12. Tanpa Batas

ADA perubahan yang cukup signifikan pada suhu di pagi itu, setelah hujan mendera hari sebelumnya dengan deras dan baru berhenti sekitar pukul tiga pagi.

Andrea harus meminjam sweater lengan panjang dan celana milik Lucas yang paling tebal ketika dia pulang ke pondok Georgia pada pagi hari karena udara begitu dingin. Semalam, dia menginap di Brierwood untuk memastikan cowok itu tidur dalam keadaan stabil dan kering setelah Andrea menyuruhnya mandi air panas. Dia baru meninggalkan penginapan pukul setengah enam tadi, dan ketika tiba di pondok Georgia, wanita itu langsung menginterogasinya.

"Dia baik-baik saja?" tanya Georgia pelan di dapur roti sementara Andrea memasuk-masukan mentega dan selai ke dalam keranjang untuk dibawa ke Bakery On The Water. Andrea meninggalkan pesan suara yang lumayan panjang untuk wanita itu tadi malam, meminta maaf dan menjelaskan keadaan Lucas. Karena itu Georgia sudah tahu garis besar yang terjadi dan mengapa Andrea harus meminjam mobilnya mendadak.

Andrea mengangguk, "Semalam agak terguncang, tapi sebelum dia tidur, dia tampak jauh lebih baik."

Georgia membelai lembut pipi Andrea, "Dan kau? Kau baik-baik saja, Sayang?"

Andrea nyaris menangis lagi menerima sikap hangat dan keibuan dari wanita itu. Dia tersenyum menenangkan, "Aku merasa baik, terima kasih."

Andrea baru kembali ke penginapan menjelang pukul sembilan, setelah berbelanja dan melakukan beberapa hal untuk Georgia. Wanita itu juga mengajak obrol Andrea mengenai beberapa hal penting yang ingin disampaikannya, yang agak menyita pikiran Andrea selama berkendara.

Ketika tiba di penginapan, Andrea menyapa Joe yang tengah bekerja di halaman depan dan memberikan roti untuknya. Kemudian dia menyisiri bagian dalam penginapan dan mendapati kamar Lucas sudah kosong. Cowok itu tidak ada di mana-mana.

Semoga dia di sana. Semoga dia di sana, batin Andrea sementara dirinya melintasi pekarangan belakang penginapan menuju hutan dengan perasaan cemas.

Betapa leganya Andrea ketika dia menemukan sosok Lucas berada di bawah Cedrus, tengah berdiri menghadap pohon itu. Kedua tangan cowok itu berada di dalam saku. Punggungnya membelakangi arah datang Andrea.

"...benar-benar hal yang sulit dipercaya..."

Andrea menghentikan langkahnya.  Mengapa dia selalu memergoki cowok itu ketika sedang dalam sesi mengobrol?

"...dan aku nggak tahu bagaimana menjabarkannya dengan lebih baik..." Lucas terkekeh pelan kepada Cedrus, "...aku nggak punya optimisme yang besar ketika pertama kali aku menginjakkan kaki di Inggris. Hidupku nggak jelas. Otakku seolah buntu. Hatiku berantakan. Aku nggak mengira menghabiskan waktu di penginapan salah satu kawasan paling ramai turis akan menyelesaikan masalahku. Kenyataannya, Brierwood House sempurna, dan kau teman curhat yang asyik."

Andrea melangkah menyamping sepelan mungkin, ke balik salah satu batang pohon yang dapat menutupi dirinya. Dia merasa bersalah karena tidak segera berbalik dan meninggalkan Lucas demi menjaga privasinya, tetapi Andrea tak bisa menahan keinginan untuk mendengarkan lebih jauh isi pikiran cowok itu.

Kalau boleh jujur, frekuensi kemunculan cowok itu dalam benaknya semakin sering belakangan ini. Apalagi sejak semalam.

"Lalu aku bertemu Georgia. Dan Andrea. Dan Joe. Dan terlibat dengan mereka. Toko roti. Membuat website. Strategi menggulingkan Sawfitz..."

Andrea mengulum senyum.

"...terutama Andrea."

Senyuman Andrea memudar. Dia tak berani bergerak maupun bernapas.

"Situasi kami benar-benar mirip, tetapi aku versi kacau, sementara dia versi yang cool. Entahlah, dia mungkin memiliki sejuta masalah lain yang rumit, tapi dia... dia benar-benar luar biasa. Kami tidak hanya saling mengasihani, kami saling membantu. Dan entah sejak kapan, aku merasa setiap kali berbicara dengannya, rasanya semuanya mengalir saja dengan begitu natural. Kayak... kami sudah mengenal satu sama lain sejak lahir dan nyaris tidak ada pembatas."

Lucas tidak langsung meneruskan. Cowok itu mengambil jeda untuk menundukkan kepala pirangnya dan menggeleng-geleng seraya terkekeh pelan, seolah takjub.

"Menyadari bahwa bertemu dengannya adalah bagian dari kisahku di tempat ini benar-benar terasa seperti kepingan puzzle yang vital, ngerti maksudku?"

Angin dingin berhembus di sekitar pepohonan. Lucas mendongak menatap puncak Cedrus yang bergoyang-goyang lembut. Cowok itu menghela napas panjang, terdengar lega.

"Seperti bertemu seseorang yang membuatku merasa bahwa hal-hal aneh dan berlainan yang menyusun diriku menjadi... masuk akal. Seseorang yang membuatku akhirnya merasa masuk akal."

Perlahan dan berusaha tak membuat suara sekecil apapun, Andrea berbalik dan beranjak dari tempat itu.

Andrea melangkah menjauh seraya menggigit bibirnya. Perasaannya campur aduk. Jantungnya bertalu-talu.

Dia tersanjung akan kesan Lucas terhadapnya.

Di lain pihak, dia panik.

Dia panik karena rasanya... dia paham maksud Lucas soal seseorang yang membuatnya akhirnya merasa masuk akal.

🌳

Lucas menelengkan kepala ke satu sisi.

"Apa sesuatu terjadi?"

Pertanyaan itu dilontarkan Lucas dengan kasual dari seberang kitchen island di penginapan tak lama setelahnya. Andrea mendongak dari monitor kameranya dan mengerjap.

"Apanya?"

Lucas mengangkat bahu, "Itu yang sedang coba kutanyakan padamu."

Andrea tidak menjawab. Sejujurnya, perkataan Lucas yang dicuri dengar Andrea di hadapan Cedrus terus membayanginya. Membuatnya agak kikuk saat bersama dengan cowok pirang itu. Mata biru pucatnya seolah menembus ke dalam isi kepala Andrea, membuatnya bertanya-tanya apakah Sully kini memiliki saingan dalam predikat 'cowok paling peka'.

Ataukah wajahku segitu mudahnya dibaca?

Andrea memutuskan mengabaikan pertanyaan dari cowok itu dan mengamati Lucas. Sampai barusan saja, mereka berdua sedang memilah dan merevisi hasil foto yang sudah diambil Andrea untuk website mereka, sekaligus mengedit beberapa foto yang telah terpilih. Lucas juga sudah menelepon Georgia barusan, meminta maaf karena tidak hadir rapat kemarin, dan kini dia bersikeras menyelesaikan tugasnya demi membayar ketidakhadirannya.

Tanpa sadar, Andrea tersenyum kecil.

"Kenapa sih?" Lucas lagi-lagi bertanya, memandangi Andrea penasaran.

"Rasanya tidak biasa melihatmu bekerja dengan laptop." komentar Andrea, berusaha mengalihkan topik darinya. Kemudian saat melihat tampang Lucas yang agak tak terima, dia menambahkan, "Oke-oke, aku tahu kau yang membantuku berkutat dengan penyedot debu waktu itu. Tapi tetap saja, setelah melihatmu ngobrol dengan Cedrus..."

"Berhenti menganggapku sejenis manusia gua." kekeh Lucas.

"Hanya saja... kau bahkan nggak punya Instagram."

"Lantas kenapa?"

Joe--yang masuk sebentar untuk mengambil kopi di konter dan tak sengaja mendengarkan percakapan keduanya--menertawai mereka.

"Kadang-kadang aku juga ngobrol dengan wisteria-ku, Andy." komentarnya sambil menyeruput kopi.

Andrea sungguh meragukan level obrolan yang dimaksud Joe sama dengan yang dilakukan Lucas. Masalahnya, pria itu tidak tahu menahu soal 'terapi pohon' Lucas.

"Untuk kasusku, Joe, ngobrol dengan tumbuh-tumbuhan itu hal yang lumrah." timpal Lucas, sepasang mata birunya masih tertuju pada Andrea.

"Dia jenius seni, penyuka alam, dan mahir teknologi. Kupikir agak tidak adil saja." Andrea berujar sambil mengalihkan fokusnya kembali pada kamera di tangannya, lagi-lagi merasa risih dengan tatapan Lucas.

"Belum sampai ke tahap bisa meretas media sosial orang lain, kok. Jangan khawatir." ujar Lucas, "Pelanggaran privasi, tapi pasti mengasyikkan."

Andrea menelan ludah. Pelanggaran privasi.

"Kenapa tiba-tiba diam?" todong Lucas.

"Memangnya aku harus terus bicara?" tangkis Andrea.

"Kalian kedengaran seperti pasangan suami-istri tua." komentar Joe lagi, membuat mata Andrea membulat syok.

'Kayak... kami sudah mengenal satu sama lain sejak lahir dan nyaris tidak ada pembatas.'

"Aku juga merasa begitu." Lucas setuju, "Seolah pada tahap ini aku bisa cerita apa saja dengan Andy tanpa batasan apapun."

Joe terbahak dan berterima kasih untuk kopi yang disiapkan Andrea dan berlalu keluar penginapan. Andrea memutuskan mengubah pembicaraan demi kesehatan jantungnya.

"Ngomong-ngomong... bagaimana keadaanmu?" tanya Andrea pelan.

Lucas menutup laptopnya, "Jauh lebih baik setelah minum cokelat panas darimu semalam."

Andrea menatapnya, "Aku serius."

"Aku juga serius." Lucas berujar, "Terima kasih, Andy. Telah meladeni rengekanku semalam dan telah memberi tamparan yang pantas untukku."

Keheningan meliputi dapur penginapan. Lucas memainkan ujung serbetnya, tampak sedikit gugup.

"Kau yang bicara soal aku yang harus berusaha." akhirnya Lucas memecah kesunyian, "Semua orang berusaha. Dan aku hanya berkutat di genangan kemuraman, menganggap aku pusat dari tata surya. Kan bukan begitu cara kerjanya. Dan kau menyadarkanku soal itu semalam. 

Lucas lalu mendongak membalas tatapan Andrea. Garis-garis wajah cowok itu tampak melembut, membuatnya terlihat jauh lebih rileks.

"Jadi, sekali lagi, terima kasih." katanya, tersenyum.

Andrea mengamat-amati Lucas sebentar.

"Luke, mau jalan-jalan bersamaku?" celetuk Andrea.

Sepasang mata Lucas membulat cerah, senyumannya mengembang semakin lebar. "Tentu! Ke mana? Kau sudah tidak ada kerjaan setelah ini?"

Andrea mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan beberapa foto dan sebuah map, "Kemarin ini masuk ke dalam topik rapat. Ada pemilik penginapan yang menyediakan paket menginap dan pemandu untuk tur menyusuri hutan ini. Georgia mendesakku untuk paling tidak sekali melakukannya selama di sini. Mungkin sekalian mengambil beberapa foto. Katanya di sana indah."

Dan kali ini, Andrea membiarkan Lucas mengendarai skuternya menuju tujuan misterius mereka. Hutan yang direkomendasikan Georgia sebetulnya berada di luar Cotswolds, karena itu perjalanannya cukup jauh. Setelah kurang lebih tiga puluh menit berkendara dan mengikuti GPS, mereka tiba di  sebuah bukaan jalur setapak untuk pejalan kaki yang mengarah ke sebuah padang rumput dan berujung pada wilayah hutan yang rimbun di kejauhan. Pada pagar batunya, terdapat papan nama kayu yang dipahatkan huruf-huruf membentuk nama Hutan Lineover.

Setelah memarkir skuter, keduanya meninggalkan padang rumput berbukit yang terbuka dan memasuki area hutan. Andrea merasakan suhu udara semakin turun, dan dia dapat mencium aroma tanah basah yang amat disukainya. Berdasarkan penjelasan yang didengarnya saat rapat kemarin, Hutan Lineover termasuk dalam golongan hutan yang tua, ditandai pepohonannya yang berbatang besar maupun tanah dan bebatuan berlapis lumut daun. Andrea bersyukur dia memakai boots anti airnya.

"Kita bahkan nggak bisa lagi mendengar suara lalu lalang kendaraan, padahal kita belum masuk terlalu jauh." Lucas membuka suara setelah keduanya berjalan selama beberapa menit mengikuti setapak di tanah. Sebaran titik-titik cahaya matahari yang menembus puncak-puncak pepohonan menimpa rambut pirangnya dengan cahaya lembut, "Tempat ini benar-benar ajaib."

"Kau benar." Andrea terlalu sibuk menikmati pemandangan di sekelilingnya. Pohon-pohon besar dan tua dengan dahan-dahan tebal yang meliuk-liuk indah, puncak rimbun dan melebar yang menaungi mereka seperti kanopi, setapak yang sempit namun cantik yang sesekali membelok dan memutar mengikuti bentuk bebatuan maupun kontur tanah yang tidak rata, suara-suara burung dan serangga-serangga musim panas yang mengisi keheningan, suara aliran air misterius yang membuat mereka menerka-nerka dari mana sumbernya.

Mereka berjalan menyusuri setapak selama hampir satu jam, yang sama sekali tidak terasa melelahkan karena keduanya sesekali berhenti untuk menikmati pemandangan maupun mengagumi bentuk tanaman yang belum pernah mereka lihat sebelumnya...

...hingga Andrea terhenti. Matanya menangkap sesuatu yang tertimpa cahaya matahari, di balik kerapatan semak-semak dan pepohonan.

"Apa kau melihat itu?" Andrea berseru pada Lucas yang beberapa meter di depannya.

Lucas kembali dan mengikuti arah telunjuk Andrea. Keduanya memutuskan keluar dari jalur setapak dan mendekati batas pepohonan itu.

"Tampak seperti..." suara Lucas terdengar antusias.

"Aku tahu." Andrea menimpali bersemangat.

Keduanya saling berpandangan dan tersenyum, lalu merunduk dan mulai menerobos semak-semak.

"Rasanya seperti berusaha memasuki Narnia." komentar Lucas bersemangat sembari mengikuti Andrea menerobos semak belukar. Andrea tertawa.

Tak berapa lama mencoba berkelit dari ranting-ranting pohon dan dedaunan yang lebat--untunglah tidak ada jelatang liar yang dapat membuat kulit gatal--mereka dihadang oleh pemandangan yang sama sekali di luar dugaan.

Ada bukaan kecil di tengah-tengah segala keruwetan itu, yang tanahnya terkubur sepenuhnya oleh rontokan daun lembab dan blok-blok bebatuan besar berwarna gelap. Dan di pusat bukaan itu, terdapat apa yang kelihatannya seperti tangga batu yang dulunya merupakan bagian dari sebuah bangunan yang hancur dimakan usia.

"Ini keren sekali." Lucas berjalan mendahului Andrea mengitari sisa-sisa runtuhan bangunan itu. Dia tiba di tangga dan menaikinya, lalu duduk di sana. Tangga itu tampak ganjil, mencuat, dan tak utuh, kelihatannya merupakan satu-satunya yang tersisa dari apapun bangunan yang sejatinya dulu pernah ada. Akar-akar ivy merambati berbagai sisi-sisinya dengan liar.

"Lihat." Lucas memungut bungkus rokok yang ditemukannya di dekat kakinya, "Sayangnya bukan cuma kita yang tahu tempat keren ini ada."

"Ada belulang binatang kecil juga di sebelah sana." tambah Andrea, ikut menaiki tangga batu itu dan duduk di sebelah Lucas.

"Perbuatan Sir Fergus?" tebak Lucas.

"Mungkin tidak..."

"Menurutmu Sir Fergus tidak tahu tempat ini?"

"Tempat ini terlalu rendah dan mudah dijangkau pemangsa lain."

Lucas nyengir setuju, "Kau benar. Dia terlalu cerdas dan bijak untuk berburu di tempat ini."

Melihat cengiran itu, Andrea merasa otaknya mendadak macet.

'...dia benar-benar luar biasa.'

'...kepingan puzzle yang vital...'

"Andy?" Lucas menyejajarkan matanya dengan mata Andrea.

Andrea mengerjap lagi. Berpikir, Andrea! Berpikir! "Uh..."

Tiba-tiba, dering ponsel mengusik keheningan. Dalam hati, Andrea lega setengah mati karena dia memiliki sesuatu untuk dilakukan untuk menghindari tatapan Lucas. Tetapi kelegaan itu menguap ketika dia melihat nama yang tertera di layar ponselnya.

Adam.

Lucas jelas menangkap nama itu. Tapi dia tidak berkomentar.

Andrea menghela napas. Dia teringat kata-kata Georgia padanya. 

Janji untuk berusaha bersama-sama?

Akhirnya dia mengangkat telepon.

"Hei."

"Hei." suara Adam di seberang terdengar lega, "Syukurlah."

Andrea merapatkan bibirnya, "Sesuatu terjadi?"

"Tidak... hanya saja, ayah terlalu pengecut untuk meneleponmu dan menanyakan kabar. Jadi aku mengambil alih."

Tentu.

"Bukan soal uang bulanan?"

"Apa?" Adam tampak kaget karena Andrea belum pernah bersikap seterus terang ini, "Bukan... um, bukan."

"Oh. Oke."

Hening.

"Um... sebetulnya, ada yang kepingin kusampaikan." Andrea memutuskan untuk mengatakannya.

"Yeah?"

Andrea menarik napas. Sekarang atau tidak sama sekali.

"Aku akan kembali ke Portland setelah musim panas berakhir untuk mengurus kepindahan."

"Kau... kau akan pindah?"

"Ke Cotswolds. Ya. Georgia Brierwood menawariku posisi tetap untuk menjadi asistennya pagi ini. Karena, um... aku mengumpulkan biaya untuk ikut seleksi universitas dan mengambil jurusan manajemen di tahun depan."

"Ku sudah memutuskan?" 

"Mm..." Andrea bergumam mengiyakan, "Dan mungkin setelah lulus, aku akan menyewa apartemen di sini untuk mengurus penginapan."

Sunyi cukup lama setelah Andrea menumpahkan rencana masa depannya kepada abangnya. Adam tampaknya masih berusaha mencerna berita mengejutkan ini.

"Wah. Uh... wow. Oke. Hebat." komentar Adam ragu-ragu.

"Entahlah... ini masih impian belaka. Tetapi aku mempertimbangkan untuk mencari rumah sederhana dengan banyak kamar. Mungkin di daerah pinggiran yang harga propertinya jauh lebih rendah. Atau di manapun yang murah. Jika... um, jika sewaktu-waktu kalian ingin tinggal bersamaku."

Andrea dapat merasakan Adam semakin kesulitan mencerna berita ini karena dia tak kunjung menyahut.

"M-Maksudmu kau ingin kami tinggal denganmu di masa depan?"

"Masih berupa angan-angan, tetapi... yeah. Kau benar."

"Aku, uh... aku nggak tahu harus bilang apa."

"Bantu aku untuk memberitahu Mom dan Dad. Ini hanya berandai-andai. Dan kita masih bisa membicarakannya lebih jauh setelah aku kembali ke Portland nanti."

"Andy..." ucap Adam akhirnya, "Aku pikir, aku menyukai idemu."

"Bagus."

"Dan... mungkin aku akan berusaha berkontribusi."

Andrea terkesiap.

"Apa?"

"Aku... menemukan kerjaan. Bar milik Jameson beberapa blok dari rumah sedang butuh karyawan untuk menggantikan staf lama yang berhenti karena hamil. Tidak banyak, saat ini cukup untuk kebutuhanku sendiri dan membayar beberapa tagihan. Tetapi aku bisa mengambil beberapa sambilan dalam seminggu dan berusaha hingga um, hingga aku bisa berkontribusi sepenuhnya. Membantumu. Itu salah satu alasan aku meneleponmu."

Andrea merasakan napasnya tercekat.

"Seperti yang kaubilang. Kita akan membicarakannya lagi sepulangnya kau dari sana."

Andrea berupaya agar suaranya tetap terdengar stabil, "A-aku tahu."

"Yeah." Adam menggumam, "Jadi... sampai nanti. Kami menunggumu."

"Oke. Bye."

"Bye."

Sambungan ditutup.

Andrea memandangi layar ponselnya, masih tidak mempercayai bahwa percakapan barusan terjadi antara dirinya dan Adam. Bahkan terdengar cukup lancar dan natural.

Andrea baru menyadari tatapan yang terarah dari Lucas. Cowok itu menyaksikan seluruh percakapannya dengan Adam, yang mungkin terdengar aneh, karena Lucas tidak paham hubungannya yang canggung dengan Adam.

Tetapi Andrea lega karena Lucas tidak mengajukan pertanyaan apapun. Dia hanya mengamati Andrea dengan senyuman kecil di sudut bibirnya.

"Jadi... kau akan tinggal di sini sepanjang musim panas." dia akhirnya memecah keheningan.

"Um... yeah." Andrea menghapus air mata di sudut matanya dengan cepat, "Rencananya begitu."

"Itu berarti masih tersisa dua hari bagiku untuk bertemu denganmu."

Informasi itu seolah menghujam Andrea.

"Kau akan pulang ke Amerika besok lusa." Andrea teringat.

Lucas terkekeh pelan, "Ibuku kembali dari Tuscany besok. Tak bisa membuatnya khawatir berlebihan denganku yang berada terlalu jauh. Juga harus kembali ke sesi terapi konservatifku."

"Cedrus akan merindukanmu."

"Aku tahu."

Keduanya terdiam selama beberapa saat.

"Apakah kau sudah siap?" Andrea menolehkan wajahnya membalas tatapan Lucas di sebelahnya, "Kembali ke Redville dan menghadapi... Trista Frauss?"

Lucas mengulum senyum, "Kupikir kau tidak hapal nama 'cewek sialan' itu."

Andrea teringat perkataan marah-marahnya semalam kepada Lucas di tengah hujan. Dia memalingkan wajahnya karena pipinya menghangat, "Bagaimana mungkin bisa melupakan nama cewek yang sudah membuatmu bersusah hati hingga menjalani terapi?"

Andrea masih dapat merasakan tatapan Lucas yang intens tertuju padanya.

"Kau mau aku bersikap jujur padanya soal terapiku?"

Andrea mengernyit, "Kau bisa mengatakan apapun yang kau mau kepadanya. Malah, aku lebih suka kau melabraknya dan mengatakan betapa kau menderita karena dia mencampakkanmu. Ah, tapi itu akan membuatmu kedengaran seperti kau nggak akan pernah bisa melupakannya. Kuralat, katakan apapun selain itu."

"Dimengerti."

Lalu Lucas mengeluarkan ponselnya.

"Whoa, kau serius?" Andrea memandangi Lucas takjub.

Satu tangan Lucas tahu-tahu menggamit tangan Andrea. Cengirannya terbit lagi.

"Untuk sumber kekuatan."

Kemudian, dia menekan-nekan layar ponselnya dan menempelkannya ke telinga.

Kemudian Andrea dapat mendengar telepon diangkat pada dering keempat. Lucas menekan tombol speaker.

"Luke!" suara riang seorang gadis terdengar dari seberang.

"Hei, Trissy."

"Apa kabarmu?! Kudengar dari Vivi kau berlibur ke Inggris?"

Kalau boleh jujur, dari nada bicaranya, Andrea mendapat kesan bahwa Trista Frauss merupakan cewek yang menyenangkan.

"Masih begini-begini saja." sahut Lucas, "Bagaimana kabarmu?"

"Aku baik. Sedih kau nggak bisa kumpul dengan kami di upacara kelulusan..."

"Bagaimana kabar Cliff?"

"Dia baik. Berhenti tanya-tanya soal kami dan ceritakan liburanmu di sana!"

Kemudian Andrea mendengarkan Lucas menceritakan garis besar liburannya di Cotswolds. Andrea dengan pahit mengakui bahwa nada bicara cowok itu sedikit melembut, agak mirip dengan ketika Sully berbicara dengan Kylie. Kemudian Lucas ganti mendengarkan Trista berbicara soal Redville dan kegiatannya di kampus baru.

"Jadi... terima kasih banyak Tris, sudah mendengarkan ceracauku." kata Lucas.

"Pssh. Kayaknya aku yang lebih banyak nyerocos. Lagipula kau bisa nyerocos sebanyak apapun kapanpun kau mau. Dan Luke... apa kau bersedia hadir dengan Vivi di makan malam pertunanganku bulan depan?"

Lucas menggigit bibirnya. Genggaman tangannya di tangan Andrea semakin erat. Andrea balas meremasnya.

"Selamat atas pertunangan kalian. Dan ya, kuusahakan untuk hadir." jawab Lucas.

"Terima kasih, Luke. Kau tahu itu berarti banyak untukku."

"Sama-sama. Jadi, bye... Trissy."

"Bye, Luke. Terima kasih sudah menghubungiku."

Percakapan keduanya berakhir dengan mulus dan terasa kasual. Bagi orang lain, mungkin percakapan itu hanya terdengar seperti percakapan normal antara dua sahabat yang sudah lama tak bertemu. Tetapi Andrea tahu semua itu mengandung makna yang lebih dalam.

Ketika Lucas memutus sambungan, dia menghela napas panjang sekali.

"Kupikir akhirnya aku siap untuk menjual kombi kuning kesayanganku sepulangnya aku ke Amerika." putusnya mendadak.

"Apa?" Andrea memprotes, "Kenapa melepaskan sesuatu yang kausukai?"

"Terlalu banyak memori yang tertinggal." gumamnya pahit, "Ditambah, lukisan atapnya sudah hancur lebur, jadi sia-sia saja berusaha mempertahankannya."

Andrea memandangi cowok itu, "Tadi kau luar biasa tenang."

"Benarkah? Rasanya aneh. Aku nggak akan sanggup melakukan percakapan tadi bila aku sendirian." Lucas menyimpan ponselnya ke dalam saku.

Andrea tersenyum lebar, "Kau hebat kok."

Bagi Andrea, mendengarkan percakapan telepon Lucas dengan Trista barusan rasanya hampir-hampir memalukan, seperti menyelinap ke dalam ranah pribadi Lucas, walaupun cowok itu mengizinkannya. Sementara itu, Lucas masih belum melepaskan genggamannya dari tangan Andrea. Dia menatap tangan-tangan mereka yang saling terpaut, kini dia malah memainkan jemari Andrea.

Karena itu, Andrea memberanikan diri untuk membuka suara.

"Um, Lucas... sebetulnya aku ingin mengakui sesuatu."

Lucas akhirnya mengangkat pandangannya dari tangan Andrea, "Hm?"

"Pagi ini... aku sempat menyusulmu ke hutan... dan aku tak sengaja... um... mendengar percakapanmu dengan Cedrus."

Andrea menghembuskan napas dan mulai menumpahkan semuanya.

"Sebelum kau bilang apa-apa, aku ingin menjelaskan bahwa aku mencari-carimu karena cemas soal semalam. Syukurlah aku menemukanmu baik-baik saja, tapi aku merasa benar-benar tak menghormati privasimu. Hal yang mirip terjadi padaku di masa lalu, dengan aku di posisimu... dan sulit untuk pulih dari trauma itu. Makanya... aku ingin jujur padamu dan kuharap kau nggak membenciku karenanya."

Lucas mendengarkan Andrea dalam diam. Mata biru langit itu saat ini begitu sulit untuk diterka.

"Bila aku membahas soal apa yang kubicarakan dengan Cedrus tadi pagi, kali ini denganmu secara langsung, apa kau keberatan?" Lucas bertanya.

Di satu sisi, Andrea merasa lega karena Lucas tidak marah soal dirinya yang mencuri dengar percakapannya dengan Cedrus. Di sisi lain, Andrea merasakan gelitik di dasar perutnya sebagai reaksi dari perkataan cowok itu. Dia jelas tidak mengantisipasi hal ini. Rasa penasaran dan kepanikan bercampur baur menjadi satu.

"Aku mendengarkan." ujar Andrea, memantapkan hati.

Lucas mengelus buku-buku jari Andrea perlahan.

"Sejak pelukan kita di teras sepulangnya dari kegiatan melukis waktu itu... aku selalu memikirkannya. Kemungkinan besar bahwa aku akan punya perasaan istimewa terhadapmu."

Oh Tuhan.

"Dan aku cukup yakin ini adalah sesuatu yang dalam dan serius." Lucas terkekeh gugup, "Tapi aku sadar betul kita tengah berjuang menghadapi misi-misi kita... dan aku tak tahu berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk menyelesaikannya. Jadi awalnya aku mau diam saja. Tetapi jika aku diam saja..."

Lucas menggigit bibirnya. Kemudian dia mendongak menatap Andrea, nyaris nelangsa, sebelum kembali berujar.

"Aku, uh... aku bertanya-tanya, Andy. Apakah ada secuil kemungkinan bahwa kau akan mempertimbangkan untuk menjalin hubungan denganku di masa depan?"

🌳

*Andrea memasuki mode panik*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top