BAB 11 - Annoying Holiday
Halohaaa update lagi..
Hehe nggak bisa update tiap hari karna emang kuliah terus dan inipun aku baru pulang 😂
Jangan lupa follow ig aku untuk info PO NADW
Ig : indahmuladiatin
Happy reading guys! Hope you like this chapter 😘😘😍
🍬🍬🍬
Caramel bersembunyi di balik sofa saat mobil ayah terdengar. Bisa kaget ayah dan bunda saat melihat wajahnya lebam-lebam. Dasar gangster menyebalkan. Beraninya dengan perempuan. Kalau sampai ketemu lagi akan dia berikan selusin rok pada mereka. Akan dia buat si botak menjadi cantik nanti. Dan si pemimpin itu, apa maksudnya dia yang membuat si jelek itu kehilangan gigi.
Demi ayam warna-warni yang dia pelihara. Caramel sama sekali tidak peduli dengan gigi orang jelek itu. Caramel meremas lengannya sendiri. Kalau bukan Bara yang menghajar orang itu sudah pasti dirinya sendiri yang akan menghajarnya. Akan dia cabuti rambut yang tidak jelas warnanya itu. Hijau bukan, biru bukan. Justru lebih mirip lumut berjalan.
"Loh Ra? kamu ngapain sih ngumpet di situ? kaya anak tikus aja!" omel bunda yang baru saja masuk ke rumah.
"Berarti Bunda tikus dong?" tanya Caramel.
"Yeh malah ngatain Bunda tikus!" bunda menarik tangan putrinya itu.
Caramel meringis nyeri. Sepertinya tangannya kembali berdarah.
"Kara! kamu kenapa?" tanya bunda kaget.
Ayah langsung memeriksa luka-luka Caramel. "Siapa yang memukulimu?"
"Ehh? bukan Yah, ini Kara nyungsep tadi," jawab Caramel.
Ayah menatap Caramel, menunggu kejujuran dari putrinya itu. Tidak perlu menjadi orang jenius untuk tahu kalau luka-luka itu bukan hasil dari jatuh seperti alasan Caramel tadi.
"Kara dikeroyok," jawab Caramel sambil menundukan kepala. Alamat kehilangan masa liburannya yang indah.
"Apa? siapa yang berani ngeroyok anak gadis Bunda? mana orangnya? biar Bunda ulek pake ulekan si Meri," omel bunda lucu.
Caramel terkekeh geli. Dia menoleh pada ayah yang sejak tadi menatap luka-lukanya. Senyumnya mengembang menenangkan. "Aku nggak apa-apa Yah."
"Abang-abangmu tahu?" tanya ayah.
Caramel menganggukan kepala. "Mereka langsung ngelindungin Kara."
Ayah mengepalkan tangannya. Wajah itu tetap tenang tapi auranya menyeramkan. Ayahnya marah. Caramel sadar itu, dan dia juga sudah tahu reaksi ini lah yang akan dia dapatkan. Habislah preman-preman itu kalau ayahnya sudah turun tangan.
"Ayo kamu harus ke rumah sakit!" suruh ayah.
"Aduh Ayah, kita mau liburan kan?" tanya Caramel memelas.
"Tidak sampai luka-lukamu hilang," jawab ayah dengan nada final.
Pada akhirnya di sini lah Caramel. Dengan seragam pasien rumah sakit dia duduk di bed pasien dengan wajah cemberut kesal dan bersedekap. "Bunda!! liburan Kara gimana kabarnya?" rengek Caramel.
Bunda meringis kecil. "Yaa nggak jadi."
"Huaaa Bunda tegaaa!" teriak Caramel sambil menendang-nedang selimut di kakinya. Dia sangat ingin liburan setelah pusing dengan ujian panjang dan ternyata liburannya ada di rumah sakit. Berbaring, makan, dan tidur, seperti itu terus.
"Loh kok Bunda? kan Ayah yang masukin kamu ke sini," protes bunda.
"Ndaa.. keluarin Kara dari sini," pinta Caramel.
Bunda menghela nafas panjang. "Minta sama Ayah."
Malam ini yang menunggu Caramel di rumah sakit adalah Arkan. Dia hanya bertopang dagu menonton kegalauan adiknya. "Yaudah lah, enak kan di sini? kerjaan lo cuma tidur."
Sembarangan, apa enaknya tiduran seharian. "Ayah mana sih? ngumpet dari gue ya?"
"Enak aja! Ayah pasti lagi ngurusin orang-orang yang mukulin lo," jawab Arkan santai.
Caramel memukul-mukul bantal. Sampai kapan dia harus dirawat di sini. Dia ingin pulang. Rumah sakit bukan tempat yang dia sukai. Bagaimana kalau nanti ada hantu yang datang ke kamarnya.
Arkan sudah tertidur pulas di sofa sedangkan Caramel masih bergerak gelisah di bed pasien. Dia tidak bisa tidur meskipun sudah memejamkan mata.
"Bang Arkan.. bangun dong!" pinta Caramel.
"Aduh Ra gue ngantuk! Lo tidur aja ahh!" omel Arkan masih tetap memejamkan mata.
Caramel cemberut kesal, dia menarik selimut sampai menutupi sebagian wajahnya. Matanya menelusuri kamar ini. Besok dia akan memohon-mohon pada ayah agar bisa keluar dari tempat ini. Terserah kalau acara liburannya hilang, yang penting dia bisa tidur dengan tenang.
Dengan susah payah, akhirnya Caramel berhasil tidur. Meskipun tidak nyenyak dan kembali terbangun karena malam-malam perawat datang untuk memeriksanya.
Pagi ini gantian bunda yang datang ke rumah sakit. Bunda tidak masuk kerja untuk menjaga Caramel. "Nda, kalau Kara boleh pulang Kara janji nggak akan nakal deh Ndaa."
"Yaa ya Bunda percaya," jawab bunda cuek.
"Nda.. Kara nggak bisa di sini lama-lama. Ntar gimana nasibnya Raka, Denis, Rafan, Safaraz, Arkan sama Lazuard?" tanya Caramel dengan wajah memelas.
Bunda mengerutkan kening. "Abang-abangmu baik-baik aja."
"Bukan Nda, mereka ayam-ayamnya Kara," jawab Caramel.
"Eh sembarangan! Bunda nyari nama itu susah tau! kamu malah kasih namanya buat ayam?" omel bunda.
"Biarin, abis Abang semua sibuk. Bunda sama Ayah juga sibuk, temen Kara di rumah ya ayam-ayam Kara," jawab Caramel sambil mengalihkan pandangannya.
Bunda menghela nafas panjang, lengannya mengusap kepala putrinya. Caramel memang sering mengeluh kalau setiap pulang sekolah tidak ada yang bisa dia ajak bicara kecuali bi Peni dan Meri yang memang akrab dengannya. "Apa Bunda harus berhenti kerja?"
"Enggak, Bunda tenang aja. Kara bisa ngerti," jawab Caramel.
Caramel tahu kalau bunda juga tidak bisa berdiam diri di rumah. Dia hanya tdiak sengaja mengeluarkan keluhannya tadi. "Nda, Kara mau keluar dari sini."
Setelah jam pulang kantor ayah datang dengan Rafan. Pasti abangnya itu tadi ikut ayah ke kantor. Raka belum pernah datang karena memang tiga hari yang lalu Raka pergi ke Jerman untuk urusan pekerjaan. Kalau sampai tahu Caramel sedang dirawat pasti dia akan langsung pulang.
"Ayah, Kara takut di sini. Kara nggak mau tidur di sini lagi. Ayo Yah kita pulang aja," bujuk Caramel dengan mata memohon.
Sebenarnya ayah juga tidak tega tapi kondisi Caramel juga tidak terlalu baik. Ayah duduk di samping Caramel. "Kalau Kara sudah sembuh, Ayah akan ajak Kara pulang. Nanti Kara bisa minta apapun."
"Apa aja yaa Yah?" tanya Caramel.
Ayah tersenyum dan mengecup kening Caramel. "Iya."
Caramel berusaha untuk betah meski kadang-kadang dia rasanya ingin kabur dari tempat ini. Sampai hari kelima di rumah sakit, luka-lukanya sudah sembuh. Hanya sisa nyeri di bahu dan luka goresan di tangan kanan, selebihnya hanya memar kebiruan yang belum hilang diwajah dan beberapa bagian lain.
Orang-orang bergantian datang untuk menjenguk. Kadang Bella ikut menginap di rumah sakit. Raka yang sudah kembali ke Indonesia juga tidak pernah absen untuk datang ke rumah sakit. Cuma Bara yang sama sekali tidak menjenguknya.
Malam ini Caramel sendirian karena tadi bunda pulang. Katanya sebentar lagi Rafan datang tapi sampai sekarang abangnya itu belum datang juga.
Caramel duduk dan mengambil majalah milik Bella. Cuma ini yang bisa dia lakukan untuk mengurangi kebosanannya.
"Woy," panggil Arkan.
Caramel menoleh dengan wajah kesal. Jadi sekarang yang menemaninya adalah Rafan dan Arkan.
"Gue bawa uno nih!" pamer Arkan.
"Tumben kamu nggak takut Ra," kekeh Rafan.
"Udah sahabatan aku sama mereka," dengus Caramel.
Rafan tertawa geli dan duduk di samping Caramel. "Bete banget kayanya?"
"Nggak usah ngeledek deh Bang," jawabnya.
Di kamar ini Rafan dan Arkan bermain uno. Caramel hanya melihat karena malas. Moodnya sedang buruk. Atau memang sudah buruk sejak dia tidak bisa pulang ke rumah.
"Kalau Abang teleponin Bara, gimana?" tanya Rafan.
"Ehh serius? yaudah Bang cepetan! eh tapi dia nggak punya hp," jawab Caramel cepat.
Rafan melihat jam tangannya. Bara pasti masih di bengkel sekarang. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi nomor Defan.
"Eh si Bara ada di bengkel?" tanya Rafan.
"Ada noh lagi tes motor. Kenapa?"
"Sibuk nggak dia? si Kara mau ngomong," jawab Rafan jujur.
Caramel melotot kesal. Malu sekali kalau sampai bertemu Bara nanti. "Abang jangan bilang gitu!" bisiknya.
Arkan mendengus geli dan melempar bantal ke kepala Caramel. "Nggak usah sok punya malu!"
Rafan tersenyum melihat Caramel dan Arkan saling beradu pelototan. Dia memberikan ponselnya pada Caramel. "Nih si Bara."
Caramel berdeham pelan sebelum mendekatkan ponsel ke telinganya. "Halo Bara!" sapanya riang.
"Girang?" tanya Bara.
Caramel tersenyum senang. Akhirnya dia kembali mendengar suara itu. "Nggak, biasa aja."
"Mau ngomong apa?"
"Ehh emm mau nanya aja sih, lo liburan udah kemana aja?"
"Kerja," jawab Bara.
"Ohh kalau besok sama besoknya lagi lo mau kemana? kan liburan masih panjang," tanya Caramel.
"Kerja," jawab Bara lagi.
Caramel meringis kecil. Apa dunia cowok ini tidak jauh-jauh dari kata kerja. "Oh haha iya yaudah lo kerja terus aja biar duit lo banyak."
"Terus kalau duit gue banyak?"
"Traktir gue dong, kata orang rejeki harus dibagi," jawab Caramel.
Di seberang Bara sudah tersenyum. "Apa kabar?"
"Hemm kurang baik. Gue masuk rumah sakit, lo nggak niat buat jengukin gue ya?" tanya Caramel tanpa malu. Entah terbuang dimana urat malunya.
"Nanti gue ke sana," jawab Bara.
"Beneran? jangan ngomong doang yaa? gue tunggu!"
"Iya," jawab Bara.
"Kapan lo mau ke sini?"
"Kapan-kapan," jawab Bara.
"Iuh.." keluh Caramel.
"Kapan lo keluar dari rumah sakit?"
Caramel menghela nafas panjang. Ini tergantung dari ayahnya. "Nggak tau, gue nggak betah di sini! lo tau? di sini serem banget!"
"Jangan ngebayangin yang aneh-aneh. Yaudah, gue harus balik kerja. Baik-baik di sono, liat kolong tempat tidur lo, siapa tau ada.. ck bye Starla," pesan Bara sebelum sambungan di putus.
Caramel menatap ponsel dengan wajah kesal. Dasar menyebalkan. Bilang jangan membayangkan hal yang aneh tapi cowok itu ikut menakutinya. "Abang! kenapa Abang bisa ketemu sama orang nyebelin kaya gini sih?" tanya Caramel
"Yeh nyebelin gitu juga lo suka," oceh Arkan.
"Siapa yang suka?" bantah Caramel dengan wajah memerah.
Caramel akhirnya ikut main dengan dua abangnya itu. Dia tertawa geli melihat wajah Arkan yang sudah penuh dengan coretan spidol. Kalau bermain ini, biasanya memang Arkan yang kalah.
"Ehh cari makan apa ya yang enak?" tanya Arkan.
Caramel tersenyum sumringah. "Ayo kita pesen makanan!"
"Nggak perlu," ucap orang yang baru masuk ke ruangan ini.
Rafan menoleh. "Gita?"
"Hey," sapa Gita sambil melambaikan tangan dengan senyum hangatnya. "Gimana kondisi Caramel?"
Caramel mengerutkan keningnya. "Emm baik."
Arkan hanya diam karena belum pernah melihat Gita. Dia kadang memang ikut ke bengkel dengan Rafan tadi dia tidak pernah melihat Gita di sana.
"Ini pasti kembaran lo ya? wah sekali liat gue pasti nggak bisa bedain," kekeh Gita.
"Arkan," ucapnya sambil mengulurkan tangan.
"Gita," sahutnya.
"Lo nggak bisa bedain mereka ya? gue juga kalau penampilan mereka sama pasti gue nggak bisa bedain," ucap Caramel. Untungnya potongan rambut si kembar ini berbeda.
Rafan mengetuk kepala Caramel. "Panggil dia Kak, dia dua tahun di atas kamu."
"Dua tahun? bukannya beda satu tahun?" tanya Gita.
"Dia itu dulu ngerengek terus minta sekolah jadi sama Bunda disekolahin duluan," jawab Arkan.
Gita tertawa dan mengacak rambut Caramel. "You're so cute."
"Thanks," jawab Caramel.
"Wah pizza, baru kita mau pesen," kata Arkan dengan wajah sangat bahagia.
Caramel menoleh ke pintu dan diam melihat Bara di sana dengan jaket hitam dan topi warna jeans. Cowok itu benar-benar cool. Matanya sampai tidak berkedip.
"Ekhm Ra, tolong di tutup mulutnya," bisik Gita dengan tawa gelinya.
Caramel mengerjapkan mata dan langsung menundukan kepala. Untung saja tadi Bara sedang melihat ponsel. Tidak tahu ponsel siapa lagi yang cowok itu bawa.
Bara benar-benar datang. Dia tidak bohong mengatakan nanti akan datang. Senyum Caramel mengembang senang tapi kemudian senyumnya hilang saat sadar Bara datang dengan Gita. Bara melangkah mendekat dan memberikan dua kotak pizza itu ke meja.
"Lo emang ngerti banget," kata Arkan sambil membuka kotak pizza itu.
Caramel menghela nafas panjang dan kembali memasang senyum. Bara sudah datang ke sini. Itu sudah cukup. Kalau dirinya memasang wajah sedih rasanya dia akan jadi orang yang tidak tahu terima kasih. "Wah akhirnya bisa makan enak."
Tangan Caramel dipukul oleh Bara saat ingin menyentuh pizza. "Aduh! apaan si?"
"Ini buat mereka," jawab Bara santai.
"Terus gue?" tanya Caramel.
Bara memberikan seplastik buah-buahan dan satu plastik yang tidak tahu isinya apa.
Caramel membuka kotak itu. Matanya melebar, yang lain enak makan pizza dan dia harus makan bubur. Nasib macam apa ini. Matanya langsung menatap Bara dengan kesal.
"Nggak mau! lo aja yang makan!" omel Caramel. Dia langsung kembali ke bed pasien dan duduk di sana.
"Yah maklumin aja," ucap Rafan sambil menepuk bahu Bara.
Gita sampai tertawa melihat kelakuan Caramel. Dia baru sadar. Selalu ada pertengkaran di antara Caramel dan Kenneth. "Suapin sana!"
"Gue bukan baby sitter," jawab Bara.
Caramel menatap sinis Bara. "Gue juga nggak mau disuapin."
Bara menghela nafas dengan wajah sabar. Dia mengambil bubur itu dan duduk di kursi dekat Caramel. Menjadi sabar bukan keahlianya tapi untuk hari ini sepertinya dia harus belajar untuk sabar. "Makan sedikit."
"Nggak mau! lo nggak tau sih, setiap hari gue makan-makanan di sini. Gue nggak sakit!" keluh Caramel.
"Oke kita suit, kalau lo kalah berarti lo harus makan," usul Bara.
Caramel tersenyum miring. Suit adalah salah satu keahliannya. "Oke setuju, kalau gue menang berarti gue boleh makan pizza. Setuju?"
Bara menganggukan kepala dan menahan senyum melihat ekspresi kemenangan di wajah Caramel. Cewek itu pasti sudah yakin akan menang. "Satu kali."
"Yapp, siap-siap kalah yaa," ucap Caramel. "Gunting kertas batu!"
Bara tersenyum geli. "Kertas lo kena potong," katanya setelah menang.
Caramel cemberut kesal. Bara pasti curang. Mau tidak mau dia harus makan bubur itu. Dia makan dengan wajah kesal.
"Eh gue baru inget, lo ketemu orang kaya Pak Hamdi dimana sih?" tanya Caramel di sela makan malamnya.
Bara mengusap pipi Caramel yang terkena bubur. "Kenapa?"
"Unik aja, kaku banget. Dia bilang Tuan muda, apaan si maksudnya?" tanya Caramel dengan wajah bingung.
"Dia emang begitu, nggak usah didengerin," jawab Bara dengan santai.
Jam 21.00 perawat masuk ke ruangan untuk memperingatkan jam besuk telah habis. Caramel merutuk kesal. Perasaan baru sebentar dia ngobrol dengan Bara.
"Raf anterin gue balik yu!" ajak Gita.
Rafan menganggukan kepala. "Ayo, sekalian gue mau mampir ke tempat Defan." Dia menoleh pada Arkan yang sibuk dengan ponselnya. "Lo ikut main ke Defan nggak?"
"Loh, si Kara?" tanya Arkan.
"Woy gue titip Kara ya?" tanya Rafan pada Bara.
Bara sudah tahu maksud dari Rafan. Sebenarnya Rafan memintanya untuk mendekati Caramel setelah tahu Caramel yang diselingkuhi Bayu. Tapi dia mendekat bukan untuk permintaan Rafan. "Oke."
"Lo nggak apa-apa?" tanya Arkan.
Caramel mendengus kesal. Abangnya itu sok perhatian. Padahal kalau menunggu di sini kerjaannya hanya tidur, atau kalau bosan pasti menjahilinya. "Hus hus!" usirnya.
Arkan melotot kesal. "Gue berasa ayam."
"Lo nggak tau ayamnya Kara pake nama kita?" tanya Rafan.
"Serius? dasar lo adek durhaka!" omel Arkan.
Caramel terkikik geli dan memeletkan lidahnya. "Suka-suka gue dong. Ayam siapa?"
"Bodo amat! pulang-pulang ayam lo udah gue opor semua!" jawab Arkan dengan kesal.
"Kok gue ngerasa diri gue yang mau di opor?" gumam Rafan.
Gita tertawa dan merangkul bahu Rafan. "Adek lo bener-bener."
"Awas yaa lo kalau ayam-ayam gue ilang!" teriak Caramel setelah orang-orang itu keluar.
Bara bertopang dagu menonton Caramel yang menggerutu kesal dengan menyebutkan nama-nama ayamnya. Cewek ini seperti selalu mempunyai dunia sendiri sampai kadang lupa ada apa di sekitarnya. Itu yang kadang membuatnya cemas.
Caramel menoleh pada Bara. Dahinya mengernyit. "Apa? kenapa sih?"
"Jangan ngehadepin orang-orang itu lagi," jawab Bara.
Caramel mengangkat bahunya dengam wajah cuek. Tergantung situasinya nanti. Kalau mepet ya mau bagaimana lagi. "Gue nggak bisa diem aja kan kalau nanti gue dikeroyok?"
Bara mendengus. "Kalau ada yang berani ngeroyok lo lagi, abis mereka!"
"Hehe yap gue punya lima pelindung," kekeh Caramel. "Ada Ayah, Bang Raka, Bang Rafan, Bang Arkan sama lo."
"Gue nggak ngelindungin lo," jawab Bara.
Bola mata Caramel berputar. "Ya ya gue percaya. Tapi gue yakin kalau ada apa-apa sama gue, mungkin lo orang yang pertama kali lari, kaya kemaren."
Caramel menghela nafas panjang. Dia mengulurkan tangannya. "Thanks udah banyak nolong gue," ucapnya tulus.
Bara tersenyum tipis dan menerima uluran tangan itu. "Gue akan nolong siapa pun yang butuh bantuan."
"Uhhh ngeri," kekeh Caramel. Dia mengambil bantal untuk dipeluk. "Lo tau nggak cerita hantu rumah sakit?"
Bara mengerutkan kening. Ada banyak versi yang diceritakan tentang hantu rumah sakit. Dia tidak terlalu peduli. Itu tidak penting baginya. "Ada banyak."
"Nah kan! lo bisa bayangin gue tiap malem di sini? ihh gue bener-bener mau pulang," kata Caramel sambil menyentuh lehernya sendiri.
Caramel terus bercerita tentang pengalamannya di rumah sakit selama beberapa hari ini sampai larut malam. Dia menguap sekali. Matanya sudah berat. "Gue ngantuk."
Bara melihat jam tangannya. "Lo tidur aja, gue mau keluar sebentar."
Caramel menahan lengan Bara. Dia takut sendirian. "Gue takut!" akunya.
Bara tersenyum geli. Dia bertopang dagu sambil menepuk-nepuk pelan lengan Caramel. "Tidur!" suruhnya.
Tidak perlu waktu lama sampai akhirnya Caramel jatuh tertidur. Bara yang awalnya ingin keluar untuk merokok karena merasa tidak akan bisa tidur di jam-jam ini jadi ikut mengantuk dan tertidur masih dengan menggenggam lengan Caramel.
Lama keheningan dalam ruangan bercat putih ini. Suara detik jam menguasai ruangan.
Caramel tidur dengan tenang sampai matanya tiba-tiba terbuka. Dia melihat sekitar untuk mencari seseorang yang baru dia temui. Tidak ada siapa pun. Kecuali Bara yang masih tertidur.
Jantungnya berdetak cepat. Siapa wanita cantik dengan mata biru yang dia temui tadi. Mimpi itu seperti nyata. Senyum lembut wanita itu bahkan masih ada di kepalanya.
Caramel ingin membangunkan Bara tapi sepertinya cowok itu sedang tidur nyenyak. Dia mengatur nafasnya. Ternyata dia cuma mimpi.
Air mata Caramel menetes tanpa dia tahu alasannya. "Gue kenapa sih?" gumamnya.
🍬🍬🍬
Pagi ini dokter datang dengan seorang perawat untuk mengecek keadaan Caramel. Dokter itu tersenyum ramah pada Caramel dan Bara. "Abangnya juga?"
"Oh bukan," jawab Caramel.
Dokter itu tersenyum dan mulai memeriksa kondisi Caramel. "Tarik nafas pelan," intruksinya. "Nah iya bagus, hembuskan."
"Apa bahumu masih nyeri?"
Caramel mengangguk. "Kadang, tapi udah lebih baik Dok."
Dokter sedikit menekan bahu Caramel untuk melihat skala nyerinya. Setelah itu baru dia mengecek luka di tangan Caramel. "Sudah kering."
"Jadi saya bisa pulang kan?" tanya Caramel semangat.
"Yaa kamu bisa pulang, nanti saya akan bicara dengan orang tua kamu," jawab dokter itu.
Caramel tersenyum senang. Ini dia yang ditunggu-tunggu sejak masuk ke sini. Akhirmya dia bisa kembali tidur di kamarnya yang nyaman.
"Berhenti senyum begitu," cibir Bara.
Caramel melirik kesal. "Gue seneng tau!"
Pagi ini setelah makanan datang, Caramel langsung menyodorkannya pada Bara. "Liat! coba rasain makanannya!"
"Loh, yang sakit bukan gue," tolak Bara. Siapa yang mau makanan itu. Dia melihatnya saja sudah malas.
"Tuh kan! lo juga nggak mau," keluh Caramel. Apalagi dia yang sudah berhari-hari makan ini. Lain kali dia akan membawa bekal sendiri kalau sampai harus menginap di sini lagi.
"Lo nggak kerja?" tanya Caramel setelah berhasil menghabiskan makanannya.
"Libur," jawab Bara bohong. Dia hanya ingin tetap di sini karena tahu Caramel tidak suka sendirian di tempat ini.
"Wah kita jalan-jalan aja!" ajak Caramel.
"Kemana?"
"Keliling rumah sakit!" usulnya.
Memang aneh. Tapi setidaknya Caramel bisa menghabiskan waktu dengan Bara. Mereka berkeliling rumah sakit. Mengunjungi beberapa ruangan. Sampai Caramel berhenti di ruangan anak.
"Kenapa?" tanya Bara.
Caramel menunjuk satu anak yang ada di pojok ruangan yang sedang tertawa dengan teman-temannya. Tubuh anak itu sangat kurus sampai terlihat seperti tidak ada daging di tubuh itu. "Kemaren gue ketemu dia di koridor, katanya dia abis kemoterapi. Namanya Gilang."
"Terus?"
"Gue jadi ngerasa jadi orang yang nggak pernah bersyukur. Gue sehat, gue punya Ayah sama Bunda, gue punya Abang-abang tapi masih sering ngeluh," jawab Caramel sedih.
Bara tersenyum dan mengetuk pelan kepala Caramel. "Tuh lo tau kalau hidup lo udah lengkap."
Caramel cemberut kesal. Mereka kembali berjalan ke taman rumah sakit dan duduk di dekat kolam ikan kecil. Matahari pagi ini cerah dengan sinar hangatnya.
"Semalem gue mimpi aneh," gumam Caramel. "Gue ketemu sama perempuan yang mungkin seumuran sama Bunda. Cuma sebentar abis itu dia pergi, terus gue nangis padahal gue nggak kenal dia. Aneh nggak sih?"
Bara mengerutkan keningnya. Dia mengangkat bahu. Itu memang terdengar aneh. "Mungkin lo nggak baca doa."
"Kara," panggil suara Raka.
Caramel langsung menoleh. Dia tersenyum dan langsung berdiri. "Abang tumben dateng pagi?"
Bara ikut berdiri. Dia menganggukan kepala untuk menyapa Raka.
"Ehh iya Abang masih inget dia kan? dia Bara," ucap Caramel.
Raka mengulurkan tangan. "Terima kasih sudah menjaga Kara semalaman."
"Sama-sama Bang," jawab Bara sambil menjabat tangan Raka.
Meskipun aura Raka sangat dominan tapi Bara sama sekali tidak terpengaruh. Selama ini dia banyak bertemu orang-orang dengan aura yang mengintimidasi jadi dirinya sudah terbiasa.
"Ada cheese cake di kamarmu," ucap Raka.
Mata Caramel langsung berbinar. Dia langsung meloncat kegirangan. "Makasih Abang!" teriaknya. Dia mencium pipi Raka sebelum berlari ke kamarnya meninggalkan Bara dan Raka.
Bara mendengus geli dan menggelengkan kepala. Kemana wajah sedih cewek itu tadi. Dia menoleh pada Raka. "Ada apa?"
"Kamu tau saya ingin bicara?" tanya Raka.
"Abang nyuruh dia pergi pasti ada alesannya kan?" tanya Bara sambil mengangkat bahunya.
Raka tersenyum senang. Dia seperti menghadapi daddy Gavyn. Long time no see Kenneth Aldebaran Soller, batinnya. Dia sudah mengetahui semuanya. Daddy sendiri yang sudah memberitahu saat dia bertanya. Ada alasan panjang di balik semua sampai orang yang sudah dia anggap adiknya ini memutuskan untuk mengganti identitasnya di depan semua orang.
"Rafan bilang kamu temannya bekerja di bar," ucap Raka.
"Yaa saya bartender di sana," jawab Bara.
"Kata Rafan kamu juga kerja di bengkel setelah pulang sekolah. Sepertinya bukan hal mudah untuk anak seusiamu bekerja full begitu," kata Raka.
Bara tersenyum menerawang. Tentu saja. Dia juga sangat lelah. Tapi ini semua menyenangkan karena dia menikmatinya. "Saya harus bekerja untuk sekolah."
Raka tidak pernah tahu kalau selama ini Kenneth ada di dekatnya. Kehidupan anak ini keras. Anak ini bisa memilih untuk tinggal dengan daddy yang jelas-jelas memiliki materi yang berlimpah. Apapun yang dia inginkan pasti terpenuhi tanpa harus susah payah bekerja apalagi hanya untuk sekolah.
Seandainya Raka bisa memberitahu semuanya pada bunda. Pasti bunda akan senang karena Kenneth memang sudah dianggap sebagai anak sendiri. Sayangnya daddy sudah melarang. Belum waktunya.
Raka menepuk bahu Bara. "Senang bisa bertemu denganmu. Tolong jaga Caramel, saya harus kembali ke kantor."
Bara menganggukan kepalanya. "Saya akan jaga Caramel, hati-hati Bang. Saya boleh panggil Abang?"
"Tentu saja, adikku harus memanggilku Abang," jawab Raka.
Bara mengerutkan keningnya tapi dia kembali tersenyum. Mungkin Raka mengatakan itu karena dirinya teman Rafan. Senang bisa akrab dengan orang yang ada di hadapannya ini.
Bara kembali ke ruangan Caramel setelah mengantar Raka sampai di parkiran. Dia melihat cewek itu sedang sibuk makan tanpa peduli suara pintu terbuka. Sepertinya Caramel benar-benar rindu makanan yang normal.
"Bara sini! ini enak banget," kata Caramel dengan senyum senang.
Bara duduk di samping Caramel. "Pelan-pelan!"
Caramel terkekeh kecil. Dia menyendok cheese cake dan menyodorkannya pada Bara. "Buka mulut!"
Bara mendengus geli, dia membuka mulutnya.
"Enak kan?" tanya Caramel.
"Semua makanan enak kalau lagi laper," jawab Bara.
Caramel tertawa dan memukul pelan bahu Bara. Dia senang saat bangun tidur bisa langsung melihat Bara. "Kenapa dari kemaren nggak nengok gue sih?"
"Mau banget?"
Caramel mengangguk. "Ya emang sih kita sering ribut, tapi gue suka ngobrol sama lo."
Bara tersenyum dan mengacak rambut Caramel. Dia juga suka ngonbrol dengan Caramel. Apapun ekspresi cewek itu, semua lucu dan bisa membuat dirinya tertawa geli.
"Gue juga suka," jawab Bara.
"Lo suka ngobrol sama gue?" tanya Caramel.
Bara menggelengkan kepala. "Suka bikin lo kesel!"
Caramel melotot kesal dan langsung melempar bantal pada Bara. Dasar perusak suasana.
🍬🍬🍬
Caramel Starla
Kenneth Aldebaran?
See you in the next chapter 😘😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top