13. Misi Yang Serupa

TELEPON pukul setengah tujuh pagi dari Gregory Sullivan rupanya sanggup menarik Andrea dari kelinglungan sementara dan membuat otaknya mampu kembali beroperasi dengan normal.

"Ceritakan segalanya." itu adalah titah yang dilontarkan Sully dari seberang telepon. Suaranya bahkan masih terdengar serak akibat baru bangun tidur.

"Uh... selamat pagi?" sindir gadis itu sambil masih bergulung di balik selimut di atas kasurnya yang hangat, "Aku mengirimimu chat dari semalam. Apa kau baru baca pagi ini?"

"Andy."

"Kenapa nadamu begitu?" Andrea mengerang pelan.

"Apa kau bercanda?! Kau ini praktisnya menggoda tamu penginapan ibuku!"

"Hei!" protes Andrea, "Aku nggak beredar keliling penginapan dengan baju dalam atau melontarkan rayuan-rayuan tiap lima menit sekali kepadanya!"

"Makanya, ceritakan semuanya."

Maka Andrea menumpahkan semuanya kepada Sully, dari awal hingga akhir. Dia menceritakan soal pertemuan pertamanya dengan Lucas Freewell, kemudian mengenai kegemaran cowok itu mengobrol dengan pepohonan, selera berpakaiannya yang unik, suka melukis, punya mata dan senyum yang bagus...

"Kau melantur." Sully mengingatkan.

"Ah. Sori."

Lalu Andrea menceritakan juga soal kisah Lucas, dan betapa miripnya motivasi cowok itu dengan motivasinya untuk datang ke Cotswolds. Dan juga soal misi-misi mereka.

Sully selalu merupakan pendengar yang baik. Karena itu dia baru membuka suara setelah Andrea selesai menceritakan semuanya.

"Jadi..." Sully menyimpulkan, "Dia menyukaimu."

"Dia bilang 'kemungkinan besar akan punya perasaan istimewa' terhadapku." ralat Andrea.

"Dia betulan menyukaimu. Aku berani mempertaruhkan saldo jatah traktiran darimu untukku yang masih tersisa di tahun ini." 

"Menurutmu begitu? Jadi ini memang bukan hanya di kepalaku, kan?" ujar Andrea nelangsa, "Masalahnya, dia pakai 'akan'. Yang berarti sekarang ini belum punya perasaan kepadaku?" 

Sully menggerutu, "Aku tahu. Kenapa nggak bilang saja suka atau tidak dengan tegas. Kalau suka, kalian bisa ciuman dan hidup bahagia selamanya. Kalau tidak suka, kalian bisa balik ke Amerika dan kembali mendekam dalam kehidupan lajang kalian masing-masing yang menyedihkan. Masalah selesai."

"Apakah kau tahu bagaimana parahnya aku berkontemplasi setelah pengakuannya kemarin?" Andrea memuntir dan menarik ujung rambut tembaganya dengan frustasi, "Aku bahkan menuangkan selai di atas omeletku tadi malam. Omeletku rasa stroberi, Sully. Aku bersumpah belum pernah selinglung ini dalam hidupku."

Kecuali saat menghadapi penyedot debu futuristik milik Georgia tempo hari, batin Andrea.

"Bahkan tidak pernah ketika era Matthew Venturi?"

Andrea terkesiap. Dia baru sadar soal ini, "Wow... ya, bahkan tidak saat era Matt."

Dia dan Sully sama-sama terdiam.

"Oke... aku ngomong serius sekarang." Sully berdeham-deham, "Biar kusederhanakan ini. Kalian baru saling kenal selama kurang dari dua minggu. Dan kalian sama-sama sedang berusaha melupakan seseorang. Jadi menurutku, dia mengatakan semua yang dikatakannya kepadamu... karena dia tidak ingin memburu-buru hal ini." 

Andrea terbayang wajah Lucas ketika mengatakannya di hutan kemarin. Tatapannya. Senyuman kecil di sudut bibirnya. Jemarinya yang memainkan jemari Andrea dengan lembut.

"Dia memikirkan perasaanmu," Sully berkata lagi, "Dan sepertinya, dia tidak ingin kau menganggapnya bertindak impulsif." 

"Atau mungkin tidak ingin aku menganggapnya sedang mencoba peruntungan denganku. Tahulah. Sebagai pengalih perhatian dari mantan ceweknya." gumam Andrea, semakin muram.

Terdengar dengkusan keheranan dari seberang telepon.

"Kau ini pesimis sekali untuk ukuran cewek yang baru ditembak cowok." komentar Sully, "Ngomong-ngomong kau jawab apa pertanyaan dari Lucas?"

Andrea menghela napas kelewat panjang, "Aku menjawab dengan kata-kata ter-klise yang biasa dikatakan para cewek yang nggak tahu harus bilang apa. Kubilang 'aku akan memikirkannya.'"

"Kaubilang dia akan pulang besok! Mau memikirkannya sampai kapan?!" hardik Sully.

Setelah melalui sesi telepon pagi yang 'mencerahkan' dengan Sully, Andrea pergi mandi dan turun ke ruang makan untuk sarapan dan bersiap membantu Georgia. Di luar dugaan, dapur roti telah kedatangan beberapa tamu; Mrs. Petherick, ibu tetangga yang dekat dengan Georgia, dan Stephanie, saudara perempuan dari Lilian pemilik Bakery On The Water. Mereka tampak sibuk membungkus dan mengepak berbagai jenis roti, kue, dan berbotol-botol jus yang nampaknya bukan hanya hasil buatan Georgia.

"Untuk apa semua ini?" tanya Andrea sambil dengan sigap membantu Stephanie melepaskan perekat pada plastik roti.

"Ini semua adalah snack bagi siapapun yang akan datang untuk demo Sawfitz hari ini, Nak!" Mrs. Petherick berbinar ceria, "Akhirnya seluruh warga punya waktu untuk berkumpul dan memprotes pengusaha sombong itu."

Perut Andrea serasa mencelos. Georgia memberitahukan soal ini beberapa hari yang lalu dan Andrea melupakannya, "Maaf, Georgia... aku benar-benar kelupaan mau membantu lebih awal hari ini!"

"Oh, sudahlah... lagipula ini memang belum masuk jam kerjamu. Ini, bantu aku memasukkannya ke dalam mobil." Georgia menyerahkan beberapa keranjang penuh berisi jus kepada Andrea.

Alhasil, sepanjang pagi itu pikiran Andrea teralihkan sepenuhnya akibat kesibukannya membantu Georgia. Sekitar pukul sepuluh, mereka semua berkumpul di pelataran terbuka di depan gerbang masuk area wisata Sawfitz.

Orang-orang yang hadir mengenakan pakaian santai, kacamata hitam, beberapa bahkan membawa anak maupun hewan peliharaan, atau baru pulang dari gym. Sementara para panitia--termasuk Georgia--menyiapkan kios dadakan untuk menggelar makanan dan minuman. Kalau boleh jujur, alih-alih demo, perkumpulan orang itu lebih terlihat seperti pengunjung dari semacam acara bazaar musim panas.

"Kami menginginkan pertemuan terbuka!" salah seorang pendemo berdiri di atas kursi, meneriakkan aspirasinya melalui pengeras suara, "Kami menginginkan penyetaraan harga!"

"Jus dan limun! Yang belum dapat minuman tukar dengan tiket!" Mrs. Petherick mengumumkan dari balik kios dengan sama lantangnya.

Andrea dan Stephanie turut berkeliling bersama Georgia mengedarkan kue-kue dan roti kepada pendemo, sesekali berhenti dan menyempatkan diri membelai husky atau pomeranian yang berkeliaran bersama majikan mereka.

"Pemandangan yang indah." Georgia menghirup udara dalam-dalam dengan raut puas, "Melihat begitu banyak pengusaha lokal yang sepakat denganku soal Sawfitz. Kita semua berjuang bersama-sama."

Entah mengapa, kalimat terakhir yang diujarkan Georgia barusan meninggalkan kesan yang begitu dalam bagi Andrea. Gadis itu mendongak menatap langit musim panas Cotswolds yang berwarna biru cerah setelah melewati beberapa hari mendung dan berhujan. Perasaannya saat ini begitu lega, kontras dengan yang dirasakannya sebulan yang lalu.

Jika saja Andrea menolak tawaran kerja paruh waktu dari ibu Sully dan memilih tetap di Portland, dia yakin dirinya masih tenggelam dalam segala perasaan negatifnya. Terjebak dalam duka hatinya terhadap Matt. Kesulitan memaafkan Priscilla. Kekecewaan akan keadaan keluarganya. Kehilangan motivasi dan terombang-ambing dalam memutuskan langkah yang ingin dia ambil.

Dia benar-benar tidak pernah menduga bahwa keputusan nyaris spontan untuk pergi ke Cotswold membawa dampak yang begitu baik bagi mentalnya. Bekerja di tempat yang baru. Bertemu orang-orang baru. Andrea merasa dirinya yang dulu begitu dangkal dan tidak pernah berusaha lebih keras, dan kini gadis itu melihat segalanya dengan perspektif yang berbeda. Dunianya yang sebelumnya terasa sempit dan menyesakkan seolah meluas. Pintu-pintu yang sebelumnya tak pernah disadari Andrea ada kini seolah terbuka lebar untuknya.

Andrea mengikuti jejak Georgia. Dia menghirup udara pagi dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan, masih mengamat-amati langit. Andrea heran sendiri karena baru detik ini dia menyadari bahwa langit amat sangat luas

Jajaran awan tipis melaju pelan dan teratur, membuatnya tersadar bahwa alam dan makhluk hidup bergerak bersamanya. Dia hanyalah sebuah titik kecil, keberadaan yang merupakan bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar. Orang-orang menjalani hidup, merasakan kebahagiaan, kesusahan, kemarahan, kesedihan. Orang-orang berjuang dengan cara mereka masing-masing. Mereka semua berjuang bersama.  

Kita semua berjuang bersama, Andrea mengucapkannya dalam hati, seperti mantra.

Bersamaan dengan turunnya pandangan Andrea, matanya menangkap sosok ber-hoodie hijau botol yang datang berlari-lari kecil ke arahnya dari kejauhan. Rambut pirang ikal milik cowok itu berayun tertiup angin beraroma rumput yang tersapu dari arah bukit di balik alun-alun. Mata biru dan senyuman cerahnya tertuju pada Andrea, tak putus hingga cowok itu tiba dan berhenti di hadapannya. Di punggungnya tersampir tabung hitam yang sudah familiar.

"Halo, Cewek Roti." sapa Lucas terengah, nyengir lebar sambil menatap keranjang berisi roti di pelukan Andrea. Dia terlihat semakin cute dengan pipi yang kemerahan akibat berlari.

"Hei, Cowok Pohon." Andrea tak mampu mencegah senyumannya turut terkembang. Kemudian dia melirik ke arah tabung yang dibawa Lucas, "Proyek baru?"

"Yeah." tanpa basa-basi, Lucas melepaskan tabung dari punggung dan membuka tutupnya. Dia mengeluarkan gulungan yang kemudian dilebarkan agar Andrea bisa melihat isinya. Itu rupanya adalah spanduk untuk demo hari ini. Dan apa yang tertulis di sana benar-benar di luar dugaan.

Andrea terbahak ketika membaca tulisan 'SATU SAMA, SAWFITZ!' dengan alamat situs milik Georgia dan teman-temannya tempampang jelas di bawahnya. Situs yang telah mereka rancang bersama-sama itu akhirnya rampung. Di sekeliling tulisan itu terdapat ilustrasi kecil-kecil berbagai restoran, toko, maupun penginapan milik para pengusaha lokal.

"Ini genius." komentar Andrea kagum.

"Nggak kepikiran yang lebih cerdas atau lucu." cowok itu mengangkat bahu, lalu dia melambai ke arah Georgia yang mendatangi mereka.

Demonstrasi berlangsung sepanjang siang. Spanduk buatan Lucas diikatkan ke dua tiang lampu yang berada paling dekat dengan gerbang tempat wisata. Pada pukul dua belas, orang-orang membubarkan diri sejenak untuk pergi makan siang, dan melanjutkan demo hingga sekitar pukul empat sore, ketika akhirnya Robert Sawfitz keluar dari dalam gerbang area wisata bersama walikota, Nick Isler.

Sawfitz akhirnya menyampaikan kesediaan untuk menghadiri rapat dalam waktu dekat bersama beberapa perwakilan warga. Walaupun dia berbicara tak lama dan segera masuk ke dalam gerbang lagi, ini nampaknya sudah cukup untuk membuat massa merasa puas.

Mr. Isler berjanji akan terus menindaklanjuti perihal pertemuan warga dengan Sawfitz hingga tercapai kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak, kemudian menutup aksi demonstrasi dan mengundang semua orang untuk berkumpul di rumahnya untuk mengadakan pesta barbekyu.

"Kupikir Sawfitz bakal kayak antagonis, dengan kacamata mahal, jas necis, kumis lebat atau semacamnya." kicau Lucas dari balik kemudi kombinya sementara Andrea duduk di kursi penumpang, selagi mereka berkendara ke rumah walikota, "Nggak tahunya dia pakai baju main golf. Dia bahkan nggak punya rambut sama sekali."

Andrea tergelak.

Mayoritas tamu yang menghadiri pesta barbekyu di pekarangan belakang rumah Mr. Isler adalah para pemilik usaha setempat yang berusia paruh baya. Hanya segelintir yang berusia muda atau sepantaran dengan Andrea dan Lucas. Georgia mengenalkan Andrea dan Lucas kepada teman-temannya yang belum pernah mereka temui, dan keduanya berujung menerima 'interogasi' seputar latar belakang mereka.

"Menunda berkuliah? Mengapa?" tanya Brenda, istri pemilik pub lokal, dengan agak terkejut.

"Aku merekrutnya." Georgia tersenyum dan merangkul bahu Andrea, yang disambut anggukan kepala gadis itu.

"Ingin mencari pengalaman bekerja, mungkin akan mulai studi di tahun depan. Bisnis manajemen sepertinya cukup menjanjikan." jawab Andrea, dalam hati heran sendiri karena terdengar begitu yakin. Entah mengapa... rencana itu terasa mantap, terutama sejak sesi teleponnya dengan Adam.

"Keputusan yang bijak, Andrea." Brenda memujinya, kemudian beralih pada Lucas. "Bagaimana denganmu, Nak?"

Lucas menatap Brenda hangat, "Belum memutuskan. Bisa dibilang... aku ke sini untuk menjernihkan pikiran. Dan sekarang, setelah pikiranku jernih, aku ingin kembali aktif melukis dan... mungkin memulai bisnis dari sana dengan serius."

"Kau pelukis!" Brenda menatapnya dengan mata bersinar oleh antusiasme, "Suamiku juga melukis, beberapa kali pernah mengadakan pameran kecil-kecilan. Sungguh menyenangkan bila kau bisa menggeluti hal yang kausukai, asalkan tekun."

Andrea menatap Lucas, tertarik akan pengetahuan baru ini sekaligus kagus karena Lucas tampak begitu optimis dan bersemangat.

Mendekati waktu makan malam, Mr. Isler dan istrinya menyalakan api di dalam tungku batu bundar yang ada di halaman belakang, kemudian meletakkan besi panggangan di atasnya dan mulai mengeluarkan daging, sosis, paprika dan berbagai makanan pelengkap lainnya untuk dibakar. Salah satu pengusaha bir lokal--yang tempo hari pub-nya Andrea kunjungi bersama Sully--membawa berkrat-krat minuman untuk dinikmati secara gratis.

Pesta berlangsung dengan lambat dan menyenangkan hingga larut, apalagi dengan waktu tenggelam matahari yang lebih lama di musim panas, nyaris semua orang merasa masih belum ingin pulang. Menjelang pukul sepuluh malam, ketika langit akhirnya berubah warna sepenuhnya menjadi biru gelap dengan titik-titik bintang yang tersebar tak rata dan suhu udara sedikit menurun, tungku api di tengah pekarangan beralih fungsi menjadi api unggun. Para tamu yang duduk mengitarinya di kursi-kursi lipat sambil mengobrol dan bernyanyi.

Pada satu kesempatan, Lucas mengambil alih gitar dan mengiringi beberapa lagu yang dinyanyikan Georgia dan beberapa teman wanitanya, sebelum akhirnya bergabung dengan Andrea di pinggir kerumunan untuk menonton penyanyi berikutnya. Genre musik kemudian berubah dari pop menjadi rock lawas, lalu berubah menjadi Stevie Wonder, dan akhirnya menjadi musik folk. Semua orang berdiri dan bertepuk-tepuk mengikuti irama lagu yang lincah sambil tertawa-tawa. Beberapa pasangan suami-istri berdansa tradisional, berputar-putar dan menghentak-hentakkan kaki ke tanah.

"Kau seharusnya menyanyi juga. Suaramu kan bagus." seru Andrea kepada Lucas yang berdiri di sebelahnya, berusaha meningkahi suara musik yang keras. Gadis itu menurunkan kamera dari matanya setelah mengabadikan momen-momen kegembiraan yang tengah berlangsung di hadapan mereka.

Lucas nyengir dan menggeleng pelan. Lalu dia meletakkan gelas birnya yang sudah kosong di salah satu meja dan berkata, "Um, Andy... mau ke tempat Cedrus nggak?"

Senyuman Andrea memudar sedikit. Dia memperhatikan ekspresi Lucas yang agak sendu, dan langsung paham.

"Oke."

Setelah berpamitan dengan Georgia, keduanya berjalan dalam diam menuju kombi Lucas yang terparkir tak jauh dari rumah Mr. Isler. Kemudian mereka berkendara menuju Brierwood House yang kaca-kaca jendelanya nampak gelap.

Turun dari mobil, Lucas dan Andrea berjalan bersisi-sisian mengitari penginapan menuju hutan belakang. Andrea tak mampu mencegah perasaan ganjil namun menyenangkan yang menguasainya ketika tangan-tangan mereka bersentuhan ringan secara tak sengaja selama berjalan. Mereka tak saling bicara, namun entah mengapa, Andrea sama sekali tak merasa risih karenanya.

Ketika keduanya tiba di bukaan hutan dengan Cedrus yang berdiri kokoh di pusat, barulah Lucas memecah keheningan.

"Andy," dia memulai, "...aku... ingin minta maaf soal perkataanku kemarin. Aku sadar kita memiliki masalah yang mirip, tapi aku malah--"

"Sebentar." potong Andrea, "Aku juga mau bilang sesuatu."

Andrea berdiri di hadapan Lucas, matanya menatap mata biru milik cowok itu dengan serius.

"Luke, tentang apa yang kaukatakan soal kemungkinan bahwa kau akan memiliki perasaan istimewa terhadapku..." Andrea berhenti sejenak, "...kurasa... kurasa aku menginginkannya. Perasaanmu itu."

Nah, Andrea membatin lega, akhirnya sudah kukatakan.

Kemudian dia menambahkan.

"Kau nggak perlu minta maaf soal apapun, karena aku paham perasaanmu. Aku tahu ini aneh karena kita baru saling kenal kurang dari dua minggu... tapi aku menyukaimu, Lucas. Dan ini bukan seperti kupikir-aku-menyukaimu-demi-melupakan-masa-laluku. Ini terasa... signifikan dan sungguhan."

Lucas memandangi Andrea, tak mempercayai pendengarannya.

Andrea lagi-lagi menambahkan.

"Tapi tak peduli betapa besarnya keinginanku, kita sama-sama tahu bahwa kita butuh sedikit waktu untuk memproses semua ini."

Mata biru Lucas kini tampak agak berkaca-kaca. Akhirnya setelah terpana tanpa kata-kata akibat pengakuan Andrea, cowok itu mengangguk.

"Sejujurnya, seluruh emosi ini membuatku cukup kewalahan, Andy." ungkapnya, "Tetapi apa yang pernah kukatakan di hadapan Cedrus tentang dirimu, itu semua benar. Aku merasa... aku merasa kau adalah bagian dari kepingan yang hilang, yang akhirnya membuatku merasa masuk akal."

Ada sesuatu pada nada suara dan tatapan Lucas yang membuat Andrea yakin bahwa dia mengambil keputusan yang tepat. Dia telah memberi kesempatan pada orang yang tepat. Dan untuk pertama kalinya Andrea memiliki perasaan seperti ini. Dia teringat obrolannya dengan Sully, dan semakin yakin bahwa perasaan ini tak pernah timbul bahkan saat era Matthew Venturi.

"Jadi, bagaimana bila kita menentukan misi selanjutnya?" Andrea mengusulkan.

"Seperti apa?" tanya Lucas.

"Seperti... menata hidup masing-masing dan memastikan apa yang benar-benar kita inginkan."

Binar penuh harap terpancar dari sorot mata Lucas. Senyumannya perlahan terbit.

"Setuju." ujar Lucas, "Kayaknya kita ini memang ditakdirkan untuk terus menerus punya misi yang serupa."

Lagi-lagi senyuman itu. Yang lebar dan cerah. Yang membuat Andrea mati-matian berusaha menguasai diri. Sulit sekali saat ini rasanya menahan gejolak untuk menarik kerah baju cowok itu dan menciumnya. 

Konsisten, Andrea!

Tetapi Lucas kemudian menghancurkan tekad bulat Andrea ketika cowok itu mulai melangkah mendekat. Dan tahu-tahu, satu tangannya yang terasa dingin menggamit satu tangan milik Andrea. Lalu dia mulai berbicara dengan suara rendah dan agak goyah, seolah tengah berkutat menghadapi dilema yang sama.

"Sebagai tanda janji," Lucas menelan ludah, "...apakah... kita harus, um..."

Oh tidak... 

Lucas menempelkan dahinya di dahi Andrea. Andrea menghembuskan napas gugup, suaranya agak gemetar, "Lucas... ini kontradiktif."

"Aku tahu." bisiknya tersiksa, wajahnya dekat sekali.

Andrea mengamat-amati bibir Lucas, yang nampak begitu lembut dan menyita perhatian, "Sebagai tanda janji, kurasa kita memang harus melakukannya."

Mengetes air, tak ada salahnya bukan?

Satu tangan Lucas yang masih bebas sekarang menyusup di bawah telinga Andrea, "Oke... baguslah."

"Kaubilang tadi kau kewalahan." Andrea mengingatkan.

"Kau benar." gumam Lucas.

"Tapi kau... tidak keberatan sedikit lebih kewalahan?" Andrea semakin kehilangan fokus, ujung-ujung hidung mereka telah saling bersentuhan.

Lucas menjawab, lirih namun yakin. "Sama sekali tidak."

Saat itulah akhirnya Andrea menyerah dan membiarkan emosi menguasai dirinya. Dia menerima ciuman Lucas dengan sepenuh hati. Bibir Lucas terasa lembut dan hangat, sungguh sesuai dengan kesan yang Andrea dapat setelah mengenal cowok itu selama ini. Tangan-tangannya yang mulanya berada di pundak Lucas kini beralih melingkari leher cowok itu seiring dengan semakin dalam dan intensnya ciuman mereka. Lucas mendekapnya dengan sangat erat hingga rasanya sulit untuk bernapas. 

Ragam perasaan tercurah melalui momen itu; kecemasan dan keraguan, namun juga gairah dan harapan, dan sejuta emosi lain yang bercampur baur menjadi satu. Mau tak mau Andrea harus setuju dengan Lucas, ini memang sesuatu yang membuatnya kewalahan.

Ujung helaian rambut pirang ikal milik Lucas yang mengenai wajah Andrea menggelitiknya, membuat senyumannya terkembang lebar di tengah-tengah ciuman itu.

"...ada apa?" Lucas bertanya pelan ketika mendapati Andrea terkekeh. Napasnya agak terengah dan wajahnya merona hebat, sepasang mata biru langitnya menatap Andrea dengan perpaduan kekhawatiran dan keengganan akibat keharusannya menjauhkan wajah sejenak.

"Bukan apa-apa..." Andrea berbisik, juga kehabisan napas. Rasanya sangat sulit berkonsentrasi pada apapun selain bibir Lucas saat ini, "Ngomong-ngomong, kau sadar kan kita bersama Cedrus sedari tadi?"

Lucas mendongak ke arah pohon besar di hadapan mereka tanpa melepaskan pelukannya, "Ah... kaupikir dia tidak sedang tidur?"

Tepat saat itu, angin malam berhembus di sekitar mereka. Tanah berdesir, puncak-puncak pepohonan bergemerisik, dan dahan-dahan milik Cedrus terayun-ayun hingga dedaunan miliknya beterbangan jatuh menimpa kepala Andrea dan Lucas.

"Berarti masih bangun." simpul Lucas sementara Andrea tergelak, "Maafkan kami, Pak Tua!"

🌳

💙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top