11. Hari Abu-Abu

HUJAN turun tanpa henti sejak dini hari.

Andrea tidak mengantar sarapan ke Brierwood pagi itu karena pertemuan untuk membahas konten website kembali diadakan. Lucas juga telah diberitahu kemarin, namun saat ini dia tidak hadir. Dia tidak dapat dihubungi. Ponselnya tidak aktif, dan chat yang Andrea kirimkan kepada cowok itu juga tidak dibaca.

"Apa dia sakit?" bisik Georgia sementara mereka tengah rapat daring dengan Mike.

"Aku tak tahu." Andrea mengantongi ponselnya.

Bahkan hingga rapat selesai, hujan masih turun dengan derasnya. Langit berwarna abu-abu yang membawa kemuraman di udara. Para pejalan kaki berjalan cepat-cepat di bawah mantel atau payung-payung yang terbuka, sesekali menghindari genangan pada trotoar.

Georgia pastilah dapat melihat ketidaktenangan di wajah Andrea sementara mereka berkendara pulang dalam mobilnya, karena wanita itu kemudian berujar.

"Kau kan bisa tetap ke penginapan walaupun aku memberimu cuti hari ini."

Andrea terdiam sejenak.

"Entahlah. Mungkin dia sedang tak ingin diganggu." sahutnya akhirnya. Georgia tidak tahu bahwa Lucas tengah menjalani terapi. Andrea punya perasaan bahwa mungkin saja cowok itu sedang mencurahkan segala perhatiannya demi menyelesaikan lukisan atap mobil itu. Atau mungkin sedang butuh hari tanpa kehadiran Andrea maupun hal yang menyita waktu seperti rapat website.

Walaupun mau tak mau Andrea harus mengakui dirinya agak kecewa.

"Apa kau yakin?" Georgia bertanya.

Dia tersenyum simpul dan mengangguk.

"Baiklah." Georgia menghela napas.

Dering ponsel memecah kesunyian. Andrea mengeluarkan ponselnya dengan buru-buru, mengira itu panggilan dari Lucas. Namun yang tertera di layar bukanlah nama Lucas.

"Kau tidak mau mengangkatnya?" Georgia meliriknya sementara Andrea mengaktifkan mode sunyi dan kembali memasukkan ponsel ke dalam sakunya.

"Tidak."

Keduanya melanjutkan perjalanan dalam diam. Andrea berusaha menyingkirkan pikiran soal telepon yang diabaikannya barusan, namun dia menangkap pemandangan di luar jendela yang membuat hal-hal itu kembali berkecamuk di benaknya.

Dua orang turis; seorang remaja laki-laki--mungkin masih duduk di bangku SMA--tengah berjalan bersisi-sisian dengan perempuan yang kelihatannya beberapa tahun lebih muda. Dalam sekali lihat, Andrea tahu bahwa keduanya merupakan kakak beradik yang sangat akrab. Mereka mengobrol dan menertawai sesuatu dengan rileks.

Andrea memusatkan fokusnya kembali ke jalan raya, mendengkus pelan.

Andai saja.

Itu adalah pemandangan yang biasa saja. Sederhana, sebetulnya. Kakak beradik yang mengobrol akrab, kelihatan nyaman satu sama lain. Tampak ideal.

Betapa jengkelnya Andrea mendapati dirinya lagi-lagi ditohok oleh perasaan dengki yang pahit dan tak berguna itu. Karena tak ada yang ideal dari hubungannya dengan Adam.

Adam Jacobson tak kekurangan suatu apapun secara fisik. Dia juga berambut tembaga, seperti Andrea, tinggi, dan lumayan punya tampang.

Namun tak ada yang bisa memaksa Adam.

Adam tidak bisa dipaksa untuk melakukan sesuatu. Termasuk menyelesaikan studinya di universitas, meninggalkan dirinya berstatus sebagai lulusan SMA yang tentu saja menyulitkannya untuk mencari pekerjaan yang 'layak'. Atau mencari tempat tinggal sendiri dan keluar dari rumah orangtuanya seperti yang umumnya dilakukan pemuda seusianya.

Andrea jarang menyinggung soal kakaknya ketika sedang mengobrol dengan teman-temannya, karena dia tidak mau pertanyaan-pertanyaan lanjutan bermunculan. Mengapa dia tidak lulus kuliah? Apakah dia bisa menemukan pekerjaan yang layak dengan statusnya saat ini? Apakah ada perempuan yang akan mau menikah dengannya? Apa yang akan dilakukannya di masa depan? Mengapa dia masih tinggal dengan orangtuamu? Apa orangtuamu memanjakannya terlalu berlebihan? Mengapa kau jarang membicarakannya? Apakah kau dekat dengannya? Apa kau malu?

Sebuah pertemuan keluarga pernah diadakan di rumah keluarga Jacobson suatu hari, dan Adam--seperti kebiasaannya--memutuskan untuk mendekam dalam kamar tidurnya, meninggalkan Andrea dengan komentar-komentar kerabat yang membuatnya hatinya serasa terkoyak.

Mau jadi apa laki-laki itu nantinya, Andrea? Sampai kapan kakakmu akan terus begitu?

Di satu sisi, Andrea kesal setengah mati dan tak rela mendengarkan komentar merendahkan yang dilontarkan salah seorang pamannya. Di sisi lain, Andrea tahu bahwa itu benar.

Andrea menyayangi kakaknya, dan Andrea pun menduga demikian sebaliknya. Tetapi status Adam sebagai pemuda dewasa saat ini, dan interaksi mereka yang kaku, membentengi istilah ideal yang ingin sekali Andrea sematkan dalam hubungan mereka. Akan lebih baik seorang yang bengal namun dapat diandalkan, atau yang kelewat menyebalkan namun bukan pengecut. Namun Adam berujung menjadi sosok kakak yang... tidak ingin Andrea jelaskan kepada orang lain.

Andrea sadar betul bahwa dia tidak bisa mengharapkan sosok yang seratus persen ideal. Tetapi tetap saja. Andai saja.

Atas dasar pemikiran ini, Andrea menekan tombol 'tolak' ketika ponselnya berdering dan layarnya menampilkan nama Adam. Namun rasanya, dia tidak ingin menjelaskannya kepada Georgia.

"Georgia... apa kau punya saudara?"

Wanita itu mengangkat alisnya mendapati pertanyaan tiba-tiba dari Andrea. Dia mengamati ekspresi Andrea sejenak dan tampaknya segera membaca situasi.

Dia lalu menjawab.

"Punya. Satu kakak laki-laki. Tinggal di Texas dengan keluarga kecilnya yang sempurna." sahut wanita itu.

"Apa kau menyayanginya?"

"Sangat." Georgia menjawab tanpa berpikir, yang membuat hati Andrea tersengat nyeri, "Dan membencinya pada saat yang bersamaan."

Andrea menolehkan kepalanya kepada wanita itu, sedikit kaget. "Kenapa?"

"Dia... tidak seperti kebanyakan pria seusianya."

Georgia melirik spionnya sebelum membelok di salah satu tikungan. Hujan masih mengguyur kaca mobil dan wiper bekerja dengan tempo yang cepat. Wanita itu meneruskan, "Dia adalah pria yang pintar. Punya banyak teman. Logis, suka olahraga, juga artistik. Lulus dengan skor membanggakan dari SMA-nya. Dia berhasil masuk dalam salah satu universitas terkemuka dengan jalur beasiswa dan berangkat ke sana... namun di tengah-tengah libur musim panas di semester keduanya, dia memberitahu kami bahwa dia ingin berhenti kuliah, membuat semua orang syok berat.

"Dia bilang... belajar di kelas membuatnya nyaris gila, dan ide di mana setelah lulus dia harus bekerja di perusahaan dan berada di balik meja kerja membuatnya ketakutan. Dia bilang dia ingin melakukan hal yang membuatnya bisa kembali bernapas. Bekerja di lapangan. Menjadi penjaga pantai. Pelatih bola voli. Mengajar gitar untuk anak-anak. Apapun selain terjebak di balik meja dan merasa tercekik sepanjang sisa hidupnya.

"Saat itu, kedua orangtua kami mengamuk. Ayahku bilang dia telah menyia-nyiakan hidupnya dan ibuku tak berhenti menangis, menyesali ketidakmampuannya untuk mendeteksi kondisi mental adikku selama ini. Adikku bersikeras dia tidak butuh pergi ke psikiater. Dia bilang dia tahu apa yang dia inginkan dan dia hanya meminta kami untuk memahami itu. Tak lama kemudian, dia benar-benar berhenti dari universitas dan pindah dari Inggris ke Amerika."

Georgia tersenyum kering sebelum meneruskan, "Bertahun-tahun kami putus hubungan dengannya. Orangtuaku mencurahkan seluruh fokus mereka padaku. Mungkin berdoa agar aku tidak mengikuti jejak kakakku. Tapi kemudian kakakku datang ke rumah sakit pada hari ketika Gregory lahir, membawa istri dan dua orang anaknya yang masih balita. Saat itu aku bekerja di salah satu hotel sebagai asisten manajer dengan gaji yang lumayan. Kakakku bercerita dia menjadi 'ayah rumah tangga' sekarang, sementara istrinya bekerja di salah satu yayasan yang bergerak untuk mendukung para veteran perang di masa pensiun mereka. Dan melihat wajah cerah milik kakakku di rumah sakit selama dia menceritakan semua itu, aku sadar bahwa aku membencinya."

"Karena kau baru sadar bahwa dia menjalani hidup yang dia inginkan, sementara kau tidak?" ujar Andrea. Mereka tengah berhenti untuk memberi jalan orang-orang yang menyeberang.

"Aku terikat dengan bayiku. Dengan suamiku. Dengan pekerjaanku. Dan... saat itu aku tidak merasa bahagia, Andrea." Georgia berkata, suaranya bergetar. "Mungkin sebagian besarnya karena sindrom baby blues. Tapi perasaan itu nyata. Dan aku merasa itu semua... tidak adil."

Para pejalan kaki telah selesai menyeberang, namun Georgia masih belum melajukan mobilnya.

"Aku bercerai dengan ayah Gregory tak lama setelah pemakaman ayahku. Dan aku merasa, itu adalah titik di mana aku merasa lelah dengan seluruh kemarahan dan ketidakpuasan yang membayangiku selama ini, dan aku memutuskan untuk melibatkan ibuku. Aku menceritakan segalanya. Dan ibuku menangis. Kami berdua menangis. Tapi itu hari yang melegakan dan... mencerahkan, kurasa. Kemudian aku berhenti dari pekerjaanku di hotel dan memutuskan untuk mengambil alih kepengelolaan Brierwood House dari ibuku."

Georgia akhirnya kembali melajukan mobilnya.

"Aku tak pernah menceritakan soal itu semua kepada siapapun kecuali ibuku, dan kau, Andy. Dan aku sadar aku mungkin belum bisa menyingkirkan perasaan iri dan dengki yang kumiliki terhadap kakak laki-lakiku. Tapi aku harus melakukannya. Aku ingin melakukannya. Karena itu aku berusaha menjalin komunikasi terbuka dengannya sesering mungkin."

Georgia mengerjapkan matanya yang basah. Dan entah sejak kapan, pandangan Andrea juga buram. Serasa ada batu yang menyumpal tenggorokannya mendengarkan kisah Georgia. Betapa miripnya kehidupan mereka pada satu dan dua hal. Dia merasa kagum pada wanita di sebelahnya karena memutuskan untuk menghadapi 'misi'nya dengan kepala dingin, bukannya kabur dan menghindar.

"Menurutmu, apakah aku bisa melakukannya? Melawan ketidakpuasanku?" tanya Andrea pelan.

Mereka tiba di depan pondok Georgia. Wanita itu tertawa dan mengelus puncak kepala Andrea dengan penuh kasih sayang, "Alih-alih 'melawan', menurutku yang lebih penting adalah 'menerima'. Tak peduli itu memakan waktu seumur hidup kita, jika suatu hari kita berhasil melakukannya, aku yakin kebahagiaan dan kedamaian akan menyertai langkah-langkah kita, Andrea."

Andrea tak mampu lagi membendung airmatanya. Dia memeluk Georgia dengan penuh keharuan di dalam mobil yang masih diguyur hujan. Kemudian, setelah melepaskan pelukan mereka, Georgia menyunggingkan senyum persekutuan.

"Janji untuk berusaha bersama-sama?"

Andrea mengangguk dengan mata dan wajah yang basah, namun air mata itu tak mampu menghalau binar keyakinan yang terpancar dari sorotnya.

"Janji."

🌳

Malam harinya, Andrea terjaga hingga larut.

Kylie meneleponnya. Mereka membicarakan Portland, perkuliahan, asrama baru dan persiapan kepindahannya. Dia berusaha keras mencari bocoran soal teman sekamarnya nanti, namun gagal.

"Bagaimana kalau aku kedapatan sekamar dengan cewek gila yang kerjaannya bawa cowok tiap malam?!" pekiknya dari seberang telepon, kedengaran stres berat.

Kemudian Sully juga meneleponnya tak lama setelah Kylie memutuskan sambungan. Dia membicarakan soal beberapa hal, termasuk Kylie--kebanyakan Kylie. Andrea terus mendorong-dorong Sully untuk menyatakan perasaannya terhadap cewek itu, namun Sully hanya menyahut dengan hm-hm pelan yang tidak memuaskan. Andrea tahu cowok itu begitu menyukai Kylie. Dia tak kunjung paham mengapa dia menahan-nahan perasaannya.

"Jangan-jangan kau memendam perasaan kepadaku." seloroh Andrea jengkel dari atas bantal.

"Coba pikir baik-baik. Kalau aku naksir kau, aku sudah mencekik Matt hingga lemas dari dulu-dulu." balas Sully, sama jengkelnya.

Bahkan hingga obrolan ngalor ngidul mereka berakhir mendekati tengah malam, hujan masih mengguyur kaca jendela kamar tidur Andrea dengan lumayan deras. Kantuk masih belum mendatangi Andrea, karena dia masih belum bisa menyingkirkan pembicaraannya dengan Georgia di mobil siang tadi.

Jempol Andrea bermain-main di nomor kontak ponselnya, di atas nama Adam. Mempertimbangkan apakah dia cukup berani untuk memulai.

Belum sempat menekan tombol panggil, ponselnya berdering dan layar menampilkan nama Lucas.

"Hei. Lucas." Andrea mengangkat telepon itu bahkan sebelum dering pertama selesai.

"Andy..." suara Lucas di seberang agak sulit didengar akibat tertelan keriuhan di latar belakangnya, "Kau belum tidur."

"Belum ngantuk." sahut Andrea, "Ada apa? Kau nggak datang ke rapat hari ini dan kau nggak memberi kabar."

"Maaf, a-aku... uh..."

Andrea menangkap suara Lucas yang terdengar goyah. Dia juga berhasil mengenali suara berisik di latar belakangnya. Seperti suara hujan.

"Kau di luar? Tidak sedang di penginapan?"

Tidak terdengar jawaban selama beberapa saat. Kemudian jantung Andrea nyaris mencelos ketika mendengar suara isakan Lucas.

"Luke... ada apa? Kau di mana?" Andrea terduduk tegak.

"Lukisan atapnya, Andy... lukisannya hancur..."

"Apa?" Andrea bangkit dan menyambar jaket dan celana jins dari gantungan di balik pintu, "Lucas, katakan kau di mana sekarang. Aku akan ke sana."

Andrea tidak sempat membangunkan Georgia saking paniknya. Dia meraih Post-It di dekat kulkas dan menuliskan pesan cepat-cepat untuk menjelaskan alasannya meminjam mobil milik Georgia dan keluar malam-malam. Kemudian dia menyambar kunci dari gantungan di dekat pintu depan dan melesat keluar.

Di perjalanan, Andrea merutuk karena lupa membawa payung. Rasanya menyiksa karena dia berusaha mematuhi rambu-rambu dan batas kecepatan maksimal, namun dia ingin tiba sesegera mungkin.

Setibanya di Brierwood, Andrea menaikkan tudung jaketnya dan keluar dari mobil untuk menembus hujan. Dia berlari mengitari penginapan untuk menuju ke hutan. Dia memasukinya dan berlari sehati-hati mungkin, berusaha menghindari genangan dan akar pohon dan bersyukur setengah mati karena tidak lupa mengenakan sepatu bot.

Andrea tiba di bukaan tempat Cedrus, namun tak dapat menemukan Lucas di sana. Dia masuk semakin dalam, masih sambil berusaha menerangi jalan dengan senter dari ponselnya. Hingga akhirnya, kelegaan mengaliri sekujur tubuhnya karena dia dapat melihat warna kuning pada parka yang dikenakan Lucas.

"Lucas!" Andrea memanggil dan berlari menghampiri cowok itu. Lucas tengah berdiri di depan onggokan basah yang mulanya Andrea kira sebagai sampah. Namun semakin dekat, Andrea melihat bahwa onggokan itu terdiri dari tumpukan kertas-kertas basah, dan lukisan atap yang nyaris tak dapat dikenali akibat catnya luntur dan terdapat robekan di beberapa bagian.

"Apa yang terjadi?" Andrea menarik tudung parka milik Lucas hingga menyelubungi kepala cowok itu yang basah kuyup, sementara pandangan cowok itu terpaku pada onggokan di hadapannya.

"A-aku meletakannya di hutan kemarin untuk dikeringkan. Tapi kemudian hujan turun... dan pagi harinya aku tersadar lukisan itu masih di hutan dan aku terlambat." Lucas bergumam. Matanya merah, suaranya sengau, "Aku gagal, Andrea. Alam menertawaiku! Apakah aku memang nggak boleh melupakannya? A-apakah aku nggak diizinkan melupakan Trissy...? Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan dengan hidupku sekarang..."

Lucas menangis. Air matanya bercampur dengan tetes-tetes hujan yang membasahi wajahnya. Andrea memperhatikan cowok itu dengan iba. Ini pertama kalinya dia melihat Lucas berada pada momen ringkihnya.

"Sudah berapa lama kau berada di sini?" tanya Andrea. Bila Lucas menyadari soal lukisannya sejak pagi, maka cowok itu telah berada di sini hampir seharian.

Lucas hanya menggeleng-geleng.

"Kau akan membeku bila berdiri semalaman di bawah hujan." Andrea meraih lengan Lucas dan menarik cowok itu untuk pergi dari situ. Tapi Lucas menolak beranjak.

"Semuanya sia-sia, Andrea... aku nggak akan bisa menyelesaikan misiku."

Kemarahan Andrea memuncak. Dia memandangi cowok itu, naik darah.

"Lalu apa? Kau akan berdiri di sini sampai tubuhmu biru-biru karena kedinginan dan dibopong ke rumah sakit dengan ambulans? Kau mau pulang ke Amerika dan mendekam dan selamanya menghindari dunia luar, karena kau nggak mau berpapasan dengan siapapun nama cewek sialan itu? Kau ingin apa? Kau ingin menyerah? Hanya karena hujan menghancurkan rencana sempurnamu mengganti lukisan atap mobilmu?"

Lucas hanya bungkam. Tangan-tangan mereka masih terpaut satu sama lain.

"Cedrus telah mendengarkanmu selama ini dan menaruh harapan." Andrea meneruskan, nada suaranya melembut, "Dia menaruh harapan padamu untuk melangkah maju. Bukan berkubang di masa lalu. Bukan menangis hanya karena alam bertindak sebagaimana alam harusnya bertindak, tetapi kau malah merajuk. Apakah kau ingin mengecewakannya?"

"Aku tidak merajuk." Lucas menghapus airmatanya dengan cepat, kali ini terlihat kesal.

"Kau merajuk. Sama sepertiku." Andrea berkata, "Kita adalah orang-orang yang manja dan gemar merajuk. Kalau bukan, kita nggak akan bertemu di Cotswolds. Kita nggak akan melakukan semua ini. Kabur dari Amerika. Kalau bukan, kita seharusnya masih di Amerika dan menghadapi masalah demi masalah dengan kepala tegak dan hati lapang. Tapi apa? Kita malah terjebak di sini."

Lucas akhirnya membalas tatapan Andrea dengan nanar.

"Dan apa yang kita lakukan di sini? Sibuk menangis. Bukankah seharusnya yang kita lakukan adalah fokus menyelesaikan misi kita?"

Andrea menutup koar-koarnya dengan perasaan lega, tak peduli suara marah-marahnya tenggelam oleh kebisingan hujan atau tidak. Dia telah mengutarakan apa yang cukup lama mengendap di dalam hatinya, dan rasanya sungguh memuaskan.

Lucas memandangi Andrea dengan penuh tanya dari balik sepasang matanya yang basah.

"Bagaimana kau bisa begitu kuat?"

Andrea menggeleng-geleng cepat, lagi-lagi sumpalan batu di tenggorokan dan airmatanya tahu-tahu menggenang. Sudah berapa kali dirinya menangis hari ini?

"Aku tidak kuat, Lucas." Andrea menjawab, "Aku hanya sedang berusaha."

Tangis Lucas kembali pecah. Dia terisak-isak hebat sebelum akhirnya memeluk Andrea dengan erat. Andrea balas pelukannya, ikut sesenggukkan. Entah berapa lama waktu yang mereka habiskan di bawah guyuran hujan sambil menangis dan berpelukan. Andrea bahkan tidak sadar bahwa jemari tangannya gemetar kedinginan.

Yang ada di pikirannya hanyalah Lucas, dan bagaimana dia ingin mendekap cowok itu seerat dan selama mungkin, hingga keberadaan cowok itu tidak lagi terasa seperti wujud rapuh dari sebuah kemustahilan.

🌳

Sending virtual hugs (again) to you <3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top