BAB 19 - Sad Moment
Haloha semua 😄😄😄
Mohon maaf karena ngaret satu hari. Jadi begini yaa aku minggu depan mulai pkl lagi di rumah sakit belum lagi aku ngurus penerbitan buku dan skripsi jadi asli super duper mepet waktunya 😂😂 baru bisa nulis malem.. coba tanya kenneth yang selalu jadi temen curhatku 😂
Oh iya hari ini PO NADW terakhir yaa silahkan chat aku 😊😊
Jangan lupa follow ig aku @indahmuladiatin
Happy reading guys! Hope you like this chapter 😘😘😍
🍬🍬🍬
Lebih dari tiga minggu Caramel pacaran dengan Bara. Dia jadi terbiasa dengan sikap cowok itu yang kadang membuat ubun-ubunnya terbakar karena emosi. Selalu saja ada kata-kata Bara yang nyelekit. Untung cowok itu juga selalu berhasil buat dia tersenyum.
Senyum gelinya mengembang waktu ingat Bara mengajaknya ke pesta Raya yang kekinian banget. Wajah Raya yang sudah di make up jadi makin menyeramkan karena marah melihatnya datang dengan Bara. Rasanya dia puas melihat Raya begitu. Jahat sih tapi tidak apa-apa.
Jumat ini tidak ada pelajaran karena semua guru sedang rapat. Caramel bisa bebas mengintili Bara yang sibuk dengan teman-temannya. Semua sudah tahu kalau sekarang Caramel pacaran dengan anak baru sekolah yang ganteng dan memiliki reputasi misterius itu. Ada banyak rumor seperti, Caramel yang menyelingkuhi Bayu dan akhirnya putus. Kalau cewek yang kepo pasti akan berpendapat iuh banget, tapi kalau sejenis Riska si cewek kutu buku paling cuma bilang wajar aja wong Bara lebih oke.
Caramel tidak terlalu ambil pusing dengan rumor-rumor itu. Dia jadi terbiasa menjadi objek gosip anak sekolah ini. Bodo amat, pura-pura budek aja. Asal jangan budek beneran. Toh mendengarkan ucapan orang tidak akan ada habisnya.
"Raa dicari si Deni!" panggil Bimo.
Caramel menoleh dengan alis terangkat. Perasaan hari ini dia tidak ada janji main kartu dengan temannya itu. Dia menoleh pada Bella yang duduk di sampingnya. Mereka saat ini sedang duduk di pinggir lapangan basket seperti biasa. Padahal tidak ada Bara karena cowok itu baru saja dipanggil guru.
"Gue ada utang bakwan kali ya?" tanya Caramel.
Bella mengangkat bahunya. "Perasaan hari ini belom ke kantin."
Caramel menganggukan kepalanya. Benar juga, berarti bukan tentang hutang makanan. Dia langsung berdiri dan menarik tangan Bella. "Ayo ke kelas!"
Sudah menjadi kebiasaan kalau jam kosong maka kelas berubah menjadi area paling nyaman untuk tidur. Ada kumpulan meja yang disusun rapi, tinggal berbaring di atasnya saja kalau mau. Asal jangan marah kalau pose tidur aneh maka foto akan tersebar di grup kelas secara bebas.
Caramel langsung menghampiri Deni yang duduk di pojok kelas. Cowok itu kelihatan sangat sibuk menulis. "Ada apaan sih Den?"
Deni menoleh dan meringis kecil sambil mengangkat buku yang tadi dia catat. "Pinjem catetan kimia lo ama si Bella."
Caramel mengerutkan keningnya, dia menatap Bella dengan alis terangkat. Ada angin ribut darimana sampai Deni mau menulis catatan. Cowok itu membawa buku catatan saja sudah rekor. Biasanya isi tas selempang buluk berwarna hitam itu hanya stick PS.
"Lo jatuh cinta sama Bu Oyoh ya?" tanya Bella.
Deni melotot kesal dan mengetuk kepala Bella dengan bukunya yang tadi dia gulung dengan cepat. Bu Oyoh itu guru kimia yang konon umurnya sudah setengah abad. Meski sudah termasuk tua tapi dandanannya masih seperti remaja tahun sembilanpuluhan.
"Dia kena hukum gara-gara kemaren ngumpetin sepatunya Bu Oyoh," kekeh Bimo dengan tampang geli.
Caramel melebarkan matanya. Dia langsung duduk di samping Deni. "Demi apa lo ngumpetin sepatunya?"
"Ck aelah, gue kan cuma naroh sepatunya di rak sepatu. Gue murid teladan," kata Deni sambil menepuk-nepuk dadanya dengan wajah bangga.
"Dongo! Bu Oyoh di ruang guru lo naroh di rak sepatu ruang musik!" tambah Kevin.
Bella langsung tertawa. Perutnya sampai sakit membayangkan guru galaknya itu lari-lari tanpa alas kaki ke belakang sekolah. Ruang guru ada di area depan dan ruang musik ada di area belakang dekat kantin. Jaraknya jauh karena sekolah ini luas. Pantas guru itu ngamuk sekarang. Deni ini keterlaluan. Guru sudah tua pun dikerjai.
"Anjir lo! kena kutuk baru lo kapok!" kekeh Caramel. Kepalanya sampai geleng-geleng mendengar tingkah gila Deni. Minggu kemarin Pak Hema yang jadi korban kejailan cowok ini.
"Ck udah mana catetan lo pada!" kata Deni.
"Pinjem Riska lah, dia kan rajin nyatet," jawab Caramel. Masalahnya dia juga jarang mencatat pelajaran.
"Mana mau? tu orang anti sama gue. Padahal gue nggak jelek-jelek amat ya?" tanya Deni.
Caramel mendengus geli dan memukul bahu Deni. "Lo ganteng Den..." katanya dengan alis terangkat. "Kalo nggak jelek!" lanjutnya lagi.
"Gue kubur lo Ra!" kata Deni.
Caramel makin tertawa. Deni itu emang enggak jelek. Tampangnya manis khas jawa dengan kulit sawo matang. Karena sering main ke rumah Deni dia jadi tahu cowok itu manis karena ibunya juga manis dan anggun. Entah ngidam apa sampai dapat anak yang sifatnya macam Deni.
Bella menyerahkan bukunya pada Deni. "Tiap lembar harganya satu bakwan kantin Mak Jum ya?"
"Iye! sekarung buat Kara sama Bella tercinta, tenang sayang. Nggak usah rebutan," jawab Deni asal.
"Uhh suamiku!" kekeh Caramel.
Hari ini Caramel dan Bella akhirnya tetap di kelas. Mereka sibuk menikmati ekspresi kesal Deni karena harus menyalin banyak tulisan. Bu Oyoh itu sepertinya memang punya dendam kesumat pada Deni.
Caramel melirik jam tangannya. Ini sudah hampir jam pulang. Dia langsung merapikan tasnya. "Gue balik ya! lo simpen aja Den buku kimia gue. Jangan buat bungkus nasi uduk ya!" pesannya sebelum berlari keluar kelas.
"Tu anak otaknya cepet kalo jam pulang sama istirahat," gumam Bimo.
"Emang," kata Bella.
"Lo juga Bel!" lanjut Kevin.
Bella cemberut dan melempar kertas ke wajah dua teman yang sedang meledeknya itu. Dasar teman kurang ajar.
Hanya sisa beberapa orang yang ada di kelas dua belas IPA satu. Mungkin sudah pada pulang. Biasanya semakin tinggi tingkat maka semakin seenaknya. Mungkin rata-rata penghuni kelas ini sudah ada di parkiran.
Caramel menghampiri Bara yang sepertinya sedang tidur. "Bang! Bara tidur?"
"Iya biarin aja, dia semaleman kerja," kata Rafan yang masih setia membaca buku tebal di samping Bara.
"Tadi kenapa Bara dipanggil?" tanya Caramel.
"Kepo," jawab Rafan. Dia menutup bukunya. "Abang mau pulang. Kamu mau pulang sama Abang apa sama dia?"
"Sama Bara aja deh Bang," jawab Caramel.
Rafan menganggukan kepalanya. "Jangan pulang malem-malem!" pesannya sebelum keluar dari kelas.
Caramel bertopang dagu. Mungkin dia akan diam saja sampai Bara bangun. Mungkin Bara memang kelelahan. Dia bisa mengerti karena Bara harus bekerja pulang sekolah. Ditambah malam pun dia mengambil pekerjaan.
Sekarang hanya ada mereka berdua di kelas. Caramel mengusap kepala Bara. Dia tersenyum melihat Bara benar-benar tidur nyenyak. "Sampe besok begini juga gue betah," kekehnya.
Lumayan lama sampai Bara bergumam kecil dan membuka matanya. Bara mengerjap beberapa kali. "Udah jam pulang?"
"Udah. Lo mau langsung ke bengkel?" tanya Caramel.
Bara mengusap keningnya sendiri. "Bentar gue cuci muka dulu," katanya.
Caramel melirik ponsel Bara yang bergetar. Dia mengangkat telepon dari Defan. Pasti cowok itu ingin bertanya kenapa Bara belum tiba di bengkel. "Yap?"
"Loh Ra? si Bara mana?"
"Lagi ke toilet, kenapa Fan?"
"Oh bilang tadi ada yang nyari dia. Bapak-bapak," kata Defan.
Caramel mengerutkan keningnya. Dia mengulurkan ponselnya pada Bara yang baru masuk ke kelas. "Defan, katanya ada yang nyari lo."
Bara juga mengerutkan kening. Perasaan hari ini dia tidak punya janji apapun. "Siapa?" tanya Bara pada Defan.
"Mana gue tau? pake mobil mewah, bajunya rapi."
Bara langsung mengerti siapa orang yang Defan ceritakan. "Ok thanks." Dia langsung mengecek tanggal. Biasanya pak Hamdi akan datang mengunjunginya ditanggal tertentu atau saat dia lama tidak pulang ke rumah. Dia terdiam saat melihat tanggal.
"Minggu depan ulangan," kata Bara sambil duduk menghadap Caramel.
"Terus?" tanya Caramel.
Bara tersenyum dan mengetuk kepala Caramel.
🍬🍬🍬
Lusa adalah peringatan tujuh belas tahun kepergian mommy yang artinya lusa dia juga berulang tahun. Bara bahkan baru sadar. Ulang tahun harusnya menjadi hari yang paling spesial. Sayangnya itu tidak bisa berlaku untuknya. Baginya hari ulang tahun adalah hari paling menyeramkan karena tepat di tanggal itu mommy harus pergi untuk selamanya.
"Seminggu ini lo nggak boleh ngikutin gue," kata Bara.
"Kenapa?" protes Caramel.
"Fokus sama ulangan lo, gue janji kalau nilai lo bagus lo boleh minta apa aja," kata Bara lagi.
Caramel mendengus kesal. "Bener ya?"
Bara mengangguk pasti. Dia janji. Untuk beberapa hari ini dia pasti akan sangat sibuk. Pergi ke makam mommy, pulang ke rumah untuk beberapa acara dan masih banyak lagi yang harus dia urus. Belum lagi dia mendapat kabar tentang kepulangan kakaknya dari London.
"Lo ada masalah?" tanya Caramel.
"Masalah selalu dateng nyari gue," jawab Bara dengan senyum geli dan sedih. "Ayo balik."
Bara mengantar Caramel sampai rumah seperti biasa. Setelah ini dia mungkin akan pulang sebentar untuk mengganti pakaian dan langsung pergi ke makam. Sudah hampir satu minggu dia tidak pergi ke sana.
"Gue bener-bener nggak boleh ngehubungin lo ya?" tanya Caramel dengan wajah memelas.
"Cuma seminggu," jawab Bara.
Caramel menganggukan kepalanya. Dia melepas jaket milik Bara dan memberikannya pada cowok itu. "Thanks ya, jangan ngebut-ngebut kasian nenek yang mau nyeberang jalan!"
Bara tersenyum geli dan mengacak rambut Caramel. "Belajar yang bener!"
Caramel cemberut sambil menarik-narik ujung seragam Bara. "Gue milih tetep deket sama lo deh daripada hadiah."
"Idih," kata Bara dengan geli. Dia mengusap kepala Caramel. "Seminggu Starla."
"Seminggu itu tujuh hari. Satu hari dua puluh empat jam dikali tujuh jadi seratus enam puluh delapan jam sama aja sepuluh ribu delapan puluh menit sama juga 36.288.000 detik. Lama kan?" tanya Caramel.
Bara tertawa geli dan mengangguk setuju. Dia juga tidak mau begini. Sayangnya urusan yang dia miliki sangat penting dan sangat pribadi. Tidak boleh ada yang tahu termasuk Caramel.
"Udah ngangguk sama ketawa doang?" tanya Caramel.
"Oke gue janji abis ulangan ini kita jalan-jalan. Terserah mau kemana terserah mau berapa lama," kata Bara.
Hadiah itu menggiurkan pastinya karena Bara selalu sibuk jadi waktu mereka hanyalah di sekolah dan di bengkel. Itu juga kalau Bara mengizinkan Caramel datang. "Huhh oke gue setuju! jangan kangen sama gue ya!" ancam Caramel sambil mengibaskan rambutnya.
"Siap! lo juga nggak boleh kangen sama gue," jawab Bara.
"Hua nggak bisa! sekarang aja gue udah kangen!!" rengek Caramel sambil mengayunkan lengan Bara.
"Geli," kata Bara sambil menyalakan motornya. "Gue balik ya? fokus belajar!" pesannya sebelum pergi.
Bara langsung pulang seperti rencana. Hari ini mungkin dia ke bengkel malam hari. Bang Rio pasti mengerti karena memang orang itu tahu segala ceritanya.
Di koridor lantai satu Bara berpapasan dengan Gita yang sedang berjalan dengan kepala menunduk. Beberapa minggu ini dia jarang ngobrol dengan Gita. Selain dia yang memang jarang di rumah, Gita juga sekarang jarang main ke bengkel. Ditambah sekarang dia juga tidak bisa menjemput Gita setiap pulang sekolah.
"Git!" panggil Bara.
Gita mendongak, dia tersenyum seperti biasa. "Ken! gue pinjem duit dong.."
"Berapa?" tanya Bara.
"Berapa aja, gue butuh banget!" kata Gita.
Bara mengerutkan keningnya. Tumben Gita begini. Cewek ini mengambil pekerjaan part time sebagai pelayan di restoran keluarga. Gajinya lumayan untuk uang jajan sehari-hari karena semua biaya sekolah sudah ditanggung oleh saudara jauhnya.
Bara memberikan kartu atmnya. "Pake aja," katanya. Uang yang dia cari memang untuk keluarganya. Keluarga dalam artian yang berbeda tentunya. Keluarga yang dia miliki bukan ayah ibu kakak atau adik tapi keluarga adalah teman-temannya.
"Thanks! bulan depan gue balikin," kata Gita.
Bara mengibaskan tangannya. "Santai."
Gita kembali tersenyum. "Maaf selalu ngerepotin," katanya sebelum berjalan pergi.
Ini benar-benar aneh. Bara menggelengkan kepalanya. Nanti setelah urusannya selesai dia akan bertanya langsung pada Gita. Pasti cewek itu sedang ada masalah. Dia jadi merasa bersalah karena beberapa minggu ini selalu sibuk dengan urusannya sendiri.
Bara lanjut berjalan ke kamarnya. Dia langsung mandi dan bersiap untuk pergi ke makam. Harus hari ini karena besok dan lusa pasti daddy akan ada di sana. Dia sering melihat dari kejauhan saat daddy mengunjungi mommy. Dia tidak bisa untuk sekedar melihat kesedihan daddy meskipun tidak ada airmata atau tangis berlebihan.
Bara menghela nafas panjang. Dia mematap ponsel sebelum menonaktifkannya. Saat ini dia tidak ingin diganggu siapa pun. Dia meletakan ponselnya di meja sebelum pergi.
Jalanan macet ditambah ini adalah jam pulang kerja. Bara sampai harus melewati jalan-jalan tikus dengan motor besarnya. Kakinya sampai pegal karena beberapa kali harus menurunkan kaki saat jalanan sempit itu sedang ramai anak-anak bermain.
Setelah melewati jalan tikus barulah kecepatan motor Bara meningkat secara pesat. Setengah jam kemudian Bara baru tiba di pemakaman umum itu. Seperti biasa, suasana lengang. Hanya beberapa orang yang berziarah dengan pakaian serba hitam.
Di pojok pintu masuk ada pos tempat penjaga makam. Pak Heri namanya, beliau sudah sangat mengenal Bara karena sering kemari. "Sore Nak. Kunjungan rutin?"
Bara tersenyum tipis dan menganggukan kepalanya. Dia berjalan ke arah toko bunga di depan pemakaman dan membeli buket bunga mawar putih. Sebuah lambang duka cita dan perpisahan. Perpisahan yang pahit baginya.
"Baru saja ada yang datang ke makam ibumu," kata pak Heri.
"Siapa Pak?" tanya Bara.
"Perempuan muda. Dia cantik," jawab pak Heri.
Bara mengerutkan keningnya. Siapa yang datang sore-sore begini. Apa orang itu juga tahu kalau lusa adalah peringatan kematian mommy. "Pak saya ke sana dulu."
"Yaa silahkan."
Bara berjalan melewati makam-makam yang tersusun rapi dengan rumput hijau yang selalu dipotong dengan teratur oleh pak Heri hingga membuat orang juga tidak risih melihatnya. Dia terdiam melihat perempuan yang sedang duduk di dekat makam mommy. Benar dia perempuan yang cantik. Senyumnya mengembang sinis, jadi benar kalau kakaknya sudah pulang ke Indonesia.
"Kapan kau tiba?" kata Bara sebelum duduk di samping Lyza.
Lyza menoleh kaget. "Astaga! kau mengagetkan ku! kau harus tahu kalau aku sebenarnya takut di sini!" dampratnya.
Bara hanya mendengus. "Pergilah, tidak ada yang memintamu datang."
Kali ini Lyza yang mendungus. "Aku datang karena tahu kau akan datang. Setiap hari aku kemari, siang sampai petang karena Pak Heri bilang kalau kau sering kemari."
"Untuk apa mencariku?" tanya Bara.
"Kenneth! ayolah. Kita sudah lama tidak bertemu," kata Lyza. "Lihat! untuk apa kau menggunakan soflens?"
Bara menghela nafas panjang. Dia meletakan bunga itu di dekat nisan. "Mom maaf aku baru datang. Besok aku akan datang lagi tapi tidak bisa dekat-dekat."
"Kenneth!" panggil Lyza.
"Bisa diam? kita sedang di depan Mom," kata Bara.
Lyza langsung diam dan menggelengkan kepalanya. Dia baru tahu kalau adiknya yang cuek ini bisa bersikap semanis ini pada mommy. "Kita harus membicarakan banyak hal."
Bara berdiri dan berbalik pergi. "Waktuku hanya sedikit."
Lyza langsung mengerti maksud Bara. Dia langsung bangkit dan menyusul adiknya itu. Adiknya ini memang sedikit bicara. Dia bisa memakluminya. Kehidupannya dengan Kenneth memang cukup berat karena tidak ada mommy dan daddy selama mereka tumbuh. Hanya ada opa dan oma tapi itu juga sudah lebih dari cukup.
Bara dan Lyza masuk ke cafe yang tidak jauh dari pemakaman. Mereka memilih duduk di balkon lantai dua, tempat yang tidak terlalu ramai untuk menghindari perhatian orang. Ini bukan pembicaraan ringan tentang cuaca hari ini dan sebagainya.
"Kemana saja kau? kenapa aku tidak bisa menemukanmu? kau bersembunyi?" tanya Lyza.
Bara tersenyum sinis. "Aku punya kehidupanku sendiri di sini. Kau tidak perlu tahu."
"Aku kakakmu! kau tahu aku mencarimu lama. Aku tidak bisa bertanya pada Daddy karena kau tahu aku juga sakit hati!" kata Lyza.
"Kenapa kau mencariku? kenapa kau tidak melanjutkan hidupmu saja di London?" tanya Bara lagi.
"Apa kau pikir aku bisa tenang memikirkan adikku tinggal di sini sendiri? apa kau pikir aku percaya saat kau bilang pada Oma kau tinggal dengan Daddy?!" balas Lyza dengan sengit.
"Kalau begitu jangan pikirkan aku! aku hanya adik yang membuatmu kehilangan Mommy dan Daddy kan?" tanya Bara dengan wajah memerah karena emosi. Sebuah ucapan yang terluncur dari mulut Lyza yang tidak pernah bisa dia lupakan sampai sekarang. Sebuah kata yang menusuknya sampai ke jantung.
"Ayolah Kenneth! itu hanya ucapan anak kecil yang belum mengerti apa-apa!" kata Lyza. Waktu itu dia benar-benar iri karena teman-temannya selalu ditemani orang tua setiap liburan. Itu sudah sangat lama.
"Kadang ucapan anak kecil lebih jujur," kata Bara.
Lyza mengusap air matanya yang mengalir. "Apa yang harus aku lakukan dulu? bagaimana perasaanku saat tiba-tiba Daddy mengirimku ke tempat yang jauh? bagaimana perasaanku saat orang-orang menangis dan mengatakan kalau Mom sudah pergi?"
"Bagaimana jika aku membalik pertanyaanmu. Apa yang bisa aku lakukan saat kau mengatakan aku adalah penyebab kematian Mom? aku bahkan belum pernah melihatnya. Aku tidak tahu bagaimana suaranya, aku tidak tahu rasanya diperhatikan oleh ibuku sendiri. Apa hanya kau yang sakit?" tanya Bara pahit.
"Kau sakit aku juga sakit Lyza. Aku juga tidak ingin Mom pergi. Kalau bisa memilih aku juga tidak ingin ada di sini jika harus membuat Mom pergi. Aku lebih senang melihat kau Mom dan Daddy bahagia tanpa aku," kata Bara lagi. Dia berdiri dan mengerjapkan matanya.
"Kenneth," panggil Lyza yang sudah menangis sejak tadi. Dia langsung memeluk adiknya itu. "Ayo kita pergi saja dari sini, aku tidak sanggup ada di dekat Daddy dan Mom."
"Aku tidak bisa Lyza. Aku sudah menjadi orang lain sekarang," lirih Bara.
"Apa?" tanya Lyza dengan wajah bingung.
Bara menghela nafas panjang dia mengusap matanya. "Besok Daddy pasti datang ke pemakaman. Jika kau tidak bisa jangan datang ke sana. Kau tidak perlu mencariku lagi, cukup kabari aku kalau kau sehat," katanya sebelum pergi meninggalkan Lyza.
Bara mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Dia butuh mendapatkan lagi ketenangannya yang sudah runtuh tanpa sisa. Dia membutuhkan waktu untuk membangun kembali tembok pertahanan yang sudah dihancurkan.
Motornya melaju cepat menuju perbukitan tempatnya melihat bintang. Sebentar lagi senja lalu setelah itu gradiasi oranye itu akan terkikis oleh warna biru gelap dan bintang akan muncul. Mungkin hari ini dia memang harus absen bekerja.
Selaman Bara di sana. Dia menikmati semilir angin dingin yang ada di sekitarnya. Matanya terus terpejam memikirkan semua yang sudah dia bangun susah payah selama tinggal di Indonesia. Dia tidak bisa meninggalkan semuanya begitu saja.
Saat ini dia adalah Kenneth Aldebaran saja. Dia hanya anak laki-laki yang tinggal di apartemen sederhana dan harus bekerja untuk menyambung hidup. Bukan Kenneth Aldebaran Soller pewaris perusahaan besar milik daddy.
Beberapa hari ini Bara dan Lyza kembali tinggal di rumah daddy karena ternyata opa dan oma juga kembali ke Indonesia untuk berkunjung. Dia berusaha bersikap sebiasa mungkin. Dia berbicara dengan hangat dengan daddy di depan opa dan oma. Hidup telah membantunya untuk selalu bermain peran dengan baik.
Malam ini ada acara pengajian yang daddy buat. Orang-orang terdekat datang untuk ikut. Yang membuatnya kaget adalah Caramel datang dengan keluarganya. Apa daddy kenal dengan keluarga Rajendra.
Bara bersembunyi di balik tembok pemisah antara ruang tamu dan ruang keluarga. Dia menyipitkan mata melihat Caramel akrab dengan daddy.
"Pokoknya Kara suka rumah Daddy.." kekeh cewek itu.
"Daddy?" gumam Bara.
"Kenapa?" tanya daddy dengan senyum hangat.
"Banyak cokelat! hehe pasti Daddy tau ya kalau Kara suka cokelat?" tanya Caramel lagi.
"Kenapa kau di sini?" tanya Lyza.
Bara menoleh kaget. "Kau tahu mereka siapa?" tanyanya sambil menunjuk keluarga Caramel.
Lyza tersenyum melihat orang yang ditunjuk Bara. "Ini yang aku ingin ceritakan tapi tidak sekarang. Ku harap kau meluangkan waktumu lagi untuk bicara denganku."
Bara mengerjapkan matanya. "Ayo bicara sekarang!"
"Bodoh! kau tidak ingin berdoa untuk Mom? ayo gabung dengan semuanya," ajak Lyza.
Bara menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin dia ke sana. Ada Caramel dan keluarganya. Cewek itu benci pembohong dan dia belum siap untuk dibenci. "Perutku mulas. Tolong jangan bahas apapun tentangku," katanya sebelum pergi.
"Apa kamu masih ingin menyembunyikan Ken?" tanya bunda pada daddy.
Daddy tersenyum, itu hak putranya untuk mengakui semuanya. "Kau akan mengenalinya nanti."
🍬🍬🍬
Seminggu adalah waktu yang benar-benar lama. Caramel harus giat belajar agar bisa jalan-jalan dengan Bara. Lihat saja kalau cowok itu bohong. Akan dia rusak motor besar mahal itu.
Hari terakhir ulangan harian Caramel bisa menghirup nafas lega karena hanya ada satu pelajaran dan itu seni budaya. Senyumnya mengembang lebar sambil mengumpulkan kertas ulangannya. Akhirnya hari ini dia bisa bertemu Bara lagi.
"Lo mau ikut ke kelas Bara nggak?" tanya Caramel.
"Mau ngapain? mending gue nyamperin di Gio," kata Bella sambil merapikan tasnya. "Ehh Kak Bara ke sini!!"
Caramel langsung menoleh, dia tersenyum melihat Bara berdiri di depan pintu kelas sambil bersedekap. Murid perempuan di sini sampai terhipnotis melihat cowok tinggi dengan wajah cakep itu datang ke kelas ini. Jadi benar kalau sekarang Caramel jadi pacar Bara.
"Bara!!!" teriak Caramel sebelum berlari dengan tasnya yang sudah rapi.
"Ayo pulang," ajak Bara.
"Nggak mau! masa abis seminggu nggak ketemu terus sekarang pulang?" protes Caramel.
"Oke kita makan," kata Bara.
Caramel nyengir dan menggandeng lengan Bara. "Nah gitu! kentang goreng yaa?"
"Iyaa," jawab Bara.
Bara mengajak Caramel ke tempat makan favorit mereka. Sejak tadi Caramel terus ngoceh tentang kesalnya dia saat mengerjakan ujian yang susah. "Ujian lo gimana?"
"Biasa aja," jawab Bara dengan santai.
Caramel mendengus pelan. Jelas saja. Bara itu kan pintar. Ulangan yang susah pasti bukan apa-apa. Lain dengannya yang melihat buku saja malasnya minta ampun. Dia memakan kentang goreng dengan rakus.
"Bara pinter! nggak boleh makan kentang banyak-banyak ntar pinternya ilang!" kata Caramel.
Bara tertawa geli dan merebut kentang goreng itu. "Nggak ada rumusnya!"
"Ihhh Bara!!" rengek Caramel.
Bara terdiam lama sampai dia akhirnya bertanya. "La senin malem kemaren lo kemana?"
Caramel mengerutkan keningnya. "Pengajian di rumah temennya Bunda. Kenapa?"
"Ehh, emm nggak gue tadinya ke rumah lo mau pinjem buku ke Rafan," jawab Bara bohong.
"Ohh iya sekeluarga ke sana," jawab Caramel lagi.
"Ada pengajian apa? sukuran rumah baru?" tanya Bara lagi.
Caramel tersenyum geli. "Bukan! pengajian untuk doain sahabatnya Bunda. Mommy siapa yaa gue lupa namanya, kata Bunda sahabatnya itu udah meninggal tujuh belas tahun lalu pas ngelahirin."
"Oh yaa? kasian."
Caramel menganggukan kepalanya. Dia mendekatkan wajahnya. "Lo tau kenapa nama gue Starla?"
"Karena Bunda suka bintang?" tanya Bara lagi.
Caramel tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Tadinya juga gue mikir begitu tapi kata Bunda, nama Starla ada karena Bunda punya sahabat terbaik, nah dia itu istrinya Daddy Gavyn.."
"Stella," jawab Bara.
"Nahh iya Mommy Stella, ya ampun akhirnya gue inget.." kata Caramel. "Ehh kenapa lo tau?"
Bara mengerjapkan matanya dengan senyum tipis. "Rafan cerita."
"Ohh iya itu Mommy Stella. Dia itu baik banget kata Bunda. Dia juga ibunya Bang Raka, oh iya dia punya anak cowok yang namanya siapa ya lupa gue pokoknya artinya juga bintang sama kaya gue! wahh rasanya gue kaya dijodohin sama dia," kekeh Caramel.
Bara terbatuk pelan. "Dijodohin?"
Caramel tertawa dan menepuk lengan Bara. "Kalau sampe dijodohin gue juga bakal nolak. Tenang aja gue pilih lo."
Bara tersenyum dan bertopang dagu. "Gue nggak ada apa-apanya dong. Dia pasti ganteng sama anak orang kaya?"
Caramel mengerjapkan matanya. "Nggak tau sih, yang gue inget warna matanya itu bagus. Gue langsung suka. Mungkin kalau ketemu gue bakal selingkuh sama dia."
"Sembarangan!" kata Bara sambil mengetuk kepala Caramel.
Bara kembali diam dan sibuk dengan pikirannya sendiri. Jadi benar hubungan keluarga Caramel dengan keluarganya sangat dekat. Entah kebetulan atau apa. Nama bintang mereka saling berhubungan. Namanya Aldebaran pasti karena artinya sama dengan nama mommy. Nama Starla pun karena mommy. Bagaimana mungkin bisa begini.
"Bara! bengongin apa sih?!" tanya Caramel.
Bara tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya. Dia juga masih bingung dengan semuanya. Pada siapa dia harus bertanya agar semuanya jelas. Pada daddy tidak mungkin. Pada Lyza mungkin saja tapi dia tidak ingin berdebat lagi dengan kakaknya itu.
"Lagi banyak pikiran ya?" tanya Caramel.
"Nggak," jawab Bara.
Caramel mendengus geli. "Gue nggak bakal maksa lo cerita. Kalau lo mau lo pasti cerita semuanya."
Bara diam dan menundukan kepalanya.
"Gue boleh ikut ke bengkel? mau main sama yang lain," tanya Caramel.
Bara menganggukan kepalanya. "Sampe malem ya? temenin gue."
"Hem kangen kan sama Kara?" ledek Caramel.
"Geli," jawab Bara dengan senyum tertahan.
🍬🍬🍬
See you in the next chapter😊😊😉
BARA KECIL SAMA BARA REMAJA 😂😂😍
Jangan lupa follow ig :
@kennethaldebaran
@caramelstarla
@rafansafaraz
@arkanlazuard
Kalian bisa ngobrol sama mereka. Silahkan tanya sama mereka apa aja. Silahkan kepoin mereka 😂😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top