Section 1

Di lantai itu terdapat banyak bercak kemarahan, lampu-lampu temaram yang menggantung malas di atas langit-langit tidak membantu sama sekali. Belum lagi begitu banyak tanaman rambat di sudut-sudut ruangan. Kesan mencekam begitu kental, apa lagi ketika suara teriakan samar terdengar di kejauhan.

Ruangan itu didominasi warna oranye gelap dengan banyak ornamen menyeramkan. Di tengah-tengah bahkan ada setumpuk labu dengan ukiran menyeramkan yang siap menyambut siapa pun yang masuk pintu utama. Termasuk di antaranya adalah seorang gadis dengan baju garis-garis hitam putih yang menenteng bola hitam berantai di tangannya.

“Sumpah, lo kaya gembel kak.”

“Gara-gara lo nih.”

Seorang gadis dengan kostum narapidana itu menatap malas pada temannya yang kini tertawa dengan keras di sampingnya.

Mereka kini memasuki area yang lebih luas dan ramai setelah keduanya mengisi daftar tamu.

Festival Halloween.”

Tertulis jelas di dinding ruangan serba guna yang telah disulap menjadi area menyeramkan tersebut.

Yup, ini adalah Festival Halloween yang rutin diadakan oleh Sowoon Senior High School setiap kali bulan Oktober akan berakhir.

Seokhee, gadis dengan setelan tahanan penjara itu merupakan alumni dari sekolah tersebut. Membuatnya memiliki akses bebas datang ke Festival malam ini.

Tapi jangan salah, jika bukan karena Jimin, gadis berperawakan mungil yang baru saja mengatainya seperti gembel, Seokhee tak pernah mau ikut-ikutan dalam acara apa pun yang berhubungan dengan Halloween.

Alasannya sederhana, dia penakut dan festival Halloween terakhirnya cukup membekaskan trauma. Karena bagaimana tidak, saat itu ia yang telah duduk di tingkat akhir harus menangis kencang karena tersesat di rumah hantu yang temannya buat.

Itu jelas bukan kenangan yang menyenangkan, tapi berkat bujuk rayu dari mulut berbisa Jimin, akhirnya ia pun setuju untuk ikut.

Walau pun begitu, Seokhee cukup dibuat kagum dengan hasil kerja junior-juniornya yang sangat mengesankannya. Ruang serbaguna itu tidak hanya dihias seseram mungkin, tapi mereka juga tampaknya memikirkan konsep acara dengan cukup matang.

“Stan-stan yang ada di sini temanya film-film, Kak. Ada The Conjuring, Chucky, Annabelle banyak deh.” Jimin berkata seraya menunjuk beberapa stan yang dijaga oleh siswa dengan kostum yang berbeda-beda.

“Lan terus, ini lu pake kostum apa?”

“Mickey Mouse lah, lo ngga liat telinga gue udah gede gini.” Jimin menjawab sambil menyentuh telinga bundar di atas topi sihirnya.

“Ribet banget sih, ngga liat tuh jubahnya ngepel aspal.”

“Ya dari pada lo. Gue yakin sih ini mah lu asal ambil piama kan. Kebetulan aja piamanya kek baju tahanan.”

“Enak aja. Gue pake make up nih.”

Ingin sekali Jimin tertawa melihat wajah seniornya itu. Karena bagaimana tidak, dibandingkan riasan, wajah Seokhee itu lebih seperti selai cokelat yang berlepotan.

“Eh Kak Yunki mana ya?” gumam Jimin seraya memanjangkan lehernya, menoleh ke sana kemari mencari teman lelaki mereka, Min Yunki yang harusnya datang bersama dengan keduanya. Namun sayang, Yunki harus terlebih dahulu mengantar ibunya ke rumah neneknya. Seokhee jadi penasaran bagaimana wajah wanita senja itu ketika melihat cucunya datang dengan kostum Naruto.

“Kak, gue ke depan dulu ya. Katanya Kak Yunki ada di depan.”

“Eh gue ikut dong, males ah sendirian di sini.” Seokhee yang semula sudah mengambil tempat duduk dengan Jimin, ikut bangkit hendak ikut pergi menyusul Yunki

“Elah, timbang duduk aja di sini Kak. Gue ngga lama kok, lagian kalau mejanya ditinggal nanti ada yang nempatin.”

Pada akhirnya , gadis yang lebih muda itu bisa mendorong Seokhee untuk kembali duduk dan membiarkannya pergi ke gerbang depan, menemui Yunki yang katanya sudah ada di sana.

Mereka bertiga memang sudah kenal sejak kelas satu, tepatnya untuk Seokhee dan Yunki. Mereka yang satu angkatan masuk di kelas yang sama, mengikuti beberapa kegiatan yang sama hingga akhirnya menjadi teman sampai sekarang.

Awalnya Seokhee juga sedikit kaget ketika Yunki terasa begitu bersahabat dengannya, sementara kabar di luar sana menyebutkan jika lelaki itu agak sedikit susah untuk didekati. Ia dingin, cuek, pelit senyum dan yang jelas sangat pendiam. Berbeda sekali dengan Seokhee yang berisik dan pecicilan.

Bahkan dulu, sempat beredar kabar jika Yunki menyukai Seokhee hingga bisa begitu ramah kepada gadis tersebut. Namun itu jelas hanya rumor, karena sampai Jimin masuk ke lingkungan pertemanan mereka pun, keduanya tidak pernah berubah.

Ya, Jimin bergabung saat ia memasuki kelas tari yang sama dengan Seokhee. Mereka cepat akrab karena sering latihan sama-sama, dan siapa sangka jika kedekatan itu menular pada Yunki. Alhasil lelaki itu pun terjebak dalam lingkaran pertemanan bersama dua gadis cerewet tersebut.

Ngomong-ngomong soal Jimin dan Yunki, kenapa mereka lama sekali?

Ini bahkan sudah hampir setengah jam sejak Jimin pamit untuk menjemput Yunki.

“Pasti dia ngobrol dulu sama temen-temennya,” gerutu Seokhee seraya berjalan ke meja yang penuh dengan camilan.

Ia mengambil piring dan memisahkan sebuah sandwich mini ke sana. Ada cupcake labu berwarna oranye terang juga di sana, membuat sebagian besar piring penuh karenanya.

Setelah mendapatkan apa yang dia mau, Seokhee pun kembali ke mejanya. Namun sial, sudah ada murid lain yang menempati. Jimin pasti akan mengamuk karena hal ini, pikir Seokhee.

Gadis itu pun akhirnya mulai berjalan ke sana kemari untuk mencari meja kosong, tapi sepertinya sudah tidak tersedia lagi mengingat banyaknya orang yang datang.

Pada akhirnya Seokhee pun hanya bisa berdiri sambil menenteng piringnya di pinggir ruangan, berharap semoga Jimin dan Yunki datang menjemputnya.

“Tidak ada tempat kosong di sini. Mau pergi ke belakang bersamaku?”

Seokhee menoleh cepat ketika suara itu masuk ke gendang telinganya.

Di sana, tepat di sampingnya seorang lelaki tengah berdiri tegap dengan seragam berwarna hitam yang terlihat amat lusuh. Ia sedikit mengangkat sudut bibirnya, membuat Seokhee bisa melihat dimple samar di pipi kanan lelaki itu.

“Oh, boleh.” Seokhee bergumam lirih sambil menunduk. Ia tengah berusaha menyembunyikan panas di pipinya ketika lelaki itu semakin melebarkan senyumnya, membuat wajah itu menjadi semakin tampan di matanya.

“Datang sendiri?” tanya lelaki itu begitu Seokhee mulai berjalan di sampingnya.

Mereka berdua melewati meja-meja yang murid lain isi dengan langkah yang pelan. Itu sedikitnya membuat Seokhee tersanjung, karena bagaimanapun lelaki di depannya itu bisa saja berjalan lebih cepat. Namun ia tampaknya sengaja memelankan langkah kakinya agar Seokhee bisa menyusul dengan mudah.

“Ngga kok, tadi sama temen. Tapi ngga tau ke mana tuh dia sekarang.” Dalam hati Seokhee merutuki Jimin dan Yunki untuk ke sekian kalinya. Mereka sungguh tega meninggalkan dirinya yang jelas-jelas penakut itu sendirian.

Lelaki itu mengangguk, lalu kembali berjalan.

Tanpa di sadari, lelaki itu telah membawa Seokhee ke area luar. Di mana suara pengeras suara tidak lagi terdengar dan udara menjadi lebih segar.

Lelaki itu duduk di atas pembatas batu, ia bersila sambil sesekali meletakkan tangan di samping tubuhnya agar tidak terjatuh. Seokhee sendiri memilih untuk tetap berdiri dengan piring yang ia letakkan tak jauh dari lelaki tadi.

Suasana di sana juga cukup mencekam kalau boleh jujur. Walau tidak terdapat hiasan-hiasan Halloween (*) seperti di dalam, taman ini menjadi menyeramkan karena lampu remang-remang dan juga angin malam yang menusuk. Belum lagi dengan kegelapan yang ada di ujung sana. Menyeramkan.

“Kalau aku sendiri.” Hoseok menoleh begitu suara itu kembali terdengar. “Aku datang ke sini sendirian.”

Hoseok mendesah dan mengangguk. Awalnya ia memang tidak begitu paham dengan ucapannya yang tiba-tiba. Namun sepertinya lelaki itu ingin melanjutkan pembicaraan mereka sebelumnya.

“Sekolah di sini?” tanya lelaki tadi setelah udara canggung di sekitar mereka perlahan-lahan menghilangkan.

“Oh, ngga. Gue udah alumni. Kalau lo gimana?”

“Aku kelas tiga. Sebentar lagi lulus. Aku harap begitu.”

Seokhee mengerutkan keningnya mendengar suara pelan lelaki tersebut di akhir kalimatnya. Suara itu terdengar begitu sendu dan juga kental akan keputusasaan.

“Ehem, hmmm nama gue Seokhee.” Dengan sedikit keberanian lebih, Seokhee mengulurkan tangannya ke arah lelaki tersebut. Ia tidak ingin membuat suasana yang sudah lumayan cair kembali buyar karena ulahnya. Namun alih-alih disambut, tangan gadis itu malah dibiarkan menggantung begitu saja.

“Namhyun, Im Namhyun. Siswa kelas tiga sekola—“

“Iya ita, lo udah bilang tadi. Siswa kelas tiga yang bentar lagi lulus.” Seokhee menyahut dengan kesal.  Ia tidak terima saja dengan perlakuan lelaki tadi kepadanya. Memang Namhyun kira tangan Seokhee membawa virus apa, sampai tidak mau menyentuhnya sama sekali.

Mereka kembali terdiam. Angin semakin malam semakin bertiup kencang, sementara suara riuh dari aula terdengar begitu jauh. Seokhee mulai berpikir untuk meninggalkan tempat itu. Lagi pula Jimin pasti sudah menunggunya.

“Jangan pergi dulu.” Namhyun berujar tiba-tiba. Seolah tahu akan isi pikiran Seokhee, lelaki itu berdiri di depannya dan menghalangi jalan gadis itu untuk pergi dari sana.

“Apaan sih.” Seokhee berkata sinis. “Temen gue pasti sekarang udah nungguin. Lagian emang lo ngga mau gabung sama temen lo di dalem.”

Mendengar suara Seokhee yang meninggi nadanya, membuat Namhyun terlihat lebih murung dari sebelumnya. Dengan perlahan Namhyun berjalan ke sisi Seokhee dan kembali duduk.

“Aku tidak punya teman. Ada seorang perempuan dari ruang kesehatan, tapi dia terus tertawa, itu membuatku sakit telinga.”

Seokhee memutar matanya. Pasti saat sekolah Namhyun adalah sosok murid disiplin yang doyan cari muka ke guru. Ia bahkan tidak membiarkan teman perempuannya tertawa, benar-benar keterlaluan, pikir gadis dengan rambut kecokelatan itu.

“Kamu, selain temanmu yang datang bersamamu itu, punya teman lainnya?”

“Ya ada,” jawab Seokhee seraya melahap sandwichnya yang telah lama dianggarkan. Seokhee tak lupa menawarkan roti isi itu pada Namhyun, namun lelaki itu menggeleng seraya tersenyum.

“Bagaimana rasanya memilih banyak teman?”

“Emang lu ngga punya temen?”

“Tidak, aku terlalu banyak belajar. Tidak sempat cari teman. Lagi pula... Sekarang susah.”

Kan, apa Seokhee bilang.

“Jadi bagaimana rasanya?” kembali Namhyun bertanya, seperti ia adalah seorang anak yang begitu penasaran pada apa pun yang belum pernah ia temukan.

“Emmm gimana ya, rasanya ya gitu. Mereka kadang-kadang emang ngga guna, tapi pas lo ada masalah, temen yang bener-bener tulus pasti datang buat kasih semangat. Itu aja udah sangat cukup.”

Jika membicarakan soal teman, Seokhee punya Jimin yang siap menghiburnya setiap kali ia bersedih atau menemaninya melakukan hal gila yang tak bisa ia lakukan sendiri. Ada juga Yunki. Kerjanya hanya tidur saja, tapi saat diminta nasihat, Yunki adalah sosok yang paling benar.

“Kamu... Punya masalah.”

Hampir saja Seokhee tersedak potongan tomat dalam sandwichnya ketika mendengar pertanyaan polos Namhyun.

“Ya punya lah. Manusia mana yang ngga punya masalah. Lo hidup aja udah jadi masalah.”

“Lalu bagaimana kamu melaluinya? Atau kamu hanya mendiamkannya saja?”

Seokhee berdecak, lalu berbalik untuk menghadap ke arah Namhyun.

“Masalah ngga bisa lo diemin. Minimal lo harus tetep coba beresin masalah lu walau sedikit demi sedikit.”

“Kalau gagal bagaimana?”

“Kalau gagal ya coba lagi. Kalau jatuh bangkit lagi. Kalau ngga bisa terus belajar. Tapi yang lebih penting dari masalah itu sendiri bukan tentang bagaimana kita melewatinya. Tapi tentang bagaimana masalah bisa memberikan pelajaran buat kita.”

“Aaah.” Namhyun mendesah kecil. “Aku tidak pernah berpikir seperti itu.”

Seokhee sontak saja tertawa, ia lalu mendekat ke arah Namhyun lalu mengusak rambutnya yang entah kenapa terasa begitu dingin.

“Lo itu masih kelas tiga, berarti yaaa baru delapan belas tahun, jadi santai aja oke. Jangan terlalu keras sama diri lu sendiri. Jalan masih panjang, Namhyun.”

“Seandainya begitu...” gumam lelaki itu pelan.

“Hah, apa?”

“Ah tidak. Aku hanya ingin bertanya.”

“Tanya, tanya apa?” Seokhee berujar bingung.

“Kamu mau tidak jadi temanku?”

Saat itu, entah kenapa angin terasa begitu pelan merambat ke leher Seokhee. Tatapan mata Namhyun juga membuat Seokhee seperti mengapung di udara.

Ia lantas sadar, jika sekarang tangannya tengah menggenggam tangan Namhyun yang sama dinginnya dengan angin malam itu.

“Ya, gue mau.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top