BAB 16 - Kenneth Aldebaran

Halo.. semangat pagi semuaaaaa...

Update lagi! 😂😂 Alhamdulillah bisa update cepet..

Nah ada sedikit tebak-tebakan dari ig @naulimedia nih tentang novel NADW.. hayo ditebak.. di follow yaa untuk tau perkembangan NADW

Jangan lupa follow aku juga @indahmuladiatin karena ada update baru tentang NADW😘

Happy reading guys! Hope you like this chapter 😘😘😍

🍬🍬🍬

Sudah beberapa minggu Lyza ikut tinggal di rumah ini dan Caramel semakin kesal. Puncaknya adalah tiga hari yang lalu saat tetangga sebelah ada yang meninggal dunia. Dia penakut. Sangat. Biasanya dia akan tidur di kamar ayah dan bunda atau minta ditemani bunda tapi hari itu bunda malah tidur dengan Lyza. Akhirnya dia tidur di kamar Arkan karena terlalu takut tidur sendirian.

Pagi ini wajah Caramel benar-benar terlihat kesal, dia sarapan sembari mengetuk sendoknya pada piring hingga menimbulkan suara gaduh.

"Kara jangan begitu dong kalau makan!" omel bunda.

Caramel melirik kesal, dia hanya mencibir dan tidak menjawab apapun. Bunda kembali bicara dengan Lyza tapi dia tidak peduli. Dia malas mendengar semua obrolan bunda dan Lyza.

Caramel meletakan sendoknya. "Kara berangkat."

"Berangkat dengan Abang saja," ucap Raka.

"Enggak usah, Bang Rafan nebeng yaa?" pinta Caramel. Penolakan itu membuat kening Raka berkerut, tumben sekali adik kesayangannya ini bersikap begitu.

Rafan mengangguk dia ikut menyudahi sarapannya dan merangkul bahu adiknya ini. Dia sangat mengerti kenapa Caramel bersikap begitu.

Selama di sekolah Caramel hanya uring-uringan tidak jelas. Bella yang duduk di sampingnya saja sampai jengah melihat sikap sahabatnya hari ini.

Caramel bertopang dagu, matanya menatap papan tulis yang bersih dari tulisan. Ini jam istirahat jadi hanya ada segelintir orang yang ada di dalam kelas.

"Lo enggak laper Ra? ini gue udah beli gorengan," ucap Umbrella.

"Enggak gue males," jawab Caramel.

"Ck yaudah deh gue makan semuanya aja, eh tapi kalau liat Kak Bara lo males enggak?" tanya Bella dengan mengangkat alisnya.

Caramel menoleh. "Bara dimana?"

"Cih gitu aja cepet lo! noh di lapangan basket lagi main sama Abang lo," jawab Bella dengan wajah kesal.

Caramel tersenyum dia menarik lengan sahabatnya itu untuk ikut keluar kelas. Mereka menyaksikan permainan basket itu dari lantai tiga gedung. Senyum Caramel mengembang saat melihat Bara tertawa dengan Rafan dan Arkan. Ketiganya seolah menjadi pemandangan indah bagi para siswi sekolah ini.

"Gengster atau apapun itu, gue percaya Bara baik," gumam Caramel.

Bella juga setuju. "Kayanya berita-berita dia itu bohong semua? dari cerita lo aja gue jadi enggak yakin dia pengedar narkoba, ngapain juga dia susah payah kerja di bengkel kalau gaji dari ngedarin aja pasti gede."

Bara berlari ke pinggir lapangan, dia meminum minuman yang diberikan oleh temannya. Baju seragam itu sudah basah oleh keringat, tanpa ragu cowok itu melepas seragamnya hingga terlihatlah tubuh atletis yang tersembunyi itu.

Caramel melebarkan mulutnya, gila, pemandangan macam apa ini. Matanya mengerjap saat melihat tato sayap di punggung Bara. Benar-benar terlihat seperti angel.

"Kyaaa! gila tu orang sengaja ngegoda iman banget!" jerit Bella.

Pipi Caramel memanas. "Ck gue mau masuk deh." Bara kenapa harus pamer begitu sih. Tanpa pamer saja cowok itu sudah banyak fans. Apalagi pamer badan begitu.

Setelah jam pulang sekolah, Caramel dan Bella berjalan ke tempat parkir. Bella terus bicara meski Caramel sepertinya tidak berminat untuk menanggapi sedikit pun.

"Lo kenapa sih? perasaan dari tadi bete terus?" tanya Bella.

"Ck gue kesel sama anaknya Bunda itu, masa sejak dia dateng Bunda sama Bang Raka jadi cuek sama gue. Lo tau setiap waktu senggang Bunda selalu ngabisin waktunya sama dia, Bang Raka juga gitu setiap dia dateng. Gue dilupain sama mereka!" gerutu Caramel.

Bella diam untuk berpikir sejenak. "Wajar kali, kan lo sendiri yang cerita kalau dia udah ditinggal sama ibunya dari kecil," jawab Bella.

"Iya tapi enggak gitu juga, gue ngerasa aneh aja waktu perhatian Bunda sama Bang Raka berkurang," jelas Caramel dengan wajah sedih.

Langkah keduanya terhenti saat mendengar pengumuman dari speaker yang ada di setiap ujung koridor. "Pengumuman kepada seluruh siswa diharap untuk tetap di dalam lingkungan sekolah! Pagar utama sudah ditutup. Silahkan kembali ke kelas masing-masing."

Caramel berdecak kesal, pasti sedang ada tauran di depan sekolah. Dia menatap pagar sekolah yang sudah dijaga oleh beberapa satpam. Pasti Arkan sudah ada di luar, selama satu bulan ini abangnya itu sedang dalam masa percobaan jadi sekali membuat ulah maka abangnya itu sudah pasti akan dikeluarkan.

"Gue harus keluar Mbel," ucap Caramel.

"Eh jangan gila! lo mau kena timpukan batu?" protes Bella.

Caramel tidak bisa diam saja membiarkan Arkan ikut tauran, dia tidak ingin abangnya itu dikeluarkan. "Ck enggak ada waktu lagi, udah yaa Mbel bye!"

Tangan Caramel ditahan oleh seseorang hingga membuatnya menoleh kaget, sejak kapan Bara berjalan di belakangnya. "Ini apa sih? gue mau nahan Bang Arkan!"

"Percuma! tetep di sini biar Rafan sama gue yang turun tangan," jawab Bara.

"Mana Bang Rafan?"

"Dia udah di luar."

Caramel menghela nafas panjang. "Gue ikut ngelarang dia!"

Bara berdecak kesal. "Starla! di luar bahaya!"

Caramel mendelik. "Kalau gitu temenin gue keluar!"

Bara mengacak rambutnya sendiri. Dia segera mengambil motornya dan kembali pada Caramel. "Naik!"

Caramel naik ke motor sport itu tanpa banyak bicara.

Bara menekan menggas motor seolah ingin menabrak para satpam itu hingga membuat orang-orang panik. "Minggir!" desisnya.

Sapto langsung membuka pintu pagar karena mengenal siapa yang sedang dia hadapi saat ini. Sebenarnya aneh. Satpam takut dengan Bara yang sebenarnya masih tergolong anak baru di sekolah ini. Motor itu melaju cepat hingga mereka tiba di dekat gerombolan orang dengan seragam yang sama seperti mereka.

Caramel langsung meloncat turun dan menghampiri Arkan yang sedang bicara dengan Rafan.

"Kara kenapa kamu di sini?" tanya Rafan.

Caramel mengibaskan lengannya. Kakinya melangkah mendekati Arkan yang bajunya sudah berantakan. "Lo boleh tauran asal gue ikut!"

Arkan terlihat kaget. "Apaan sih? udah sana! Bara anter dia pulang!"

Bara melepas helmnya dan menonton perdebatan kakak beradik ini.

"Gue bilang gue ikut lo!" bentak Caramel.

"Ra lo enggak akan ngerti, pulang sana nanti kita omongin di rumah," balas Arkan.

Caramel mengatur nafasnya, dia mencoba untuk tersenyum karena abangnya yang satu ini tidak bisa dikasari, sumbunya pendek dan susah diatur. Terjadi perdebatan sengit yang halus antara Caramel dan Arkan.

Rafan dan Bara hanya menonton keduanya, mereka bersedekap menunggu perdebatan itu selesai.

"Kara sayang lo pulang yaa, gue mau ibadah dulu!" bujuk Arkan dengan wajah manisnya.

"Ibadah?" tanya Caramel dengan wajah bingung. Sepertinya abangnya ini menang sudah gila.

Bara tertawa geli, dia menggelengkan kepala. "La mending lo pulang, percuma bujuk ni anak."

Caramel cemberut kesal. "Siapa yang bujuk dia sih?" matanya kembali pada Arkan. "Ibadah apa? lo mau solat?"

"Weits berjuang buat bela harga diri sekolah sama temen-temen juga masuk ke ibadah sist!" jelas Arkan.

Rafan menuntup wajahnya, kenapa adik-adiknya begini. "Enggak usah macem-macem Kan! mati konyol lo!"

"Mati sahid! Gue kan lagi berjuang," ralat Arkan.

Mulut Caramel terbuka lebar. "Mati sahid kepala lo bau menyan? Ini nih patriotisme salah kaprah. Tauran dibilang perjuangan. Ngelempar batu aja gayanya udah kaya ngelempar granat, sok keren! lo itu mau nyari apa sih? kalah jadi abu menang jadi arang!"

Arkan cemberut kesal, dia memainkan tongkat kayu yang dia pegang.

Kali ini Rafan yang maju. "Kalau lo cowok serang mereka satu-satu jangan pake senjata, lo jagoan kan? gimana kalau lawan gue dulu? sekarang ayo maju lo pake senjata gue tangan kosong juga enggak masalah."

Arkan diam. Rafan itu sudah sabuk hitam di karate. Dan Rafan adalah kakak kembarnya. Mana mungkin dia melawan saudara kembarnya sendiri.

Caramel berdecak kagum, abangnya yang satu ini memang keren, perpaduan yang pas antar sikap Raka dan Arkan. Badboy dingin yah seperti itu Rafan. "Nah iya ayo lawan Abang Rafan!"

Arkan tetap diam, dia menghela nafas dan menjatuhkan kayu yang sejak tadi dia genggam.

Caramel tersenyum, dia mendekat lalu merangkul abangnya itu. "Abang denger yaa, gue sama Bang Rafan ngelarang lo karena kita sayang sama lo. Gue enggak mau penjaga gue ilang satu di sekolah ini. Nanti kalau ada yang mcem-macem sama gue di sekolah ini siapa yang bakal maju duluan?"

Arkan tersenyum miring. "Bisa aja lo, udah sana pulang gue enggak jadi ikut tauran."

"Janji?" tanya Caramel.

"Ck iya udah sana pulang sama Bara!" jawab Arkan.

Caramel mengangguk, dia kembali pada Bara. "Gue nebeng sampe depan aja yaa?"

Bara naik ke motornya, dia membantu Caramel untuk naik. Motor itu pergi meninggalkan Rafan dan Arkan.

Caramel menepuk bahu Bara. "Udah sampe sini aja."

"Lo balik naik apa?" tanya Bara yang masih tetap melajukan motornya.

"Angkot," jawab Caramel.

"Gue anter aja, tapi gue mampir sebentar ke bengkel," jawab Bara.

Caramel diam sejenak. "Oke deh." Lumayan dapat tumpangan gratis.

Motor itu bergerak lincah menyalip kencaraan-kendaraan di depannya, rasanya Caramel familier dengan cara Bara membawa motor. Saat pertama kali diantar Bara, dia juga merasa begitu.

Mereka tiba di bengkel besar itu, ada beberapa mobil dan motor yang sedang diperbaiki.

"Woy ada Kara, ngapain Ra?" tanya Defan dengan wajah kotornya.

Caramel tersenyum dan menghampiri cowok itu. "Nebeng sama Bara tadi."

"Oh nebeng apa minta anter pacar? malu-malu amat," kekeh Defan.

Caramel tertawa dia memukul pelan bahu Defan. "Nebeng Fan, eh yang lain mana?"

"Thomas sama Wisnu sekolah, si Roni lagi beli bakso di depan yang lainnya kuliah," jawab Defan.

"Si Ken mana?" tanya Defan.

"Ken?" tanya Caramel.

"Ken itu Bara, di sini semua manggil dia Ken," jelas Defan.

"Oh tuh langsung masuk ke sana," jawab Caramel sembari menunjuk ruangan dengan pintu kayu.

Tidak lama, Bara keluar dengan seorang pria yang belum pernah Caramel lihat.

"Loh ada tamu?" tanya pria itu.

"Dia adiknya Rafan Bang," jawab Bara.

Caramel tersenyum dan mengulurkan tangannya. "Caramel Om panggil aja Kara."

Pria itu tersenyum dan menjabat tangan itu. "Satrio, panggil aja Bang Rio seperti yang lain jangan panggil Om kelihatan tuanya nanti."

Caramel tertawa geli. "Kara panggil Om aja deh."

Om Satrio terdiam saat melihat Caramel tertawa, matanya mengerjap. "Sekilas kamu mirip dengan almarhumah istri saya."

"Oh yaa? tapi Om enggak naksir Kara kan?" tanya Caramel.

Satrio tertawa. "Yaa ya panggil saya Om. Memangnya Kara mau kalau Om taksir?"

"Oh jelas enggak, Kara suka yang muda," kekeh Caramel.

"Haha kamu ini, tadi datang dengan Ken? kamu pacarnya?" tanya Satrio.

"Bukan," jawab Bara.

Caramel cemberut kesal. "Iya bukan."

Om Satrio tersenyum maklum, dia melirik jam tangannya. "Sudah jam makan, kalian makan dulu yaa sebelum pulang."

"Wah makan gratis!" seru Caramel dengan wajah senang.

Bara hanya mendengus, dia sudah tidak asing dengan Caramel yang blak-blakan.

"Oh iya ada yang pernah tau anak motor cowok yang warna matanya biru enggak?" tanga Caramel di tengah acara makan bersama ini.

Bara terbatuk, dia mengambil minumannya. "Ngapain lo nanya-nanya?"

Caramel cemberut kesal. "Nanya doang Bara! kenapa sih? gue cuma penasaran."

Defan melirik Bara sekilas, dia berdeham pelan. "Mungkin maksud lo the angel Ra, dia emang terkenal. Kenapa?"

"Angel? namanya Angel? hehe unyu banget," kekeh Caramel.

"Bukan! itu sebutan yang dikasih semua untuk dia," jelas Defan.

"Jangan penasaran sama dia, dia enggak suka ada orang yang cari tau tentang dia," ucap Bara dengan wajah cuek.

Caramel mengerutkan keningnya. "Masa sih? kok lo tau? lo pacarnya?" waktu itu Bara juga melarangnya untuk dekat-dekat dengan motor hitam itu.

Bara meletakan mangkuknya. "Ayo pulang." Dia langsung pergi meninggalkan Cararmel yang memasang wajah bingung.

"Dia kenapa sih?" tanya Caramel.

Roni menepuk bahu Caramel. "Dia enggak suka ada yang bahas si Angel itu."

Caramel memilih diam selama dalam perjalanan pulang. Apa yang salah dengan the angel itu. Kenapa Bara sampai kesal begitu.

Bara menghentikan motornya di depan pagar rumah besar itu.
"Maaf," gumam Caramel.

Bara menghela nafas panjang. "Buat apa?"

"Bikin lo kesel tadi," jawab Caramel.

Bara terdiam sejenak dan tersenyum tipis. "It's okey, gue agak males kalau ada yang bahas dia."

Caramel mengangguk, dia tidak berniat mencari informasi kenapa Bara bisa begitu kesal dengan orang yang memilii sebutan the angel itu. "Oh iya nama lo siapa sih? kenapa temen-temen lo enggak ada yang panggil lo Bara? padahal nama lo kan cuma Aldebaran."

Bara terdiam, mengelak pasti percuma. Teman-temannya memang memanggil dia Ken. "Nama panjang gue Kenneth Aldebaran, mereka panggil gue Ken."

Caramel terdiam sebentar, keningnya berkerut dalam, rasanya nama itu tidak asing di telinganya. "Kok kayanya familier yaa?"

Bara mendengus geli, dia mengangkat bahunya. "Nama gue enggak eksklusif sampe yang punya cuma gue doang."

"Ehh iya yaa," kekeh Caramel. "Ya udah thanks yaa."

"Starla," panggil Bara.

"Apa?" tanya Caramel dengan kerutan di keningnya.

Bara mengusap rambutnya sendiri. "Sorry gue tadi denger obrolan lo sama temen lo."

"Si Umbel?" tanya Caramel.

Bara mengangguk, dia bertopang dagu di dasbor motornya, pandangannya menerawang. "Menurut gue lo enggak perlu iri sama orang itu."

"Ehh? emm masalah itu-"

"Di waktu lo sakit dan ibu lo bisa ngerawat lo, dia enggak bisa ngerasain itu," potong Bara.

Caramel terdiam, dia menatap wajah Bara yang masih fokus dengan pikirannya sendiri. Bisa dia mengerti karena yang dia tahu Bara juga tidak memiliki orang tua.

"Di saat lo bisa sarapan bareng ibu lo, bisa dianter sekolah, bisa dibacain dongeng, dia juga enggak bisa ngerasain itu," lanjut Bara.

"Bara-"

Bara menoleh pada Caramel, dia tersenyum tipis. "Seenggaknya biarin dia nikmatin punya ibu. Lo enggak perlu iri karena Bunda lo enggak akan mungkin lupa sama lo."

Caramel tersenyum dia menganggukan kepalanya. "Yaudah gue masuk yaa." Dia berbalik dan masuk ke dalam rumah sembari berpikir tentang ucapan Bara barusan. Sepertinya itu lebih pada perasaan cowok itu.

Jadi dibalik sikap santai dan tawa cowok itu ada kesedihan yang sepertinya cukup dalam. Kemana sebenarnya orang tua Bara.

Caramel terus berpikir. Dia duduk bersandar di sofa dengan mata menerawang.

"Mampir kemana lo?" tanya Arkan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Dia sedang bermain PS dengan Rafan.

"Ke bengkel," jawab Caramel sembari melepas sepatunya, "enakan di rumah kan Bang daripada tauran terus pulang-pulang bonyok?"

Arkan cemberut kesal. "Enak apaan? temen-temen gue lagi berjuang dan gue malah di rumah main PS."

Rafan mencibir pelan, sejak tadi itulah yang Arkan katakan sampai dia bosan mendengarnya.

Bola mata Caramel berputar jengah. Dia mulai memberi wejangan-wejangan yang tidak berfaedah tapi benar adanya. Wejangan dengan kata-kata sadis tapi lucu sampai membuat Rafan tertawa geli dan wajah ngeri Arkan.

"Ini apa sih ketawanya heboh banget?" tanya bunda yang baru saja datang dengan Raka dan Lyza.

Rafan menoleh, dia tersenyum pada ibunya. "Biasa Nda, siraman rohani abstrak dari Kara."

Arkan hanya cemberut kesal dan lanjut bermain PS.

"Berubah Bang," ucap Caramel.

"Iyaa besok kalau enggak ujan," jawanb Arkan asal.

"Emang lo mau jemur baju!" omel Caramel.

Bunda tersenyum, dia menghampiri ketiga anaknya itu. "Kalian ini, sudah makan belum?"

"Belum Nda," jawab Rafan.

"Makan sana! Bunda Bang Raka dan Kak Lyza sudah makan di luar tadi," ucap Fian.

Caramel menundukan kepalanya, dia kembali kesal, tapi ucapan Bara tadi mengingatkannya. Dia hanya menundukan kepala, sulit untuk langsung bisa menerima. Lebih baik menghindar sementara daripada bersikap sinis pada bunda abang dan Lyza. "Kara ke kamar yaa."

Setelah Caramel pergi Rafan dan Arkan langsung menjelaskan semua tentang ketidak sukaan Caramel karena sekarang bunda dan Raka lebih memperhatikan Lyza.

"Kita harus bicara dengan Kara Nda," kata Raka.

Bunda mengangguk setuju, saat ini yang terpenting mereka harus memberikan pengertian pada Caramel. Tidak ada yang merebut posisinya, Caramel akan tetap menjadi kesayangan di keluarga ini.

Di kamar dengan nuansa girly itu Caramel memilih untuk berbaring dan menatap langit kamar. Dia kembali memikirkan semua ucapan Bara tadi hingga pintu kamarnya terbuka. Caramel langsung terduduk dan menyambut bunda yang masuk dengan abangnya.

"Ada apa Nda?" tanya Caramel.

Bunda tersenyum, dia duduk di samping putrinya. "Kara anak kesayangan Bunda kan?"

Caramel terdiam, pernyataan itu membuat matanya memanas. Kepalanya mengangguk pelan kemudia menggeleng. "Se-sekarang ada Kak Lyza."

Raka tersenyum tipis, dia duduk di samping kiri adiknya. Tangannya mengacak gemas rambut Caramel. "Apa ada yang bisa menggantikan adik Abang yang ceroboh dan terbawel ini?"

Caramel cemberut kesal. "Abang lupa sama Kara."

Bunda memeluk Caramel. "Bunda sayang sama Kara, enggak akan ada yang bisa menggantikan posisi Kara. Caramel Starla Rajendra itu princessnya Ayah dan Bunda enggak akan ada lagi Kara lainnya."

"Bunda-"

"Buat Abang, Kara tetap jadi adik kesayangan Abang," lanjut Raka.

Caramel meneteskan air matanya. Dia menganggukan kepala. "Maaf Kara kekanak-kanakan."

Raka menjawil hidung adiknya. "Jadi adik Abang enggak akan cuekin Abang lagi kan?"

Caramel terkekeh dan mengangguk, dia memeluk Raka. "Kara sayang Abang!"

"Abang lebih sayang sama Kara," jawab Raka dengan lembut.

Caramel melepaskan pelukannya dia tersenyum lebar. "Bang ada yang mau Kara bicarain."

"Apa?" tanya Raka.

"Kalau Abang sayang Kak Chika jangan buat dia cemburu dengan sikap Abang yang terlalu over sama Kak Lyza tapi kalau Abang memang enggak punya perasaan sama Kak Chika tolong jangan buat dia berharap. Kara sayang Kak Chika Kara enggak suka lihat dia sedih," ucap Caramel.

Bunda menatap Raka yang sedang terdiam, dia tersenyum tipis. "Sudah, biarkan Abangmu yang menyelesaikan masalahnya."

Raka menundukan kepalanya. "Aku harus pergi."

Caramel menghela nafas panjang melihat abangnya pergi tanpa bicara apapun, dia menoleh pada bundanya yang masih tersenyum. "Bunda-"

"Abangmu itu tau apa yang harus dia lakukan, sekarang kemari biar Bunda peluk anak manja ini!" kekeh bunda.

Caramel tertawa, dia memeluk erat Fian. "I love you Bunda," lirihnya.

"Love you more honey," bisik Fian.

Ayah tersenyum melihat istri dan putrinya berpelukan, dia baru saja pulang dan langsung kemari setelah bertanya pada si kembar yang kembali sibuk dengan layar televisi dan stik PSnya. "Jadi hanya Bunda yang dipeluk?"

Caramel menoleh, matanya berbinar senang. Ekspresi yang selalu dia tampilkan setiap melihat ayahnya pulang dari kantor. Ayahnya yang tampan yang berwibawa, ayah yang selalu dia banggakan. "Ayah!! Kangen!" teriaknya dengan merentangkan tangan lebar-lebar.

Ayah tersenyum dan menghampiri putri kesayangannya itu. "Ini baru putri Ayah, saat pendiam rasanya putri Ayah sedang hilang."

Caramel tersenyum. "Maaf Yah Nda."

Karel mengecup kening putrinya. "Kara akan selalu menjadi kesayangan Ayah dan Bunda, apapun akan Ayah lakukan agar senyum manis ini tidak hilang."

"Nah dengar, Bunda juga tidak rela senyum ini hilang," lanjut bunda.

"Kara rasa hidup Kara beruntung, Kara punya Ayah dan Bunda punya Bang Raka Bang Rafan sama Bang Arkan," ucap Caramel.

"Dan Ayah beruntung memiliki anak secantik Kara," jawab ayah. Caramel tertawa dan memeluk ayahnya. Ayah dan Bunda memang yang terbaik sedunia.

🍬🍬🍬

Caramel kembali ke sikap aslinya. Cerewet, jahil, biang onar di rumah dan tidak suka mandi. Sabtu ini Caramel sudah berniat datang ke bengkel untuk bertanya pada Defan tentang the angel itu. Sepertinya cowok itu tahu banyak. Tapi jangan sampai Bara tahu.

Caramel dan Bella janjian di halte dekat bengkel. Keduanya memakai kacamata dan topi untuk menyamar. "Kira-kira Bara ngenalin nggak?"

Bella menggelengkan kepalanya. "Kita udah nyamar hebat gini!"

Caramel mengangguk setuju. Pasti Bara tidak akan mengenali dia dan Bella. Senyumnya mengembang puas. Dia berjalan di depan karena Bella memang tidak pernah ke bengkel ini.

Mata Caramel menyipit, sepertinya dia tidak melihat Bara. Baguslah. Rencananya akan lebih mudah kalau Bara tidak ada. "Mbel kita tetep ngumpet ya? takut Bara ada di dalem."

"Siap!" jawab Bella.

Caramel dan Bella bersembunyi di balik tumpukan ban motor. Matanya mengawasi aktivitas orang-orang di bengkel ini.

"Lagi apa?"

"Lagi nyari Bara," bisik Caramel. Keningnya berkerut dalam. Suaranya tidak asing. Dia mendongakan kepala dan melebarkan matanya. "Bara?"

Bara tersenyum geli dan memakai topi Caramel. "Keren topinya."

Caramel berdecak kesal. Dia melirik Bella yang sama kagetnya. Jadi penyamarannya gagal total lagi. Kalau begitu kenapa dia harus susah payah sembunyi di balik tumpukan ban ini.

Bara menarik lengan Caramel agar berdiri. "Ayo masuk."

Bella langsung menghampiri Defan yang tadi melambaikan tangan. Daripada jadi obat nyamuk lebih baik menghindar saja. Lagipula dia bisa sekaligus bertanya pada Defan karena Bara sekarang sibuk dengan Caramel.

Caramel duduk di atas kap mobil jeep hitam. Wajahnya masih cemberut kesal. Dalam hati dia berdoa semoga Bella berhasil mendapatkan informasi.

Bara membersihkan lengan Caramel. "Ngapain ngumpet disitu?"

"Siapa yang ngumpet?" tanya Caramel.

Bara tidak menjawab. Dia hanya membersihkan pakaian Caramel dari debu. Tumpukan ban itu kotor. Caramel memang benar-benar bodoh. Kenapa tidak sekalian sembunyi di dalam tong sampah.

Bara mengusap pipi Caramel yang juga ikut terkena debu. Tidak perduli ada banyak mata-mata sinis dari perempuan pelanggan bengkel ini. "Ada apa?"

"Enggak, mau main aja ke sini sama Umbel," jawab Caramel.

Bara mengerutkan keningnya. Dia mengangkat bahu dengan cuek. "Jangan macem-macem, jangan jauh-jauh dari gue. Ngerti?" Bukan apa-apa. Dia tidak mau Caramel jadi korban lemparan batu lagi.

Caramel dan Bella duduk di kursi dekat Bara dan Thomas bekerja. Bella mendekati telinga Caramel. "Gue udah dapet!"

Caramel menganggukan kepalanya. Dia bangkit menghampiri Bara. "Gue mau balik deh."

Bara menghentikan pekerjaannya. "Mau gue anter? tapi tunggu gue selesai."

Caramel langsung menggelengkan kepalanya. Dia tersenyum aneh. Jangan sampai Bara curiga. "Gue mau ke rumah Bella."

Caramel langsung berlari dengan Bella. Kalau Bara bertanya lagi bisa-bisa dia keceplosan. Kadang mulutnya tidak bisa direm.

"Pokoknya kita harus siap-siap!" kata Bella.

"Dimana tempatnya?"

"Di bar nggak jauh dari tempat billiard waktu itu," jawab Bella. Tadi dia memang bertanya tempat mana saja yang sering didatangi the angel itu.

Malam ini Caramel dan Bella datang ke bar itu. Dengan pakaian sederhana seperti biasa, orang-orang menatap mereka dengan aneh. Caramel menyikut Bella. "Kita aneh?"

Bella menggelengkan kepalanya. Perasaan tidak ada yang aneh dengan penampilannya. Mungkin Caramel yang aneh.

Seorang penjaga mendekati Bella dan Caramel.

Bella langsung berdiri di depan Caramel. "Kami temannya the angel," katanya. Tadi kata Defan dia harus bicara begitu untuk bisa masuk. Mereka belum cukup umur untuk masuk.

Penjaga itu mengangguk dan langsung menyingkir. Hebat, Caramel sampai berdecak kagum. Kadang Bella pintar juga.

Di ruangan dengan lampu-lampu ini suara musik yang keras sangat mendominasi. Telinga Caramel sampai sakit. Dia menutup kedua telinganya dan berjalan ke bar untuk memesan minuman. Jangan sampai ayah tahu dia pergi ke tempat ini. Apalagi bunda. Jangan sampai. Kalau tahu dia bisa digantung.

"Lo mau pesen apa?" tanya Bella.

"Susu cokelat," jawab Caramel.

Cowok dengan kemeja putih dan bandana hitam yang bekerja sebagai bartender hanya menahan tawanya. "Maaf tidak ada."

"Bego lo!" kata Bella. "Susu strawberry yaa."

Cowok itu kembali menggelengkan kepala.

"Kalo es kelapa?" tanya Bella.

"Es teh deh Mas," kata Caramel.

Caramel dan Bella sama-sama cemberut. Tempat apa ini. Minuman enak semua tidak ada. Kenapa bisa seramai ini. "Air putih aja deh Mas. Enggak ada juga?"

"Sebentar yaa," kata cowok itu.

Cowok dengan topi hitam menggantikan cowok yang tadi menggunakan bandana. Waktu mendongak Caramel membuka mulutnya. "Bara?"

Bara juga sama kagetnya. Dia mengerjapkan mata untuk memastikan cewek di depannya ini benar Caramel atau bukan. Masalahnya ini bukan tempat yang bisa Caramel datangi.

"Ngapain di sini?" tanya Bara dengan nada tajam.

Caramel sampai takut sekarang. Bara tidak suka dengan the angel jadi dia takut untuk jujur sekarang. Tapi susah juga untuk bohong pada cowok ini.

Bara menghela nafas. Dia langsung menarik lengan Caramel dan Bella ke dalam ruangan.

"Kenapa di sini?" tanya Bara lagi. Kali ini wajahnya lebih santai daripada tadi.

"Mau nyari the angel," jawab Caramel jujur. Kepalanya tertunduk dalam.

"Astaga Starla! gue udah bilang berapa kali?!" tanya Bara.

Caramel semakin menundukan kepala. Baru kali ini dia diomeli Bara. "Maaf, abis kita dapet informasi kalau dia sering ke sini."

"Lo nggak akan bisa ketemu dia di sini," kata Bara. "Pulang sekarang sebelum Rafan liat lo berdua."

"Bang Rafan di sini?" tanya Caramel dengan wajah takut. Matilah dia kalau Rafan sampai melihatnya di tempat ini. Alamat kehilangan uang jajan tambahan selama beberapa bulan ke depan. Bahaya banget.

"Aduh Ra! kita balik aja deh, gue juga takut kalo ada Bang Rafan!" kata Bella. Kalau Rafan sampai bicara pada bunda Caramel. Berita itu pasti terdengar sampai ke telinga mamanya. Bisa habis dia.

Caramel menganggukan kepala. Dia juga tidak mau bunuh diri. "Yaudah gue balik deh."

"Jangan balik lagi ke sini," kata Bara.

"Kalau ke sini buat lo?" tanya Caramel.

"Tetep nggak boleh, biar gue yang nyamperin lo," jawab Bara sambil menarik lembut lengan Caramel. Dia mengantarkan dua cewek ini sampai keluar. "Gue nggak bisa nganter."

"It's okey, jangan bilang-bilang sama Bang Rafan ya?" pinta Caramel.

Bara menganggukan kepalanya. "Take care, kabarin gue kalau ada apa-apa!" pesannya sambil mengacak rambut Caramel.

Caramel menganggukan kepalanya dan tersenyum manis. Dia melambaikan tangannya setelah Bara kembali masuk ke dalam. Wajahnya bersemu merah. "Liat tadi? manis banget nggak sih?"

Bella menganggukan kepalanya. Kali ini dia juga setuju. "Fix Ra! dia suka sama lo!"

Caramel mendengus geli. Dia juga berharap begitu tapi Bara itu memang selalu manis pada semua orang. Apalagi pada Gita. Kalau dia berharap terlalu tinggi lalu tiba-tiba jatuh kan sakit.

"Lo liat aja besok! paling juga cuek lagi," kata Caramel.

"Ck dia tuh ketus juga perhatian banget sama lo!" omel Bella. "Udah deh, kita jangan ke sini lagi. Bahaya kalo Bang Rafan tau."

Caramel menganggukan kepalanya. "Ini kita langsung balik?"

"Enggak dong! nonton aja yo? kita kan sama-sama jomblo nih, daripada malem minggu bengong," ajak Bella.

"Ayo lah! traktir gue ya?" tanya Caramel.

"Siap! abis ngejarah dompet Bang Dirga nih," kekeh Bella.

🍬🍬🍬

See you in the next chapter 😘😘😘

Yang mau ngobrol sama Bara bisa follow ignya @kennethaldebaran

Maklum baru punya hp baru dia 😂😂😂

Kenneth ternyata beneran Vampir 😍😂

Yg mau jadi admin ignya Caramel bisa PC aku 😉😉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top