BAB 12 - Jealous (?)
Halohaaa semuaa..
Kangen banget dehhh hehe, mohon maaf baru bisa update ^^
Jangan lupa follow ig aku untuk info PO NADW
Ig : @indahmuladiatin
Langsung aja yaa happy reading guys! Hope you like this chapter 😉😉😉😘
🍬🍬🍬
Akhirnya setelah hampir satu minggu Caramel berdiam diri di rumah sakit. Hari ini dia bisa pulang ke rumah. Rencana liburannya tetap dilanjutkan karena ayah sudah menyiapkan semuanya.
Chika membereskan barang-barang Caramel. "Kamu nunggu siapa?"
Caramel menoleh dan tersenyum kecil. Kepalanya menggeleng pelan. "Aku kira Ayah sama Bunda yang jemput."
"Tadinya begitu, tapi Kaka mau jemput kamu dan Bunda nyuruh Kakak ikut dia," jawab Chika.
"Oh pantes," jawab Caramel. Sebenarnya dia ingin Bara ikut datang ke rumah sakit tapi sepertinya dia cuma bisa berharap. Cowok itu terlalu sibuk dengan pekerjaan.
Chika tersenyum dan mengusap kepala Caramel. "Ayo kita pulang, Kaka udah nunggu di luar."
Di rumah, bunda langsung menyambut Caramel dengan wajah senang. Akhirnya partner dalam membuat kerusuhan di rumah sudah pulang. Selama Caramel dirawat, rumah ini rasanya sangat sepi. Tidak ada yang mengganggu kesibukan-kesibukan orang lain.
"Akhirnya kamu pulang!" kekeh bunda sambil merangkul bahu Caramel.
Caramel tertawa kecil, dia juga senang bisa pulang. Kembali ke kamarnya adalah impian sejak minggu kemarin. "Kara juga seneng Nda." Kepalanya menoleh ke arah pintu rumah. "Nda, Kara mau ke rumah Umbel ya?"
"Ehh kamu mau langsung pergi lagi?" tanya bunda.
Caramel meringis kecil. "Hehe biasa Nda, sekalian jemput dia biar nanti kita langsung berangkat."
"Biar Ayah antar," ucap ayah langsung. Hal seperti kemarin tidak boleh sampai terjadi lagi. Kemarin hanya lengan yang terkena pisau. Jangan sampai Caramel diserang seperti itu lagi.
Caramel tersenyum dan merangkul lengan ayah. "Ayo!"
Di dalam mobil, Caramel bersenandung kecil dengan wajah senang yang sangat terlihat. Di tikungan dekat bengkel tempat Bara bekerja Caramel langsung menepuk pelan lengan ayah. "Stop sebentar Yah."
"Ada apa?" tanya ayah.
Caramel menatap keluar jendela, wajahnya terlihat berpikir sampai kepalanya menggeleng pelan. "Ayo Yah jalan lagi."
"Ada apa disana?" tanya ayah lembut.
"Eh hehe nggak Yah," jawab Caramel.
Ayah menghela nafas panjang. Tangannya mengusap kepala Caramel sebelum kembali menjalankan mobil. Caramel memang sudah besar, tidak semua urusan putrinya ini bisa diketahui.
"Ayah pulang aja, nanti biar kita dianter sama Bang Dirga," ucap Caramel sebelum turun.
"Jangan sampai kejadian kemarin-"
"Ayah, Kara janji hari ini Kara pulang tanpa ada luka," potong Caramel dengan wajah yakin. Kadang ayah memang terlalu protektif sampai membuatnya pusing. Tapi dia tidak pernah keberatan, kasih sayang ayah memang sangat besar.
Ayah tersenyum tipis dan mengacak rambut Caramel. "Ayah tunggu di rumah."
"Siap!" jawab Caramel. Dia mengecup pipi ayah sebelum keluar dari mobil dan berlari masuk ke rumah Bella.
"Mbel! Umbel!!" teriak Caramel.
"Bella di kamar sayang, langsung ke kamarnya aja!" balas ibu Bella dari dapur.
Caramel langsung berlari menaiki tangga dan pergi ke kamar Bella. "Mbel!!"
"Ck berisik amat sih lo!" omel Bella dengan intonasi tidak jelas karena mulutnya kaku setelah menggunakan masker putih telur yang dibuat sendiri.
"Ehh muka lo kenapa?" tanya Caramel dengan wajah geli.
"Diem!"
"Huu galaknya. Emm Mbel main yo! kita ke tempatnya Bara kerja," ajak Caramel semangat.
Bella berdecak pelan, dia bangun dan berkacak pinggang di depan Caramel. "Lo nggak kapok dilempar baru? udah deh, Kak Bara bener ngelarang lo ke sana."
"Tapi Mbel-"
"Lo nggak mau nginep di rumah sakit lagi kan?" tanya Bella.
Caramel cemberut kesal. Tentu saja. Tapi memangnya tidak boleh kalau pergi ke sana sebentar. Mengintip dari jauh juga dia tidak masalah. Baginya yang terpenting itu melihat Bara sebentar. "Cuma dilempar batu," gumamnya.
"Lo mau nunggu dilempar apa? komet?" tanya Bella.
Caramel langsung menginjak kaki Bella sampai sahabatnya itu berteriak sakit. "Sembarangan!"
"Kara!!! tuh kan masker gue retak!!" teriak Bella marah.
Caramel langsung berlari keluar kamar sebelum Bella meledak. Dia tertawa kencang mendengar teriakan nyaring Bella. Wajah sahabatnya itu pasti sudah memerah sekarang. "Tante.. Kara main keluar dulu ya?" teriaknya.
"Iya hati-hati," balas ibu Bella.
Caramel berjalan santai ke jalanan besar untuk mencari angkutan umum. Kalau Bella tidak mau pergi ya sudah, biar dia sendiri saja yang pergi ke sana. Dia janji hanya akan lihat sebentar, itu pun dari jauh. Kalau sampai bisa lihat dari jarak dekat berarti itu rezekinya.
Di perjalanan Caramel sudah memikirkan segala cara agar dia tidak ketahuan nantinya. Keningnya berkerut saat melihat Gita sedang berdebat dengan cowok di dekat belokan gang. "Kiri Bang!"
Caramel langsung turun tidak jauh dari tempat Gita dengan cowok itu. Matanya melebar saat melihat rambut Gita dijambak. Dia langsung berlari mendekat. "Woy! lo ngapain jambak-jambak?"
Cowok itu menatap Caramel dengan sinis. Mata hijamnya tajam menusuk. "Siapa lo?!"
"Dia pacarnya Ken," ucap Gita cepat.
Caramel mengerutkan keningnya. "Ken?"
"Bara," lanjut Gita dengan senyum tipis. "Dia pacarnya Bara."
"Oh bagus," cowok itu tersenyum sinis pada Caramel. "Bilang sama pacar lo, nggak usah usik hubungan orang!"
Apa lagi ini. Caramel sama sekali tidak mengerti obrolan macam apa yang sedang dia lakukan. Pacar Bara. Hubungan orang lain. "Ini apa sih?"
"Hem gini, ini Beni, dia pacar gue Ra," jawab Gita dengan senyum yang tidak enak. Antara malu dan sedih atau takut.
Caramel menatap Beni dari atas sampai bawah. Kenapa Gita mau dengan cowok tempramental begini. Lebih baik Bara kemana-kemana. Dari segi sikap dan tampang jelas Bara menang. Berarti Bara dan Gita tidak pacaran, dia berusaha menahan senyumnya.
"Terus kenapa Kakak dijambak?" tanya Caramel.
Gita melirik Beni sekilas. "Biasa Ra, tadi dia nggak bener-bener jambak gue."
Beni mengibaskan tangannya dengan wajah pongah. Kalau saja boleh rasanya tangan Caramel sudah gatal ingin menjotos wajah menyebalkan itu. "Gue balik! inget ya.. lepas tuh gelang!"
Gita mengangguk cepat. "Take care."
Gita langsung menarik lengan Caramel. Mereka berjalan masuk ke bangunan yang tidak terlalu tinggi. "Ayo main ke rumah sebentar."
"Kak Gita tinggal di sini?"
"Iya. Bara, Defan dan yang lain juga banyak yang di sini," jelas Gita tanpa menghentikan langkahnya.
Mendengar nama Bara disebut, Caramel langsung tersenyum. Dia tidak tahu akan dapat rezeki nomplok untuk main ke rumah Bara.
"Ini kamar Bara," tunjuk Gita pada pintu hitam tanpa hiasan apapun.
"Orangnya ada?"
"Di bengkel dong, dia jarang pulang. Lo nggak akan bisa nemuin dia di rumahnya kalau bukan jam tiga subuh," kekeh Gita.
Mulut Caramel membulat. Pasti Bara orang yang sangat sibuk sampai pulang pun jarang. Memangnya tidak capek kerja setiap hari begitu. Langkahnya terhenti di samping kamar Bara. "Ini kamar Kakak?"
Gita mengangguk dan membuka pintu kamarnya. "Welcome di rumah sederhana gue."
Walaupun kelihatan sederhana tapi ruangan ini sangat rapi dan nyaman. Semua barang ditata dengan letak yang pas sampai ruangan ini tidak kelihatan sempit.
"Gue malu ngeliatin rumah gue ke orang kaya lo," ucap Gita.
Caramel menoleh dengan wajah bingung. "Emang gue kenapa Kak?"
"Lo sama Rafan, kalian dari keluarga kelas atas," jawab Gita santai.
Bola mata Caramel berputar jengah. Baginya semua itu milik ayah bukan miliknya sendiri. Dia hanya orang biasa. "Gue suka sama tempat ini. Rasanya jadi mau tinggal di sini juga," kekehnya.
"Tinggal disini karena suka tempatnya atau mau tetanggaan sama Bara?" tanya Gita dengan alis terangkat.
"Hehe suka tempatnya dong." Caramel melihat kumpulan bingkai foto di atas nakas dekat televisi. Ada beberapa foto-foto Gita dan Bara dengan berbagai pose lucu. Kelihatan sangat dekat. "Kenapa nggak pacaran sama Bara aja sih Kak?"
"Kenapa nanya gitu?"
Caramel menunjuk foto-foto itu. "Cocok, daripada sama si Beni tadi."
Caramel mendekati nakas. Dia tersenyum kecil melihat Bara tertawa dengan Gita. Cowok itu kelihatan sangat senang. Di salah satu foto ada jaket Bara yang sekarang masih ada di rumah karena lupa dia kembalikan.
"Emang lo nggak masalah kalau gue pacaran sama Bara?" ledek Gita.
Caramel terdiam sejenak. "Enggak dong, lagian gue udah punya pacar."
Gita mengerutkan kening. Rafan tidak pernah cerita kalau Caramel punya pacar. Kalau dilihat, Rafan justru ingin Bara dekat dengan Caramel. "Oh yaa? temen sekolah lo juga?"
Caramel menganggukan kepalanya. "Bayu namanya." Jangan tanya kenapa dia menjawab begitu. Itu reflek alamiah dari mulutnya. Melihat wajah Gita yang ragu, dia langsung membuka ponselnya. Di akun sosial media pasti masih ada fotonya dengan Bayu.
"Nah ini," kata Caramel sambil menunjukan ponselnya pada Gita. Untung dia belum menghapus foto-foto itu.
"Ehh ganteng juga," jawab Gita.
Caramel meringis kecil. Jangan sampai Gita tahu kalau dia bohong sekarang. "Jadi kenapa lo nggak sama Bara aja?"
"Bara itu udah kaya saudara buat gue," jawab Gita santai. "Oh iya mau minum apa?"
"Apa aja," jawab Caramel sebelum duduk di sofa depan televisi. "Orang tua Bara dimana Kak?"
Gita menghentikan aktivitas membuat minumannya. Itu masalah sensitif. Dia tidak berhak bicara. "Tanya langsung sama Bara aja Ra, kami semua sendiri di sini."
Mendengar jawaban Gita, Caramel jadi semakin penasaran. "Orang tua lo dimana Kak?"
"Meninggal dua tahun yang lalu," jawab Gita sambil meletakan nampan minuman. "Cuma Bara, Defan sama anak-anak bengkel saudara gue di sini Ra."
Caramel terdiam, jadi begitu. Tapi dari ekspresi wajah Bara dan hadiah yang Bara berikan pada Gita, itu rasanya ada yang lebih. Mungkin Bara suka pada Gita tapi Gita sudah punya pacar.
"Hemm yang tadi lo liat, tolong jangan bilang sama Bara yaa?" pinta Gita.
"Kenapa?"
Gita tersenyum sedih. "Bara bisa marah, Beni itu baik cuma ya gitu posesifnya kelebihan. Nanti juga dia minta maaf sama gue."
Caramel menganggukan kepala. Dia memang tidak berhak ikut campur urusan Gita dan Bara. "Gue minum ya Kak."
Caramel main di rumah Gita sampai sore hari. Dia melihat jam tangannya. Malam ini dia akan berangkat ke Bali dengan keluarganya. "Kak gue balik deh."
"Lo nggak mau mampir ke bengkel?"
Mau, tapi rencananya untuk mengintip sudah hancur. "Nggak, tadi cuma kebetulan lewat aja."
"Oh yaudah, ayo gue anter keluar," ajak Gita.
Gita mengantar Caramel sampai jalanan besar. "Thanks yaa Kak, gue balik dulu."
Seperti tadi, Caramel naik angkutan umum untuk kembali ke rumah Bella. Sahabatnya itu pasti sedang pusing mencarinya sekarang. Nanti dia akan minta maaf.
"Akhirnya kamu balik, tuh Bella udah nungguin dari tadi," sambut ibu Bella yang sedang belanja di depan rumah dengan asisten rumah tangga di rumah Bella.
Caramel langsung masuk ke rumah dan menghampiri Bella di meja makan. "Ehh udah siap-siap belom?"
"Udah! lo kemana sih dari tadi?" tanya Bella sewot.
"Hehe maaf, gue tadi abis dari rumahnya Kak Gita," jawab Caramel.
"Kak Gita?"
Caramel duduk di sebelah Bella dan menceritakan semua pada sahabatnya itu. Termasuk apa yang tadi dia lihat di jalan.
"Gue penasaran cewek yang disukain Kak Bara itu gimana," gumam Bella sambil bertopang dagu.
"Mbel," panggil Caramel dengan wajah cemberut. "Masa tadi gue ngaku punya pacar sama Kak Gita."
"Hah? pacar?"
Caramel merengek kecil, dia menenggelamkan wajahnya di meja. "Huaa gue ngaku pacaran sama Bayu!"
"Loh kenapa sama dia? lagian ngapain ngaku-ngaku sih lo?" tanya Bella dengan wajah bingung. Dasar Caramel aneh. Kadang dia ingin membobol otak sahabatnya.
Caramel mengangkat kepalanya. "Nggak tau! gue langsung jawab gitu."
"Lo tuh yaa oneng nggak ilang-ilang! jangan bilang lo masih ngarep sama si Bayu?!" omel Bella.
"Ishh nggak lah! ngapain banget," jawab Caramel kesal. Mana mungkin dia masih berharap pada Bayu. Dia memang sudah memaafkan cowok itu, tapi kalau untuk suka atau apapun itu rasanya tidak.
"Emm gue tau nih, lo jealous yaa?" ledek Bella.
Caramel melirik kesal Bella. "Jealous? sama siapa? si Bara? ogah banget Mbel! tau kan gue sama dia kalo ketemu berantem mulu!"
Bella mendengus geli, kepalanya menggeleng dengan gaya dramatis. Kasihan iya, ingin meledek juga iya. Jangan harap rasa kasihan yang dominan. "Beruntungnya si Gita, gue sih doa aja semoga bisa gantiin posisi Gita. Disukain sama Kak Bara boo!"
"Gih sono doa!" sewot Caramel.
Bella terkikik geli, dia merangkul bahu Caramel. "Nanti di Bali kita cari bule lain deh, ada banyak Bara disono!"
"Bulenya mau sama gue?"
"Yaa enggak lah!" jawab Bella dengan tawa senangnya.
Caramel melotot kesal dan memukul lengan Bella yang merangkul bahunya.
🍬🍬🍬
Hari ini Bara tidak ada jadwal bekerja di bar. Dia berkumpul dengan Gita dan yang lain di cafe dekat bengkel tempatnya bekerja. Cafe sederhana dengan dekorasi yang membuat orang-orang nyaman.
Makanan di sini juga enak-enak. Jadi mereka biasa berkumpul di sini kalau sedang ada waktu senggang.
"Tadi gue ketemu Kara," kata Gita.
Bara mengerutkan kening. "Dimana?"
"Di jalan," jawab Gita santai.
Bara mengangkat alisnya sekilas tapi dia tidak bertanya lagi. Dia memilih fokus dengan kentang goreng favoritnya. Obrolan disekitarnya tentang balapan minggu depan rasanya juga tidak terlalu menarik.
"Nama pacarnya Kara tuh Bayu ya?" tanya Gita.
Bara terbatuk pelan, dia langsung meminum soda di dekatnya. "Bayu?"
Gita menganggukan kepalanya. "Gue kira dia nggak punya pacar. Bukannya Rafan mau lo deket sama si Kara?"
"Starla bilang sendiri?" tanya Bara.
"Yapp, cakep loh! lo kalah start Ken," kekeh Gita dengan wajah miris.
Defan menoleh dan mendekatkan kepalanya pada Gita dan Bara. "Siapa yang kalah start?"
"Si Ken! pacarnya si Kara cakep susah deh buat direbut," kekeh Gita.
Bara mendengus geli, dia kembali makan dengan santai. Tidak peduli ada banyak ucapan jahil dari teman-temannya.
"Masa diem aja! udah dapet lampu ijo dari abangnya juga!" protes Roni.
"Kalo si Ken nggak mau, biar gue aja yang ngerebut. Hehe si Kara cantik lucu seru," lanjut Defan.
Gita mengangguk setuju. "Yaudah buat lo aja Fan, si Ken kaku banget!"
Bara menghela nafas kesal. Dia menatap sinis teman-teman yang sekarang sedang melempar senyum jahil. "Berisik! kalo dia balik sama mantannya yaudah. Ngurus amat!"
"Hah mantan?" tanya Gita.
Bara bangkit dari tempat duduknya. "Nggak usah ganggu punya orang." Dia mengambil jaketnya sebelum pergi keluar. Tadinya dia malas pergi kemana pun tapi sepertinya rencana akan berubah. Dia mengendarai motor, tidak tentu arah, yang terpenting adalah menghabiskan malam.
Bara sampai di taman kota yang ramai dengan pasangan-pasangan. Terlalu ramai, dia tidak terlalu suka. Dia menepuk keningnya. Ini malam minggu, pantas. Dimana pun pasti ramai.
Senyumnya terbit saat mendapatkan ide kemana dia harus pergi. Bara langsung melanjukan motornya dengan kecepatan tinggi. Keluar dari ibu kota. Menuju tempat lebih tinggi dimana dia bisa melihat bintang dari jarak lebih dekat. Bintang adalah dirinya sendiri, bintang adalah ibunya, dan bintang adalah Starla. Gadis dengan tingkat kecerobohan tinggi.
Hawa dingin semakin menusuk tulang. Aroma pinus dan dedaunan semakin terasa dan suara-suara jangkrit mendominasi. Bara menghentikan motornya. Dia turun dan duduk di atas rerumputan di pinggir lereng perbukitan.
Sepi, hanya pemandangan lampu dari perkotaan dan hamparan langit biru gelap dengan bintang-bintang. Bara mengehembuskan nafas dan berbaring di rerumputan.
Liburan sekolah masih cukup lama. Membosankan, pasti hari-harinya akan diisi dengan bekerja. Liburan juga bukan pilihan yang tepat. Tidak ada tempat yang ingin dia kunjungi.
Bara menguap, angin yang mengusap lembut wajah membuat matanya memberat. Di tempat ini dia bisa tidur dengan nyenyak. Rasanya dia sangat dekat dengan wanita yang sudah melahirkannya.
"Mom apa kabar?" tanya Bara pada hamparan bintang. Senyumnya mengembang sedih. Hanya itu yang selalu dia tanyakan. Ada harapan yang menyusup di hatinya kalau nanti pertanyaan itu bisa terjawab.
Bara mengeluarkan ponsel yang baru saja dia beli kemarin. Dia pandangi layar kotak itu dengan wajah tidak tertarik. Kenapa dia harus membelinya kemarin. Decakan kecil keluar dari bibirnya. Harusnya uang itu bisa ditabung untuk keperluan kuliah nanti.
Di ponsel ini hanya ada satu nomer yang tersimpan. Nomer Gita. Cuma nomer itu yang dia hapal di luar kepala. Dan cuma Gita yang rutin dia hubungi.
Bara kembali menguap, dia memejamkan mata dan mencoba untuk rileks. Lumayan istirahat sejenak.
Cukup lama Bara tertidur sampai ponselnya berdering dengan getaran pelan. Mata birunya terbuka. Dia menguap dan mengerang kecil. Siapa yang mengganggu istirahatnya.
"Hemm?" sapa Bara.
"Ehh lo molor dimana? Ken balik cepet! si Hendra ngajakin balapan," kata Defan di seberang.
Bara menghela nafas panjang. Dia sedang dalam mood yang jelek. Malas beranjak. "Males, gue ngantuk!"
"Ck taruhannya keren, sayang nih kalo lo nggak turun."
"Siapa aja yang turun?" tanya Bara.
"Gue, si Roni sama si Thomas. Ayo berempat! yang lain lagi pada teler," balas Defan.
Bara berdecak kesal. Dia bangkit dan memakai helmnya. "Tunggu bentar!" katanya sebelum menjalankan motornya. Malam ini mungkin dia akan balapan sampai subuh.
Di sana semuanya sudah menunggu. Jalanan ramai dengan kumpulan motor-motor besar. Bara langsung menghampiri timnya. "Si Gita balik sama siapa tadi?"
"Gue anter," jawab Thomas.
Bara mengangguk. Dia sudah tenang kalau Gita sampai di rumah dengan aman. Matanya mengelilingi jalanan sekitar. Ini jalanan yang sudah pasti aman dari polisi. Di dekat kumpulan motor sport canggih ada perempuan dengan pakaian yang terlalu terbuka seperti biasa.
"Wah akhirnya dateng juga lo Bro!" kekeh cowok dengan badan tegap dan rambut panjang di kuncir.
Bara tersenyum sinis. Dia bersedekap di atas motornya. "Apa lagi yang mau lo jadiin bahan taruhan?"
Hendra menepuk motor Bara. "Gimana sama cewek gue? lo menang lo bisa ambil dia, kalau gue menang? gue mau ini motor."
Bara melebarkan matanya. Dasar gila. Dia melirik kesal Defan yang menunjukan cengiran dengan mengangkat tangan kanan. "Sorry nggak tertarik."
Hendra terkekeh kecil dan berdesis pelan. "Yah udah tau, gimana kalau lo menang gue nggak bakal usik cewek yang katanya sekarang jadi pacar lo?" alisnya terangkat dengan wajah menantang.
Bara mengerutkan keningnya. "Pacar? siapa?"
"Udah kesebar, pacar the angel yang terkenal. Cewek cantik dengan rambut panjang," jawab Hendra.
Bara terpaku. Dia mengepalkan tangannya. Pasti komplotan itu yang menyebarkan semuanya. Padahal sudah dia pastikan komplotan codet itu masuk rumah sakit setelah mengeroyok Caramel.
Bara berusaha untuk tetap terlihat tenang. "Mau usik? silahkan, rumor lo basi! dia bukan siapa-siapa gue." Kalau berani dia sendiri yang akan menghajar orang-orang itu.
"Jadi apa yang buat lo tertarik?" tanya Hendra.
Bara menoleh pada Defan dan teman-temannya. "Ada yang kalian mau?"
"Gue mau ceweknya!" jawab Defan.
Bara mencibir pelan. Dasar anak sarap. Di otaknya hanya ada perempuan. Dia tidak bisa taruhan untuk seorang perempuan. Rasanya aneh. Dia diam sebentar untuk berpikir. "Gue mau ducati lo!"
Hendra terbelalak. Ducati adalah motor kesayangannya. Itu bahkan baru. Ayahnya bisa murka kalau dia kehilangan motor itu. Tapi melawan orang ini juga adalah keinginan besarnya.
"Oke!" jawab Hendra akhirnya.
Bara tersenyum puas. Dia langsung memakai helmnya. "Ayo!" ajaknya pada Thomas, Defan dan Roni.
Perempuan dengan pakaian terbuka dan dandanan yang tebal berdiri di depan dengan sehelai saputangan. "Ready?"
Partisipan mengangkat jempolnya.
Perempuan itu berteriak. "Go!" sambil mengibaskan saputangannya.
Motor-motor sport itu langsung melaju cepat seperti anak panah yang dilepaskan. Suara raungan motor mendominasi jalanan. Teriakan-teriakan pendukung sudah mulai tertinggal di belakang. Bara fokus pada jalanan di depannya.
Balapan berlangsung sengit di belakangnya tapi Bara tetap tenang memimpin di depan sampai garis finish. Dia menghentikan motor di dekat teman-temannya dan bertos ria.
"Ducati gratis vroh!" kekeh Defan setelah sampai di dekat Bara. "Ehh tapi gue lebih suka tuh cewek."
Bara memukul bahu Defan. "Otak lo nggak bisa mikir lain?"
Thomas tertawa geli. "Udah tu motor mau buat apa?"
Bara menyalakan mesin motornya. "Terserah mau diapain," ucapnya sebelum pergi. Dia memang tidak tertarik dengan hadiahnya.
"Woy! gue bawa ke bengkel yaa?" tanya Roni.
Bara hanya melambaikan tangan. Tugasnya sudah selesai. Jadi sekarang dia akan berkeliling menghabiskan sisa malam. Masih ada beberapa jam sebelum pagi. Lumayan untuk berkeliling.
Biasanya setelah menang mereka akan berkumpul di bengkel untuk berpesta. Tapi dia sedang malas untuk minum.
Bara mengelilingi kota sampai matahari terbit. Tubuhnya lelah sampai dia memutuskan untuk kembali ke apartemennya untuk tidur beberapa jam.
"Eh darimana aja baru balik?" tanya Gita saat berpapasan di koridor apartemen.
"Main," jawab Bara santai.
Gita melotot kesal dan menyubit lengan Bara. "Mau makan apa lo? gue mau nyari sarapan nih."
Bara berpikir sebentar. "Nasi uduk deh."
"Yeh bule lidah Indonesia banget sih lo, untung deh hehe gue jadi nggak susah kalau nyari makan," kekeh Gita.
Bara memutar bola matanya dan kembali berjalan ke kamar. Matanya sudah berat sekarang. Hanya tidur sebentar, yang terpenting lelah dan kantuknya berkurang.
🍬🍬🍬
Caramel berlari mengejar bola yang baru saja Arkan lempar. Sekarang dia sedang bermain voli pantai dengan Bella dan abang-abangnya. Kecuali Raka pastinya karena abang pertamanya itu meskipun sedang berlibur tetap saja lebih suka berada di depan laptopnya.
"Gue capek lah!" keluh Arkan sambil duduk di pasir putih. Mereka sudah bermain satu jam.
"Iya sih gue juga," jawab Caramel sambil mengipas wajah dengan telapak tangannya sendiri. Wajahnya sudah memerah sejak tadi.
Arkan bangkit dan merapikan pakaiannya. "Mending nyari cewek. Bye!"
Bella terkekeh geli. "Gila emang Bang Arkan, kalau sampe si nenek sihir tau bisa kebakar tuh rambut keritingnya."
Caramel ikut tertawa membayangkan pacar kakaknya itu murka. Nenek sihir itu Jenny, cewek yang baru tiga minggu dipacari Arkan. Masih satu komplotan dengan Raya. Jenny cantik dengan postur tubuh tinggi dan rambut ikal kecokelatan. Tipekal Arkan, sayang otaknya kosong.
"Bang!" panggil Caramel sambil menepuk bahu Rafan. "Bang Arkan aja udah ganti lagi. Abang kapan mau gandeng cewek?"
Rafan mendengus geli dan menoyor pelan kepala Caramel. "Nanti kalau Abang udah nggak sibuk jagain kamu!" jawabnya sambil berdiri dan pergi kembali ke resort.
Bella tertawa geli melihat wajah cemberut Caramel. "Makanya lo cari pacar biar Bang Rafan tenang."
Caramel melirik kesal Bella. "Sembarangan! Bang Rafan aja yang cuek banget sama cewek. Pake nyalahin gue."
"Bang Rafan setipe banget sama Bang Raka. Nggak kebayang gue sama cewek-cewek yang suka sama Bang Rafan," kata Bella sambil memainkan pasir.
Caramel menjentikan jarinya dengan senyum senang. "Lo kan belom pernah pacaran Mbel, lo suka nggak sama Bang Rafan?"
Bella melebarkan matanya. Dia langsung tertawa geli dan mendorong bahu Caramel. "Bukan tipe gue kale! cakep sih iya tapi cuek banget, lo tau kan dari SD gue main ke rumah lo paling gue bercandanya sama Bang Arkan."
"Bang Rafan emang gitu sih, dia jail sama gue doang," kata Caramel menyetujui ucapan Bella tadi.
Bella duduk bersila sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Si Gio mau balik ke Indonesia Ra."
"Gio? tetangga lo yang pindah ke Belanda itu kan?" tanya Caramel antusias. Dulu dia juga pernah main dengan Gio saat main ke rumah Bella.
Bella menganggukan kepala dengan wajah senang. "Hehe akhirnya tuh orang balik juga."
"Ciyee elah, lo suka sama dia kan dulu? pantes muka lo seneng gitu," cibir Caramel.
Bella meringis kecil. Benar, dia suka Gio. Cowok itu cool banget kalau sedang baca buku dengan kacamata bacanya. "Pokoknya, entar kalau dia balik gue bakal suruh dia masuk ke sekolah kita!"
"Boleh tuh! biar sekelas sama kita. Hehe lumayan dia kan pinter," kekeh Caramel.
Sore ini Caramel dan Bella memutuskan untuk tetap di resort setelah puas bermain dari pagi sampai siang.
"Kalian mau makan apa nanti?" tanya bunda.
"Apa aja Nda," jawab Caramel.
"Iya kita makanan apa aja juga masuk," lanjut Bella.
Bunda tersenyum dan mengusap kepala dua anak ini. Sejak Caramel masih sekolah dasar, Bella memang sering ikut liburan dengan keluarga ini. "Yaudah, kalian mandi dulu gih! bau acem tau."
"Bunda, ada Om Gavyn di depan!" teriak Arkan dari luar.
Caramel mengerutkan kening sejenak dan melebarkan matanya. Dia langsung berlari keluar duluan. Sejak pertemuan pertama di pesta ulang tahun pernikahan ayah dan bunda dia belum bertemu dengan om Gavyn lagi.
"Daddy!" teriaknya saat melihat ayah sedang ngobrol dengan om Gavyn di luar.
"Hey sayang, kau makin cantik," sapa om Gavyn.
Caramel terkekeh geli. "Iya dong, siapa dulu yang ngurus?"
Bunda datang dengan Bella. "Hey coba jelaskan apa maksudmu kemarin itu?"
"Ohh aku hanya bercanda," kekeh om Gavyn sambil mengibaskan tangan.
"Apa sih? kenapa?" tanya Caramel dengan wajah bingung.
Om Gavyn merangkul bahu Caramel. "Bisa Daddy bicara denganmu?"
Caramel mengerutkan keningnya. Dia menoleh pada ayah dan bunda yang sepertinya juga bingung. "Sama Kara aja?"
"Yaa, kita tidak sempat ngobrol kan waktu itu?" tanya om Gavyn.
"Ohh ayo, kita ngobrol di deket pantai aja. Disana pemandangannya bagus Dad," ajaknya.
"Senang liburannya?" tanya om Gavyn sambil berjalan.
Senang, Caramel juga tidak tahu. Rasanya dia ingin cepat pulang padahal dia sendiri yang mengajak liburan. "Seneng Dad, lumayan refresh sebentar sebelum balik ke sekolah."
"Bagaimana dengan sekolahmu?"
"Baik, nilai-nilai Kara juga makin baik," jawab Caramel dengan senyum senang.
Om Gavyn tersenyum dan merangkul bahu Caramel. "Jadi anak Daddy ini sudah punya pacar atau belum?"
"Jomblo Dad, dulu sih ada tapi udah putus," jawab Caramel jujur. "Emang kenapa?"
"Mau dengan anak Daddy?"
"Abang Ken? hehe mau aja kalau dianya mau," jawab Caramel dengan kekehan geli.
Om Gavyn ikut tertawa. "Tapi bukankah kamu sedang dekat dengan anak yang namanya Bara?"
Mata Caramel melebar. Siapa yang membahas Bara. Kenapa harus cowok itu. Dia cemberut kesal. "Bukan, dia itu temennya Bang Rafan sama Bang Arkan. Lagian Kara nggak mau sama dia, dia ngeselin banget Dad! hobi banget marahin Kara." Dia menceritakan semua yang dia alami dengan Bara termasuk semua pertengkarannya.
"Ngeselin banget kan?" tanya Caramel. "Terus nih yaa, dia itu kalo ngabatin luka Kara kasar banget. Sengaja tuh pasti!"
Om Gavyn tertawa geli mendengar cerita heboh Caramel. Dia senang mendengar aktivitas putranya. "Oh yaa?"
"Iya Dad, emang ngeselin banget!" keluh Caramel.
"Caramel!!" panggil sekumpulan orang yang hari ini baru dia dan Bella kenal.
Caramel melambaikan tangannya sampai satu cowok berlari mendekat. "Main yo!"
Caramel tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Dia merangkul lengan om Gavyn. "Sorry gue mau sama bokap gue aja."
Cowok itu menoleh pada om Gavyn. "Oh misi Om saya Faris temennya Kara."
Om Gavyn menganggukan kepalanya. "Ayo Kara, Daddy juga harus kembali ke hotel."
"Oh iya Daddy kenapa ada di Bali?" tanya Caramel.
"Ada pekerjaan."
Malam ini Caramel makan dengan lahap. Om Gavyn sudah pergi tadi setelah dicecar oleh bunda. Entah masalah apa sampai bunda terlihat sangat penasaran.
"Faris ngajakin snorkling besok," bisik Bella.
Caramel mengunyah makanannya dengan santai. "Yaudah, lumayan juga."
Bella mengangkat jempolnya. Jadi besok mereka sudah punya rencana pasti.
Caramel mengajak Bella ke kamar karena sudah malam. Langkah mereka terhenti di dekat balkon, keningnya berkerut saat obrolan Rafan di telepon. Masalahnya abangnya ini sedang membahas balapan motor. "Ssttt Mbel, sini kita nguping dulu!"
"Ducati? menang banyak lo," kekeh Rafan.
"Yaudah pada ke sini aja, Bang Rio juga pasti ngasih izin," lanjut Rafan lagi.
Caramel menoleh pada Bella. "Siapa yang Bang Rafan ajak?"
"Nanya gue?" tanya Bella dengan wajah kesal. Mana dia tahu siapa yang Rafan ajak.
Caramel terkekeh geli. "Siapa tau lo bisa ramal."
Rafan menyebutkan alamat resort ini. "Gue tunggu!" katanya sebelum mematikan sambungan. Dia menoleh ke arah dua orang yang menguping tapi berisik itu. "Kalian ngapain di situ?"
Caramel mengerjapkan mata. Dia langsung mendorong Bella ke depan. "Nggak tau tuh Bang, si Umbel mau ngomong katanya."
"Ehh kenapa jadi gue?" tanya Bella panik. Dasar Caramel sarap. Siapa yang ingin bicara dengan Rafan.
"Apa?" tanya Rafan pada Bella.
Bella menggeleng panik. "Nggak Bang, si Kara ngarang!"
Rafan menghela nafas panjang. Dia menjitak kepala dua anak itu. "Nggak baik nguping obrolan orang," katanya dengan tenang.
Caramel menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia meringis kecil, tertangkap basah menguping rasanya memalukan. "Hehe emang siapa yang mau ke sini Bang?"
Bukannya menjawab, Rafan justru bangkit dan mendekati Caramel. Dia menyentil kening adiknya itu. "Kepo!"
"Ihhh Abang!!" rengek Caramel.
🍬🍬🍬
Caramel ?
Kenneth?
Umbrella?
See you in the next chapter guys! 😗😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top