09 Teror
Malam itu, Wonbin benar-benar membantu Nini mendekorasi apartemen gadis itu dengan pernak pernik Imlek. Di samping meja ruang tengah telah terpajang pohon meihua berukuran besar. Wonbin dan Nini sedang duduk di sofa, menyiapkan beberapa angpao untuk digantung di pohon tersebut serta dekorasi lainnya.
"Ni, angpao yang mau digantung ntar berapa lembar?" tanya Wonbin yang tetap fokus memasang seutas tali kecil di tiap-tiap angpao.
"Pasang aja semua itu Bin," jawab Nini yang sibuk menyusun lampion.
Pria itu menghitung semua angpao yang hendak digantung. Ada kurang lebih 20 lembar. "Mau diisi berapa? Duitnya mana, Ni?"
"Ngga ada. Cuma pajangan aja."
"Hah? Pajangan doang?" Wonbin refleks menahan tawa. Nini seketika malu dan tertawa berhambur sambil memukul pelan lengan Wonbin.
"Ngga!!! Yang bakal aku kasih ke orang-orang tuh angpao-nya terpisah. Bukan yang digantung-gantung kayak gini! Ya kali aku nyuruh mereka nyabutin dari pohon."
"Tapi seingetku dulu Tante Mawar tetep ngisi berapa gitu. Terus kita tinggal milih-milih dari pohon, tinggal nunjuk pengen angpao yang mana."
"Itu kan dulu waktu kita kecil, Bin! Kayaknya kurang personal aja kalo ngga ngasih langsung. Lagian juga kalo dipikir-pikir, aku kan belum nikah! Ya ngga wajib dong ngasih angpao!" rajuk Nini.
"Alesan aja," respon Wonbin terkekeh. "Kan udah mapan. Ya wajib dong ngasih angpao."
Mereka berdua larut dalam candaan yang mereka lontarkan. Sesekali mereka berdua tertawa lepas. Tidak ada lagi kecanggungan di antara mereka. Wonbin kini terlihat lebih leluasa mengutarakan gagasannya kepada gadis itu. Nini begitu lega saat menyadari Wonbin kini sudah tidak menahan diri untuk mengajaknya bercanda seperti dulu lagi. Setelah pekerjaan mereka selesai dan sisa-sisa pernak-pernik telah dibereskan, Wonbin pamit untuk pulang.
"Aku balik ya," ucap Wonbin di depan pintu sebelum pergi. "Buruan tidur udah malam banget ini."
"Makasih banget ya udah bantuin hari ini," sahut Nini. Namun, sebelum Wonbin pergi, Nini kembali memanggil nama pria itu agar berbalik. Nini menatap Wonbin sejenak, membuat pria itu keheranan. "Bin, sini bentar! Aku mau bisikin kamu sesuatu."
Nini menarik tangan Wonbin agar berjalan ke arahnya. Gadis itu tersenyum usil dan memberi kode kepada Wonbin agar mendekatkan telinganya. Wonbin mendadak diserbu perasaan tak menentu. Tanpa alasan yang jelas, jantung Wonbin berdegup lebih cepat, seraya gadis itu mendekatkan bibir dan jemarinya ke telinga Wonbin untuk membisikkan sesuatu.
Nini memberitahu Wonbin passcode pintunya tanpa ragu. Tentu saja Wonbin sangat berusaha mengendalikan ekspresinya. Yang paling mengejutkan, passcode itu adalah tanggal ulang tahun Wonbin. Pria itu justru menatap Nini tidak mengerti. Dalam benaknya berbagai pertanyaan bermunculan. Mengapa Nini menggunakan tanggal ulang tahunnya sebagai passcode pintunya? Mengapa akhir-akhir ini Nini seakan-akan memancingnya untuk menarik perhatiannya? Mengapa Nini secara terang-terangan seolah menunjukkan ketertarikannya kepadanya? Astaga! Wonbin mendesah dalam hati.
Sumpah! Geer banget lo, Bin!
"Kok berani ngasih tau aku passcode pintu kamu?" tanya Wonbin salah tingkah.
Nini sebenarnya mengharapkan Wonbin memberikan reaksi terhadap kode passcode yang merupakan tanggal lahir Wonbin. Namun, mungkin pria itu tidak menyadarinya atau tidak ingin membicarakannya. Pancingannya gagal. Nini memanyunkan bibirnya. "Kamu kan bodyguard aku. Kalo ada apa-apa kamu bisa langsung masuk."
"Siapa aja yang tahu selain aku?"
"Cuma kamu."
"Bang Ivan?"
"Dia ngga tau. Ngga ada yang tau kecuali kamu."
Pria itu agak sedikit besar kepala karena merasa begitu diutamakan oleh Nini. Namun, Wonbin buru-buru menepis pikiran anehnya. Itu semata-mata untuk kepentingan pengamanan. Ya, kepentingan pekerjaan. Profesionalisme. Wonbin tersenyum kecil, lalu mengangguk.
Setelah pamit, Wonbin menuruni apartemen menggunakan lift. Begitu tiba di lantai dasar, pintu lift terbuka. Namun, di depan Wonbin berdiri seorang... pria? Wonbin menyipitkan matanya. Pria ber-hoodie, berkacamata, dan bermasker. Wonbin sangat familiar dengan postur tubuh itu. Begitu melihat Wonbin, orang itu seketika menunduk cepat. Wonbin dengan ragu melangkah keluar dari lift dan sebaliknya, orang itu memasuki lift. Tepat di saat mereka berpapasan, Wonbin tersadarkan oleh sesuatu. Ia mencium aroma parfum itu. Aroma oud yang sangat kuat. Aroma yang sama dengan aroma seseorang yang beberapa waktu lalu bergulat dengannya.
Stalker yang di perkuburan...
Wonbin membelalak. Di sela-sela pintu lift yang akan menutup, Wonbin melihat pria itu menempelkan kartu akses lift apartemen. Pandangan mereka seakan bertemu. Wonbin merasakan firasat buruk. Dalam sekejap, Wonbin melangkah ingin menyerobot masuk lift. Sayangnya, pintu lift terlanjur menutup dengan sempurna. Ia beralih ke lift sebelahnya. Namun, sepertinya sedang dalam perbaikan.
Wonbin yang dipenuhi rasa cemas dengan kalap berlarian naik ke tangga menuju lantai tujuh apartemen milik Nini. Semakin ia menapaki tangga, semakin besar rasa takut yang menghampirinya. Ia ingin segera tiba di sana sebelum penguntit itu melakukan sesuatu. Tolong sampai tepat waktu! Hanya itu yang ada di pikirannya. Begitu tiba di depan pintu apartemen Nini, Wonbin tanpa pikir panjang memasukkan passcode di smartlock, tanggal ulang tahunnya.
***
Wonbin? Nini mendengar bel apartemennya berbunyi tidak lama setelah Wonbin pergi. Ia melangkah ke pintu dan melihat ke layar monitor. Nini mengerutkan kening keheranan. Tidak ada seorang pun di sana. Namun anehnya, bel terus berbunyi. Gadis itu menekan sebuah tombol dan berbicara dari dalam ruangan. "Bin? Kamu ya? Ada barang yang ketinggalan?" Nini beberapa kali menanyakan hal tersebut. Akan tetapi, tidak ada jawaban di luar sana. Nini tanpa ragu membuka pintu.
Seketika gadis itu terperanjat begitu melihat sosok yang muncul di pintu apartemennya. Pria yang waktu itu membuntutinya. Nini merinding hingga ke kepalanya. Ia melangkah mundur secara perlahan.
"Hai, Nini!" sapanya tersipu. "Ternyata kamu tinggal di sini, ya? Wah! Kita sekarang tetanggaan. Aku baru aja beli unit yang di ujung sana."
Beli unit? Nini kaget sejadi-jadinya hingga mulutnya terbuka. Anjirlah!
"Yang waktu di perkuburan itu, kamu pasti kaget ya tiba-tiba ada cowok asing yang datang ngegangguin kita? Maaf ya, sayang! Aku juga ngga kenal cowok itu!"
Rasa takut menjalari Nini bertubi-tubi begitu penguntit itu dengan perlahan membelai rambut Nini. Gadis itu tertunduk takut dan menutup matanya rapat-rapat.
Penguntit itu mengangkat dagu Nini dan meletakkan telunjuknya di bibir gadis itu. "Ssshhh..." lirihnya, menyuruh Nini untuk diam. Ia memundurkan tubuh Nini ke tembok dan menguncinya di sana. "Nini, ini aku. Kok kamu takut? Ini aku lho, sayang... Aku sampai bela-belain beli unit biar bisa deket kamu."
Penguntit itu kini membungkam mulut Nini. Air mata Nini jatuh membanjiri tangan penguntit yang sedang menutup mulutnya. Nini hanya mampu memekik sebisanya karena tubuhnya tidak bisa bergerak oleh cengkeraman kuat pria itu. Ia tidak bisa kemana-mana.
Mereka berdua kemudian mendengar seseorang sedang menekan angka-angka passcode di smartlock pintu. Tiba-tiba seorang pria masuk dengan membanting pintu. Kepalanya memutar ke segala penjuru ruangan.
Wonbin! Batin Nini.
Saat Wonbin mendapati Nini menangis karena cengkeraman penguntit itu di sudut tembok sana, darah Wonbin mendidih. Tatapan matanya setajam pisau. Ia berlari dan menjauhkan penguntit itu dari Nini. Dengan segala luapan kemarahannya, Wonbin turut mendorong penguntit itu ke tembok dan ikut mengunci tubuh penguntit itu. Sayangnya, penguntit itu tertawa nyaring.
"Gue cuma datang bertamu anjir!" sela si penguntit.
Amarah Wonbin membakar hingga ke ubun-ubun. Nada suara Wonbin merendah. Ia memperkuat cengkeramannya ke penguntit itu. "Kalo lo datang bertamu, kenapa gue nemuin lo udah dalam posisi kayak gini? Lo apain dia?"
"Lo siapanya Nini sih, Njing? GUE COWOKNYA NINI!!!"
"Gue bodyguard-nya Nini."
Penguntit itu hendak melayangkan satu tinjuan ke wajah Wonbin, namun berhasil ditangkis. Wonbin kini melayangkan tinjuan fatal hingga penguntit itu terjatuh. Entah penguntit itu punya nyali atau tidak, setelah menerima pukulan mematikan itu, ia lari terbirit-birit keluar dari unit Nini dan kabur menuruni tangga.
Wonbin baru akan mengejar penguntit itu, akan tetapi entah mengapa ia lebih mementingkan kondisi Nini. Wonbin lalu berpaling ke arah Nini yang terduduk ketakutan di lantai. Pria itu dengan cepat merangkul Nini begitu erat. Sebelah tangannya mengusap kepala gadis itu untuk menenangkannya. Merasa aman di pelukan Wonbin, Nini malah terisak. Mendengar isakan tersebut, hati Wonbin seolah hancur. Wonbin seketika diselimuti rasa bersalah. Ia terlambat karena penguntit itu berhasil menyentuh Nini. Ia merasa gagal melindungi gadis itu. Wonbin tertunduk dan menyalahkan dirinya sendiri.
"Nini... Kamu ngga papa? Kamu ngga luka kan? Maafin aku telat datang... Please! Maafin aku..."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top