9. Cewek Roti
"ANDY, kau nggak harus melakukan ini."
"Tapi aku mau."
Georgia menghela napas pasrah dari atas kursi dapur roti, sementara Andrea sibuk memasuk-masukkan adonan dasar pai ke dalam cetakan.
Semalam, Georgia ambruk. Wanita itu menggigil dan tubuhnya panas, sehingga Andrea harus membawanya ke klinik terdekat. Menurut dokter, Georgia kelelahan sehingga asam lambungnya naik. Dokter berkata dia butuh istirahat total, dan meresepkan beberapa obat. Ketika sudah kembali ke rumah, Andrea membuatkan sup untuknya dan menemani Georgia di samping ranjangnya hingga tertidur. Andrea menyadari kantung hitam di bawah mata wanita itu, dan agak menyalahkan dirinya karena tidak lebih banyak membantu membuat roti pada pagi hari.
Andrea menelepon Sully semalam setelah Georgia tertidur untuk mengabari tentang kondisinya. Sepanjang Andrea mengenal Sully, dia belum pernah mendengar cowok itu begitu panik. Dia bahkan menanyai Andrea apakah dia sebaiknya terbang ke Inggris malam ini. Andrea menenangkannya dan memberitahunya bahwa kondisi Georgia membaik dan sekarang sedang tidur. Andrea menyarankan agar Sully melakukan panggilan video saja dengan ibunya setelah dia bangun.
Dan pagi harinya, Andrea menelepon Bakery On The Water untuk memberitahu Lilian soal kondisi Georgia, dan hendak meminta izin libur. Namun Georgia yang baru bangun memergokinya dan mengambil alih telepon, berkata pada Lilian bahwa dia bisa mengirimkan stok hari ini, walaupun agak terlambat. Oleh karena itu, saat ini Andrea bersikeras menggantikan Georgia di dapur roti untuk membuat stok hari ini.
"Sully agak marah-marah tadi ketika meneleponku." wanita itu memberitahu Andrea sementara gadis itu menuang selai blueberry ke atas mangkuk-mangkuk yang sudah terisi adonan dasar pai, "Dia sempat bilang mau terbang ke sini saking paniknya. Tapi kucegah. Kondisiku juga sudah jauh lebih baik."
"Tapi tetap saja kau bekerja terlalu keras." Andrea menatapnya khawatir. Georgia tersipu.
"Tahu nggak, Andy? Aku sangat senang kau memutuskan sambilan di sini. Aku semakin merasa kau ini seperti anak perempuan yang nggak pernah kumiliki... dan sangat bisa diandalkan."
Andrea tertunduk malu. Mau tak mau dia jadi berpikir bahwa dia hanya bisa berada di sini membantu Georgia selama musim panas. Andrea sempat membicarakan soal pengiriman roti ke toko Lilian sebelum ini dan wanita itu menyebutkan bahwa dia berpikir untuk menjadi penyuplai sepanjang tahun, sehingga dapat menjadi pemasukan selama Brierwood House tutup. Karena selama ini penginapan buka hanya pada musim panas.
Lamunan Andrea buyar akibat bunyi bel pada pintu rumah Georgia.
"Stop di situ. Biar aku yang bukakan." Andrea mengelap tangannya ke celemek dan memberi tatapan memperingatkan pada Georgia yang sudah hendak bangkit dari kursinya. Ketika membuka pintu depan, Andrea dikejutkan oleh siapa yang telah berada di teras rumah Georgia.
"Lucas!" Andrea terkesiap. Cowok pirang itu berdiri di hadapannya dengan senyuman lebar dan mata biru yang berbinar cerah. Dia mengenakan parka kuning yang dipakainya pada hari pertama Andrea bertemu dengannya, di luar kemeja biru langit bermotif awan dipadu jins, "Astaga... aku sama sekali lupa mengantar sarapan untukmu!"
"Nggak masalah. Georgia--yang sudah punya nomor hp-ku, ngomong-ngomong--menghubungiku dan memberitahu soal apa yang terjadi. Maka aku mampir saja ke sini untuk membantu sebisaku." Lucas berkata ceria sambil menunjuk kombinya yang terparkir di depan rumah.
"Oh, terima kasih... maaf merepotkanmu." Andrea membukakan pintu lebih lebar agar cowok itu dapat masuk, "Soal nomor hp... setelah dipikir-pikir lagi, memang sebaiknya kita saling punya."
"Sangat setuju." Lucas nyengir lebar, kemudian cengirannya memudar sedikit ketika dia bertanya, "Bagaimana Georgia?"
"Jauh lebih baik." Andrea menutup pintu, memelankan sedikit suaranya, "Dokter bilang akibat stres dan kelelahan karena pekerjaannya yang nonstop. Dia harus istirahat selama beberapa hari. Karena itu mungkin aku baru bisa ke penginapan untuk berberes setelah makan siang, maaf. Tapi besok aku tetap akan mengantarkan sarapan untukmu di pagi hari sekaligus mengantar roti ke toko Lilian sebelum pulang kembali membantu Georgia."
Lucas hanya diam memerhatikan Andrea selama beberapa saat. Senyuman kecil terbit di sudut bibirnya. Dia mengangkat satu tangannya, lalu menyapukan jempolnya perlahan di tulang pipi kiri Andrea.
"Ada tepung yang menempel." dia memberitahu dengan kelembutan pada nada suaranya yang baru pertama kali Andrea dengar.
"Oh... um. Trims." Andrea mendadak merasakan wajahnya menghangat akibat sentuhan dari jemari Lucas di pipinya.
"Dan soal sarapan, aku saja yang mampir ke sini tiap pagi untuk mengambil satu-dua rotimu. Dengan begitu kau hanya perlu ke penginapan sekali saja. Kau juga perlu menjaga kesehatan." ujar Lucas, menurunkan tangannya.
"Luke, aku nggak mungkin tega membiarkanmu--"
"Please, ini bukan hal yang besar, Andy. Lagipula aku senang bisa ngobrol dengan kalian kalau mampir." Lucas berkata geli.
Andrea memandangi cowok itu sebelum akhirnya menghelas napas, "Baiklah. Dan aku akan memperhatikan kesehatanku, minum vitamin, dan sebagainya... trims."
Senyuman Lucas mengembang puas, "Hebat."
Kemudian cowok itu mengeluarkan ponselnya dan menyodorkannya kepada Andrea.
"Apa?" Andrea menatap ponsel itu bingung.
"Nomor hp-mu?" Lucas mengingatkan.
"Oh, benar. Sori." Andrea meringis dan memasukkan nomornya ke dalam kontak Lucas. Dia memanggil nomornya sekali sehingga dia juga sekarang memiliki nomor Lucas.
"Jangan tulis yang aneh-aneh." ancam Andrea, ketika melihat Lucas tengah mengedit nama untuk kontaknya.
Lucas terkekeh jahil, "Aku menamaimu 'Cewek Roti', nih."
Andrea mengeluarkan ponselnya sendiri dengan gemas, "Kalau begitu kau adalah 'Cowok Pohon' dan kau nggak boleh protes."
"Aku nggak protes, kok. Itu sebutan yang keren."
"Cewek Roti nggak keren."
"Keren bagiku."
"Tapi--"
"Oh, hai Lucas!" kepala Georgia menyembul dari pintu dapur roti, "Kemeja yang bagus!"
Yang berhasil diketahui Andrea pagi itu dalam rangka acara bantu-bantu Lucas, adalah bahwa cowok itu payah dalam urusan dapur sehingga Andrea memutuskan untuk memberinya tugas mengeluarkan roti dari dalam oven dan mengepaknya untuk pengiriman. Setelah itu, Lucas menawarkan diri untuk menggantikan Andrea mengantar roti ke toko Lilian sementara gadis itu tinggal dan menemani Georgia.
"Anak itu tamu penginapanku, tapi dia sudah nyaris seperti kerja sambilan untukku juga." gumam Georgia dengan nada bersalah, dia mengawasi Lucas berangkat ke toko menggunakan skuter putihnya.
"Dia bahkan mau repot-repot mampir ke sini untuk mengambil sarapannya."
"Apa?!" Georgia terkejut.
"Aku tahu, aku sudah coba menolaknya tapi dia bilang dia senang bisa mampir ke sini. Jangan khawatir, aku akan tetap mengantarnya jika dia nggak ke sini. Kalau soal skutermu... menurutku dia justru kelewat bersemangat karena bisa dapat kesempatan mengendarainya lagi." kekeh Andrea.
"Ngomong-ngomong Andy, aku nggak punya kesempatan untuk membicarakan soal ini padamu kemarin, tapi aku sudah dapat opini dari teman-temanku mengenai ide pemasaran dari kalian, dan mereka sangat terkesan." Georgia berkata sembari membantu Andrea membereskan loyang-loyang, "Kami sama-sama setuju bahwa itu akan memudahkan orang-orang untuk menemukan usaha kami. Dan bila segalanya berjalan lancar, mudah-mudahan musim panas berikutnya akan lebih ramai."
Georgia tersenyum. Wajahnya masih tampak kuyu, namun ekspresinya cerah dan penuh harap.
Dan ekspresi wanita itu masih membayangi Andrea ketika dia rehat sejenak untuk menyantap sarapannya yang agak terlambat di halaman belakang, setelah Andrea selesai membereskan dapur roti. Lucas telah mengembalikan skuter dan kembali ke Brierwood beberapa jam yang lalu.
Gadis itu bersandar pada pagar kayu yang membatasi peternakan luas di belakang pondok Georgia sambil mengunyah muffin cokelat, menikmati cuaca cerah berangin yang membuat rambut tembaganya berantakan. Matahari pagi bersinar cukup menyilaukan sehingga dia harus menyipit demi menikmati pemandangan berbukit Cotswolds dan melihat sekelompok domba yang sedang menggerombol di ladang di kejauhan.
Bila memikirkan soal proyek pemasaran penginapan, Andrea tak mampu menghalau rasa sesal yang terus-menerus menyerangnya. Dia tahu sebenarnya dia bisa berbuat lebih banyak untuk membantu Georgia, namun lebih memilih untuk menghindar. Demi alasan apa? Trauma akan memori seorang cowok yang bahkan bukan pacarnya?
Kamera itu ditemukannya teronggok di dasar koper di kamarnya, ketika Andrea memutuskan untuk 'menguji keberaniannya' selepas makan pagi. Pada satu-dua hari pertamanya, dia masih membawa kamera itu ke mana-mana, namun setelahnya, dia sadar itu bukanlah tindakan bijak.
Andrea mengamat-amati kamera itu lama-lama, menimbang-nimbangnya di satu tangan.
Pilihannya adalah terus lari atau menghadapinya.
Terdengar ketukan di pintu.
"Andy?" suara Georgia memanggilnya samar-samar dari luar, "Makan siang sudah siap."
"Oke." Andrea menelan ludah susah payah dan memasukkan kameranya ke dalam tas selempang.
Waktu makan siang dan perjalanan menuju ke Brierwood terasa seperti waktu yang kabur. Andrea tidak menemukan Lucas di dalam penginapan, jadi cowok itu pastilah tengah menjelajah entah ke mana untuk mencari objek lukisan. Dia menyapa Joe yang sudah hendak pulang dari tugas berkebunnya hari itu, lalu menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu yang relatif cepat.
Ketika Andrea memakai tas selempangnya dan bersiap hendak pulang, dia merasakan berat kamera di dalam tasnya yang menyiksa.
Pilihannya adalah terus lari atau menghadapinya.
"Diamlah, Sully." gerutu Andrea geram.
Bagaimanapun kejengkelan menguasainya karena perkataan Sully yang terus-menerus terngiang di kepalanya, Andrea harus mengambil keputusan. Dia berjalan menjauhi garasi dan melangkah menyeberangi halaman belakang Brierwood dan memasuki hutan, menuju satu-satunya tempat yang terpikirkan olehnya.
Cedrus masih berdiri di sana, kokoh dan gagah. Andrea melangkah memasuki bukaan hutan itu, menyadari bahwa keberadaan pohon besar itu nyaris seperti sesosok tokoh yang penting dan disegani oleh para pepohonan kecil yang tumbuh melingkarinya. Andrea tersenyum kecil, membayangkan bagaimana tanggapan Lucas bila dia memberitahunya soal itu.
"Halo lagi, Cedrus." sapa Andrea seraya mendongak memandangi pohon itu. Gadis itu mendudukkan diri di bawah kanopi dedaunan dan menyandarkan punggung ke batang raksasanya.
Andrea mengeluarkan kamera miliknya dari dalam tas. Dia menarik napas dalam-dalam dan menyalakan kamera itu. Bunyi familiar yang ditimbulkannya nyaris membuatnya kepingin menyurukkan kembali benda itu ke dasar koper--atau ke dasar sumur, kalau dia memang sanggup--namun Andrea menguatkan diri. Monitor kecilnya menampilkan menu utama dari kamera.
Andrea akhirnya menekan ikon galeri, menampilkan foto terakhir yang diambilnya beberapa bulan yang lalu. Kebanyakan masih berhubungan dengan tugas sekolah maupun Hawkees. Foto staf dan area sekolah. Foto murid-murid berprestasi dan piala-piala. Namun semakin lama, dia akhirnya menjumpai foto-foto yang membuat napasnya tercekat.
Satu foto Matt di lorong sekolah bersama anggota Hawkees.
Satu foto Matt dan Sully di pinggir lapangan parkir, mengunyah Pringles.
Satu foto Matt, Priscilla, Kyle, dan Sully ketika sedang makan bersama di Jefferys.
Satu foto Matt tengah membantu memasang spanduk acara olahraga sekolah di gimnasium.
Satu foto Matt berdiri di balik kios promosi Hawkees di tengah-tengah keriuhan tahun ajaran baru.
Satu foto Matt tersenyum lebar ke arah kamera sambil mengangkat gelas coke-nya dari seberang meja.
Satu foto Matt dari samping, tengah menyetir mobilnya dengan pemandangan matahari tenggelam dari balik jendela pengemudi.
Satu foto Matt dan Andrea, tersenyum lebar, swafoto yang sedikit buram dengan komposisi slebor karena diambil secara spontan.
Andrea nyaris tak menyadari bahwa dirinya menahan napas sedari tadi, dan wajahnya basah entah sejak kapan. Dia tersedak sedikit, gemetar akibat memori-memori dan ragam perasaan yang kembali membanjirinya.
Rindu dan nostalgia, karena keberadaan dan senyuman Matthew Venturi pernah menjadi hal terfavoritnya di dunia.
Penyesalan, karena ketidakpekaannya, ketidakpeduliannya terhadap bagaimana sebenarnya perasaan Priscilla White terhadap Matthew Venturi, maupun sebaliknya.
Kemarahan, iri, dan kekecewaan, karena Priscilla White memutuskan untuk mengabaikan apa yang diketahuinya, dan menggapai apa yang diinginkannya.
Rasa malu dan ketidakberdayaan, karena memutuskan untuk berhenti dan menyerah. Karena keputusannya untuk tidak mengejar Matthew Venturi.
Segala emosi itu bercampur baur menjadi sesuatu yang jelek dan kacau. Seperti lumpur pekat yang menjadi sumber rasa sesak di dadanya. Andrea membenci dirinya sendiri karena tidak mampu memutuskan segala hal yang terjadi dalam hidupnya dengan lebih baik, atau bertindak dengan lebih berani...
Entah berapa lama Andrea menangis sesenggukkan, dia bahkan tak mampu lagi melihat kamera di tangannya karena pandangannya buram akibat air mata. Andrea menyeka wajahnya yang basah dengan lengan kausnya dan mengambil napas dalam-dalam.
Pilihannya adalah terus lari atau menghadapinya.
"Kau benar, Sully. Aku nggak bisa terus lari."
Jari Andrea melayang ragu di atas sebuah tombol. Dia menekannya.
Hapus semua gambar?
Andrea menghembuskan napas dan memilih.
Hapus.
Andrea menyandarkan kepalanya ke batang pohon, sementara monitor kamera masih menunjukkan loading bar menuju angka seratus persen. Kemudian gadis itu berbisik pada udara kosong.
"Bye, Matthew Venturi."
🌳
Selarik cahaya menimpa kelopak mata Andrea yang tertutup.
Andrea membuka matanya perlahan, dan mengerjap beberapa kali menyadari betapa kering dan lengket kedua matanya terasa. Dia mengangkat sebelah tangannya, berusaha menghalangi berkas cahaya menyilaukan yang menimpa matanya, dan saat itulah dia menyadari bahwa pemandangan yang dilihatnya bukanlah langit-langit kamarnya di rumah Georgia, melainkan dahan-dahan pohon cedar berlatar belakang langit jingga keunguan.
"Selamat pagi, Nona Jacobson."
Andrea tersentak mendapati suara itu berasal dari sampingnya.
Lucas tengah berbaring di sebelahnya, menatap langit dengan seulas senyuman geli tersungging di bibir.
"L-Lucas..." Andrea berujar serak.
"Well, harusnya 'selamat malam', tetapi kau ngerti poinku."
Andrea mendudukkan diri dan tersadar bahwa satu tangannya masih menggenggam kamera. Dia mengecek arlojinya yang menunjukkan nyaris pukul sembilan malam. Dia tertidur di bawah pohon cedar berjam-jam lamanya setelah sesi penuh tangisnya yang menguras emosi. Andrea mengerang.
"Georgia--"
"Aku sudah meneleponnya." Lucas berkata, mendeteksi kepanikan di wajah Andrea, "Aku memberitahunya kau ketiduran di penginapan dan dia menyuruhku agar tidak membangunkanmu."
"Tapi titipan belanjaan--"
"Juga soal itu, katanya kau bisa beli besok pagi saja. Masih banyak stok jadi jangan khawatir."
Andrea merosot kembali ke batang pohon, "Ugh... aku benar-benar pekerja yang payah."
"Kau nggak payah. Kau hanya kelelahan." Lucas terkekeh pelan.
"Yeah aku--" Andrea mengangkat kameranya yang telah mati secara otomatis. Kamera yang sekarang kosong melompong, seperti kanvas putih. Langkah pertamanya.
Kemudian pundak Andrea menegang. Dia mengamati Lucas yang masih berbaring santai di sebelahnya, menyangga kepala dengan kedua lengan, pandangan masih tertuju ke arah langit yang masih cukup terang dan memiliki sisa-sisa warna petang.
"Luke."
"Yup?"
"Sejak kapan kau berada di sini?" tanya Andrea, merasakan pelipisnya berkeringat gugup.
"Sejak... siang." Lucas menjawab ambigu.
"Kapan persisnya?"
Lucas terdiam.
"Uh... cukup siang?" dia akhirnya menjawab hati-hati.
"Kau sudah di bawah pohon cedar sejak sebelum aku datang, kan?" Andrea menyimpulkan dengan nada horor.
"Um... yeah... aku berada di balik batang, di sisi yang berlawanan denganmu."
Andrea mengerang lagi dan mengubur wajahnya di antara kedua lutut.
"Ya Tuhan..."
"Aku sedang ngobrol dengan Cedrus, lalu kau datang dan..." Lucas mendudukkan diri, "...dan aku mendengarmu menangis."
Cowok ini mendengarkanku nangis sesenggukkan gara-gara sentimen kamera.
"Oh, Tuhan..."
"Hei..." Lucas tertawa kecil, "...ini hanya aku."
Andrea masih mengubur wajahnya yang terasa panas menahan malu.
"Hei... Andy." Andrea merasakan Lucas menyentuh helaian rambutnya, "Di rambutmu banyak dedaunan kering yang tersangkut."
"Oh..." Andrea menegakkan kepalanya dan mengecek rambutnya dengan khawatir, membuat Lucas terkekeh lagi, "Ugh, harusnya kau bilang saja tadi bahwa kau ada di sini..."
"Aku nggak tega mengganggu momenmu. Jadi aku diam saja." Lucas menatap Andrea sambil masih memunguti daun di rambut gadis itu.
"Nggak ada cewek yang kepingin dilihat cowok sedang nangis seperti orang gila."
"Kau nggak kayak orang gila. Lagipula, teknisnya aku berada di sisi yang lain jadi aku nggak melihatmu..."
"Kau tahu maksudku!"
Lucas menurunkan lengannya dari rambut Andrea, "Matamu bengkak."
"Trims informasinya." gerutu Andrea jengkel sambil menutupi matanya dengan kedua telapak tangannya yang dingin.
"Merasa lebih baik?"
"Kompres es batu akan lebih--"
"Maksudku soal kameramu."
"Oh." Andrea menurunkan telapak tangannya, "Mm... yeah. Aku... mengosongkan isinya."
"Yang kebanyakan berisi foto Matthew Venturi?"
Cowok ini nggak berbasa-basi! batin Andrea takjub.
"Ya. Langkah pertamaku. Aku masih harus menghadapinya secara langsung setelah pulang ke Portland nanti, cepat atau lambat."
"Bagaimana dengan telepon?"
"Apa?"
Lucas mengangkat bahunya, "Meneleponnya. 'Langkah kedua'mu?"
"Aku... uh," Andrea tergagap, "...aku nggak tahu apakah aku sudah siap mendengarkan suaranya."
"Bagaimana kalau menganggap Matthew Venturi itu sejenis esai musim panas yang harus kau selesaikan? Semakin sering kau menghadapinya, semakin ringan pekerjaanmu nantinya." usul Lucas, "Atau tidak. Semua terserah padamu."
"Itu masuk akal." Andrea mengakui ogah-ogahan, "Sebetulnya... aku juga perlu meneleponnya."
"Boleh tahu kenapa?"
"Dia punya paman yang seorang web developer."
Sepasang mata biru Lucas membulat paham, "Wah, itu kebetulan sekali."
Andrea merogoh ponselnya dari dalam tas selempang. Dia menatap benda itu ragu-ragu sebelum Lucas mendadak hendak bangkit.
"Aku akan ke penginapan, jika kau--"
Andrea meraih tangan Lucas untuk mencegahnya pergi, "Tidak. Kau di sini saja. Please."
Lucas menunduk menatap Andrea terkejut. Ekspresinya kemudian melembut.
"Baiklah."
Lucas dan Andrea kini duduk saling bersisi-sisian, dengan lutut-lutut yang bersinggungan. Andrea membuka chat dari Matt yang menumpuk karena tak dibaca sejak hari pertamanya di Cotswolds.
Kuharap kau ketemu pizza enak di sana.
Hei! Kenapa nggak angkat telepon?
Andy, Sully bilang kau kena jetlag. Telepon aku kalau sudah merasa kembali seperti manusia.
Hei. Kau sibuk?
Andy, aku dan Pris akan ke pameran fotografi di Pittock Mansion akhir pekan ini. Mau titip print atau semacamnya?
Sully bilang kau sibuk. Sesibuk apa sampai nggak merespon satupun chat teman-temanmu?
Jacobson. Aku bersumpah kalau kau terus-terusan mengabaikanku, aku bakal menyusulmu.
Sebelum cowok itu sempat melakukan hal-hal nekat, Andrea memberanikan diri untuk menekan tombol panggil pada nomornya. Di sebelahnya, Lucas melayangkan senyuman dan anggukan menyemangati.
Pada dering kedua, telepon diangkat.
"Akhirnya kepikiran untuk menghubungiku, Jacobson?" suara maskulin yang sudah sangat familiar itu terdengar dari seberang.
Andrea terdiam sejenak. Entah apakah dirinya mengharapkan sesuatu yang dramatis akan terjadi ketika mendengarkan kembali suara Matt, atau semacamnya. Tetapi saat ini, yang dirasakannya hanyalah sesuatu yang... tidak terlalu signifikan.
"Sori, Venturi." Andrea akhirnya menemukan suaranya dan menyahut, "Aku harusnya menghubungimu lebih awal tapi... banyak hal untuk dibenahi."
Perasaanku, misalnya.
Terdengar Matt menghela napas panjang di seberang.
"Lega mengetahui kau nggak membenciku."
Andrea mengerjap, "Apa?"
Matt merendahkan suaranya sebelum menjawab, "Andy, apakah... sesuatu terjadi di antara kau dan Pris? Maksudku... aku tahu level sensitivitas-ku tidak setinggi Sully, tapi aku bisa melihat kalian semakin... menjauh. Dan baru-baru ini ketika aku menanyakan apakah dia sudah berhasil menghubungimu, dia sepertinya keceplosan dan mengatakan bahwa kau nggak akan repot-repot menghubunginya karena kau membencinya."
Andrea terdiam.
"Apakah Pris bersamamu sekarang?"
"Kami di apartemenku. Dia di ruang televisi dan aku di kamar. Kenapa?"
Andrea menarik napas dalam-dalam dan mengepalkan satu tangannya.
"Dengar, Matt."
"Apa? Kau menakutiku."
Ayo, Andrea, sudah saatnya.
"Sebetulnya... um, sebetulnya... aku pernah menyukaimu." Andrea akhirnya berujar.
Kurang lebih semenit penuh Matt kehilangan kata-kata.
"Suka yang kayak... cewek ke cowok." Andrea menambahkan, karena Matt masih membisu.
"A-apa kau bilang?" akhirnya cowok itu menyahut, terbata.
Andrea menjelaskan, "Hanya Sully yang tahu. Dan... uh, Pris. Tapi aku nggak tahu kalau Pris juga menyukaimu. Dan kau ternyata juga menyukai Pris. Jadi ketika kalian jadian, sejujurnya aku... merasa... um, dikhianati. Yang sebetulnya kekanakkan, aku tahu, karena kalian juga sudah lama saling kenal."
"Andy..."
"Karena itulah aku memutuskan pergi ke Cotswolds. Untuk... menata perasaanku. Aku merasa nggak adil terhadap kalian."
"Andy aku--" Matt kesulitan menemukan kata-kata, "--aku nggak pernah tahu. Aku minta maaf."
"Nggak perlu. Salahku, karena aku nggak pernah bicara apa-apa." Andrea berjuang mengontrol emosinya yang hendak meluap, "Kalian pasangan yang cute. Kau sahabatku, Matt... dan aku senang bila kau bahagia."
Sebulir air mata terjatuh di pipi Andrea, walaupun dia berhasil mempertahankan suaranya tak goyah. Lucas menggamit satu tangan Andrea yang terkepal dan menggenggamnya erat. Kehangatan yang menguar dari telapak tangan milik Lucas membuatnya rileks. Andrea menyunggingkan senyum berterima kasih kepada cowok itu dan meneruskan.
"Matt. Kau perlu tahu kalau aku menyayangimu dan Priscilla. Oke? Jadi aku memberitahumu semua ini agar kau nggak berada dalam kegelapan. Aku nggak tahu apakah hubunganku dan Pris bisa 'normal' seperti sediakala, namun pada akhirnya, kalian masih orang-orang paling cool yang pernah kukenal sepanjang hidupku."
Terdengar tawa pelan Matt dari seberang. Andrea dapat menangkap suaranya sarat akan emosi ketika cowok itu berbicara lagi, "Dan kau masih Nona Reporter terhebat sepanjang masa. Aku menyayangimu. Dan... terima kasih sudah jujur soal perasaanmu, Andy."
Andrea menyunggingkan senyuman terlebar yang sanggup dilakukannya, walaupun sadar sepenuhnya cowok itu tak akan bisa melihatnya, "Aku akan menelepon Pris sendiri nanti. Dan ngomong-ngomong, aku akan menghubungimu lagi besok karena ada yang ingin kudiskusikan yang berhubungan dengan pekerjaanku di sini. Ini sudah terlalu malam."
"Tentu." Matt menyahut, "Hei, Andy? Um... terima kasih karena telah memberitahuku semua ini. Sungguh. Dan aku sangat menghargai kau bisa bersikap sangat cool terhadap hubunganku dan Pris."
"Traktir saja aku dengan pizza Jefferys yang banyak kalau aku kembali ke Portland nanti." kekeh Andrea.
"Dimengerti." Matt balas terkekeh, "Jadi... sampai besok?"
"Yeah. Bye, Matt."
"Bye, Andy."
Sambungan ditutup.
Andrea menghembuskan napas panjang. Rasanya memuaskan dan melegakan. Seperti habis turun dari roller-coaster berkecepatan tinggi dan bisa teriak keras-keras.
Entah sejak kapan matahari sudah tenggelam sepenuhnya dan hutan menjadi gelap. Andrea mendongak menyadari Lucas masih duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat satu tangannya. Sepasang mata biru miliknya menatap Andrea dengan binar kekaguman.
"Aku benar sejak awal." katanya, "Kau memang cewek terkeren yang pernah kukenal."
Andrea merona akibat pujian Lucas, "Hanya mengikuti nasehatmu. 'Langkah kedua'."
Lucas tertawa, "Tapi aku cuma menyarankan untuk menelepon Matt, bukannya menumpahkan seluruh unek-unekmu kepadanya."
Andrea merasakan wajahnya memanas, "Biar bagaimanapun, yang tadi itu melegakan. Jadi terima kasih untuk dukungan moralmu."
Lucas menyunggingkan cengiran jenakanya.
"Sebuah kehormatan bisa membantu."
🌳
Sending virtual hugs to you <3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top