13 Nyatain
Nini khawatir dengan kondisi pundak Wonbin.
Gadis itu mengendap-endap naik ke rooftop lantai tiga. Seperti biasa, Wonbin sedang berbaring di bale bambu menatap langit malam. Nini tidak langsung menghampirinya. Ia segan. Tadi pagi, ia mencium bibir pria itu. Sorenya, pria itu harus tertimpa reruntuhan pondasi set di pundak kirinya karena menyelamatkannya. Ini pasti hari yang membingungkan sekaligus melelahkan bagi Wonbin. Nini menghela napas pendek. Apakah pantas baginya untuk muncul di hadapan pria itu sekarang?
"Nini?" panggil Wonbin.
Gadis itu menoleh. Ternyata Wonbin menyadari kehadirannya di ujung tangga sana. Ketika melihat pria itu tersenyum kecil sambil menunjuk bale bambu dengan dagunya untuk menyuruhnya duduk, Nini dalam sekejap merasa begitu lega. Gadis itu kini duduk di samping pria itu dengan linglung. Ia melirik Wonbin takut-takut. Melihat reaksi Nini, Wonbin tersenyum di ujung bibirnya.
"Kamu kenapa sih?" tanya Wonbin tak kuasa menahan senyumnya.
"Pundak kamu gimana?" Nini balik bertanya seraya mencoba mengulurkan tangannya untuk menyentuh pundak pria itu. Namun, Wonbin memilih menjauh. Akan tetapi, baru bergerak sedikit saja, Wonbin merasakan sakit yang luar biasa dari pundaknya.
"Agghh," ringisnya.
"Tuh kan. Pundak kamu sakit. Coba aku lihat!" ujar Nini khawatir.
"Ngga usah. Ngga papa kok," tolak Wonbin seketika.
"Ngga! Aku pengen lihat!" paksa Nini.
Tentu saja Wonbin tidak punya pilihan lain. Dengan terpaksa ia membuka kaosnya dengan perlahan. Mata Nini melebar. Pundak kiri Wonbin tertutupi memar biru keunguan dan bengkak. Pria itu juga kesakitan ketika hendak mengangkat tangannya. Hati Nini terpukul. Ia dipenuhi rasa bersalah dalam sekejap.
"Tunggu, aku ambilin kompres es," ujar Nini. Tak lama kemudian, gadis itu kembali dengan handuk kecil dan wadah mini berisi air es. Ia kemudian meletakkan handuk dingin itu ke pundak Wonbin.
Pria itu tertunduk sambil meringis pelan. Namun, beberapa saat kemudian, harus ia akui bahwa rasa sakit itu berkurang banyak. Entah karena kompres es itu manjur atau karena gadis itu ada di sisinya, yang membuatnya merasa lebih baik. Ketika suhu di handuk itu mulai menghangat, Nini kembali mencelupkan handuk di wadah es dan kembali meletakkannya di pundak Wonbin. Setelah Wonbin merasa nyaman dengan pundaknya, Nini membantu pria itu memasang kembali kaosnya dengan hati-hati.
"Maafin aku, Bin!" bisik Nini dengan suara bergetar. "Gara-gara aku..."
Wonbin tidak suka mendengar gadis itu menyalahkan dirinya sendiri. "Kok minta maaf sih? Bukan salah kamu."
"Tapi kamu jadi sakit gini..."
"Ini ngga seberapa kok. Istirahat bentar paling besok sembuh."
"...Kenapa kamu nyelamatin aku sampai segitunya?"
Nada suara Nini berubah lirih. Dari sorot matanya, gadis itu sepertinya menginginkan sebuah kepastian. Wonbin tahu persis jawaban apa yang diinginkan gadis itu. Namun, Wonbin tidak ingin membuka peluang apapun, meskipun jauh di hatinya ia sangat ingin.
"... karena aku bodyguard kamu."
"Cuma itu?" tanya Nini tidak puas. "Kamu yakin?"
Wonbin memalingkan wajahnya ke samping dan tersenyum pahit. "Itu emang tugas aku. Aku ngga bisa biarin kamu kenapa-napa. Kamu bayar aku buat itu. Emang kamu pengen jawaban kayak gimana?"
Nini menggeleng kencang. Ia kini memegang sebelah lengan Wonbin, menatap dalam-dalam pria itu. Nini kini membuang jauh-jauh keraguannya sejak ia yakin dengan perasaannya sendiri. Ia mengesampingkan egonya. "Aku akuin dulu aku salah. Aku nyakitin kamu. Kamu tahu kan aku dan mama aku cuma pembantu di rumah kamu. Hubungan kita waktu itu sampai ngerusak hubungan antara keluarga kamu dan mama aku. Keluarga kamu ikut hancur gara-gara aku..."
"Udah deh, Ni! Ngga usah dibahas lagi," pinta Wonbin. Nadanya meninggi. Ia lelah dengan masa lalu itu.
"Tapi itu dulu, Bin," sambung Nini frustrasi. "Aku udah berubah."
Wonbin menahan perih di dadanya. "Aku ngerti perasaan kamu dulu. Karena itu yang aku rasain sekarang. Kamu emang udah berubah. Kamu bukan pembantu lagi. Kamu penyanyi terkenal. Hidup kamu bahagia. Kamu dicintain banyak orang. Dan aku...?" Wonbin sekali lagi menggeleng. "Sekarang posisi kita udah beda. Kebalik. Ngga ada yang bisa aku tawarin ke kamu..."
Nini tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Apa yang dikatakan Wonbin sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang diutarakannya dulu kepada pria itu. Wonbin pasti terbebani, tidak percaya diri, sama seperti dirinya dulu. Nini tidak terima. Ini hanya akan mengulang masa lalu mereka.
"Bin, kamu kok ngomong gitu? Ini tuh cuma aku, Nini..."
"Aku cuma bakalan ngerusak karir kamu."
"Bisa ngga sih kamu ngga usah peduliin status kita sekarang?"
"Gimana aku ngga peduli? Ini yang dulu kamu omongin ke aku kan? Soal perbedaan status kita. Apa bedanya ama yang sekarang?"
Suara Wonbin bergetar. Nini membuatnya merasa tersudutkan. Pria itu tidak berdaya. Rasa percaya dirinya hilang. Ia merasa kecil dan tidak berarti. Hingga gadis itu perlahan menyentuh kedua pipi Wonbin dengan lembut.
"Aku ngga bisa ngelupain kamu, Bin. Dari kita pisah sampai ketemu lagi sekarang" Nini mengucapkannya sambil tersenyum tulus. Sementara itu, Wonbin membeku. Pundaknya kini terasa semakin berat mendengar pernyataan itu.
"Please... Nini, aku ngga bisa... Tolong jangan perumit hubungan kita lagi..."
Wonbin menghembuskan napas berat. Ia serasa bertukar tempat. Pria itu seolah-olah melihat dirinya yang dulu di diri Nini. Bagaimana dulu ia mencoba menyatakan perasaannya kepada Nini, namun gadis itu ternyata menolaknya mentah-mentah karena perbedaan status mereka. Penolakan itu sangat menyakitkan, menggerogoti dirinya selama bertahun-tahun. Namun, lihat apa yang dilakukannya sekarang?
"Bin, tanpa ngeliat status kita, kamu sendiri gimana? Perasaan kamu ke aku yang sebenarnya gimana?"
Kenyataannya, Wonbin tidak sanggup lagi membendung perasaannya. Rasa itu meluap-luap keluar, membanjirinya. Ia merasa jika ia tidak mengutarakannya sekarang, Nini akan kembali menghilang dari hidupnya. Ia tidak menginginkan itu. Ia tidak ingin tersiksa lagi seperti dulu. Kali ini, ia membiarkan kehendaknya mengendalikannya.
"Aku... Aku masih sayang sama kamu," lirih Wonbin.
Nini bisa merasakan dalam sekejap jantungnya berhenti berdetak.
Ehh? Dia nembak gue?
***
Malam itu, Wina meregangkan badannya karena kelelahan setelah tiba dari dinas luar kota. Ia berjalan ke kamar kosnya sambil menggiring koper lalu membuka pintu. Begitu ia masuk ke dalam, Nini tidak ada di sana. Bukannya gadis itu berkata sedang menginap di kosnya? Apa masih ada schedule? Setelah menaruh barang, Wina iseng beranjak naik ke rooftop.
Wina terbelalak lebar. Mulutnya terbuka seperti akan jatuh. Ia tidak memercayai matanya. Ada laki-laki dan perempuan sedang berdiri berhadapan dan saling berangkulan di kosnya. Mereka saling menatap penuh damba satu sama lain. Yang satu adalah sahabat baiknya dan yang satunya lagi bodyguard sahabat baiknya. Wina tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Prediksi Wina benar. Mereka... akan berciuman? Astaga! Sebelum bibir mereka bersentuhan...
"Woi!!!"
Nini dan Wonbin berpaling ke sumber suara. Wina! Pemilik kos itu sedang berkacak pinggang, melototi mereka dengan tajam, siap menginterogasi keduanya. Alhasil mereka berdua kikuk, panik, kelabakan, melemparkan Wina dengan ekspresi gue-bisa-jelasin-ke-lo atau ini-ngga-seperti-yang-lo-bayangin.
Wina menunjuk salah satu label stiker peraturan kos yang tertempel di dinding.
"Dilarang berbuat mesum di kos gue!!!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top