4. Hal-Hal Yang Terjadi
KALAU boleh jujur, Andrea belum pernah merasa menjadi cewek selinglung dan seceroboh ini sepanjang hidupnya.
Setelah Georgia bertemu dengan tamunya--Lucas Freewell, cowok yang masih dicurigai Andrea telah memberi nama sebuah pohon cedar di hutan tadi pagi--serta menjelaskan segala sesuatunya dan akhirnya menyerahkan kunci pondok, wanita itu kembali ke rumahnya sekitar pukul sepuluh, meninggalkan Andrea dengan sederet tugas untuk dilakukan.
Andrea tidak menemukan kesulitan berarti saat menyirami pot-pot tanaman, membersihkan perabotan dan kamar mandi, maupun mempersiapkan sarapan. Tetapi cukup lama dia berkutat dengan mesin pembuat kopi--walaupun akhirnya berhasil menyala--lalu mengutak-atik pengaturan televisi agar terhubung dengan WiFi yang baru dinyalakan kembali, dan saat ini, dia sudah sampai pada titik jengkel maksimal sehingga tanpa sengaja melontarkan sumpah serapah pada penyedot debunya yang menolak hidup.
Berdasarkan apa yang tertera di layar kecil mesin sial itu, Andrea dituntut untuk membuang terlebih dahulu debu-debu yang nyaris penuh di penampungnya sebelum bisa menyalakannya lagi. Masalahnya, itu adalah penyedot debu keluaran terbaru, yang berpenampilan serba hitam dan minimalis dengan tombol-tombol yang nyaris tak terlihat, dengan penampung debu yang bahkan lebih sulit lagi untuk dideteksi keberadaannya tanpa buku manual. Dia bahkan tidak tahu jenis penyedot debu apa itu untuk mencaritahunya di internet.
Saking putus asanya, pada puncak kekesalannya dia iseng menelepon Sully untuk menanyakan apakah dia tahu cara kerja penyedot debu milik ibunya.
"Mana kutahu! Kupikir kau meneleponku untuk hal yang genting!" ujar Sully dari seberang telepon dengan nada jengkel.
"Ini genting, Sully. Dan kau sendiri yang bilang aku bisa meneleponmu jika terjadi apapun. Nah, inilah 'apapun' itu." gumam Andrea sambil memandangi penyedot debu di hadapannya dengan cemas.
"Kenapa nggak telpon ibuku, sih?"
"Sudahlah. Bercanda. Aku cuma cari-cari alasan saja meneleponmu."
Walaupun Andrea tidak bisa melihatnya, dia tahu cowok itu pastilah sedang memutar bola matanya, "Begitu dong dari tadi. Jadi ada apa?"
"Nggak ada sesuatu yang khusus, sih. Cuma mau laporan saja kalau sejauh ini semuanya oke."
"Syukurlah." Sully menanggapi tulus, "Aku bilang pada ibuku untuk nggak memperbudakmu secara berlebihan..."
"Memangnya kau punya kendali atas apa yang ibumu kepingin lakukan?" dengkus Andrea.
"Nggak sih." Sully langsung mengakui, "Uh, ngomong-ngomong... Matt mengadu padaku. Katanya kau nggak kunjung baca chat darinya."
Andrea bergumam muram, "Haruskah?"
"Pokoknya aku bilang saja kau masih kena jetlag."
Andrea tidak menyahut.
"Aku mengerti kau butuh waktu, Andy." Sully melanjutkan pelan, "Tetapi aku nggak bisa terus-terusan membuatkan alibi untukmu. Pilihannya adalah terus lari atau menghadapinya."
Seluruh perkataan Sully barusan benar, dan Andrea membencinya. Dia mendesah letih. Dia tahu persis dirinya perlu mengumpulkan tekad dan nyali untuk 'bersikap normal' dengan Matt. Tetapi yang jelas, bukan hari ini.
"Bisa ganti topik?"
Kali ini Sully yang menghela napas, "Sudah coba naik skuter ibuku?"
Selama beberapa saat keduanya berbicara di telepon, membahas apapun yang tidak menyenggol topik yang ingin dihindari Andrea. Sejujurnya, mengobrol dengan Sully saat ini terasa agak seperti dilema bagi Andrea. Di satu sisi, Sully adalah sahabat terbaiknya. Namun di sisi lain, Andrea seolah tak mampu berbicara dengan cowok itu tanpa mengaitkannya dengan teman-temannya yang lain di Portland. Maka percakapan telepon itu tidak berlangsung terlalu lama dan gadis itu memutuskan untuk kembali berkutat dengan penyedot debunya.
"Ya Tuhan, di mana?" desah Andrea frustasi seraya memutar-mutar badan mesin dan berusaha menemukan tombol, katup, tuas, apapun, "Bagaimana aku bisa mengeluarkan kotoran-kotoranmu kalau kau berpenampilan se...ajaib ini?"
Terdengar tawa lepas dari belakangnya, "Kalimatmu barusan--kalau didengarkan tanpa konteks--bisa mendatangkan berbagai imajinasi aneh."
Andrea berputar sambil masih berjongkok, dan mendapati Lucas tengah berdiri di dekat pintu belakang sambil memperhatikannya dengan sorot terhibur akibat mendengarkan racauannya. Gadis itu meringis, "Belum terbiasa dengan penyedot debu yang terlalu futuristik."
"Tak kenal maka tak sayang!" Lucas ikut berjongkok menatap mesin penyedot debu yang layarnya masih berkedip-kedip itu. Cowok itu masih mengenakan parka kuningnya. Dia mengapit sesuatu yang kelihatan seperti buku gambar dan beberapa alat lukis di lengan kirinya.
"Makanya dia begitu bagus." Andrea menunduk mengamati Heimlich di sepatu Lucas lagi, "Kau rupanya pelukis."
"Nggak tahu apakah masih bisa disebut begitu..." Lucas menggumam tak jelas sambil mengulurkan tangannya, memutar-mutar badan mesin dan tahu-tahu menarik tuas kecil tak terlihat yang membuka bagian belakang penyedot debu, membuat Andrea melotot syok.
"Aku bersumpah tuas itu nggak ada di situ sebelumnya!" ujar Andrea tak terima, memandangi si penyedot debu dengan keheranan sementara Lucas nyengir lebar di sampingnya. Cowok itu lalu mengeluarkan selembar kertas bening dari saku parkanya, yang ternyata merupakan selembar stiker, dan melepas salah satu yang berbentuk matahari. Dia lalu menempelkannya di dekat tuas kecil yang barusan ditariknya.
"Supaya besok-besok nggak tersesat, ada matahari yang siap menunjukkan jalan." katanya, memandangi matahari mungil itu dengan puas.
Andrea menatapnya, sedikit terpesona, "Trims, Lucas."
"Sama-sama." cowok itu menyahut ceria. Kemudian dia bangkit dan membuka pintu kaca menuju halaman belakang, "Aku akan jalan-jalan di hutan selama beberapa jam. Apa kau akan di sini sampai malam?"
"Sampai waktu makan siang saja, sebetulnya."
"Oh, oke..."
"Kau bawa kuncimu?"
"Yep!"
"Kalau begitu aku akan mengunci pintu-pintu kalau kau belum kembali ketika aku pergi."
"Dimengerti." kata cowok itu, "Kau akan datang lagi besok?"
"Akan datang lagi besok." angguk Andrea.
"Hebat." Lucas tersenyum cerah, "Kalau begitu sampai besok, Andy."
Andrea balas tersenyum dan melambai, mengamati cowok itu berjalan ke arah pepohonan untuk memasuki hutan. Namun sebelum dia berjalan terlalu jauh, Andrea berdiri dan berseru memanggilnya.
"Lucas?"
Lucas berbalik dan menatapnya, "Ya?"
Andrea terdiam sejenak.
"Sampaikan salamku untuk Cedrus."
Tidak ada sorot mengejek, nada bercanda, atau gestur meremehkan ketika kata-kata itu terlontar dari mulut Andrea. Dan Lucas pastilah merasakannya. Karena detik berikutnya, cowok itu lagi-lagi menyunggingkan cengiran lebar dan cerahnya.
"Dengan senang hati!"
🌳
Ketika dalam perjalanan kembali menuju rumah Georgia, sekitar pukul satu siang, langit berubah abu-abu dengan awan gelap bergumpal-gumpal. Sudah beberapa kali ponsel Andrea berdering seharian ini, sehingga dia harus mengaktifkan mode senyap agar dapat berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Ketika dering itu kembali terdengar ketika Andrea sedang menyetir, dia memutuskan untuk mengangkatnya.
"Akhirnya." suara dalam yang sudah tak asing itu terdengar dari seberang.
Tidak ada halo. Tidak ada basa-basi. Tidak berubah.
"Apa maumu, Adam?" tanya Andrea langsung.
Cowok itu ragu-ragu sejenak.
"Uh... kau tahu Mom nggak berhenti menggerecokiku soal kau yang nggak kunjung mengabarinya soal keadaanmu di sana. Dan Dad... dia jenuh mendengar Mom mengkhawatirkanmu jadi memutuskan menggerecokiku juga supaya meneleponmu."
"Aku baik-baik saja, kalau itu yang kalian kepingin tahu." sahut Andrea dingin.
"Yeah. Oke." terdengar jeda panjang sebelum Adam kembali berkata, "Well, um..."
Andrea menghela napas panjang. Selalu soal itu.
"Aku akan mengirimkan transfer uang minggu depan. Bilang pada Mom--dan Dad, kalau dia memang peduli--bahwa aku baik-baik saja. Dan ya, aku masih bulat dengan keputusanku soal menunda kuliah."
"Oke. Cool." Adam berkata canggung, "Jadi sampai kapan kau akan berada di sana?"
"Belum tahu. Sampai misiku tercapai, kurasa?" Andrea mengutip asal.
"Misi?"
"Adam, aku sedang menyetir. Hubungi aku lagi nanti kalau ada sesuatu yang penting."
Dan nggak usah menghubungi kalau nggak penting.
"Oke. Bye." Adam berkata.
"Bye."
Sambungan diputus.
Tidak ada 'terima kasih'. Tidak berubah.
🌳
Portland, rumah keluarga Jacobson
Dua minggu lalu
Ada tradisi yang hampir tidak pernah terlewat dilakukan oleh anggota keluarga Jacobson. Tradisi itu adalah makan malam bersama. Andrea, ayahnya, ibunya, dan kakak laki-lakinya, selalu menyempatkan diri untuk makan malam bersama dalam satu meja, tak peduli sesibuk apapun mereka.
Namun semenjak kepindahan Andrea ke flat barunya di dekat PSU beberapa hari lalu bersama Sully, mulai saat ini gadis itu hanya bisa ikut serta dalam tradisi keluarganya di akhir pekan.
Tahun ini merupakan tahun ketiga Anthony Jacobson pensiun dari pekerjaannya sebagai pegawai kantoran. Sementara Darlene Jacobson mulai turun tangan membantu perekonomian keluarga dengan berjualan kue. Mempertimbangkan faktor-faktor itu, seharusnya pengumuman mendadak dari Andrea ini tidaklah mengejutkan lagi bagi mereka.
"Kau apa?" Darlene bertanya pada Andrea, takut salah dengar.
"Aku memutuskan menunda kuliahku hingga tahun depan."
Darlene menatap Andrea seolah putrinya itu salah minum obat, sementara Anthony hanya diam. Adam hanya memotong-motong daging di piringnya tanpa suara.
"Sayang, tetapi..." Darlene tampak masih gagal mencerna berita ini, "...kau begitu bersemangat soal PSU sebelum ini. Bagaimana dengan flat yang sekarang kau tempati dengan Sully--"
"Soal flat, aku masih akan tinggal dengan Sully. Kuliah atau tidak. Kami membagi dua biaya sewanya." Andrea memotong. Dalam hati, Andrea merasa agak bersalah terhadap Sully. Tawaran tinggal bersama ini diajukan Sully pada situasi ketika Andrea tengah berada pada puncak rasa muak dan keputusasaannya. Karena PSU tidak memiliki asrama khusus, mungkin cowok itu merasa kasihan dan menawari alternatif 'terjangkau' bagi Andrea agar dia bisa tetap hengkang dari rumah orangtuanya tanpa menguras tabungan terlalu banyak.
"Tapi... kenapa?" Darlene akhirnya mengajukan pertanyaan itu.
Andrea memainkan buncis rebus di piringnya, "Prioritasku berubah."
"Prioritas?" Darlene mengulang tak percaya, "Memangnya apa yang perlu kaulakukan?"
Andrea mencampakkan garpunya kesal, dia menatap kedua orangtuanya bergantian, "Mom dan Dad pikir aku tidak tahu kalian sudah menggadaikan cincin pernikahan kalian demi mempersiapkan biaya kuliahku?"
Ekspresi bingung di wajah Darlene seketika mencair, berubah menjadi sesuatu yang tampak seperti campuran penyesalan, rasa bersalah, dan ego yang terluka.
Suara Darlene bergetar, "Sayang, aku--"
"Aku memutuskan untuk tidak akan mengambil pinjaman dulu. Aku merasa belum siap untuk itu." Andrea berkata lagi.
"Kau tidak perlu--"
"Andrea." Anthony akhirnya membuka suara, "Apa yang ingin kaulakukan?"
Andrea melirik ke arah kakak laki-lakinya, yang masih mengunyah makan malamnya dalam diam, sebelum berkata, "Aku akan bekerja dengan ibu Sully di Cotswolds, mungkin sepanjang musim panas ini."
"Bekerja dengan Georgia? Di Inggris?" Darlene mengulang tak percaya.
"Dia punya airbnb di sana. Aku sudah setuju untuk membantunya selama musim liburan."
Anthony hanya mengangguk, sementara ibunya masih belum menyerah. "Sayang... kau tidak harus melakukan ini."
"Yeah? Benarkah?" Andrea masih belum memutuskan tatapannya kepada Adam, yang tidak mendongak dari piringnya dan berpura-pura tidak terlihat, tidak menunjukkan keinginan untuk terlibat, sedikitpun. Namun melihat ekspresi ibunya yang diliputi kesedihan, Andrea berusaha menenangkannya, "Aku melakukan ini bukan hanya demi alasan ekonomi. Aku perlu melakukannya. Aku perlu menjauh sejenak dari... hal-hal yang terjadi."
Darlene membuka mulutnya hendak bertanya. Namun urung.
Meja makan diliputi keheningan selama beberapa saat, sebelum akhirnya ayahnya berdeham.
"Kau bisa melakukan apapun yang kau inginkan." Anthony memutuskan.
Darlene menatap suaminya sejenak sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya kembali kepada Andrea.
"Baiklah. Aku mengerti." ujar wanita itu pasrah.
Andrea tahu persis, pertanyaan dari Darlene mengenai 'hal-hal yang terjadi' itu urung diutarakannya karena wanita itu tahu bahwa anak perempuannya tidak akan bercerita.
Andrea tidak paham apakah kemampuan komunikasinya yang buruk merupakan warisan genetik atau bukan. Ayahnya, Anthony, juga bukan tipe pria dengan banyak kata. Seringkali, Andrea hanya menyimpan semua yang terjadi di dalam hidupnya tanpa merasa perlu membaginya dengan orang lain, bahkan keluarganya. Dia tidak merasakan 'kebutuhan' atau 'keinginan' untuk bercerita dengan siapapun bila itu menyangkut hal pribadi. Dia adalah yang paling tak banyak bicara di antara teman-temannya, lebih sering menjadi pendengar daripada pembicara. Syukurlah teman-temannya memahami karakter Andrea dan segalanya baik-baik saja...
...paling tidak sampai liburan musim panas lalu, satu bulan sebelum tingkat senior dimulai.
Memori itu lalu menyeruak kembali, membuat buncis yang tengah dikunyah Andrea terasa hambar. Andrea masih ingat dengan sangat jelas, bagaimana pada satu siang di akhir pekan itu Priscilla mampir ke rumah keluarga Jacobson untuk mengambil baju-baju bekas yang akan disumbangkan demi kegiatan amal Helpers. Selepas makan siang, Andrea meninggalkan Priscilla di kamarnya sejenak untuk pergi ke rumah keluarga Sullivan di sebelah untuk mengambil baju bekas dari Sully dan ayahnya.
Namun ketika kembali ke kamarnya, Andrea sudah mendapati Priscilla duduk di atas ranjangnya sambil membaca sebuah buku kecil.
Jurnal pribadi milik Andrea.
"Kau membacanya?" tanya Andrea, tak percaya.
Priscilla mendongak kaget mendapati Andrea sudah berdiri di ambang pintu. Dia buru-buru menutup jurnal itu. Entah mengapa, Priscilla menampakkan ekspresi yang ganjil. Seperti marah dan kecewa. Tetapi Andrea belum paham saat itu. Bukankah seharusnya dia yang marah karena Priscilla dengan tanpa izin telah mengambil jurnal yang diletakkannya di sudut rak? Bukankah dia yang seharusnya marah karena privasinya dilanggar seenaknya?
"Kau bohong padaku?" tuduh Priscilla.
Andrea betul-betul tidak paham.
"Soal apa, persisnya?" tantang Andrea.
"Kau suka Matt?" Priscilla tak mampu menahan diri.
Andrea tidak pernah memberitahukan soal ini kepada siapapun. Hanya Sully yang mengetahuinya, itupun karena cowok itu berhasil menebaknya sendiri.
"Yeah." Andrea mengakui, "Itukah kebohonganku? Aku tidak merasa berbohong kepada siapapun karena seharusnya buku itu tidak dibaca siapapun."
Keheningan menyesakkan memenuhi kamar Andrea.
"Sejak kapan?" Priscilla memutuskan mengabaikan sindiran Andrea.
"Entahlah. Mungkin baru sadar sepenuhnya sejak tingkat junior. Saat kami sama-sama menjadi pengurus Hawkees."
Priscilla tidak menanggapi. Dia hanya diam. Kemudian dia akhirnya menggeleng-geleng pelan.
"Aku menyesal sudah membacanya tanpa izin." ucapnya, "Maaf."
"Kau seharusnya begitu." Andrea berujar dingin seraya meletakkan kardus berisi pakaian dari keluarga Sullivan di hadapan cewek itu. Lalu dia menyambar buku kecil dari tangan Priscilla tanpa berkata apa-apa dan meletakkannya di dalam laci meja belajarnya.
Saat itu Andrea belum tahu. Dia belum paham.
Fokus Andrea kembali ke meja makan, kembali menusuk-nusuk makanannya dalam diam di hadapan kedua orangtua dan kakak laki-lakinya. Dia merasa tidak butuh menceritakan kepada ibunya, atau ayahnya, atau siapapun, bahwa 'hal-hal yang terjadi' itu adalah sesuatu yang terjadi di antara dirinya dan Priscilla sejak insiden itu. Bagaimana persahabatan mereka layu dan mendingin. Walaupun mereka masih mengobrol dan bersikap biasa di sekolah, sebagian besarnya adalah demi Kylie.
Detik ketika Andrea mendapati Priscilla membaca sesuatu yang seharusnya tidak dibacanya, dia kehilangan respek terhadap gadis itu.
🌳
Georgia tengah membuat adonan roti di dapur samping ketika Andrea kembali setelah pekerjaannya rampung di Brierwood, sekitar pukul dua siang.
"Terima kasih, Andy." ucap wanita itu setelah Andrea menurunkan kantung-kantung belanjaan titipan wanita itu dari mobil dan membereskannya ke dalam lemari dan kulkas, "Bagaimana hari pertamamu bekerja? Semua lancar?"
"Perlu sedikit beradaptasi." aku Andrea sambil bersandar di meja besar tempat Georgia tengah mengadoni roti. Dari sini, dia juga dapat melihat pemandangan perbukitan dari pintu kaca. Walaupun di luar sedang mendung, tetap saja mengagumkan. "Tetapi aku beruntung bisa bekerja di tempat secantik ini."
Georgia terkekeh, "Kau harus lihat Cotswolds di musim gugur. Merah, jingga, ungu, kuning... aku tidak pernah bosan melihat pergantian warna dedaunan setiap tahunnya."
"Itu juga yang kupikirkan di hutan tadi ketika menyusul Lucas." kekeh Andrea.
"Kau mau kerja denganku sepanjang tahun?" tawar Georgia dengan nada menggoda.
"Tapi kupikir Brierwood House hanya buka di musim panas?"
"Well..." Georgia mendesah, "...sebetulnya sudah lama aku berencana membuka Brierwood sepanjang tahun, kecuali musim dingin. Tetapi aku nggak mungkin mengurusnya sendirian. Ditambah, sekarang ada Sawfitz yang mengacau..."
Wanita itu mengedikkan kepalanya dengan jengkel ke arah brosur country club Sawfitz yang teronggok mengenaskan di tempat sampah dapur.
"Sawfitz juga mengirim brosurnya ke rumah-rumah pemilik penginapan lokal?" Andrea menaikkan alisnya tinggi, "Kayak menawari Pepsi ke penjual Coca-Cola."
"Dia itu tidak punya muka, dan dungu, kurasa." Georgia menguleni adonannya dengan geram, "Tidak merasa perlu repot-repot mengadakan diskusi terbuka dengan warga maupun pemilik usaha lokal di sekitar secara langsung."
"Jadi sudah pernah ada pertemuan soal ini?"
"Sudah ada beberapa kali undangan yang dikirim warga untuk Sawfitz dari balai kota. Tapi semuanya hanya dihadiri perwakilan orang itu. Dan semuanya mencapai hasil yang tidak memuaskan."
Andrea mengambil brosur dari tempat sampah, mengamat-amatinya. Sejujurnya, brosur itu menarik. Desain dan foto-fotonya profesional. Informasi yang dicantumkan juga jelas dan lengkap, termasuk pilihan paket liburan serta daftar fasilitas yang akan didapat sesuai dengan harga. Dan mereka punya segalanya; e-mail, situs, akun media sosial, reviu dari para influencer...
"Andy, bisakah kau ambilkan sekantung terigu yang ada di rak sana?" pinta Georgia membuyarkan lamunannya.
"Yep, ini."
"Terima kasih. Jadi, bagaimana tamu kita?"
Si cowok pohon? Andrea membatin, "Lucas Freewell? Lancar-lancar saja."
Georgia menutupi wadah berisi adonan dengan plastik wrap. "Apakah dia tipe tamu yang banyak permintaan?"
"Sejauh ini, kesanku cukup baik." Andrea tersenyum kecil teringat stiker matahari, "Kami nggak banyak bertemu hari ini. Kurasa dia sibuk membereskan barang-barangnya di atas. Lalu sebelum aku pulang, dia pergi ke hutan lagi. Dan dia membantuku menjinakkan penyedot debumu yang mengintimidasi."
"Apa?"
"Aku nggak bisa menemukan tuas pembuka penampung debunya!"
Georgia terbahak-bahak.
"Astaga, aku memang harus beli yang konvensional saja!"
🌳
Kalau kamu, gimana kalau ada yang baca catatan pribadimu tanpa izin?
Leave vomments :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top