BAB 14 - Refrain

Halohaaaaa

Update di pagi menjelang siang hari.. belom mandi gapapa yang penting update duluu 😂😂😘 semoga baunya ga nyampe ke kalian

Jangan lupa follow ig aku : @indahmuladiatin

Happy reading guys! Hope you like this chapter 😘😍

🍬🍬🍬

Liburan kenaikan kelas sudah berlalu. Sekarang Caramel sudah duduk di kelas sebelas. Untungnya kelas tidak dipisah. Dia masih bisa satu kelas dengan Bella dan teman-temannya yang lain. Yah meskipun di kelas ada Puput dan kawan-kawan si penerus generasi mak lampir sekolah ini kalau Raya and the geng lulus.

Sejak liburan itu Bara tidak pernah menyapanya lagi. Semua kembali seperti semula. Satu sekolah tapi dia jarang sekali melihat Bara. Mungkin karena kelas sebelas dan dua belas berbeda gedung. Tapi tetap saja. Koridor utama tetap bisa mempertemukan semuanya.

Caramel bertopang dagu menatap semangkuk bakso yang ada di depannya.

"Lo nggak mau baksonya?" tanya Bella. "Gini yaa Ra kata emak gue makanan itu mubazir kal-"

Caramel langsung menyodorkan mangkuk itu. "Ambil tinggal ambil nggak usah kasih gue wejangan," katanya dengan wajah suntuk.

"Biarin aja, siapa tau wejangan gue berfaedah,” jawab Bella cuek.

Caramel mendengus geli. Apanya yang berfaedah. Kalau ngobrol dengan Bella pasti selalu abstrak. Benar-benar sehati dengannya.

Dia melirik jam tangan. Sudah hampir masuk, setelah ini adalah pelajaran fisika. Bisa dibayangkan, siang-siang setelah kenyang harus belajar fisika. Sudah ngantuk disuguhi rumus-rumus pula.

“Mbel buruan! gue mau ke koperasi nih pulpen gue abis!” suruh Caramel.

Bella mengibaskan tangannya. “Gih sono sendiri!” jawabnya. Daripada makan buru-buru dan tersedak mending dia tidak ikut ke koperasi.

“Fine! gue pergi sendiri.”

“Yap bagus,” jawab Bella dengan cengirannya.

“Ihh Mbel, lo bujuk gue dong! kan ini gue lagi ngambek!” rengek Caramel.

Bella menggerakan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri dengan wajah menyebalkan. “Ogah, gih sono pergi. Thank you baksonya.”

Dasar si payung. Kalau sudah dapat makanan langsung lupa segalanya. Apa semangkuk bakso dengan butiran toge bisa mengalahkan persahabatan bertahun-tahun ini. Caramel terus menggurutu sambil berjalan menuruni tangga. Lihat saja nanti, akan dia kerjai sahabatnya itu. Saat tiba di bawah, bel masuk berbunyi dengan nyaring. Dia hanya bisa berdecak kesal. Koperasi jaraknya jauh, guru fisika terkenal killer.

Caramel langsung berlari kencang agar bisa sampai koperasi dengan cepat. Koridor sudah mulai lengang karena sudah bel masuk. Matanya melebar saat tiba-tiba badan besar keluar dari kelas. Dia ingin mengerem larinya tapi tidak bisa. Akhirnya dia hanya bisa pasrah menabrak badan besar itu.

“Aww,” ringisnya saat jatuh ke lantai. Punggungnya terasa sakit sekarang.

“Ehh Kak maaf,” kata cowok dengan badan besar itu.

“Pampam! lo ngapain di depan pintu kelas sih?!” tanya Caramel sambil berusaha untuk berdiri.

“Nama saya bukan Pampam Kak, maaf yaa lagi situ yang lari-lari,” jawab juniornya ini.

Caramel mengusap punggungnya. Benar, dia sendiri yang salah. Lagipula kenapa dia bisa sesial ini. Kepalanya menggeleng pelan sambil lanjut berjalan.

"Kakak nggak nangis kan?" tanya anak itu.

Caramel hanya melambaikan tangan tanpa menoleh. Memangnya dia anak kecil. Jatuh sudah jadi kebiasaannya. Kalau hanya punggung yang sakit itu bukan masalah. Daripada menabrak orang lagi, dia memilih jalan saja. Terserah kalau nanti dia kena sembur.

Setelah tiba di koperasi Caramel buru-buru membeli pena dan langsung kembali. Di lapangan sudah mulai ramai siswa dengan seragam olahraga. Keningnya berkerut dalam, ini jam olahraga kelas dua belas IPA satu. Senyumnya langsung mengembang. Kali ini pasti dia bisa melihat Bara.

Caramel memilih bersembunyi di belakang pot besar agar tidak ketahuan. Matanya mencari keberadaan cowok itu.

Di bagian lapangan basket, Bara sedang bermain dengan Rafan dan teman-teman sekelasnya. Caramel kembali tersenyum. Rasanya seperti ada jutaan kupu-kupu terbang di perutnya. Padahal hanya melihat dari jauh. Kalau ini di kamar, dia pasti sudah menjerit kegirangan.

Lama dia menonton Bara bermain sampai lupa dengan jam pelajarannya.

Dehaman pelan membuat Caramel terusik. Tadinya dia ingin marah-marah pada orang itu karena sudah mengganggu tapi niatnya batal. Dia hanya meringis kecil melihat kepala sekolah sedang menatapnya heran.

"Sedang apa di situ?" tanya kepala sekolah.

Caramel langsung berdiri. "Maaf Pak tadi uang saya jatoh."

"Sudah ketemu?"

Kepala Caramel langsung mengangguk. "Udah Pak, baru aja ketemu."

Kepala sekolah tersenyum ramah. "Kalau begitu kembali ke kelas."

"Iya Pak permisi," kata Caramel sebelum salim dan berlari pergi.

Dari tengah lapangan Bara melihat Caramel berlari di koridor. Dahinya mengernyit, kenapa cewek itu ada di luar kelas di jam-jam sibuk begini.

Sebelum tiba di depan kelas, Caramel langsung menghentikan larinya. Dia mengatur nafas sebelum kembali berjalan seperti biasa. Tangannya mengetuk pintu. "Permisi Bu."

Bu Fatma menoleh dengan wajah menyeramkan. "Kenapa baru datang?"

Caramel meringis kecil. "Maaf Bu, saya abis dari toilet."

Mata bu Fatma menyipit dengan pandangan curiga sebelum menghela nafas. "Masuk!"

"Terima kasih Bu."

Pelajaran berlanjut dengan tenang. Bukan karena mengerti, tapi lebih ke arah bosan. Bella menyikut lengan Caramel. "Lo kenapa lama banget?" bisiknya.

"Gue abis nonton Bara di lapangan," jawab Caramel.

"Pantes lama! dasar lo ya cari kesempatan!"

"Hehe abis tuh orang nggak pernah nongol," keluh Caramel.

Memang hanya bisikan-bisikan. Tapi suasana sedang tenang jadi satu suara pun pasti mengganggu. Seperti jika kita makan kerupuk kulit di tempat sunyi. Ganggu banget.

Bu Fatma menoleh dengan wajah geram. "Kalau ingin ngobrol silahkan keluar Caramel Umbrella!"

Caramel meringis kecil. "Ehh maaf Bu."

Bu Fatma mengatur nafasnya. Sepertinya berusaha untuk tetap sabar. Pelajaran kembali dilanjutkan dengan tenang.

Caramel mengusap punggungnya yang kembali sakit. Dia meringis kecil. "Sial."

"Kenapa sih?" tanya Bella penasaran.

"Gue tadi nabrak Pampam Mbel di bawah," gerutu Caramel.

Bella mengerutkan keningnya. "Pampam?"

Caramel menganggukan kepala. "Itu loh junior kita yang gede banget!"

"Terus?"

"Mantul gue Mbel!" jawab Caramel.

Bella langsung tertawa kencang sampai lupa kalau saat ini ada bu Fatma yang sepertinya sudah mengeluarkan tanduknya.

"Caramel Umbrella!!" bentak bu Fatma. Caramel dan Bella hanya bisa meringis kecil.

"Ikut Ibu!" suruh bu Fatma.

Di belakang bu Fatma, Caramel dan Bella saling siku menyikut sampai mereka tiba di lapangan yang ramai.

"Berdiri di sini, angkat satu kaki kalian dan pegang dua telinga kalian masing-masing," kata bu Fatma.

Caramel mengerutkan keningnya. Ini hukuman macam apa. Kenapa seperti anak sekolah dasar. Di sini ada kelas Bara. Malu kalau dia harus berpose begitu. "Aduh Bu yang lain aja yaa? emm bersihin kelas deh."

Bu Fatma tersenyum. "Oke Ibu tambah. Kalian harus teriak saya berjanji tidak akan membuat keributan lagi. Begitu terus sampai pelajaran saya selesai."

Bella melebarkan matanya. "Aduh sadis amat Bu."

"Mulai!" kata bu Fatma.

Caramel dan Bella mengangkat satu kaki dan memegang kuping sambil mulai berteriak sampai orang-orang di lapangan tertawa melihat dua anak itu.

"Bagus!" kata bu Fatma sebelum pergi.

Caramel cemberut kesal. Pasti guru itu sedang mengerjainya. "Saya berjanji tidak akan membuat keributan lagi."

Rafan mendekati Caramel dan menoyor kepala adiknya itu. "Kamu ngapain?"

"Nggak usah ngeledek deh Bang!" keluh Caramel.

Bukannya prihatin Rafan justru tertawa geli dan melanjutkan larinya. Abangnya itu memang menyebalkan. Kalau tidak bisa membantu setidaknya jangan tertawa di atas penderitaannya.

Cuaca semakin panas. Wajah Caramel dan Bella sudah memerah. Peluh mengalir deras di kening keduanya. Sepertinya jika baju ini diperas mungkin airnya bisa terkumpul satu gelas. Tenggorokan terasa kering. Caramel merengek kecil. Kalau dia ikan asin, maka tinggal goreng saja di minyak panas.

"Semangat Raa!!" kekeh teman-teman Rafan.

"Mulut gue rasanya mau berbusa!" keluh Bella.

Caramel mengangguk setuju. Dia pegal harus berteriak dengan kata-kata yang sama. "Gumoh gue!"

Bella menyikut tangan Caramel sampai membuat sahabatnya itu terhuyung. Kadang dia memang tidak sadar tenaga.

"Apa sih?" tanya Caramel kesal.

Bella mengedikan kepala. "Liat noh! Kak Bara lagi sama pawang uler."

Caramel langsung menoleh. Dia mengerutkan keningnya. Raya bukan murid kelas dua belas IPA satu. Kenapa cewek itu bisa ada di lapangan. Dari tempatnya berdiri dia bisa melihat jelas sikap Raya yang minta di garuk. Gatel banget.

"Idih mending Kak Gita ya? Kak Bara nggak risih?" tanya Bella.

Caramel mengangkat bahunya. "Kayanya tulang Kak Raya lordosis, lo liat aja dadanya ngebusung mulu."

"Pake daleman batok tuh biar keliatan gede," kekeh Bella dengan wajah geli.

Caramel ikut tertawa. Dasar sarap. "Anjir lo! pengalaman ya?"

Bella mengacungkan jempolnya. Kakinya sudah turun dari tadi karena pegal. Masa bodo dengan hukuman aneh ini. Daripada keram lebih baik cari kesempatan dalam kesempitan.

Caramel mendongak ke atas. Memastikan bu Fatma tidak mengawasi mereka. "Mbel ke kantin yo!"

"Gila! lo mau tambah dihukum?" tanya Bella dengan mata melotot. Bu Fatma tidak pernah main-main dalam hal menghukum muridnya. Akan selalu ada inovasi baru dalam hal menghukum.

Caramel mengibaskan tangannya. "Bodo amat! tenggorokan gue kering kaya padang pasir."

Bella tahu karena dirinya juga haus. Senyumnya mengembang, dia menjentikan jarinya. "Minta tolong Bang Rafan aja gih!"

"Ihh mana mau?" tanya Caramel.

"Coba dulu dodol!" omel Bella.

Caramel mendengus kesal. Dia mengangguk setuju. Daripada kehausan. Tangannya melambai pada Rafan yang asik bermain dengan teman-temannya di lapangan.

"Bang Rafan!" panggilnya.

Rafan menoleh, alisnya terangkat. "Apaan?"

"Minum dong, Kara sama Umbel haus," teriaknya lagi.

Rafan berdecak kesal dan berlari ke kantin menuruti permintaan adiknya itu. Kalau bukan adik dia tidak akan mau disuruh-suruh begitu. Untung sayang.

Bella menyikut lengan Caramel lagi. "Kak Bara noh!" katanya sambil melirik ke samping.

Caramel ikut melirik. "Aduh! dia ke sini ya?" bisiknya.

"Kayanya," jawab Bella.

Bara berjalan melewati mereka tanpa menoleh. Dugaan Bella salah. Bara cuma mau menghampiri teman sekelasnya yang sedang duduk-duduk di pinggir koridor.

"Idih, semut kali kita dilewatin aja!" keluh Caramel.

"Haha butiran pasir Ra! udah ah nggak usah diladenin, salah lo sendiri ngaku-ngaku gagal move on," kata Bella sambil merangkul bahu Caramel.

Caramel berdecak kesal. Itu bukan hal yang disengaja. Salahkan reflek yang tidak baik ini. "Sekalian aja lo bilang gue bunga pasir!"

"Bau dong?" ledek Bella.

"Bodo!" jawab Caramel cuek.

🍬🍬🍬

Kalau Bara ingin cuek yaa sudah. Caramel juga tidak peduli. Terserah cowok itu. Toh mereka hanya dua orang yang baru beberapa bulan kenal. Jadi mana mungkin hanya karena orang seperti Bara, dirinya bisa kacau.

Caramel merengek kesal sambil mengetuk kepalanya sendiri. Pikirannya tidak sejalan dengan apa yang dia ucapkan.

Sebentar lagi ulangan tengah semester akan dilaksanakan. Otaknya harus bersih dari pikiran-pikiran yang tidak penting. Dengan otak bersih saja dia kesulitan mengerjakan soal. Apalagi kalau otaknya sedang kacau.

"Ra! Bang Arkan kena kasus?" kata Bella.

Caramel mengangguk malas. Iya kemarin rumah sempat ramai karena bunda kejar-kejaran dengan Arkan karena lagi-lagi abangnya itu ikut tauran. Bunda sampai pusing menghadapi Arkan yang memang suka mencari keributan.

"Kayanya senin besok Ayah sama Bunda dipanggil ke sekolah," jawabnya. "Lagian gue heran sama tuh orang, udah kelas dua belas masih aja cari perkara!"

Bella mengangguk setuju. "Kira-kira bakal dapet hukuman apa yaa?"

"Yah gue harap bukan dikeluarin. Apa aja nggak apa-apa deh," jawab Caramel sambil bertopang dagu.

Caramel pergi ke ruangan cheerleaders dengan Bella. Bukan untuk mendaftar pastinya. Berjalan saja masih sering oleng. Apalagi ikut menari-menari begitu.

Dia kemari untuk mengumpulkan kertas ulangan harian seni budaya pada ibu Junariah yang ruangannya ada di dalam ruang ini.

Langkahnya terhenti saat mendengar suara Raya dan teman-temannya.

"Kan gue udah bilang si Bara deket sama Caramel cuma gara-gara disuruh Rafan," ucap Raya.

"Pantes sekarang udah nggak deket," jawab teman Raya.

"Iyalah, Bara mana mau disuruh begitu?" kekeh Raya.

Caramel cuma bisa merengut kesal sambil menghentakan kakinya. Dasar kurang kerjaan. Hobi membicarakan orang. "Lo aja deh Mbel yang masuk!"

Bella mendengus kesal. "Yah elah, udah nggak usah didenger!"

Caramel juga ingin begitu. Tapi dia memiliki dua telinga yang masih berfungsi dengan normal. Suara kaleng rombeng itu pasti terdengar jelas.

Bella menarik lengan Caramel. Mereka masuk ke ruangan itu dengan santai meskipun ada mata-mata tajam yang menatap. Bella langsung meletakan kertas-kertas itu di meja karena Ibu Junariah tidak ada di mejanya. Jelas, kalau beliau ada, mungkin Raya tidak akan ngobrol di ruangan ini.

"Panjang umur?" tanya Raya.

"Amin," jawab Caramel dengan wajah kalemnya.

Raya mendengus geli. "Seneng yaa jadi adeknya Rafan? bisa deket sama si Bara gitu."

Caramel menggelengkan kepalanya. "Biasa aja Kak, kalau bisa deket sama nick bateman baru gue seneng."

Raya mencibir pelan. Juniornya ini memang tidak ada takut-takutnya. Rasanya dia ingin sekali-kali melabrak tapi sayangnya dia tahu cewek dengan tingkah laku manis di depannya ini menyeramkan kalau sedang mengamuk. Tulang-tulangnya bisa patah.

"Terserah, yang penting sekarang Bara sama gue, jangan minta sama Abang lo buat deket sama Bara lagi!" kata Raya sebelum pergi keluar ruangan.

Bella terus menggerutu selama kembali ke kelas. "Sekarang gue tau kostum apa yang bakal gue pake di acara nanti!"

"Acara apa?" tanya Caramel.

"Reuni SD. Temanya hewan kan?"

Caramel menganggukan kepalanya. "Gue juga udah dapet, ada kostum ayam di rumah. Emang lo mau jadi apa?"

Bella tersenyum sambil menaikan alisnya. "Uler betina."

"Hah? darimana bedain uler betina sama jantan sih?" tanya Caramel.

Bella menunjuk ke belakang. "Itu tadi, gue tinggal dandan terus bergaya kaya si Rayong. Udah deh jadi uler betina."

Caramel mendengus geli. Dia memukul bahu Bella. Emang dasar sohibnya ini.

"Udah nggak usah dipikirin omongan dia. Nggak mungkin Kak Bara mau disuruh-suruh begitu," ucap Bella.

Caramel diam. Sebenarnya masuk akal juga ucapan Raya tadi. Seperti saat tiba-tiba Bara menemani dia belajar dengan Bayu di perpustakaan. Padahal waktu itu dia belum kenal dengan Bara.

"Yaudah lah, siapa juga yang peduli?" jawab Caramel.

"Kenapa ngomongin gue?" tanya Bara sampai membuat Caramel dan Bella kaget.

Bara menghela nafas, dia mengikat tali sepatu Caramel yang terlepas. "Tolong bilangin temen lo ini buat iket tali sepatunya sendiri."

Caramel membuang pandangannya. "Nggak usah sok baik, kalau Abang nyuruh lo deketin gue nggak usah di denger," katanya sebelum pergi melewati Bara.

Bara mengerutkan keningnya. "Dia kenapa?"

"Emm biasa Kak Raya. Tapi kalau emang Kak Bara deket sama Kara cuma gara-gara disuruh mending nggak usah deh," jawab Bella sebelum menyusul Caramel.

Bella merangkul bahu Caramel. "Udah nggak usah dipikirin."

Caramel menganggukan kepalanya dan tersenyum kecil. "Thanks."

"Ck gimana kalau gue bantu nyari tau si cowok yang lo bilang mata biru itu?" tanya Bella dengan wajah tertarik.

Caramel melebarkan matanya. "Serius?" Wajahnya langsung berbinar. Sampai sekarang dia masih penasaran dengan cowok dengan mata indah itu.

"Yapp! daripada sama Kak Bara?" tanya Bella.

"Hehe iya dong, gue kan sukanya sama dia bukan sama Bara," jawab Caramel.

"Yakin?"

"Engga sih haha, baper aja kali yaa gue. Abis kalo gue pikir-pikir Bara mirip sama tuh cowok," jawab Caramel.

🍬🍬🍬

Siang ini setelah pulang sekolah Caramel langsung berlari ke kamarnya. Matanya sudah berat, sepertinya dia akan tidur sampai ayah dan bunda pulang kantor.

"Non," panggil pelayan rumah ini.

"Iya kenapa?"

"Tadi Nyonya pesan, katanya hari ini akan pulang malam sama Tuan."

Caramel menghela nafas panjang. "Emang ada urusan apa?"

Pelayang itu menggelengkan kepalanya. "Nyonya hanya pesan itu."

"Oh yaudah, tolong tutup pintunya yaa aku mau tidur," kata Caramel.

Setelah pintu di tutup, dia langsung mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian rumahan yang nyaman untuk tidur.

🍬🍬🍬

Caramel berjalan dengan mata terpejam. Matanya masih berat tapi dia haus. Saat melewati ruang tamu sekilas dia mendengar suara bunda yang sedang bicara serius dengan ayah.

"Aku tidak tahu masalahnya seberat ini," kata bunda.

"Gavyn pasti bisa menyelesaikan semua," jawab ayah.

Caramel mengerutkan keningnya. Kenapa nama daddy disebut. Dia melangkah menghampiri ayah dan bunda. "Ada apa Yah?"

Ayah menoleh, senyumnya mengembang menenangkan. "Baru bangun?"

"Iya, kenapa baru pulang?" tanya Caramel sambil bergelayut manja di tangan ayah.

"Ada pertemuan. Kamu sudah makan?" tanya Ayah.

Caramel menggelengkan kepalanya. Tidak sempat karena terlalu ngantuk tadi. "Kara mau makan sama Ayah sama Bunda."

Malam ini mereka hanya makan bertiga. Si kembar belum pulang dan Chika juga masih pergi dengan Raka. Selama makan malam wajah bunda terlihat sedih, seperti banyak pikiran. Biasanya bunda yang akan banyak bicara tapi sepertinya untuk malam ini kebiasaan itu hilang.

"Ayah.. Bunda kenapa sih?" tanya Caramel setelah bunda pergi ke atas.

"Bukan apa-apa, Ayah ke atas dulu," kata ayah.

Caramel merengut kesal, dia bertopang dagu dengan wajah bosan. Besok hari sabtu, mungkin lebih baik dia menyuci tas-tas dan sepatunya agar hari minggu dia bisa pergi dengan bebas. Senyumnya mengembang, dia langsung melangkah ke kamar untuk menyiapkan barang-barang yang akam dia cuci besok. Lumayan daripada hanya diam.

🍬🍬🍬

Minggu ini Caramel sudah berencana untuk pergi ke toko buku dengan Bella. Ada diskon yang lumayan. Bagi pemburu novel sepertinya diskon dua puluh persen termasuk keuntungan yang sangat menarik. Sepagi ini dia sudah siap dengan pakaian santai.

Ah percayalah jika tidak pergi dia tidak mungkin sudah mandi di minggu pagi ini.

Ponselnya berdering pelan. "Yaa Mbel?" tanyanya sambil memoles bedak tipis di wajahnya.

"Udah bangun kan lo?"

"Udah lah! ini gue ngangkat telepon lo!" dengus Caramel.

"Hehe gue kira ngigo, yaudah ketemu di halte biasa ya?"

"Sipp bentar lagi gue otw," kata Caramel sebelum memutuskan sambungan.

“Bunda!! liat sepatu kets Kara enggak?” teriak Caramel dari tangga.

“Sepatu kets yang mana?”

“Itu loh yang warna biru,” jawab Caramel sembari menghampiri bunda.

“Kamu mau kemana?” tanya bunda dengan wajah bingung.

Cengiran polos menghiasi wajah Caramel. “Mau jalan-jalan sama si Umbel Bunda, lagi ada diskon loh Nda di toko buku langganan aku.”

“Toko buku lagi? minggu kemarin kan udah sayang. Kamu mau beli novel lagi?”

Caramel cemberut kesal dan memeluk bundanya dan menyandarkan kepalanya di bahu wanita yang paling istimewa untuknya ini. “Bundaku sayang yang paling kece di antara yang terkece, novelnya udah abis Kara baca nah sekarang Kara mau beli lagi lumayan diskonnya.”

Bunda menghela nafasnya, dia menjawil hidung Caramel. “Yaa ya terserah, asal kamu jaga semua novel-novel kamu itu, kalau enggak Bunda bakar semua!”

“Idih sadisnya, iya Bunda sayang. Yaudah ini sepatu kets Kara kemana?” tanya Caramel mengembalikan topik pembicaraan.

Bunda berkacak pinggang. “Kemarin yang nyuci sepatu di belakang siapa? bayangannya Kara?”

Kening Caramel berkerut, tidak lama gadis itu menepuk keningnya sendiri. “Oh iya bener, Kara cuci sepatunya hehe kok bisa lupa yaa?”

“Makanya jangan kebanyakin nyemilin bumbu mie instan!” sembur Arkan dengan wajah bangun tidurnya. “Pagi Bunda cantik,” sapa anak itu sebelum mengecup pipi bunda.

Bunda mengusap kepala Arkan. “Mana Abang mu?”

Arkan mengangkat bahunya. “Tadi sih lagi siap-siap pergi juga Nda.”

“Haha jadi lo doang Bang yang nganggur?” kekeh Caramel.

Arkan mendengus kesal, dia merangkul bahu Caramel. “Jangan sedih! Nanti siang juga gue mau jalan.”

Bunda menarik tangan Caramel dan Arkan, menuntun keduanya untuk duduk di meja makan dan sarapan bersama.  “Kita sarapan aja oke?”

“Pagi Bunda,” sapa Chika yang baru saja turun.

“Pagi sayang, oh iya Raka nanti datang loh. Sekalian anter anak Bunda yang datang dari London,” ucap bunda dengan semangat.

Mata Chika berbinar senang. “Raka datang?”

“Ciye seneng banget kayanya,” kekeh Caramel, “oh iya anak Bunda apa sih?”

“Lyza, kamu lupa?”

Kening Caramel berkerut dalam, dia sudah lupa. Di samping Caramel, Arkan juga memasang wajah bingung.

“Huh ya sudah, nanti kalau dia sudah datang Bunda akan kenalkan,” gerutu bunda.

Ayah turun dengan Rafan, mereka langsung bergabung dengan yang lainnya.

“Jadi anak Bunda yang ini mau kemana?”

“Ada urusan kerjaan Nda sama si Bara, sekalian mau urus motor,” jawab Rafan dengan santai.

Bunda mengerutkan keningnya. “Bara yang Kara ceritain itu? yang katanya anak geng motor sama bandar narkoba itu?”

“Bukan!!” potong Caramel. Meskipun kesal dengan sikap Bara tapi cowok itu baik. Semua isu itu terdengar tidak masuk akal setelah dia mengenal Bara.

“Kamu yang bicara begitu sayang," kata ayah.

Caramel meringis kecil. “Ternyata Kara salah paham Yah, eh enggak tau juga sih salah apa enggak tapi yang pasti Bara baik.”

Bunda tersenyum dan duduk di samping Caramel sambil bertopang dagu. “Kayanya waktu itu Kara berapi-api banget bencinya sampai ngelarang Bang Rafan buat main sama orang itu.”

“Hehe iya sih, tapi kan dulu Kara pikir dia cuma bawa pengaruh buruk buat Abang. Kara salut deh sama dia, dia itu enggak punya orang tua Bunda dan dia kerja di bengkel untuk biayain hidupnya sendiri,” cerita Caramel.

“Oh ya? berarti dia hebat Ra, Kakak pernah ngerasain gimana susahnya kerja sambil sekolah apalagi dia enggak punya keluarga,” sambung Chika.

“Dia sama sekali enggak punya keluarga Fan?”

Rafan yang sejak tadi hanya menyimak, mengangkat bahunya. “Dia tertutup, enggak ada yang tau tentang dia yah kecuali Bang Rio dia itu udah kaya orang tua untuk kami yang sering nongkrong di bengkel itu.”

“Eh tapi Kara enggak liat ada yang tua di sana,” gumam Caramel.

“Loh kamu pernah ke bengkel itu?” tanya bunda.

Caramel mengangguk antusias. “Iya hehe tuh disuruh Abang buat ngecek motornya makanya Kara ketemu sama Bara, uh Bunda harus liat waktu dia lagi kerja dia itu keliatan em apa yaa bahasanya cool mungkin yaa meskipun ada oli di mukanya.”

Ayah tersenyum dan menggelengkan kepala. “Ya sudah, kita makan.”

Semua memulai sarapan minggu pagi ini dengan tenang. Setelah selesai Caramel langsung pergi begitu juga dengan Rafan.

"Bang Rafan nggak perlu nyuruh Bara buat deketin Kara," kata Caramel saat berjalan keluar rumah dengan Rafan.

Rafan menoleh. "Tau darimana?"

Caramel tersenyum, bahkan Rafan tidak mengelak. "Bilang sama Bara, nggak perlu menghindar. Kara nggak akan ganggu dia."

Kali ini Rafan yang tersenyum, dia merangkul bahu Caramel. "Abang nggak mau bohong. Emang Abang nyuruh dia buat deket sama kamu. Tapi menurut kamu Bara orang yang mau disuruh begitu?"

Caramel menoleh dengan wajah bingung. "Maksudnya?"

"Alesan dia ngejauh, menurut Abang itu salahmu sendiri," kata Rafan sambik menghentikan langkahnya. Dia menjawil hidung Caramel. "Kamu yang ngebuat jarak, kalau dia bener-bener jauh jangan salahin dia dan orang lain."

Caramel mengerutkan keningnya dalam-dalam. Tidak ada penjelasan lagi dari Rafan karena abangnya itu dudah masuk ke garasi untuk mengambil motornya. Dia yang menciptakan jarak. Jarak apa yang dia buat.

"Ayo Abang anter!" kata Rafan setelah mengeluarkan motornya.

Caramel mengangguk dan naik ke motor Rafan. "Jarak apa sih Bang?"

"Koreksi semua yang pernah kamu ucapin," jawab Rafan.

Caramel memikirkan semuanya sampai dia ingat kata-katanya saat mengaku masih menyukai Bayu. Matanya semakin melebar waktu ingat kata-kata Bara setelah dia dan cowok itu melihat bintang di tebing pantai.

"Bara cemburu?" gumam Caramel.

🍬🍬🍬

See you in the next chapter 😘😘😍

Baranya lagi hibernasi kemaren 😂😂

Ada yang nanya kenapa update lama kemaren.. hehe iya lagi ngurus naskah NADW

Dan mohon maaf akan jarang update karena dalam proses skripsi.. Doakan semoga skripsiku lancar yaa 😘😘😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top