Section 3

Puk

“Eh, apaan nih?”

Seokhee yang baru saja selesai menyedot boba di dalam gelas plastiknya sontak mendongak bingung pada Jimin yang entah sejak kapan ada di depannya.

“Buku tahunan sekolah.”

“Kok dikasih ke gue sih?”

Jimin terlihat memutar matanya lalu mengambil alih boba milik Seokhee.

“Yang namanya Namhyun tuh ngga ada di angkatan gue, tapi ada di angkatan lain. Fix lo dikerjain.”

Seokhee membolak-balik buku berwarna coklat pudar itu. Lalu kembali melirik Jimin dengan tatapan bingung.

“Gue cuman heran aja sih kak, bisa-bisanya lo ngobrol sama bapak-bapak.”

What?

Seokhee bereaksi keras atas ucapan Jimin yang menurutnya kurang ajar itu.

“Ya kalau bukan bapak-bapak terus apa, orang itu dia angkatan dua buluh lima tahun yang lalu kok.”

Mendengarnya Seokhee segera meraih buku tahunan tersebut, ia membolak-balik beberapa halaman hingga sampai pada sebuah fakta yang sedikit mengguncangnya.

Im Namhyun

Angkatan ke-14 (di tengah)

Seketika tubuh Seokhee melemas. Kenyataan jika Namhyun adalah seseorang yang datang dari angkatan dua puluh lima tahun yang lalu sudah merenggut sebagian besar energi Seokhee.

Namun gadis itu tampaknya masih belum bisa percaya. Untuk sekali lagi ia menatap foto tersebut.

Di sana seorang lelaki dengan seragam rapi tersenyum kecil. Rambutnya yang berwarna hitam tersisir rapi, matanya yang seperti kacang almond menatap lurus ke depan dengan tajam.

Itu Namhyun, Seokhee bahkan melihat lelaki itu dengan tampilan serupa malam itu.

“Gue ngobrol sama ini orang kok Jim, bukan sama bapak-bapak. Serius.”

Jimin mengernyit. Mungkin ia sama bingungnya dengan Seokhee.

“Masa sih. Jelas-jelas dia alumni dari angkatan dua puluh tahun yang lalu, ngelindur ah lo mah.”

“Lo kali yang mau ngerjain gue. Lagian bisa banget lo bawa buku tahunan dari angkatan ke 14.” Seokhee mulai mencari pembenaran akan intuisinya.

“Enak aja. Gue udah tanya ya sama Kak Jinsuk. Dia bilang ngga ada di angkatan gue yang namanya Namhyun, makanya dia nyuruh gue ke perpus buat cek buku tahunan.”

“Terus lo nyari sampe angkatan dua puluh lima tahun lalu gitu? Lucu banget, lo ngga mungkin seniat itu.”

Ya, Seokhee yakin kalau Jimin memang malas membantunya. Oleh karena itu ia sedikit sangsi kalau Jimin mau mencari nama Namhyun di setiap angkatan.

“Ya emang ngga gue cari satu satu sih, cuman pas mau ambil tuh em, udah bel jadi gue iseng ambil aja,” ucap Jimin terbata-bata.

Seokhee sontak menatap Jimin dengan datar, semakin tidak percaya ia kepada gadis itu.

“Ah tau lah, yang jelas lo udah gue bantu nyari tau soal si Namhyun Namhyun itu. Sekarang gue mau balik lagi ke sekolah.”

Jimin dengan cepat meraih tas ranselnya dan bangkit dari duduknya.

“Ngapain lo ke sekolah lagi.”

“Ada rapat. Udah ya, bye, Kak Seokhee.”

“Yaudah, sana.”

Senyum Jimin terasa begitu hambar mendengar sahutan Seokhee.

“Eh iya.” Gadis itu kembali berbalik.

“Apa lagi?”

“Lo dapet salam dari Bu Jiho, katanya kalau libur lo disuruh pulang ke rumah.”

Jimin berlari terbirit-birit begitu ucapannya selesai. Sementara Seokhee hanya bisa berdecak kesal mendengarnya.

Ah tapi kalau dipikir-pikir, ia memang sudah terlalu lama tidak pulang ke rumah.



Buku tahunan itu kini ia simpan di atas pengeras suara. Di antara tumpukan CD dan handuk kecil.

Seokhee sendiri tampak sangat menikmati waktunya kala menggerakkan tubuhnya mengikuti iringan musik. Rasa puas selalu memenuhi hati gadis itu ketika ia menangkap bayangannya dari pantulan cermin yang melapisi seluruh dinding yang mengelilinginya.

Keringat sudah bercucuran dari pori-pori kulitnya yang putih bersih. Namun tampaknya si pemilik marga Jung tersebut tak mau ambil pusing. Ia tetap menari dengan semangatnya.

Sampai pada saat Musik yang ia putar sudah hampir habis ketika lampu tiba-tiba mati.

Seokhee terdiam. Ia tak tahu apa yang terjadi. Namun tak lama lampu kembali menyala.

Dalam diam, Seokhee mengambil napas banyak-banyak.

“Sepertinya sampai sini dulu saja,” ucap Seokhee pada dirinya sendiri.

Entah kenapa suasana yang tadinya menyenangkan berubah menjadi mencekam. Hawa dingin seolah naik dari kaki dan menyentuh pundak Seokhee secara perlahan, menghantarkan sebuah aliran yang membuat bulu kuduknya merinding.

Seokhee berusaha mengenyahkan berbagai pikiran buruk di benaknya.

Hari sudah makin larut, mungkin sudah setengah delapan malam.

Gadis itu akhirnya memutuskan untuk membereskan barang-barangnya saja sembari menunggu taksi online *) yang ia pesan. Ia tak berani mandi di sini, suasana sedang tidak bersahabat.

Seokhee duduk diam pada akhirnya, memperhatikan setiap inci dari studio tempatnya berlatih ini.

Gadis itu awalnya ingin sekali masuk fakultas seni. Apa lagi seni tari, tapi mengingat bagaimana keadaan rumah membuat Seokhee mau tak mau masuk sekolah bisnis seperti yang selalu ibunya inginkan.

Tapi dengan begitu bukan berarti Seokhee tidak bisa menari. Walau tak terlalu dibebaskan, Seokhee tetap melakukannya.

Seokhee sudah melakukan hal ini sejak SMP. Menari ketika pikirannya begitu penuh membuat sebagian gelisahnya hilang. Selain itu tubuhnya yang menjadi lebih sehat dan segar.

Namun sayang,  untuk kali ini seberapa kali pun Seokhee merasakan ketenangan, saat musik berhenti dan pergerakannya juga di akhiri. Ia merasa sesuatu yang mencekam itu kembali mendekat.

Maka untuk itulah sekarang Seokhee menyumbat telinganya dengan earphone*). Ia masih berusaha menghilangkan rasa tak enak itu dari dalam hatinya.

Seokhee hampir saja tertidur jika telinganya yang jelas-jelas masih terjejal musik klasik yang lembut itu tidak menangkap suara derit kaca yang di cakar.

Buru-buru Seokhee membuka matanya, kepala dengan rambut lepek itu menoleh ke sana kemari dan tak ada yang aneh. Apa lagi belas cakaran di kaca.

Hanya saja ada yang sedikit mengusik indra penglihatannya. Sebuah benda warna hitam terlihat menyembul di antara kepingan cd dekat pemutar musik.

Buku pemberian Jimin.

Seokhee mendekat lalu menarik benda itu. Sampul bukunya berwarna hitam pekat tak ada sesuatu yang lain di sana kecuali tulisan kecil warna putih. Seokhee tak bisa membacanya karena tulisan tersebut sedikit pudar.

Gadis itu hanya bisa membolak-balik buku di tangannya tersebut.

“Huh, ini tidak mirip seperti buku tahunan.” Lagi-lagi Seokhee bergumam, kini diiringi dengan bibirnya yang mengerucut sebal.

Zztt zzztt

Seokhee memeluk buku tersebut ketika lampu di atasnya hidup mati hidup mati. Begitu terus hingga yang terakhir tak menyala lagi.

Gadis dengan rambut kecokelatan itu  meraba raba lantai tempatnya terduduk, berusaha mencari ponsel yang seingatnya berada di samping pemutar musik.

Tangannya berhasil meraih sesuatu di kegelapan. Dingin, benda itu terasa dingin menyentuh kulitnya.

Ini bukan ponsel milik Seokhee, ini lebih terasa seperti tangan seseorang. Baru saja Seokhee hendak melepaskan benda tersebut, telinga gadis itu menangkap suara.

Perpaduan antara dentingan piano dan xylophon. Seperti musik klasik lama, hanya saja nadanya begitu menyedihkan. Hingga tanpa Seokhee sadari ia juga menangis mendengar lantunan musik tersebut.

Zzztt

Lampu akhirnya kembali hidup.

Seokhee melirik tangannya yang menggenggam udara kosong. Ia kembali menatap buku yang ada di dekapannya.

Benda ini aneh, tapi entah kenapa seolah menarik Seokhee jauh ke suasana yang lain.

Suasana yang dingin, sepi dan sedih.

Seokhee bangkit. Awalnya ia hendak berbalik menuju tasnya dan memutuskan untuk menunggu taksi online-nya di luar.

Tapi pergerakannya terkunci oleh sepasang tangan yang menahannya.

Seokhee menelan ludahnya kasar.

Zztt

Lampu mati lagi, cengkeraman itu makin kuat, dan juga suara musik klasik kembali terdengar jelas. Dan ketika musik semakin mengeras cengkeraman di tangannya juga makin menguat.

Seokhee ingin menangis, Itu sangat sakit dan menakutkan.

“TIDAK!” Seokhee berteriak seraya menjauhkan tangan itu dari lehernya.

Ia berlari ke arah pintu, berusaha lari dari sosok yang masih mematainya dalam diam.

Dan

Bugh

“Seokhee, kamu baik-baik saja?”

“Namhyun?”



“Kenapa lo bisa ada di sini?”

Seokhee yang baru saja kembali dengan sebuah susu kotak segera duduk di depan Namhyun yang menunggunya berbelanja camilan.

“Hanya ingin saja.”

Lelaki itu menunduk, bibirnya yang sedikit pucat selalu ia usap entah untuk apa.

Namhyun mengenakan pakaian yang sedikit lusuh. Pikir Seokhee, mungkin dia baru saja pulang sekolah.

“Mau?” Seokhee menyodorkan sebuah susu kotak lain kepada Namhyun. Namun lelaki itu malah menggeleng tanpa jawaban.

Sejujurnya, Seokhee masih sedikit syok dengan kejadian yang menimpanya tadi. Namun mengingat sekarang ia memiliki seorang teman, rasa takutnya perlahan menguap.

Melupakan ucapan Jimin tadi siang, Seokhee berusaha percaya jika yang ada di depannya ini memang seorang manusia. Lagi pula bagian mananya yang aneh pikir Seokhee.

Kaki Namhyun ada di tanah kok.

“Gue ngga pernah liat seragam yang lo pake. Lo anak baru ya?”

Namhyun mengangkat kepalanya setelah mendengar pertanyaan Seokhee.

“Aaah, iya. Aku anak baru.”

Seokhee mengangguk. Kini terjawab sudah kenapa Jimin tidak mengenali Seokhee. Itu pasti karena anak itu belum lama pindah ke sana. Dan seragamnya yang berbeda pasti karena ia mengenakan seragam lamanya.

“Bagaimana sekolah. Teman gue, Jimin sering ngeluh kalau gue tanya soal sekolah.”

“Emm...” Namhyun menggaruk kepalanya. “Masih sama seperti dulu. Aku bukan seseorang yang pintar bergaul dan aku rasa pelajaran jaman sekarang lebih sulit dari pada jaman dulu.”

Seokhee hampir saja menyemburkan susu cokelat yang ia minum. Karena sungguh, jawaban Namhyun terdengar seperti jawaban kakeknya.

“Mungkin lain kali lo harus sering ngobrol sama orang lain, Hyun. Bahasa lo itu terlalu kaku.”

“Aku sudah coba. Perempuan yang aku bilang selalu ada di ruang kesehatan selalu aku ajak bicara, tapi dia terus tertawa, membuatku kesal. Aku juga pernah mengajak bicara seorang siswa laki-laki dari gedung olah raga, tapi dia selalu diam. Aku benar-benar tidak memiliki teman Seokhee.”

Ah, kasihan sekali. Pikir Seokhee.

Lelaki itu lalu melarikan matanya ke sembarang arah untuk mencari bahan obrolan lain dengan Namhyun, karena sepertinya hal-hal seperti sekolah dan teman hanya akan membuat Namhyun frustrasi saja.

Seokhee masih melakukan hal yang sama, ketika sebuah bus melewatinya dan Namhyun.

Sontak hal itu membuat Hoseok membulatkan matanya. Ia lalu menatap ke arah Namhyun diam-diam, memastikan jika sosoknya masih ada di sana.

“Namhyun...”

“Ya?”

“Em gue mau tanya.”

“Tanya apa?”

“Lo... Percaya hantu?”

“Hantu?”

“Iya, hantu.”

Seokhee berkata dengan pelan. Matanya sesekali melirik ke arah bus yang masih berhenti tersebut. Memastikan jika apa yang ia lihat adalah kenyataan.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu?”

Seokhee hanya tersenyum, lalu kembali menatap bayangannya di badan bus. Benar, dia masih ada di sana. Hanya saja sendirian, tidak ada Namhyun di sana.

Sial.

“Ngga, cuman penasaran aja.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top