Six - Sweet Honey
aya dan Faranisa kini telah sama-sama duduk di sofa ruang tamu. Setelah makan dan bersih-bersih, Jaya memutuskan untuk duduk-duduk di ruang tamu, karena merasa tidak jika harus masuk ke kamar sang bos meksi sudah dipersilakan. Rupanya, Faranisa belum tidur, sehingga ikut duduk di ruang tamu.
Jaya sebenarnya sudah bersiap untuk mencari penginapan di luar sana. Akan tetapi, Faranisa dan ibunya melarang. Katanya, sang ibu sudah melapor ke Ketua RT akan ada sopir anaknya menginap. Pak RT tentu memperbolehkan. Keluarga Faranisa, terutama ayah dan ibunya, mempunyai reputasi yang baik di lingkungan ini.
Faranisa menatap Jaya dan meja di hadapannya bergantian. Perempuan itu sedang menimang-nimang apakah akan menanyakan hal yang membuatnya sangat penasaran sejak di perjalanan, atau diam saja seolah hal itu tidak mengganggu pikirannya sama sekali.
"Saya boleh bertanya, Mbak?" Jaya membuka suara tepat ketika Faranisa memutuskan untuk diam saja.
Faranisa mengangguk pelan.
"Mbak tadi keliahatan kurang sehat. Apa sekarang sudah baik-baik saja?" tanya Jaya. Tidak terdengar seperti basa-basi. Alih-alih, di wajahnya tampak sekali gurat cemas ketika bertanya.
Faranisa menunduk sejenak. Dia pikir, Jaya akan menanyakan penyebabnya. Namun, di luar dugaan. Laki-laki itu justru menanyakan kondisinya sekarang.
"Saya sudah nggak apa-apa, Mas Jay." Dia menjawab sambil tersenyum simpul. Sorot matanya menunjukkan haturan terima kasih karena telah memberi perhatian.
Jaya tersenyum tulus. Gurat cemasnya pun seketika sirna. Bagaimana pun, Faranisa adalah atasannya. Dia yakin, menanyakan kondisi kesehatannya tidak akan dianggap lancang. Lagi pula, Jaya benar-benar khawatir. Melihat wajah pucat Faranisa, meski dirinya dalam kondisi sama, benar-benar membuat pikirannya kacau.
Rasanya ingin sekali merengkuh tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya, memberi kehangatan, lalu melalukan apa pun yang bisa membuatnya membaik kembali. Sayang, dia hanya bisa melakukan itu semua dari angan saja. Dirinya tidak berada dalam posisi yang pantas untuk melaksanakan hal tersebut.
"Mas Jay gimana? Tadi ... Mas Jay juga keliatan pucet banget."
"Saya baik, Mbak. Tadi masuk angin aja kayaknya." Jaya menjawab dengan cepat, disertai alasan yang dibuat-dibuat. Dia belum siap untuk menceritakan kesengsaraan yang bersemayam di hidupnya selama bertahun-tahun.
Hatinya boleh saja telah berpaling pada perempuan di hadapannya ini. Namun, bersamaan dengan ketidakmungkinan yang tercipta, rasa sakit atas kejadian di masa lalu tak pernah meninggalkan dirinya barang sejenak.
Faranisa mengerutkan dahi. "Masuk angin, kok, minum kopi di rest area tadi? Kenapa nggak bilang? Padahal, saya bawa minyak angin ke mana-mana, tahu!"
Omelan Faranisa membuat Jaya terpana. Dia tahu bahwa bosnya ini bukan tipe perempuan pendiam. Tapi dia juga tidak menyangka Faranisa bisa cerewet sampai seperti ini.
Laki-laki itu kemudian tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, Mbak. Yang penting saya sudah baik-baik saja sekarang."
Faranisa menggeleng kuat. "Mana bisa begitu, Mas Jay? Nggak bisa. Saya bikinkan teh madu hangat dulu. Saya nggak mau besok Mas Jay masuk angin lagi pas nyetir." Faranisa memberi tekanan. Dia tahu, itu alasan Jaya saja. Namun, dia enggan untuk bertanya lebih jauh, karena dia juga tidak mau jika harus bercerita tentang penyebab sakitnya tadi siang.
"Mbak," panggil Jaya. Sayangnya, Faranisa tidak menggubris. Perempuan itu beranjak ke dapur dengan gegas, tak memberi kesempatan pada Jaya untuk merespons.
Laki-laki itu mengembuskan napas. Dia menggigit bibir penuhnya yang tak tahan untuk tersenyum lebar. Mendapat perhatian dari seorang perempuan memang istimewa, tetapi yang dia dapatkan dari Faranisa adalah hal yang berbeda. Priceless dan tidak bisa digambarkan dengan apa pun. Karena Jaya menyukai segala hal yang dilakukan sang majikan.
Senyumnya menghilang sepenuhnya ketika Faranisa kembali dengan secangkir teh madu. "Diminum, Mas Jay. Sengaja saya bikin hangat saja, biar khasiat madunya nggak hilang."
Jaya mengambil cangkir yang telah diletakkan di meja. "Terima kasih banyak, Mbak." Dia berkata, lalu menyeruput teh madunya.
Dalam setiap teguknya, Atma Sanjaya meresapi perhatian Faranisa yang tertuang dalam cangkir tersebut. Habis setengah, Jaya menaruh kembali cangkir ke atas meja. "Maaf jadi merepotkan."
Faranisa tersenyum manis. "Nggak merepotkan, kok. Cuma teh doang."
Tidak. Bagi Jaya, ini bukan sekadar teh dan madu yang berpadu dengan pas. Baginya, ini adalah momen yang akan dia kenang. Di masa depan, kesempatan ini belum tentu akan dia temui lagi. Tidak mungkin dia akan menjadi sopir Faranisa selamanya. Akan tiba saatnya perempuan itu memilih untuk berani menyetir sendiri, atau bahkan sekadar mengganti sopir saja.
"Mumpung lagi di sini," Faranisa membuka suara, "saya mau tanya Mas Jay lagi."
Jaya menyatukan kedua tangan yang bertopang di atas lutut, badannya condong ke arah sang bos tanda bahwa dia mendengarkan dengan saksama.
"Mas Jaya inget sama tawaran saya, kan?"
"Tawaran?" Jaya bertanya-tanya dengan dahi mengerut.
"Model," jawab Faranisa lugas.
"Ah, iya. Saya ingat, Mbak."
"Gimana?"
Dahi Jaya mengerut semakin dalam. "Gimana ... apanya?"
Faranisa berdecak pelan, lalu menyilangkan kedua lengannya di depan perut.
"Mas Jay mau, nggak, jadi model di tempat saya? Jujur aja, Mas Jay. Badan sama muka Mas Jay tuh cocok banget sama konsep pakaian yang sebentar lagi mau launching. Saya nggak kepikiran siapa-siapa lagi selain Mas Jay."
Jaya berdeham, lalu mengubah posisi. Dia bersandar pada sofa, dengan wajah menunduk, melihat ke arah kakinya.
Dalam beberapa kesempatan, dia berpikir akan menerima tawaran Faranisa untuk menjadi model. Namun, rasa rendah diri selalu menyerang dengan hebat setiap kali pemikiran itu muncul.
Faranisa membuat pakaian-pakaian mahal yang dijual di butik-butik mahal. Dia merasa tidak pantas mengenakan pakaian-pakaian mahal itu, apalagi untuk dijadikan modelnya.
"Saya ... Sepertinya tidak bisa, Mbak." Jaya merespons dengan pelan. Dia berhati-hati, agar tidak menyinggung perasaan bos perempuan di hadapannya.
Faranisa manyun, lalu berdecak. "Kenapa, Mas Jay? Mas Jay tuh ganteng, tahu! Badan Mas Jay juga proporsional banget buat jadi model. Terutama, tinggi."
Jaya gelagapan. Tidak pernah ada yang memini penampilannya selama bertahun-tahun belakangan. Fakta bahwa mantan istri yang telah meninggal ternyata selingkuh, membuat kepercayaan dirinya anjlok. Jaya yang dulu cukup percaya diri dengan wajah dan proporsi tubuhnya, tenggelam bersama peristiwa menyakitkan itu.
Atma Sanjaya yang kini berhadapan dengan Faranisa adalah laki-laki yang tak pernah lagi berpikir bahwa dengan wajah dan tubuhnya, akan menarik perhatian. Dan ucapan sang bos barusan, berhasil membuatnya tidak nyaman. In a good way.
"Mau, ya, Mas Jay?" Faranisa menatap Jaya penuh harap.
Tatapan yang berkilauan itu, secara ajaib, berhasil membuat Jaya mengangguk setuju. Meski setelahnya dia merasa bodoh dan over-confident, hatinya menghangat dengan debaran yang kuat kala melihat senyum lebar seorang Faranisa.
Keputusannya telah berhasil membuat sang bos tampak senang, dan itu cukup bagi Jaya untuk tak menyesal.
"Makasih, Mas Jay! Begitu pulang ke Jakarta, saya ajak Mas Jay ke kantor, ya. Meeting sama tim saya." Faranisa berucap dengan antusias penuh. Senyum lebarnya terlihat sangat tulus.
Jaya ikut tersenyum. Hatinya benar-benar menghangat mengetahui dirinya menjadi alasan perempuan itu tersenyum hingga mencapai ke matanya.
Sepertinya, Faranisa juga tidak sadar akan antusiasme yang melandanya saat ini. Senyumnya masih bertahan sampai perempuan itu memerintah Jaya untuk segera masuk ke kamar dan istirahat, lalu dirinya bergegas ke kamar sang ibu untuk istirahat juga.
Faranisa tidak menyadari bahwa di belakangnya, Jaya menatap kepergiannya dengan intens dan penuh perasaan.
Paginya, Jaya terbangun dengan lingkaran hitam di bawah mata dan kepala yang sedikit pusing. Laki-laki itu tidak bisa tidur semalaman. Otaknya tak bisa berhenti memikirkan senyum dan binar di mata sang bos.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top