BAB 22 - Sick
Halohaaaa up lagi nih hehe pulang dinas langsung nulis dan besok pagi dinas lagi tanpa libur 😂😊😅
Semangattttt 😍
Kalian yang mau ikutan Giveaway NADW ayoooo masih bisaaaa. Siapa tau beruntung kan??
Lanjut yaaa happy reading guys! Hope you like this chapter 😘😉
🍬🍬🍬
Bara mengobati wajahnya yang luka karena dipukuli Raka. Wajar, kalau bisa dia ingin dapat yang lebih dari ini. Matanya memerah, bukan karena luka ini sakit. Ini bukan apa-apa dibandingkan sakit karena harus bicara kasar pada Caramel. Apalagi melihat mata cewek itu yang kelihatan kecewa.
Kepalanya tertunduk. Semua yang berawal dari kebohongan tidak akan bisa bertahan lama. Dia tahu Caramel benci dibohongi. Sepertinya semua orang juga begitu. Melepaskan Caramel saja sudah sulit. Sekarang dia harus bicara hal-hal kasar pada cewek itu.
Tapi terlihat berengsek di depan Caramel memang penting. Cuma itu cara agar cewek itu menjaga jarak darinya. Dia tidak mau Caramel mencampuri semua kehidupan pribadinya. Terlalu kacau, dan dia juga tidak butuh dikasihani.
Bara menatap cermin di depannya. Dia menghela nafas lelah, pikirannya masih dipenuhi Caramel. Kemana cewek itu pergi. Dengan tingkat kecerobohan setinggi itu, bahaya melepas Caramel sendirian. Dia berdecak kesal, ada bang Raka di sana.
Pintu kamarnya diketuk dan suara Defan menyusul. Sohibnya itu pasti mengajaknya ke bengkel. Bara langsung melepas soflensnya. Benda ini sudah tidak berguna lagi sekarang.
"Buset, bonyok kenapa lagi lo? siapa yang ngehajar lo? berani amat!" kata Defan heboh.
Bara mengibaskan tangannya. "Gue mampir beli rokok dulu."
Brugg. Bara dan Defan menoleh ke pintu apartemen Gita yang tertutup. Bara mengerutkan keningnya, dia langsung mengetuk pintu kamar Gita. "Git?" panggilnya.
Tidak ada jawaban sampai Defan menatap Bara dengan pandangan bertanya. "Lo liat si Gita udah balik?"
Bara mengangkat bahunya. "Nggak engeh."
"Ck dobrak aja! siapa tau maling," kata Defan yang tidak masuk akal. Siapa yang mau merampok tempat yang bahkan tidak ada apa-apanya. Ini bukan tempat mewah yang bisa dijadikan tempat mencari harta.
Bara mendobrak pintu itu karena khawatir dengan Gita yang memang sudah berubah sekarang. Dia langsung masuk dan mencari Gita. "Gita!" panggilnya melihat sahabatnya itu jatih di lantai sambil memeluk lututnya sendiri.
Wajahnya kelihatan pucat dengan keringat dingin. Gita kelihatan sangat kesakitan. Bara langsung memeluk Gita untuk membantu menghangatkan. "Lo kenapa?"
"Bawa rumah sakit!" kata Defan panik.
Gita menggeleng cepat. "Jangan!" lirihnya.
Bara mengerutkan keningnya. Ini tidak asing, dia sering melihat yang begini. Tangannya terkepal kuat sampai buku jarinya memutih. "Dari kapan Git?"
"Hah? iya dari kapan lo sakit?" tanya Defan.
"Dari kapan lo jadi pecandu?" tanya Bara tajam dan menyeramkan. Defan bahkan sampai merinding mendengar ucapan sedingin itu.
Gita menangis, dia sudah tahu cepat atau lambat Bara pasti sadar. Cowok ini memiliki banyak teman yang sama sepertinya sekarang. "M-maaf," katanya.
Defan membeku di tempat. Wajahnya kaget, dia juga punya teman pecandu tapi dia tidak bisa langsung sadar kalau saat ini Gita sedang sakau. "Git lo kenapa bisa?" Masalahnya Gita bukan cewek yang akan coba-coba karena penasaran.
"Beni kan? perlu gue bunuh tu orang?" tanya Bara lagi.
"Ja-jangan," kata Gita. "Gue butuh obat itu, badan gue sakit Ken.."
Bara semakin mengepalkan tangannya. Gita sampai begini karena si Beni itu. Akan dia hajar orang itu nanti karena sekarang kondisi Gita yang paling penting.
"Gimana sekarang?" tanya Defan.
Bara menggeleng pelan. Dia juga tidak tahu. Gita tidak boleh menyentuh barang haram itu tapi sekarang Gita kesakitan. "Gue harus cari Soni."
"Lo yakin?" tanya Defan.
Sekali ini saja, karena dia butuh Gita untuk menjelaskan semua sampai akhirnya cewek ini jadi pecandu. Sejak kapan menggunakannya, dan kenapa bisa jatuh ke dalam lubang hitam itu. Dia akan membantu Gita keluar dari sana. Karena Gita itu tidak pantas di sana.
Malam ini Bara pergi ke bar dengan penampilan aslinya. Tidak peduli dengan orang-orang yang langsung tertarik padanya. Kalau ada yang mengganggu tinggal dia hajar saja. Kebetulan saat ini dia butuh samsak gratis.
"Son," panggil Bara.
"Ken? ngapain ke sini nggak nyamar? banyak musuh!" kata Soni.
"Gue butuh satu," kata Bara langsung.
Soni memiringkan kepalanya. "Lo tau gue nggak bakal ngasih kan?"
"Gue bayar berapa pun," kata Bara lagi.
"Bukan soal uang! gue udah bilang pantang ngerusak orang kaya lo. Udahlah, nggak usah macem-macem!" kata Soni.
Bara menghela nafas panjang. Matanya terpejam sebentar. "Buat Gita, dia kesakitan."
Soni mengerjapkan matanya. "Gita?"
"Si berengsek yang gue pukulin waktu itu nyeret Gita," jelas Bara pada Soni.
Soni menggelengkan kepalanya dengan wajah kaget. Kepalanya langsung tertunduk dalam. Dia tahu arti Gita bagi Bara. "Maaf Ken, gue bener-bener nggak tau."
Bara mengacak rambutnya. "Shit!!" umpatnya sambil memukul-mukul meja bar. Kepalanya benar-benar pusing sekarang. Semuanya datang bersamaan. Tanpa aba-aba agar dia bisa bersiap lebih dulu.
Dia langsung memesan minuman. "Tolong anter ke tempat Gita. Bilang sama Defan gue nggak balik," katanya.
Bara menghabiskan malamnya di tempat ini. Dengan botol-botol minumannya. Sering minum membuatnya tidak mudah kehilangan kesadaran hanya dengan satu dua botol. Dia menghirup rokoknya dalam-dalam. Kepalanya mulai pusing sekarang.
"Ken?" panggil cewek dengan dress putih tulang dan rambut digerai tanpa hiasan apapun. Make up yang pas untuk wajah yang manis. Namanya Fina, teman Gita yang dulu suka pada Bara.
Bara tersenyum tipis. "Hey."
"Sendirian aja?" tanya Fina.
Bara menganggukan kepalanya dan kembali fokus pada gelas yang sejak tadi dia genggam. Suara-suara musik semakin memekakan telinga. Seperti dentuman yang sebenarnya tidak nyaman. Tapi sangat cocok untuk suasana hatinya yang kacau.
"Gue masih suka lo Ken. Bisa nggak kita pacaran?" kata Fina.
Bara mengerjapkan matanya. Senyumnya mengembang sinis. "Oke," jawabnya langsung tanpa berpikir. Ini kesempatan untuk membuat Caramel makin menjauh.
"Serius?" tanya Fina. Dulu Bara menolah karena cowok itu bilang tidak tertarik dengan hal-hal pacaran. Kenapa cowok ini sekarang berubah.
"Kalo lo serius," jawab Bara santai.
Fina tersenyum senang dan merangkul lengan Bara. Jelas saja serius. "Malem ini lo ada acara?"
"Nggak," jawab Bara.
"Yes!!!" teriak Fina girang.
Bara memijat keningnya sendiri karema pandangan matanya sudah mulai buram. Entah ini botol yang keberapa sampai kesadarannya mulai menurun. Di sampingnya Fina sudah tertidur dengan racauan yang tidak jelas.
"Fina," panggil Bara sambil menepuk pelan pipi cewek itu. Dia berdecak kesal dan mengambil ponselnya untuk menghubungi pak Hamdi. Hanya orang itu yang bisa dia andalkan dalam situasi begini.
Setengah jam setelah Bara menghubungi pak Hamdi, orang itu datang dengan pakaian rapi seperti biasa. Gerakan dan ucapannya juga masih kaku seperti biasa. Ditambah panggilan tuan muda yang masih terdengar menggelikan ditelinga Bara.
"Antar dia," kata Bara setelah membopong Fina ke mobil.
"Tuan muda juga sedang mabuk," kata pak Hamdi.
Bara berdecak kesal. "Antar dia, saya masih sanggup pulang."
Pak Hamdi tersenyum tipis dan mendorong Bara hingga majikannya itu terhuyung dan hampir jatuh. Kalau dalam keadaan normal jelas itu bukan dorongan yang berarti. "Lihat? hanya dorongan kecil saja Tuan Muda jatuh. Apalagi nanti kalau ada musuh di jalanan. Ikut dengan saya, nanti setelah mengantar gadis ini baru saya akan mengantar Tuan Muda."
Bara menghela nafas. Benar juga yang diucapkan pak Hamdi. Kepalanya memang sudah sangat berat ditambah pandangan yang sudah kabur tidak jelas. Kalau pulang sendiri itu akan sangat beresiko.
Akhirnya setelah berpikir panjang Bara ikut dengan pak Hamdi. Di mobil dia tertidur pulas sampai dengan sengaja pak Hamdi mengantar Bara ke rumah tuannya, bukan ke tempat tinggal Bara. Pak Hamdi tahu kalau nanti tuan mudanya ini akan marah tapi itu tidak masalah.
Pak Hamdi membantu Bara untuk masuk ke dalam rumah. Karena ini sudah melewati tengah malam jadi para pekerja sudah banyak yang tidur. Hanya sisa beberapa orang yang langsung membantu Bara untuk masuk ke dalam kamar dan menyiapkan minuman hangat.
"Bara?" panggil Caramel.
Bara yang dituntun masuk langsung mendongak. Matanya menyipit karena pandangan buramnya. "Starla?"
🍬🍬🍬
Caramel kesal karena Raka juga ikut bohong padanya. Dia berlari ke jalanan besar dan menaiki metro mini tanpa melihat tujuannya. Toh dia tidak terlalu buta dengan kota Jakarta. Kesasar sedikit juga dia bisa bertanya.
Jalanan ibu kota tentu saja selalu padat. Sudah berdesakan udara panas pula. Rasanya seperti masuk ke dalam oven dengan suhu tinggi. Emosinya jadi makin meningkat. Senggol bacok istilahnya.
Caramel mengerutkan keningnya melihat orang yang dia kenal sedang di pinggir jalan dengan mobil hitam. "Kiri Bang!" katanya sebelum berlari menuruni mini bus yang sudah usang itu.
"Daddy?" panggilnya setelah menghampiri pria dengan setelan jas abu-abu itu.
"Caramel? sedang apa di sini?" tanya daddy.
Caramel tersenyum dan menyalami sahabat orangtuanya itu. "Pulang sekolah. Mobil Daddy kenapa?"
"Ada masalah, orang bengkel sedang kemari," jawab daddy seramah biasanya. Caramel heran, kenapa Bara harus memilih hidup sendiri daripada tinggal di rumah yang nyaman dengan daddy yang sebaik ini.
"Tidak pulang dengan pacarmu itu?" tanya daddy dengan senyum menggoda.
"Daddy nggak perlu pura-pura. Pasti Daddy tau kan kalau pacar Kara itu Kenneth Aldebaran, anak laki-laki Daddy?" tanya Caramel dengan wajah kesal.
Daddy hanya tersenyum dan mengusap puncak kepala Caramel. "Ayo bicara di rumah, kamu kemari naik apa?"
Caramel menunjuk mini bus yang sedang lewat. Kendaraan yang sebenarnya sudah tidak layak dipakai. Asap yang mengepul hitam setiap gas diinjak. Karat yang ada di beberapa bagian badan bus.
"Oke kita naik itu ke rumah," kata daddy semangat.
"Hahh? serius?" tanya Caramel sambik menatap mobil milik daddy yang jelas harganya mahal. Mungkin daddy tidak pernah naik kendaraan umum itu selama hidup.
"Jangan remehkan Daddy. Dulu waktu muda Dad suka petualangan jalanan," katanya bangga.
"Oh ya?"
"Tidak, sudah ayo! Dad penasaran rasanya naik benda itu," kata daddy.
Caramel menahan senyumnya melihat daddy seperti tidak nyaman karena menjadi pusat perhatian semetro mini ini. Jelas, mana ada orang naik kendaraan umum jenis ini dengan pakaian jas yang terlihat mahal begitu. Terlalu mencolok dan aneh.
"Neng," kata kenek bus itu sambil mengulurkan tangannya.
Daddy langsung mengeluarkan dompet untuk membayar. Sudah bisa diduga kalau sahabat orangtuanya ini mengeluarkan nominal uang besar. Caramel tersenyum dan menahan tangan daddy.
"Biar Kara yang bayar," katanya sambil mengambil uang sepuluh ribu dari kantung seragamnya.
Mini bus itu berhenti di depan gerbang besar kompleks perumahan elit yang sudah pernah Caramel datangi. "Daddy nggak apa-apa jalan sampe rumah?"
"Apa Dad kelihatan sangat tua?" tanya daddy.
Di rumah besar milik keluarga Soller ini, Caramel hanya bisa duduk diam di sofa sambil menunggu. Lari dari macan kenapa dia harus datang ke sarang macannya. Ck dia memang bodoh. Harusnya tadi langsung saja tolak ajakan daddy.
"Jadi kamu sudah tahu semua?" tanya daddy setelah selesai mengganti pakaian dengan kemeja santai.
Caramel tersenyum kecil. Apa jangan-jangan cuma dia dan bunda yang belum tahu. "Bara, Aldebaran. Dia Kenneth Aldebaran Soller."
"Yaa dia putra Daddy, yang katamu tampan," jawab daddy dengan senyum tertahan.
Yaa waktu itu Caramel sendiri yang bilang begitu. Kepalanya tertunduk dalam. "Kenapa semua bohong?"
Daddy menghela nafas panjang. "Bukan bohong, Daddy dan yang lain hanya menghargai keputusan Ken untuk tetap menggunakan nama Bara di depan teman-temannya termasuk kamu."
"Bara nggak tau tentang Bunda?" tanya Caramel lagi.
Daddy tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Hubungan kami terlalu rumit. Nanti pasti dia akan cerita padamu."
"Nggak akan," jawab Caramel dengan wajah sedih. Hubungannya dengan Bara juga sekarang tidak baik. Apalagi setelah pertengkaran tadi. Kata-kata Bara masih sangat menusuk.
"Ada masalah?" tanya daddy.
Caramel menggelengkan kepalanya. "Kami baik-baik aja. Yaudah Kara mau langsung pulang takut Bunda nyari."
"Kenapa buru-buru? Daddy sudah bilang kamu akan main di sini. Kakakmu Lyza lebih betah di rumahmu, tidak ada yang bisa diajak bicara di rumah ini," kata daddy.
"Ada Pak Hamdi?"
"Kamu menyindirnya?" tanya daddy dengan wajah geli. Siapa yang betah ngobrol lama dengan bahasa yang kaku dengan pak Hamdi.
Malam ini Caramel makan dengan daddy. Selalu saja ada pembahasan yang menarik sampai dia bisa sedikit melupakan rasa kesalnya pada Bara. Daddy memang orang yang menyenangkan. Persis seperti kepribadian Bara. Iya Bara, bukan Kenneth si mata biru yang asing itu.
"Wah sudah malam, sepertinya kamu harus menginap," kata daddy dengan ekspresi kaget yang dibuat-buat saat melihat jam tangan.
Caramel memutar bola matanya. Dia terkekeh kecil dan menganggukan kepala. Toh Bara tidak akan pulang ke rumah ini. "Oke Kara nginep di sini. Tapi Kara nggak bawa baju."
"Ada beberapa pakaian ibunya Ken. Pilih saja, nanti biar Mbak di sini bantu kamu," kata daddy dengan wajah senang. Sudah lama rasanya tidak ada yang menginap di rumah ini.
Caramel mengusap hidungnya yang mulai berair. Ini pasti gara-gara menunggu Bara di depan tempat billiard kemarin malam. Sudah dibilang polos yang dia yakin itu bahasa halus dari kata tolol untuknya, sekarang ditambah ingusan pula.
Kalau sedang sakit begini dia tidak akan bisa tidur. Badan terasa sakit semua. Bergerak linu dan mata perih. Komplit sudah sekarang. Kalau ada bunda di sini pasti dia sudah menangis dan cerita semua, tapi tidak bisa karena bunda nanti akan marah.
Caramel menatap jam dinding dengan bentuk kotak klasik di kamar yang dia tempati. Sudah lewat tengah malam, wajah saja suasananya hening sampai suara detik jam terdengar menguasai ruangan. Hacchimm. Lagi-lagi Caramel bersin karena hidungnya gatal.
Suara mobil mengalihkan perhatian Caramel. Dia langsung membuka jendela dan menatap mobil yang biasa dipakai pak Hamdi. Matanya menyipit melihat pak Hamdi memapah seseorang. Dia langsung berlari ke bawah untuk membantu bapak itu. Meski kelihatan kuat tapi pak Hamdi tetap pria tua.
"Bara?" panggil Caramel dengan wajah bingung.
Bara mendongak, wajahnya kelihatan memerah. "Starla?"
Caramel berdecak kesal, kenapa Bara bisa datang ke rumah ini. Oke itu pertanyaan tidak wajar karena rumah ini memang milik orang tua cowok ini. "Pak Hamdi butuh bantuan?"
"Tidak. Nona bisa tidur lagi," kata pak Hamdi.
Mata Caramel menatap tajam Bara yang seperti tidak terlalu peduli padanya. Cowok itu justru menundukan kepalanya. "Yaudah, Kara ke atas. Malem Pak," katanya sebelum pergi.
Kamar yang Caramel pakai adalah kamar Lyza. Tempatnya bersebelahan dengan kamar Bara. Luar biasa, jadi sekarang dia tidur di samping kamar cowok yang jahat itu. Caramel menatap dinding kamar yang menyatu dengan kamar Bara. Kalau bisa sudah dia hancurkan dinding ini dengan kekuatan pandangan mata.
Malam ini Caramel benar-benar tidak bisa tidur. Sampai subuh pun dia masih terjaga. Jelas badannya semakin tidak karuan. Dia masih betah berjalan mondar-mandir kamar ini.
"Kara??" panggil daddy dari luar kamar.
Caramel langsung berlari ke pintu dan membukanya. "Iya Daddy?"
Daddy mengerutkan keningnya. "Ada apa?" tanya daddy langsung.
"Hah? nggak ada apa-apa. Oh iya Bara emm Ken, dia pulang semalem," kata Caramel.
Daddy tersenyum dan menganggukan kepalanya. "Daddy tahu, ya sudah. Nanti kita sarapan di bawah."
Caramel menganggukan kepala dan tersenyum kecil sebelum kembali masuk ke dalam kamarnya. Dia harus siap-siap sekolah. Kalau nanti tidak kuat tinggal istirahat di UKS seharian. Atau bilang pada daddy akan sekolah tapi pulang ke rumah, yang penting bukan di rumah ini.
Setelah bersiap-siap Caramel langsung keluar dari kamar. Dia berpapasan dengan Bara yang juga keluar dari kamar tapi masih dengan baju yang semalam. Tidak ada obrolan karena Bara lewat begitu saja. Mungkin melirik juga tidak.
Di meja makan daddy sudah menunggu dengan senyum hangat. "Selamat pagi."
Caramel tersenyum dan duduk di kursi. "Selamat pagi Daddy."
"Kamu tidak sekolah?" tanya daddy pada Bara.
Bara menggelengkan kepalanya. "Aku akan pulang nanti."
"Ada apa? kurang sehat?" tanya daddy lagi.
Bara menghela nafas dan menganggukan kepala tanpa menjawab. Kepalanya memang sedikit pusing sekarang. Mungkin efek minuman semalam.
Daddy menganggukan kepalanya dengan wajah maklum. "Kalau begitu yang benar-benar sakit juga tidak boleh sekolah."
"Hah?" tanya Caramel.
Daddy menunjuk wajah Caramel yang sejak tadi memerah. "Sejak kapan kamu demam?"
Caramel memegang keningnya sendiri. Kalau bohong pasti langsung ketahuan. Senyumnya mengembang tipis. "Demam biasa, nanti di sekolah juga ilang demamnya. Di sana kan banyak kegiatan biasanya Kara lupa sama sakit kalau lagi sibuk."
Daddy tersenyum dan memanggil pekerja rumah untuk membawa termometer. "Kita lihat suhu tubuhmu."
"Tiga puluh delapan koma delapan, tinggi Tuan," lapor perempuan dengan seragam putih dan hitam itu.
Daddy menggelengkan kepalanya. "Bisa-bisanya bilang tidak apa-apa? jangan pergi ke sekolah biar Daddy yang bicara dengan gurumu sekaligus bicara pada guru Kenneth."
Caramel melirik Bara yang menatapnya dengan pandangan menyeramkan. Padahal mata biru itu indah. Mata biru yang selalu ingin dia lihat. Kalau begini dia lebih suka nata hitam Bara yang hangat. Air mata Caramel menetes tapi dia buru-buru mengusapnya. Efek sakit membuat tingkat cengengnya meningkat.
"Kamu menangis? apa kepalamu pusing?" tanya daddy dengan wajah khawatir.
Caramel menggelengkan kepalanya. "Kara mau ke kamar aja, tolong telepon Bunda. Kara mau pulang."
"Oke Daddy akan telepon Bundamu," kata Daddy. "Ken! antar Kara."
Bara langsung bangkit dan menghampiri Caramel. "Bisa jalan?"
Caramel mengangguk dan berjalan di depan Bara. Dia mau kelihatan baik-baik saja dengan Bara di depan daddy. Sudah banyak masalah yang berat untuk daddy.
Bara menahan tangan Caramel di anak tangga paling bawah. Dia membopong Caramel sampai cewek itu langsung mengalungkan lengannya di lehernya. Wajah itu kelihatan kaget sampai mata cantik itu membulat.
"Gue bisa jalan!" kata Caramel.
"Antisipasi," kata Bara singkat.
Caramel mendengus kesal dan mengalihkan pandangannya ke depan. Dia berusaha mengabaikan irama jantungnya yang tidak karuan. Setelah ucapan Bara yang menusuk harusnya jantung ini tidak bereaksi untuk cowok itu.
"Buka pintunya," kata Bara.
Caramel membuka hendle pintu putih itu dan Bara membawanya ke ranjang. "Thanks," katanya pelan.
Bara berdeham pelan dan langsung keluar dari kamar. Meninggalkan Caramel yang masih menundukan kepala. Sudah pasti cewek itu kembali menangis.
🍬🍬🍬
"Tidak jadi pulang?" tanya daddy.
Bara menggelengkan kepalanya dan tetap berdiri di depan kamar Caramel sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding samping pintu kamar itu. Kalau tidak bisa menunggu di dalam setidaknya dia bisa menunggu di luar. Toh Caramel tidak akan tahu.
"Kamu boleh membenci Daddy, kamu bisa membenci dunia. Kamu bisa menghancurkan dia, tapi semua akan tetap sama. Ibumu tidak akan hidup kembali dan berkumpul dengan kita," kata daddy.
Bara menundukan kepalanya. Jelas daddy akan cepat tahu tentang masalahnya dengan Caramel. "Mungkin itu bisa membayar semuanya."
Daddy tersenyum menepuk bahu Bara. Suatu hal yang belum pernah daddy lakukan. "Seandainya kamu mau mendengarkan sedikit. Daddy juga sama sepertimu dulu, terkadang mendengarkan bisa mengubah hidupmu."
Bara mendengus samar. Apa yang harus diubah dari hidupnya yang sudah kacau ini. "Aku akan pergi kalau dia sudah lebih baik."
"Terserah, ini rumahmu. Hakmu untuk tetap tinggal. Kalau ingin dia membaik, kembalikan saja Baranya," kata daddy sebelum masuk ke dalan kamar.
Bara diam mendengar ucapan daddy. Kepalanya tertunduk dalam mengingat pertengkarannya dengan Caramel kemarin. Dia tidak yakin bisa mengembalikan dirinya seperti Bara. Sekarang dia sudah kembali menjadi Kenneth.
Dokter datang untuk memeriksa Caramel yang sudah tertidur pulas. Bara cuma bisa menyaksikan dari pintu yang terbuka. Semoga Caramel baik-baik saja.
Ponsel Bara bergetar pelan. Notifikasi line dari Defan.
Gita udah baik. Lo bisa tanya dia sekarang
Bara menghela nafas. Sekarang dia harus pergi sebelum nanti Gita kambuh dan dia harus minta obat terkutuk itu. Tapi melihat Caramel yang belum juga bangun membuat dia tidak tenang.
"Masuk, dia belum sadar," kata daddy.
Bara langsung mengangguk dan masuk menghampiri Caramel yang matanya terpejam. Pelan dia usap kening cewek ini. "Gue pergi dulu, lo cepet sembuh," bisiknya.
Caramel membuka matanya. "Bara?"
"Apa?"
"Gue kangen Bara! balikin Bara," rengek Caramel sambil menangis.
Bara menghela nafas panjang. "Sorry Ra. Gue Kenneth, lo bisa panggil gue Ken sekarang."
Caramel menggelengkan kepalanya. Dia suka Bara, dia suka mata hitamnya yang hangat. Dia suka makan kentang goreng berdua. Dia suka menemani Bara di bengkel.
"Balikin Bara!" isaknya dengan suara serak.
Bara menundukan kepalanya. "Sorry!" katanya sebelum bangkit dan pergi keluar. Ada masalah yang masih menunggunya. Caramel sudah ditangani dan cewek itu pasti sebentar lagi pulih. Ditambah ada daddy di sini.
"Loh Bara?" panggil bunda Caramel.
Bara menoleh dan tersenyum tipis. "Langsung ke atas aja Tante."
"Kenapa kamu di sini? matamu?" tanya bunda takjub.
"Iya. Dia memang Kenneth Fi," potong daddy yang baru saja menuruni tangga.
Lyza menyusul di belakang dengan wajah senang. "Ini yang ingin aku ceritakan."
Bunda sudah tidak mendengar apapun, yang bunda lakukan hanya menangkup wajah Bara yang kelihatan bingung. "Ken anak Bunda?"
"Anak Bunda?" tanya Bara dengan wajah bingung.
Bunda tersenyum dengan air mata yang sudah menetes dan langsung memeluk Bara. "Kenneth sayang, Bunda rindu."
🍬🍬🍬
See you in the next chapter 😘😘😘😘
Jangan lupa follow ig mereka yaa
@kennethaldebaran
@caramelstarla
@rafansafaraz
@umbrellakirei
@arkanlazuard
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top