Kepingan Hati dalam Bara Api

Archmage berdiri di sana bersama para pengamat tak kasat mata, menatap dalam diam ke pertunjukan yang disuguhkan. Walau jam saku sang Archmage menunjukkan pukul 11 pagi, tetapi langit di atasnya telah berubah menjadi kelabu. Suara teriakan histeris seorang perempuan disertai kobaran api yang melahap sebuah mansion. Orang-orang di sana bergerak bagai boneka yang dikendalikan tali oleh sang pengendali tak kasat mata lainnya.

Sekali lagi suara tangisan yang terdengar pilu dan adu mulut dari yang lain tertangkap telinga Archmage. Sosok yang memakai jubah dan sayap putih itu hanya bisa diam, menangis tanpa suara kala menyaksikan orang yang dipilihnya untuk berlakon dalam dunia aneh di luar kitabnya bernasib seperti itu. Pada awalnya, Archmage tidak menginginkan akhir yang seperti ini, tetapi dunia itu di luar kendalinya dan nasib para terpilih tidak bisa ditentukan sesuka hatinya.

Mungkin bagi sang Archmage, perempuan berambut merah itu bukanlah anak yang patut disayang, sebab jiwanya telah tersegel dalam lingkaran reinkarnasi tak berujung. Akan tetapi, ia pun tak tega. Walau tubuh kurus dan dikuasai kemampuan shadow sekalipun, Archmage masih menganggapnya sebagai salah satu anaknya—untuk penggerak cerita.

"Ah, kau sudah memperingatiku sejak awal, Luminary," gumam Archmage sembari menengadah memperhatikan abu yang terbawa angin. "Dunia ini di luar kendali Akar Sovereign."

Archmage memejamkan mata, menghela napas sesaat, lalu memutuskan untuk terbang. Abu dari sisa sosok yang paling dicintai anaknya, Eversly Obumbratio, mengenai gaun sang Archmage. Kepalanya menunduk, kemudian dari kedua tangannya keluar kerlap-kerlip dan mengumpulkan semua abu yang tersisa untuk dimasukkan ke dalam sebuah wadah kaca kecil.

"Biarlah menjadi kenangan, sebab kutahu kau pun akan berada di sisinya dalam wujud lain," ucap Archmage.

~o0o~

Eversly Obumbratio sejatinya tidak punya emosi, tetapi entah bagaimana ia merasakan cinta. Bagi Archmage, Eversly yang sekarang hanyalah alat penggerak cerita. Sama halnya dengan Ririe. Namun, perasaan mereka terkadang di luar kehendak sang Archmage sendiri. Seperti sekarang, Eversly terlihat kosong, mirip boneka di sudut lemari. Tanpa sadar perempuan itu sering berjalan sambil melamun, berdiam lama sekali di sebuah tempat persembunyian rahasia milik sang kekasih hingga menangis sampai tertidur.

Di atas meja, banyak kertas berserakan dengan tinta berceceran. Kelopak-kelopak bunga forget-me-not pun tersebar di mana-mana. Tangan perempuan itu kini tak mampu lagi untuk menulis surat, pun ia tak mampu mengangkat cangkir untuk minum. Tubuhnya terkulai lemas, kulitnya seputih es, dan rambut merahnya berantakan. Dirinya tertidur sambil mendekap sebuah mantel yang bukan miliknya.

Suara kepakan sayap terdengar dari luar tempat persembunyian, kemudian sayap putih dan gaun yang menyapu lantai itu menjadi satu-satunya suara yang menemani di ruangan tersebut. Archmage datang untuk membawa kembali Eversly ke dunia asalnya, dunia di bawah naungan Akar Sovereign. Namun, kala melihat kondisinya yang memprihatinkan, hati sang Archmage mencelos. Sekali lagi, kenangan menyakitkan yang dilihat dan rasakan oleh Eversly, terasa oleh sang Archmage. Hal ini disebabkan karena mereka saling terhubung, bagai ranting yang menginduk pada batang sebuah pohon.

"Eversly-ku yang malang," ujar Archmage seraya mengelus lembut rambut merah itu. "Sudah saatnya kita pulang."

Niat hati sang Archmage ingin membawa pulang kedua anaknya, Eversly dan Ririe, tetapi ia pikir Eversly butuh diselamatkan terlebih dahulu. Tatkala netra amethyst sang Archmage mengarah ke atas meja, ia membelalak. Sebuah surat yang belum selesai, dipenuhi air mata dan bercak tinta. Archmage memutuskan untuk mengambilnya, lalu membaca isi surat tersebut.

Aku pikir warna di hidupku selaras dengan warna jelagaku. Warna yang kubenci karena aku tak bisa memenuhi kesempurnaan. Namun, melihatmu, sejenak aku melupakan semua itu. Kau pewarna di kanvas kehidupanku yang monoton. Pelengkap dari satu hal yang kupikir tidak akan bisa kugapai.

Kehadiranmu bahkan membuka perspektif baru untukku.

Namun, bolehkah kali ini kurengkuh api yang membawamu pergi?

Bolehkah aku membiarkan diriku jatuh ke kegelapan lagi?

Bolehkah aku menyerahkan jiwaku agar kita bertemu lagi?

Bolehkah aku

Archmage mengembuskan napas berat, lantas ia pun berjalan pergi sambil membawa surat dan bunga-bunga forget-me-not. Ia ingat sebelum tirai pertunjukan diturunkan, para pelakon diminta untuk memberikan hadiah. Archmage tahu Eversly tidak sanggup, hatinya sudah ikut terbakar bersama api pagi tadi, kemudian abunya terbang dibawa angin menjelajah dunia aneh tersebut. Satu-satunya yang menjadi tujuan Archmage saat ini hanyalah Grand Auctioneer.

~o0o~

"Archmage," panggil gadis berambut pirang dengan mata biru yang indah. "Apa Anda datang untuk membawa pulang Lady Duchess?"

Archmage terdiam, dalam sekali lihat perasaannya mulai terhubung dengan Ririe. Suasana gadis itu sedang baik, membuat Archmage sejenak melupakan kesedihan yang dirasakan Eversly.

"Kau juga harus pulang."

Archmage telah selesai menyerahkan surat dan bunga forget-me-not pada Grand Auctioneer, begitu pula Ririe. Kini keduanya berjalan beriringan menuju bangunan utama tempat berkumpulnya para tokoh hari ini. Selama mereka berjalan menyusuri jalan setapak, banyak orang yang mereka temui. Akan tetapi, tidak ada satu pun dari mereka yang menyadari kehadiran sang Archmage.

"Hari ini menyenangkan sekali. Akhirnya aku terbebas dari neraka," pungkas Ririe sembari meregangkan tubuh.

"Bukan berarti nasibmu di Veindrae akan seindah bunga-bunga yang kau berikan," sahut Archmage sinis.

"Oh, benarkah? Lagi pula, aku lebih suka rumah. Walau aku jadi hantu, sih." Setelah berkata begitu, Ririe tertawa.

Semilir angin berembus, menggerakan rambut dan gaun mereka pelan. Langit di atas mereka yang semula dipenuhi awan kelabu, kini sudah menjadi jingga. Ririe berhenti melangkah. Kedua tangannya bertautan di belakang tubuhnya, lalu mata birunya menatap langit dengan senyuman merekah di wajah.

"Archmage, aku sungguh berharap bisa memiliki seseorang seperti 'dia' di dunia kita." Ririe lalu menoleh pada Archmage yang menatapnya datar. "Bisakah aku bereinkarnasi juga?"

Satu pertanyaan itu membuat Archmage terdiam. Ribuan tahun hidupnya, ia tidak pernah melakukan yang namanya ritual reinkarnasi. Sebab memang bukan kuasanya untuk melakukan hal tersebut. Jadi, sang Archmage hanya menggeleng sebagai jawaban dan Ririe paham akan itu.

"Ah, memang sudah nasibku seperti ini. Kurasa apa yang terjadi di sini adalah harga dari apa yang kulakukan selama di Veindrae. Aku memang pantas menerima itu." Ririe menunduk, senyum di wajahnya berubah sendu. "Mau bagaimana lagi, kan, ya?"

Archmage tidak menjawab, matanya hanya memperhatikan sebuah tempat yang perlu ia kunjungi lagi. Sore itu, sebelum jingga berganti ke langit gelap, Archmage telah pergi menuju tempat peristirahatan Eversly. Sementara Ririe pergi ke tempat para tokoh berkumpul.

~o0o~

Saat Archmage masuk ke ruangan persembunyian itu, Eversly sudah bangun. Perempuan itu menatap ke atas meja dengan posisi duduk. Begitu mendengar suara langkah kaki, kepalanya menoleh cepat ke sumber suara dengan secercah harapan terlihat di mata.

"Vi—"

Namun, suaranya menghilang kala yang dilihatnya bukan sesuai harapan. Sosok Archmage di sana justru membuat gadis itu terbelalak dan menciut. Padahal, Archmage tidak akan melakukan apa pun padanya.

"Sudah saatnya kita pulang. Biarlah acara penutupan aku yang menghadiri sebagai perwakilanmu," kata Archmage.

"Tapi ... aku ...."

Eversly makin mengeratkan pegangannya pada mantel di tangan, tatapannya beralih ke gaun birunya yang kusut.

"Bicara saja kau sudah tidak sanggup, bagaimana kau mau memberikan confess di penutupan nanti? Pada akhirnya, kami, pencipta kalianlah yang akan membuka tabir pengendali tak kasat mata di acara reveal sebelum tirai diturunkan. Aku akan mengantarmu terlebih dahulu sampai Astral Tree. Setelahnya kau bebas menangis di kediamanmu sendiri."

Eversly terdiam sejenak, lalu menoleh perlahan pada Archmage. "Ada ... satu hal ... yang ingin kulakukan."

"Apa yang ingin kau lakukan, Eversly?"

Eversly menarik napas, mempersiapkan diri untuk mengungkapkan keinginan terakhirnya. "Biarkan aku membakar hatiku di sini sehingga saat kembali ke Veindrae, aku tidak perlu lagi merasakan semua emosi yang pernah kurasakan di sini."

Archmage terkejut, sebab ia kira Eversly mungkin akan membawanya. Namun, sosok itu paham, semua perasaan baik yang menyenangkan ataupun menyakitkan merupakan kenangannya di dunia ini. Orang yang berhasil membuat Eversly jadi memiliki emosi layaknya manusia sudah tidak ada lagi, dan baginya semua emosi itu jadi tidak berguna.

"Ceritaku sudah selesai. Aku sudah tidak lagi membutuhkan hati ini," ujar Eversly yang berhasil membuyarkan lamunan sang Archmage.

Dengan berat hati Archmage menyetujuinya. Malam itu sebelum acara menyingkap tabir tak kasat mata dunia asing nan misterius, Eversly menyerahkan kepingan hatinya. Kemudian, sang Archmage membakarnya bersama sisa abu peninggalan kekasih Eversly dengan api sihir miliknya.

~o0o~

A/N
Sebetulnya ini cuman after story yang aku buat sendiri setelah PM Shadow House selesai. Karena akunya gagal move on abis ditinggal mati cp Eversly.

Oh iya, Eversly sendiri salah satu tokoh dari novel Shadowglass Covenant. Bukunya bisa dipesan di toko official Ellunar di Shopee dan Tokopedia, ya (⁠~⁠‾⁠▿⁠‾⁠)⁠~

29 September 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top