Section 2

“Pokoknya gue mau lo ketemuin murid yang namanya Namhyun. Kalau ngga, gue ngga bakalan maafin lo.”

Jimin yang hari itu menumpang makan di flat milik Seokhee hanya bisa menatap datar kepada gadis itu.

Seokhee sudah sangat rapi di depannya. Gadis itu mengepang rambut cokelatnya dengan sebuah pita manis di ujungnya. Hari itu Seokhee menggunakan outer berupa cardigan dengan warna lilac yang cantik. Kakinya yang jenjang dipeluk erat oleh celana jeans hitam.

“Tapi serius Kak, ngga ada yang namanya Im Namhyun di angkatan gw.” Jimin kembali meyakinkan Seokhee dengan mulut penuh dengan nugget ayam.

Sudah jadi kebiasaan, jika ibunya sedang berada di luar kota untuk urusan bisnis, Jimin pasti selalu datang ke flat milik Seokhee. Entah itu untuk menginap, menumpang makan atau bahkan menumpang mandi.

Seokhee sendiri tidak pernah merasa keberatan. Toh dengan adanya Jimin ia jadi merasa memiliki teman. Maklumlah, ia sudah memutuskan keluar rumah sejak dua tahun yang lalu. Baik ibu dan kakaknya kini berada di rumah yang tak jauh dari pusat kota.

“Lo aja kali yang ngga tau. Jelas-jelas dia bilang kalau dia murid di sana, kelas tiga dan bentar lagi lulus.”

Seokhee duduk di depan Jimin dan mulai mengambil nugget ayamnya sebelum dihabiskan oleh Jimin.

“Dih, ngebet banget sih. Pasti orangnya cakep ya, makanya lo jadi ganjen kaya gini.” Dengan segera sebuah sendok mendarat di kening Jimin, membuat gadis dengan rambut kucir kuda itu memekik kesakitan.

“Enak aja lo.” Seokhee mengomel sambil mengemasi barang bawaannya. Botol minum dan sebuah pouch kecil masuk ke dalam tas gadis itu. “Pokoknya lo harus cari tau soal Namhyun. Gue kasih upah tteokpokki deh.”

“Menurut lo gue bisa disogok pakai tteokpokki?” ujar Jimin mencoba menawar.

“Oke, gue tambahin buldak dua porsi.”

“Sip, deal!

Seokhee tersenyum puas saat itu. Jimin memang anak yang paling murah, ujarnya geli.

Ogah-ogahan Jimin berjalan menujun ke ruangan administrasi murid demi memenuhi permintaan Seokhee.

Ya walau pun terbilang aneh untuk Seokhee bertanya seintens itu tentang seorang lelaki, Jimin setidaknya harus membantu kakaknya itu jika hal itu terjadi.

Alhasil, gadis itu harus sedikit berlapang dada menghabiskan waktunya untuk bertemu dengan Jinsuk.

Lelaki itu berperawakan tinggi dengan bahu yang lebar. Anak-anak kelasnya sering kali datang ke bagian administrasi hanya untuk melihat wajah tampannya.  Tapi tentu hal itu tidak berlaku untuk Jimin, alasannya…

“Jimin tahu, istri istri apa yang kecil?”

“MicroWife hiyaaaaa.”

Jimin benci itu saudara-saudara.

“Aku ke sini mau tanya soal data murid Kak Jin.” Jimin berkata dengan  setengah badan melewati meja kerja Jinsuk. “Namanya Im Namhyun, katanya dia anak kelas tiga.”

“Namhyun?” alis Jinhyuk nyatu. “Kayanya ngga ada deh Jim.”

“Serius?”

“Ya itu, emang kamu pernah ketemu sama murid yang namanya Im Namhyun di angkatan kamu?”

Itu dia masalahnya, Jimin yang sekarang sedang menjabat sebagai salah satu anggota student council harusnya tahu hampir seluruh penghuni sekolah, tapi dari ingatannya sama sekali tidak ada satu pun anak kelas tiga yang bernama Namhyun.

“Lagian kenapa deh tiba-tiba banget nanya ginian?” Jinsuk kembali bertanya.

“Itu, Kak Seokhee ketemu sama anak murid sini, katanya kelas tiga namanya Im Namhyun pas festival kemarin.”

“Halah, itu pasti alumni. Kakak kamu dikerjain tuh.”

Jinsuk berkata ringan, membuat Jimin cepat-cepat setuju dengannya.

“Sekarang kamu ke perpus aja, di sana ada buku tahunan lengkap. Cari aja angkatan lima tahun ke belakang. Pasti ketemu sih.”

Jimin pada akhirnya keluar dari kantor administrasi dengan tangan kosong. Seokhee pasti akan marah kalau ia tidak mendapatkan informasi apa-apa.

Jimin sebenarnya tidak takut dengan amukan seniornya itu, ia hanya tidak mau jika jatah sarapannya hilang. Maka mau tak mau Jimin berbelok sebelum tangga pertama, tujuannya kini adalah perpustakaan.

Dengan sedikit paksaan, Jimin membuat kakinya melangkah ke arah ujung koridor lantai tiga. Lantai di mana perpustakaan berada.

Koridor sudah lenggang saat itu. Murid-murid lain sudah pulang sejak bel keluar berbunyi lima belas menit yang lalu. Membuat sekolah menjadi sangat sepi.

“Sore Bu Jiho, belum pulang?” Jimin berujar ramah pada Jiho, penjaga perpustakaan yang berjaga sore itu. Sedikit TMI saja, Jiho adalah ibu dari Seokhee. Beliau bekerja sebagai penjaga perpustakaan di hari-hari tertentu, selebihnya pekerjaan utamanya ada di perpustakaan besar di kota.

“Sebentar lagi juga pulang. Jimin mau belajar di sini?”

“Hanya liat-liat, Bu.”

Wanita dengan setelan kantor yang rapi itu mengangguk. Kalau dipikir-pikir, Bu Jiho sangat mirip dengan Seokhee.

Ia memiliki rambut cokelat lurus yang dipangkas sampai bahu. Sebuah lesung pipi samar terlihat di pipi sebelah kirinya jika ia sedang tertawa. Tatapan matanya terlihat begitu lembut, ia yang kini mungkin telah menginjak setengah abad itu masih terlihat cantik dan juga anggun.

“Seokhee bagaimana kabarnya Jim?” tanya Bu Jiho tiba-tiba.

“Oh, Kak Seokhee baik. Kamu baru saja bertemu tadi pagi.”

“Titipkan salam Ibu kepadanya ya. Bilang kalau sedang libur dia harus pulang ke rumah.”

Permintaan itu disanggupi oleh Jimin. Ia mengerti perasaan wanita itu, pasti ia sangat merindukan anaknya, sama seperti Jimin yang kadang merindukan ibunya ketika wanita itu sedang banyak pekerjaan.

Tapi jelas permasalahan antara Bu Jiho dan Kak Seokhee tidak bisa disamakan dengan miliknya. Mereka punya polemik yang lebih runyam.

“Kalau gitu kuncinya nanti kasih ke Pak Noh ya, Jim. Ibu harus segera pulang”

Jimin mengangguk. Bukan sekali dua kali wanita itu menitipkan kunci pada Jimin. Selain karena Jimin adalah anggota organisasi, wanita itu sudah sangat dekat dengan Jimin.

“Ck, Kak Seokhee bikin repot aja,” gumam Jimin sambil melepas sepatunya ketika Bu Jiho sudah pergi.

Gadis dengan perawakan kecil itu lalu menelusuri rak perpustakaan yang tingginya melebihi tingginya sendiri.

Tujuannya ada di rak paling belakang. Arsip sekolah kalau kata Bu Jiho. Di sana terdapat banyak sekali buku tahunan dan juga segala jenis buku tentang sekolahnya yang telah berdiri sejak puluhan tahun itu.

Jimin berdiri di barisan buku tahunan paling baru. Itu angkatan kemarin. Namun ia mengurungkan niatnya. Jika orang itu ada di angkatan kemarin atau beberapa tahun yang lalu sudah pasti Seokhee mengenalnya.

Oleh karena itu Jimin pun beralih ke rak yang lain. Angkatan 2010 sampai 2005.

Gadis itu berjinjit untuk mencapai buku tahunan yang ia inginkan. Cukup susah, namun Jimin bisa mencapainya berkat bantuan bangku rendah yang tersedia di sana.

Jimin tersenyum ketika buku tersebut sudah ada di tangannya, namun begitu ia menyentuh buku tersebut sebuah bisikan halus terdengar samar di telinganya.

Haha ....

Jimin segera menjauh dari rak. Ia mengedarkan pandangannya ke sana dan kemari. Tidak mungkin itu suara Bu Jiho, wanita itu sudah benar-benar pergi dari sana.

“Sial,” ucapnya lalu Kembali meraih buku lain.

Ketika buku lain sudah ada di tangannya, suara itu kembali terdengar. Kali ini dengan aura yang lebih kental dan udara yang seakan menipis. Namun walau pun begitu, ia masih tetap bertekad untuk mencari siapa In Namhyun yang Seokhee temui malam itu.

Tap tap tap ....

Jimin mendengar suara langkah kaki mendekat.

“Susah banget sih sialan.”

Haha ....

Lagi, suara itu terdengar. Begitu samar, terasa jauh dan juga tipis.

Jimin masih bisa menahan takutnya. Hingga ....

Bruk!

Sebuah buku jatuh dan suara langkah kaki itu kian terasa dekat.

TAP TAP TAP ....

Hahaha ....

TAP TAP TAP ....

“Ah anjing!”

Merasa tak bisa menahannya lagi, Jimin segera mengambil buku yang terjatuh tadi dan lari secepat mungkin dari sana.

Tanpa sempat mengunci pintu, tanpa sempat menutupnya dengan benar.

Namun aneh, keesokan harinya kunci tersebut sudah berada di ruangan Pak Noh. Tanpa tahu siapa yang menyimpannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top