gavyn.

"Aku tahu kamu selalu merindukannya kan?" tanya bunda sambil mengusap airmatanya.

"Haha yaa setiap detik," jawab daddy Gavyn dengan senyum lebar.

🍬🍬🍬

Bara berjalan menelusuri koridor apartemen yang sepi ini dengan mata menerawang. Pikirannya sedang kacau sekarang sampai berjalanpun seperti tidak sadar. Ada banyak pertanyaan di kepalanya tapi semua tidak bisa keluar.

"Lo kemana aja?" tanya Defan saat membuka pintu kamar Gita.

Bara mengerjapkan matanya. "Dimana Gita?"

Defan berdecak kesal dan menunjuk Gita yang duduk sambil memeluk lututnya. "Dari semalem dia nangis, sekarang dia tidur."

Bara mengurut keningnya. Ini gara-gara minuman. Harusnya semalam dia langsung pulang dan menunggu Gita. Cewek itu sedang membutuhkan teman sekarang.

"Gita, pindah ke kamar ya?" tanya Bara lembut.

Gita bergumam kecil dan membuka matanya. "Ken?" tanyanya serak.

"Lo mau tidur kan? pindah ke kamar," jawab Bara lagi.

Gita menggelengkan kepalanya dan kembali menangis sambil menunduk dalam. Semalaman dia memikirkan jawaban apa yang harus diberikan pada Bara nanti. Pasti Bara sangat kecewa.

"Maaf Ken," isaknya.

"Lo ngancurin diri lo sendiri Git," kata  Bara.

Gita semakin menangis. Sekarang masalahnya semakin berat karena dia sudah bergantung pada barang itu. Tubuhnya akan sakit jika tidak menggunakan obat itu. Ini semua karena Beni yang tiba-tiba menyuntiknya dengan obat itu.

Sebuah perasaan tenang yang tidak tergambarkan. Perasaan yang ingin dia rasakan setelah kepergian dua orangtuanya. Sampai dia ingin lagi dan lagi padahal itu hanya palsu. Obat itu merusak tubuhnya secara perlahan.

"Dari kapan?" tanya Bara.

Gita mendongak, matanya sudah membengkak. Pipinya juga kelihatan lebih tirus. "Sekitar tiga bulan. Waktu itu hujan. Gue nunggu lo jemput tapi lo nggak dateng. Beni juga belum pulang, dia ngajak gue ke kelas terus tiba-tiba dia ngasih suntikan," jelasnya masih sambil terisak.

"Gua tau itu bahaya Ken, tapi dia narik tangan gue dan nyuntikin obat itu," cerita Gita.

Bara mengerutkan keningnya. Sekitar tiga bulan. Hujan. Ulang tahun Gita. Matanya melebar, waktu itu dia ketiduran di dalam kelas dan setelah itu dia mengantarkan Caramel pulang.

"Git?" panggil Bara sebelum memeluk Gita erat. "Maafin gue."

Defan yang masih sama kagetnya terduduk dan mengusap kepala Gita pelan.

Lagi-lagi Bara harus merasakan perasaan bersalah. Kenapa semua yang dekat dengannya selalu mendapatkan kesialan. "Maafin gue Gita, maaf."

Gita menggelengkan kepala dan menangis di pelukan Bara. "Harusnya gue nggak kegoda sama obat itu."

Hari ini masalah kembali datang di saat Bara benar-benar lelah. Bara memejamkan matanya. Berusaha untuk tidur sebentar. Setidaknya itu bisa mengistirahatkan pikirannya yang kacau.

Ponselnya bergetar pelan, pesan line dari Rafan.

Kara masuk rumah sakit

Oh

Gue udah denger dari bunda.
Welcome bro

Yap. Sorry gue mau balik kerja

Bara meletakan ponselnya kembali ke nakas. Dia menatap langit kamar yang berwarna putih gading. Datang ke rumah sakit juga tidak akan membuat Caramel membaik. Cewek itu justru bisa makin sakit. Matanya berusaha untuk terpejam sebentar.

"Balikin Bara!" kata Caramel tadi.

Bara kembali membuka mata. Decakan kesal keluar dari mulutnya. Dia langsung bangkit dan mengambil jaketnya. Kurang ajar, harusnya dia tidak peduli pada Caramel. Kalau waktu itu dia tidak mengantar cewek itu pulang mungkin Gita tidak akan begini.

Sebelum pergi ke rumah sakit dia mampir untuk melihat Gita yang sedang tidur. "Gue pergi bentar Git," pamitnya.

Motor melaju cepat ke rumah sakit tempat Caramel dirawat. Entah bagaimana cewek itu bisa sakit. Padahal kemarin masih kelihatan sangat sehat.

Sampai di rumah sakit Bara langsung menuju kamar perawatan. Dia melihat keluarga Caramel yang ada di depan kamar. Ada daddy dan Lyza juga di sana. Langkahnya terhenti, lebih baik dia menunggu di sini.

"Kenapa tidak ke sana?" tanya Raka dari belakang.

Bara menoleh. "Bang Raka?"

"Kata Bunda kamu sudah tahu semua," kata Raka sambil menggulung kemejanya.

"Ya," jawab Bara singkat.

"Kamu pasti kaget, itu wajar," kata Raka sambil menghela nafas panjang. "Semua keputusan ada di tanganmu, ingin tetap menjadi Bara seperti kemarin atau kembali ke rumah Daddy. Kamu berhak untuk memilih, karena itu Daddy merahasiakanmu dari kami."

"Saya sudah nyaman dengan kehidupan sekarang," jawab Bara.

Raka tersenyum tipis dan menepuk bahu Bara. "Jika lelah kamu harus ingat kalau kami selalu terbuka. Kamu adalah keluarga kami, pulang ke rumah kami sesekali."

"Terima kasih Bang," kata Bara sambil menatap ke arah kamar perawatan.

"Saya tidak akan minta maaf karena menghajarmu," kata Raka lagi.

Bara menoleh dan tersenyum sambil mengangkat bahu. "Saya juga tidak ingin Bang Raka minta maaf. Setiap kesalahan ada hukumannya bukan?"

Raka ikut tersenyum. "Ayo ke sana."

Bara menggelengkan kepala. "Starla, apa dia belum sadar?"

"Belum, dia kelelahan dan kekurangan cairan. Sebentar lagi juga sembuh," jawab Raka dengan wajah yang dibuat sesantai mungkin karena tahu anak laki-laki di depannya ini sedang khawatir.

"Baguslah, kalau begitu saya pamit. Tolong jangan bilang pada Starla kalau saya datang," kata Bara sebelum  bergegas pergi. Sudah cukup, yang terpenting dia tahu kondisi Caramel sekarang.

Bara duduk di kursi ruang tunggu dan diam di sana. Dia butuh menenangkan diri sebentar. Atau lebih tepatnya berlari dari semuanya. Sebentar, sekaligus untuk menemani Gita rehabilitasi. Mungkin dia juga harus pindah sekolah. Masuk ke sekolah Gita untuk lebih menjaga cewek itu.

"Aarrrggg!" keluhnya sambil menjambak rambut.

🍬🍬🍬

Bella mengupas jeruk dengan wajah sedih. Sudah tiga hari Caramel tidak masuk sekolah karena dirawat. Dia juga yang menemani sahabatnya itu setelah pulang sekolah.

"Cepet sembuh dong Ra! gue bosen tau di sekolah," keluh Bella.

Caramel tersenyum kecil. "Bohong lo, gue tau lo lagi seneng kan?"

"Seneng apanya?" tanya Bella dengan wajah kesal. Dia memakan jeruk yang tadi dia kupas. Kalau lagi sakit Caramel memang susah untuk makan jadi buah-buah ini dia saja yang makan.

"Emang gue nggak liat? di instagram lo? lo jadian sama si Gio kan?" tanya Caramel dengan alis terangkat.

Bella meringis kecil dan menggaruk kepalanya dengan wajah bodoh. "Hehe iya sih, tapi aneh deh. Harusnya gue seneng kan?" tanyanya dengan wajah bingung.

"Hah?"

"Iya harusnya gue seneng si Gio nembak, tapi biasa aja gue. Ahh mungkin gara-gara lo sakit yaa gue jadi nggak enak mau seneng-seneng sendiri," oceh Bella seperti biasa.

Caramel mendengus geli dan menghela nafas sambil memejamkan matanya. Kepalanya terasa pusing sekarang. "Gimana kabar Bara?"

Bella terdiam dan memilih sibuk menghitung apel di nakas. Apel merah dan pear yang menggiurkan. Lebih baik dimakan daripada membusuk sia-sia karena si empunya yang sedang patah hati dan tidak nafsu makan.

"Mbel!" protes Caramel.

"Hah? apa? nggak kok gue nggak bakal bawa balik tu buah," kata Bella ngelantur.

"Ck siapa yang bahas buah? lo ambil aja semuanya kalo mau. Gue nanya si Bara gimana?" tanya Caramel lagi.

Bella menghela nafas dan bertopang dagu di pinggiran ranjang. "Ngapain mikirin tuh orang? dia nggak ada kabar."

"Dia belum masuk sekolah sama kaya kamu Ra," kata Rafan yang baru saja datang dengan celana jeans selutut dan kaos berwarna hitam yang kontras dengan kulitnya yang putih.

Caramel mengerutkan keningnya. "Kenapa? dia sakit?"

Rafan mengangkat bahunya. "Nggak tau. Abang udah berusaha ngehubungin tapi hpnya nggak aktif."

Bella mengusap pelan tangan Caramel melihat wajah sedih sahabatnya itu. "Udah Ra, ntar kalo lo sedih mulu kasian ayam-ayam lo."

"Hey Kara," sapa Jenny pacar Arkan yang datang dengan buket bunga berwarna pink yang cantik. Jelas cewek itu datang dengan Arkan. Tapi entah sekarang ada dimana abangnya yang satu itu.

Bella menahan tawanya melihat Jenny. Cewek ini benar-benar luar biasa. Penampilannya seperti tante-tante yang umurnya terpaut jauh. Selara Arkan banget kata Caramel.

"Bang Arkan mana Kak?" tanya Bella.

"Masih beli minuman," jawab Jenny. "Oh iya Raf, kata Arkan lo dicari di Disa."

"Disa?" tanya Rafan.

Jenny mengangguk dan duduk di samping Bella yang wajahnya kelihatan bingung. "Lo Bella ya? sohibnya Kara."

Bella mengerjapkan mata dan mengangguk dengan cengiran canggung. Masalahnya dia belum pernah ngobrol dengan Jenny. Males banget. Beda bahasan. Kalau dengan Caramel pasti membahas kartun dan jajanan enak. Kalau dengan Jenny dia takut akan membahas salon dan model-model barang branded yang sama sekali tidak dia mengerti.

Arkan masuk dengan plastik besar di tangannya. Dia langsung duduk di sofa dan mengeluarkan minuman dan makanan ringan ke meja. Kebiasaan setiap menjaga Caramel di rumah sakit. Katanya untuk amunisi.

"Wahh Bang lo mau pesta?" tanya Bella yang langsung tertarik dan berdiri dari kursinya untuk menghampiri Arkan.

"Etdah ni anak nggak bisa liat makanan dikit," kata Arkan.

Caramel tertawa geli dan mencoba bangun dari tempat tidurnya. Tangan Rafan langsung membantunya untuk duduk. "Makasih Bang."

"Kara mau apa?" tanya Rafan pelan.

"Duduk di sana," kata Caramel sambil menunjuk samping Arkan.

Rafan tersenyum dan menggendong Caramel ke sofa. "Kepalanya masih pusing?"

"Nggak Bang," jawab Caramel bohong.

Arkan mengacak rambut Caramel. Dia mengeluarkan kartu uno dari tasnya. Lumayan untuk menghabiskan waktu daripada bosan.

"Kak Jenny nggak ikut?" tanya Bella basa-basi.

"Ohh nggak deh, nggak ngerti," jawab Jenny.

"Ohh," kata Bella. Dia mendekati Arkan dan berbisik pelan. "Ngapain ngajak dia sih Bang?"

"Ck biarin aja, dia yang maksa ikut. Kalo bosen juga ntar dia balik," jawab Arkan santai. Benar-benar menyebalkan.

Bella sampai tertawa geli dan memukul lengan Arkan. Kalau dia jadi Jenny sudah pasti akan dia jambak rambut Arkan sampai botak saking kesalnya. Untung dia bukan Jenny.

Mereka berempat main dengan asik mengabaikan Jenny yang bertopang dagu dengan wajah bosan. Bella berkali-kali berteriak uno setiap kartu Rafan tinggal satu sampai Rafan berdecak kesal. Semua keseruan itu lumayan bisa mengalihkan pikiran Caramel dari Bara.

"Uno!!" teriak Bella lagi.

Rafan melotot kesal dan menjitak kepala Bella. "Kenapa gue doang yang lo teriakin uno?"

Bella cemberut kesal dan mengusap kepalanya. "Yaa kan gue merhatiin kartu lo Bang!"

"Uuuuu," ledek Arkan dan Caramel dengan siulan yang gagal.

"Oh iya si Disa nyariin lo Raf," kata Arkan.

"Ngapain?" tanya Rafan.

Arkan mengangkat bahunya cuek. "Paling ngomongin acara sekolah. Apa jangan-jangan lo ada main sama dia?"

"Wah iya bener tuh, ada main kali. Setipe tuh sama Bang Rafan, sama-sama cuek. Iya kan?" tanya Bella dengan antusias.

Caramel menggeleng tegas sambil menggerakan jarinya ke kanan dan ke kiri. "No no no, es ketemu es jadinya makin beku. Es butuh yang panas biar cair."

"Nahh setuju!" kata Arkan.

Bella mengerutkan keningnya. "Ohh iya gue ngerti. Bang Rafan butuh yang seksi ya? bener jugaa."

"Bodo amat Bell," kata Arkan dengan wajah kesal.

Permainan dilanjutkan lagi. Kali ini Caramel cuma nonton karena tadi sudah kalah. Persaingan yang sengit antara tiga orang.

"Uno," kata Rafan dengan senyum puas melihat kartu Bella tinggal satu.

"Issshh kenapa ngomong uno?!" protes Bella.

"Balesan," jawab Rafan santai.

"Ngeri ihh mainnya dendam," kekeh Caramel.

Ponsel Bella berdering dengan nada lucu. Khas suara ponsel milik Bella yang sejak dua tahun lalu tidak diganti. "Yaa halo orang sibuk di sini," sapa Bella.

"Iuh," kekeh Caramel.

"Hehe iya gue di rumah sakit. Kenapa?"

"Ehh nggak usah, gue apal jalan pulang."

"Ohh yaudah deh, iya-iya Gio gue tunggu. Bye take care! di jalanan banyak batu loh jangan sampe kesandung," kekeh Bella sebelum menjauhkan ponselnya. Dia cemberut kesal.

"Kenapa?" tanya Arkan.

"Gio mau jemput. Gimana nih?" tanya Bella.

"Loh harusnya lo seneng dongo! dijemput pacar malah cemberut," omel Caramel.

Bella berdecak kesal dan bersandar pada sofa. "Ini gue seneng."

"Anak kecil juga tau lo nggak seneng," kata Arkan.

"Yaahh emm gue cuma males pulang."

Caramel melirik Rafan yang masih cuek memainkan kartu di tangannya. Dia menyikut pelan bahu Arkan sampai abangnya itu mengangkat alis. Matanya berusaha memberikan kode dengan melirik Bella dan Rafan.

"Ohh," kata Arkan sambil mengangguk mengerti.

"Bukannya lo udah suka sama si Gio lama? harusnya seneng dong," kata Arkan.

Caramel mengangguk setuju. "Iya gue aja seneng dengernya. Long last deh buat lo berdua. Nanti tiap malem mingguan gue ikut nggak papa kan?"

"Ck gue keluar dulu," kata Rafan.

"Mau ngapain?" tanya Caramel.

"Nyari udara seger," jawab Rafan sembari berjalan keluar.

"Ehh Bel.. katanya di atap enak banget loh. Sono aja Bang Rafan!" kata Caramel.

"Hah? enak apaan? dingin kali malem-malem ke atap," kata Bella sambil mengerutkan alisnya.

"Yeh serius bagus! banyak lampu-lampu. Lagian lo kan nggak mau pulang? yaudah sono sama Bang Rafan aja biar Gio di sini dulu nunggu lo."

Bella mengerjapkan mata dan menjentikan jarinya sambil tersenyum lebar. Benar juga kata Caramel. Mending kabur, biar Gio tidak langsung mengajaknya pulang. Lagian di rumah cuma ada mama. Papa dan bang Dirga juga sedang sibuk.

"Sipp gue nyusul Bang Rafan deh, bye!" kata Bella semangat.

Caramel tersenyum lebar. Dari dulu Bella memang tidak terlalu suka ngobrol dengan Rafan yang cuek tapi kalau ada masalah apa-apa pasti Bella cerita pada Rafan. Dulu kata Bella bang Rafan itu tidak enak dijadikan teman tapi enak untuk dijadikan temen curhat.

Waktu masih sekolah dasar Bella malah menangis di depan Rafan sambil cerita kalau dia habis dikerjai kakak kelasnya. Kalau ingat itu Caramel pasti tertawa karena dulu Rafan sampai kebingungan.

"Arkan kamu masih lama di sini?" tanya Jenny.

"Iya, lo mau balik? yaudah gih sana. Udah malem," kata Arkan tanpa basa-basi.

Caramel menahan senyumnya dan menyikut perut Arkan. "Thanks Kak udah jengukin."

"Iya sama-sama, yaudah aku balik yaa cepet sembuh. Oh iya kata Raya si Bara mau pindah sekolah?" tanya Jenny.

"Pindah sekolah?" tanya Caramel dengan mata melebar.

🍬🍬🍬

Dua minggu Caramel tidak melihat Bara di sekolah. Cowok itu kembali menghilang. Dari cerita bunda sepertinya dia bisa maklum. Bara butuh waktu untuk menenangkan diri.

Tapi kabar tentang pindah sekolah sepertinya berlebihan. Kenapa harus sampai pindah sekolah. Apa Bara masih menghindar darinya. Caramel menggelengkan kepala. Buat apa memikirkan itu. Cowok itu sudah berubah.

"Raaaa!!!" panggil Bella yang berlari dari ujung koridor dekat tangga. Dia mengatur nafasnya sambil membungkuk. "Kak Bara."

"Kenapa sih?" tanya Caramel.

"Kak Bara udah balik, tapi dia ngelepas soflensnya," kata Bella heboh.

Caramel mengerjapkan mata dan langsung berlari untuk melihat Bara. Jadi sekarang cowok itu memilih untuk kembali ke penampilan aslinya. Yah itu lebih bagus, tapi sekolah ini pasti gempar.

Di dekat lapangan basket, Bara sudah dikelilingi teman-temannya. Cowok itu tertawa ringan dengan teman sekelasnya. Ada Raya juga yang setia merangkul tangan Bara.

"Woy dicari noh," kata Tio pada Bara.

Bara menoleh pada Caramel. Senyumnya mengembang, tapi mata itu tetap datar. "Kenapa Ra?" tanyanya santai.

Caramel menggerutu dalam hati, sial sekali. Dia sudah ingin menangis karena senang melihat Bara tapi cowok ini justru kelihatan sangat santai. Jelas, itu bukan masalah untuk Bara.

"Gue mau ngomong," kata Caramel.

Bara mengerutkan keningnya dan mengangguk. "Ayo, dimana?"

Mereka berjalan ke taman belakang sekolah. Masih ada lima belas menit untuk ngobrol. Waktu yang lumayan lama.

"Mau ngomong apa?" tanya Bara.

"Apa kabar?" tanya Caramel.

Bara tertawa kecil dan menganggukan kepalanya. "Baik, lo mau nanya kabar gue doang?"

Caramel menggelengkan kepalanya. Iya dia tahu kalau sekarang dia bodoh, harusnya dia marah pada Bara. Dia menangis kecil dan menunduk.

"Harusnya dari awal lo nggak usah balik," isaknya.

Bara menghela nafas panjang. Dia mengerti maksud dari kata-kata Caramel. Setelah dua minggu pergi dia berhasil membangun kembali tembok yang kemarin hancur. Dia kembali mendapatkan ketenangan yang sempat hilang.

"Lupain gue," kata Bara singkat.

"Pasti!" kata Caramel. Seenaknya, memori bukan mesin yang jika diberi perintah langsung berjalan seperti apa yang diperintahkan.

"Bagus," kata Bara sebelum berbalik pergi.

"Dari malem lo dateng ke rumah gue itu gue tau lo Kenneth," kata Caramel sambil mengusap airmatanya. "Gue nahan diri, gue marah tapi nggak apa-apa yang penting lo nggak ngejauh dari gue."

Bara menghentikan langkahnya.

"Gue ngerti kalau gue tau semuanya pasti lo ngejauh. Harusnya gue tetep pura-pura nggak tau."

"Lo emang harus tau semua," kata Bara. Dia kembali ke Caramel dan memegang kedua bahu cewek itu dengan pandangan tajam. "Belom jelas yang kemaren gue bilang?"

"Nggak, gue lupa semua makian lo!" kata Caramel.

"Oke gue ingetin lagi. Gue udah selesai main-main sama lo!" kata Bara. Tajam dan menusuk. "Sadar Ra! kemaren gue cuma main-main sama lo!"

"Oh ya? kenapa sekarang berenti?"

"Karna lo adek gue! Bunda udah baik sama gue, jelas kenapa gue nggak mau sama lo lagi? kita selesai. Lo boleh panggil gue Abang," kata Bara bohong. Sebagian benar tapi tidak sepenuhnya.

"Berengsek!" kata Caramel sambil menampar Bara.

Bara mendengus samar dan mengusap pipinya. "Udah tau berengsek kenapa masih suka?"

Caramel memicingkan mata dan menggeleng pelan. Dia langsung melangkah pergi meninggalkan Bara yang masih berdiri sambil mengusap pipinya sendiri. Cowok macam apa yang dia sukai sekarang. Benar-benar lebih buruk daripada Bayu.

Bara menghela nafas panjang. Kepalanya menggeleng pelan, itu sudah paling benar. Dia memang harus menyelesaikan semuanya.

"Sakitin gue terus sampe gue benci sama lo selamanya," kata Caramel yang kembali.

Bara membuka matanya. Mata birunya menatap mata Caramel yang sudah memerah. Senyumnya mengembang sinis. "Harusnya lo udah benci gue sekarang."

🍬🍬🍬

See you in the next chapter 😘😘😘

Caramel

Kenneth

Aldebaran&Starla

Jangan lupa follow ig :

@kennethaldebaran

@caramelstarla

@rafansafaraz

@arkanlazuard

@umbrellakirei

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top