08 Masa Lalu

10 tahun yang lalu...

"Hai, Tan!"

Wonbin baru saja mengagetkan Mawar yang tengah sibuk memasak di dapur, Mawar adalah seorang wanita paruh baya bertubuh kecil, langsing, berambut lurus sebahu, berkulit putih, dan bermata sipit. Dia adalah pengasuh Wonbin sejak berusia 5 tahun. Wanita berparas Tionghoa itu kini mengerjap kikuk menatap setangkai bunga segar yang disodorkan Wonbin ke depannya.

"Nih, mawar kesukaan tante!" seru Wonbin sumringah. "Durinya udah aku kikis kok."

Alih-alih senang mendapat mawar merah, wanita itu mengomel was-was. "Duh, Ko! Itu mawar baru dibeli sama ibu dari Bogor kemarin! Gimana kalo ibu marah?"

"Mama ngga bakal marah kok kalo mawarnya ilang satu," jawab Wonbin cuek. "Lagian bunga ini lebih cocok ama tante. Namanya kan sama!" Wonbin terkekeh lalu berjalan ke meja island dan duduk di kursi tinggi. Anak lelaki itu dari dulu senang memerhatikan wanita itu memasak. "Masak apa, Tan?"

Mawar tersenyum lebar. "Sup ayam kesukaan koko nih!" jawab wanita itu. Setelah menaruh bunga ke dalam vas tinggi yang ramping, wanita itu menghidangkan sup hangat ke depan Wonbin. Melihat kedua mata Wonbin berbinar, wanita itu tersenyum puas. "Makan yang banyak sebelum bertanding. Hari ini jadi tanding taekwondo kan?" Mawar ikut duduk di samping Wonbin.

"Kok tau, Tan?"

"Tyas yang cerita ke tante."

Mendengar nama anak perempuan Mawar, gerakan Wonbin melambat saat hendak menyuapkan makanan ke mulutnya. Wonbin melirik wanita itu dan berusaha mengendalikan senyumnya. "Umm... Nini mana?"

"Ada tuh habis nyuci. Mungkin lagi jemur seprai di belakang."

Wonbin lalu membalap makannya hingga membuat wanita itu melongo heran.

"Astaga! Kalo makan pelan-pelan, Ko!"

Seusai makan, Wonbin berjalan cepat menuju taman belakang rumahnya. Di area tersebut, nampak seorang gadis seumurannya sedang sibuk menjemur beberapa seprai putih sambil bersenandung. Gadis itu berdiri membelakanginya sehingga mungkin kehadiran Wonbin tidak disadari olehnya. Langkah Wonbin terhenti. Ia memandangi gadis itu dari belakang sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya.

Entah sejak kapan. Wonbin sendiri tidak tahu pasti. Setiap kali langkahnya mendekat ke arah Nini, Wonbin merasa jantungnya seperti melompat-lompat kegirangan. Senyum di bibirnya secara otomatis tersungging. Terkadang ia merasa gugup hingga tangannya dingin. Padahal, gadis itu hanya Nini, gadis yang dikenalnya sejak usia 5 tahun.

Entah sejak kapan, Wonbin melihat Nini dengan sudut pandang yang berbeda. Banyak hal yang baru disadarinya saat ia beranjak remaja. Contohnya, Nini ternyata sangat cantik kalau diperhatikan. Nyanyian gadis itu dapat membuat Wonbin takjub. Senyuman Nini melemahkannya hingga ia harus memalingkan wajahnya karena malu. Meskipun ragu dengan perasaannya, Wonbin tahu ia sedang jatuh cinta.

"Lho? Bin?" sahut Nini heran. "Kok ngga siap-siap ke arena? Jadi tanding kan?"

Wonbin tersenyum. "Ini baru mau pergi. Mau bareng ngga?"

Nini ragu. Ia menjalarkan bola matanya kemana-mana mencari alasan. "Sorry, aku kayaknya mau mampir ke sekolah dulu deh."

"Oh... gitu.... Bilang aja mau pergi ama si Jaya."

Nini merasa nada suara Wonbin agak dingin. Gadis itu memalingkan mukanya sambil tertawa kesal. "Emang napa? Jaya kan teman sekelas aku."

"Jadi sekarang kamu mau ngedukung lawan main aku di final taekwondo ini?" goda Wonbin memanas-manasi. Kini Wonbin menggerutu kepada dirinya sendiri. "Napa sih kita harus beda sekolah..."

"Pokoknya tahun ini SMA aku yang bakal menang!" ucap Nini. "Aku pengen ngedukung Jaya."

Wonbin berdecak meremehkan. "Yang bener aja..." lirihnya. Wonbin teringat akan suatu hal yang sudah sangat mengganggu pikirannya akhir-akhir ini. Sebenarnya ia tidak ingin membahas soal itu sebelum bertanding karena takut membuyarkan konsentrasinya. Namun, hal tersebut tetap saja berkelebat di otaknya. Wonbin butuh kepastian. "Oh iya, Ni..."

"Apa?"

"Aku denger dari anak-anak taekwondo... Si Jaya... nembak kamu ya?"

Nini terdiam untuk beberapa saat. Ia lalu kembali membenarkan posisi jemurannya dan berdiri membelakangi Wonbin. "Hmm..." gumam Nini mengiyakan sambil mengangguk pelan.

Mendengar sahutan pendek itu, Wonbin seketika panik. Ia membeku sejenak. Hatinya berteriak lantang. Gawat! Ia terlambat! Nininya telah diambil duluan oleh orang lain. Bagaimana jika setelah ini Nini menjauh darinya? Wonbin meraih sebelah lengan Nini dan memutar tubuh gadis itu dalam sekejap ke hadapannya.

"Napa sih, Bin?" tanya Nini dengan mata melotot. "Ngagetin tau!"

"Kalian udah jadian?" tanya Wonbin tidak sabaran dengan kening mengerut.

Nini menutup mata dan menghembuskan napas berat. "Ngga, Bin! Aku... Ngapain juga sih aku cerita ke kamu?" ujar Nini keheranan.

"Cerita ngga!" rajuk Wonbin.

"Iya iya bawel!" sembur Nini kesal. "Oke, dia nembak aku. Tapi... aku kasih satu syarat."

Wonbin mengangkat satu alisnya. "Syarat apa?"

Nini tertunduk takut-takut. "Kalau dia menang lawan kamu... Aku mau jadian sama dia."

"Lah kok gitu?" protes Wonbin dengan nada melengking. Untuk pertama kalinya ia merasa terkhianati.

"Bin, itu tuh cuma bentuk dukungan buat nyemangatin dia."

"Terus kalo dia menang gimana? Kamu beneran mau jadi pacar dia?"

"Emang dia bisa menang lawan kamu?"

Wonbin tertegun. Nini sedang tersenyum penuh arti kepadanya. Setelah ia meresapi kata-kata Nini, Wonbin kini menangkap bahwa secara tidak langsung, Nini mengakui kemampuan Wonbin. Nini yakin bahwa Wonbin yang akan memenangkan pertandingan ini. Satu lagi, hal tersebut bisa berarti... Nini memang tidak punya perasaan khusus terhadap lawannya itu. Perlahan Wonbin tersenyum puas, membuat Nini kesal. Sepertinya gadis itu menyesal telah membuat Wonbin besar kepala.

"Ngapain senyum-senyum sendiri?" ucap Nini sinis. "Aku tarik deh ucapan aku tadi."

Wonbin dengan penuh keyakinan melangkah mendekat ke depan Nini, membuat gadis itu mundur selangkah. "Kalau aku menang, berarti kita jadian?"

Nini bengong. Otaknya melambat. "Hah?"

"Iya kan? Ini pertaruhan. Kalo aku kalah, kamu jadian ama Jaya. Kalo aku menang, berarti..."

"Tunggu!" sela Nini panik sambil menutup matanya. "Kamu gila ya? Itu ide dari mana lagi..."

"Lho? Biar adil kan?" jawab Wonbin polos. "Setuju?"

Wajah Nini merona hingga ke telinganya. Usul Wonbin sungguh tidak masuk akal. Pria itu memang senang bercanda. Namun, kali ini entah ia harus benar-benar menanggapinya serius atau tidak. Takutnya, itu hanya akan memberinya harapan semu. Nini sadar diri. Status antara dirinya dan Wonbin terlalu berbeda.

"Terserah kamu aja deh," jawab Nini asal. Ia tahu Wonbin pasti hanya bermain-main. Nini sebenarnya tidak ingin berharap terlalu jauh dan berujung kecewa. "Aku lagi malas debat ama kamu."

Senyum Wonbin merekah. "Hah? Serius? Kalo aku berhasil juara taekwondo, kita... jadian?"

"Ka-lau..." Nini memberi pemisalan.

"Artinya, kalo gitu kita sekarang pacaran dong?" balas Wonbin mengangkat sebelah alisnya.

"Ihh... Pede banget, emang udah pasti menang?"

"Iya dong! Emang kalo soal bela diri, ada yang bisa ngalahin aku?" ucap Wonbin percaya diri sambil menggenggam kedua tangan Nini.

Gadis itu terbelalak. "Wonbin, lepasin! Gimana kalo orang tau kamu pacaran ama aku?"

"Emang kenapa? Lagian kita kan beda sekolah."

Nini tertunduk lesu. "Ya... kan? Aku bukan siapa-siapa. Cuma pembantu di rumah kamu."

Sekejap hati Wonbin serasa diiiris mendengar pernyataan itu. Ia justru mempererat genggamannya. Untuk pertama kali, ia melihat Nini begitu rendah diri. "Aku ngga mau denger itu lagi dari kamu."

Nini seketika mengangkat kepalanya. Ia justru bertanya-tanya apa pernyataannya tadi salah setelah mendengar Wonbin berbicara dengan nada menusuk.

"Kamu tuh berharga, Nini! Kamu potensial! Jangan ngerendah lagi, ya! Aku beneran ngga suka!" Kali ini Wonbin menyapukan tangannya ke rambut Nini sambil tersenyum lembut. "Daripada ngga pedean gitu, mending kamu siap-siap deh."

"Siap-siap apa?" ucap Nini tersipu.

"Siap-siap bakal jadi pacar aku setelah aku menangin pertandingan ini."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top