07 Glodok
Pukul 07.30 pagi di hari libur, Nini tiba di kos Wonbin. Ia tanpa ragu naik ke atas rooftop. Suasana rooftop di pagi hari begitu berbeda dibanding malam hari saat terakhir ia berkunjung. Nini melihat tanaman di seluruh pot dalam keadaan basah. Sepertinya habis disiram oleh Wonbin. Nini menengok ke satu-satunya kamar yang ada di sana. Mungkin Wonbin masih di dalam kamar karena terdengar suara grasak grusuk. Baru saja Nini berjalan mendekat ke pintu kamar Wonbin, tiba-tiba pria itu keluar kamar. Telanjang dada. Pandangan mereka bertemu.
Astaga!
Nini dengan secepat kilat membalikkan tubuhnya. Jantungnya hampir copot dan wajahnya seperti mendidih. Ia tidak sengaja melihatnya, seluruh otot dan dada bidang itu. Sementara itu, Wonbin melompat kaget dan berhambur masuk kembali ke kamarnya. Ia meraih kaosnya dan mengenakannya dengan terburu-buru seraya keluar dari kamar.
"Lho, Nini? Kok pagi-pagi ke sini?" tanya Wonbin panik. "Bukannya jam sepuluh? Kan aku bisa jemput!"
"Iya sih," jawab Nini kikuk. "Gimana kalo kita sarapan di luar aja? Biar berangkat lebih cepet? Kamu... keberatan ngga?"
Wonbin melongo. Ia menggeleng pelan. "Tapi, aku belum mandi. Mau nunggu?"
Nini sama sekali tidak keberatan. Toh memang salahnya datang lebih cepat. "Ngga papa. Aku bisa nunggu lama kok. Sejam juga ngga masalah."
Untungnya, Nini hanya menunggu kurang dari 10 menit. Pria itu sudah keluar dalam keadaan rapi dengan pakaian kasualnya. Kaos dan celana jeans, seperti yang sedang dikenakan gadis itu, Wangi parfum dari pria itu cukup memikat perhatian Nini.
"Yuk! Kunci mobil kamu mana?" tanya Wonbin. "Kamu mau beli pernak pernik Imlek dimana?"
"Di Glodok. Tapi, aku ngga bawa mobil. Tadi aku ke sini bareng Wina dari apartemen aku, boncengan naik motor dia. Gimana kalo naik motor kamu aja?" usul Nini modus.
"Motor aku lagi di-service. Pinjam punya Wina aja, ya."
"Wina barusan pergi lagi," sambung Nini. "Kalo gitu naik KRL aja. Ini hari libur kan? Kayaknya sepi."
Wonbin melototkan matanya. "Kamu mau bikin kerumunan baru di sana?" Ia mendesah pelan. "Naik taksi online aja ya. Lebih aman buat kamu."
"Ngga mau! Kan ada bodyguard aku. Aku lagi pengen kayak dulu, bisa pergi kemana aja dan ngga dikenalin orang," ucap Nini mencari masalah. Gadis itu mengenakan kacamata hitamnya lalu tersenyum jahil. "Kuy!" Ia duluan menuruni tangga.
Wonbin melongo sekali lagi.
***
Mengapa harus memilih jalan rumit jika ada jalan yang mudah?
Hal itu sejak tadi berputar di otak Wonbin. Ia tidak habis pikir gadis itu memilih naik KRL di antara semua pilihan transportasi. Mereka sedang berdiri menunggu KRL arah Jakarta Kota. Meskipun hari libur, penumpang tetap ramai seperti biasanya. Alhasil, sejak tadi Nini hanya tertunduk, merapatkan kacamata hitamnya, agak menurunkan rambutnya di dekat matanya, dan terus bersembunyi di balik lengan Wonbin. Pria itu tersenyum masam melihat gadis itu tak henti bergelantungan di lengannya.
"Tuh, kamu masih pengen naik KRL?" goda Wonbin. Pria itu lalu memutar bola matanya kesal.
Nini menurunkan sedikit kacamatanya, menatap Wonbin jengkel. "Makanya aku bayar kamu buat jadi bodyguard aku!"
Wonbin dan Nini kini masuk ke gerbong depan mereka. Tidak ada satu pun kursi kosong. Nini berdiri di sudut dekat jendela dan Wonbin berdiri di sampingnya. Tak lama kemudian, kerumunan orang berbondong-bondong masuk, membuat para penumpang dalam gerbong semakin merapat.
Nini membelalak begitu Wonbin berdiri sangat dekat menghadap persis ke depannya dan seakan menguncinya di sudut. Nini kini merasa seperti tikus terjebak di sudut ruangan dan kucing di depannya seolah akan menerkamnya. Wonbin menahan tubuhnya dengan sebelah lengannya bertumpu di jendela agar tidak mengenai Nini. Gadis itu kini tidak mampu mengontrol denyut jantungnya. Ia menahan napas. Posisi ini sangat awkward. Sesekali ia melirik Wonbin. Jelas sekali di raut wajah Wonbin bagaimana pria itu berusaha menahan beban desakan penumpang lain di belakangnya hanya menggunakan sebelah lengannya, semata-mata agar tubuh pria itu tidak menimpa tubuh Nini di depannya. Otot lengan pria itu menegang. Mata gadis itu membulat sempurna. Ia memekik kegirangan di dalam hatinya.
Ngga nyesel gue naik KRL...
***
"Hmm... Enak banget!!!"
Nini tak henti melanturkan bahasa Hakka saat menikmati pantiaw-nya dengan lahap di meja makan sebuah warung. Wonbin tersenyum lebar sambil bertopang dagu. Makin ke sini, Nini semakin menunjukkan sifat aslinya. Wonbin merasa Nini kecilnya dulu perlahan-lahan kembali lagi kepadanya. Tak lupa Wonbin menjalarkan matanya ke sekitar warung. Sepertinya belum ada orang yang menyadari siapa gadis itu.
"Habis makan mau kemana?" tanya Wonbin.
"Langsung nyari dekorasi Imlek," jawab Nini. "Nanti bantu pasangin di apartemen aku ya, Bin."
Wonbin sedikit terkesiap. Ia tidak terlalu menyukai ide itu, masuk ke apartemen Nini. "Kok ngga panggil vendor aja? Lebih mewah dan praktis malah."
"Ngga seru."
"Wina ama Bang Ivan ikut ngedekor ngga?"
"Mereka lagi sibuk katanya," jawab Nini. "Kamu... ngga bisa bantu aku?"
"Ngga gitu, Ni! Aku cuma mikir, emang kamu ngga takut ngajak cowok masuk apartemen kamu?"
"Ngg? Kamu kan bukan stalker. Emang kamu mau jahatin aku?"
"Bukan masalah itu. Gimana kalo orang lain mikir yang aneh-aneh? Bisa jadi skandal buat kamu lho."
"Ngga bakalan. Orang pada tau kok kamu bodyguard aku. Lagian aku percaya sama kamu. Kamu baik."
Wonbin tersenyum di ujung bibirnya. "Oh, ya? Kok bisa percaya gitu aja? Aku kan juga cowok. Kamu ngga pernah tau apa yang bakal aku lakuin." Wonbin bercanda dengan menggoda gadis itu.
Sayangnya, hal tersebut justru ditanggapi serius oleh Nini. Gadis itu terdiam dan tersenyum samar. "Kalo itu kamu... aku ngga masalah."
Wonbin terpaku mendengar jawaban ngawur dari Nini. Namun, hal itu sukses membuat bibirnya terkunci. Jantung Wonbin berdetak dua kali lebih cepat. Tentu saja Nini tidak serius soal itu tapi kenapa itu justru membuatnya benar-benar salah tingkah?
Nini ikut malu karena ucapannya sendiri. Ia beranjak dari mejanya dan berjalan cepat keluar warung. Wonbin otomatis mengimbangi langkahnya karena gadis itu pergi begitu saja.
"Nini!" teriak Wonbin.
Suara panggilan itu ternyata mengundang perhatian orang di sekitar mereka. Tentu saja otak mereka bekerja dengan cepat begitu mengetahui siapa sosok gadis berkacamata hitam itu. Mereka datang menghampiri.
"Ehh? Ce Nini, ya?"
"Astaga, kak boleh foto bareng ngga?"
"Hai, Kak Nini!"
Nini tersenyum kikuk. Ia awalnya meladeni beberapa dari mereka. Namun, kerumunan itu tidak terkontrol. Dengan sigap Wonbin menarik tangan Nini. Mereka berdua berjalan cepat. Tentu saja kerumunan itu seketika mengikuti langkah mereka. Kerumunan kian membludak. Wonbin mempererat genggaman tangannya di tangan Nini dan berlari kencang. Orang-orang itu masih mengejar mereka sambil bersorak kegirangan. Wonbin dan Nini lari berbelok ke sudut ruko dan menemukan susunan bilik kardus. Pria itu menarik Nini untuk bersembunyi di sana. Mereka berdua berhasil mengelabui kerumunan itu yang masih terus berlari.
Di persembunyiannya, Wonbin memeluk Nini begitu erat. Pandangan pria itu masih berfokus pada orang-orang yang sudah berlari menjauh di sana. Namun, Nini masih membeku menatap Wonbin.
Jadi gini rasanya dipeluk Wonbin...
"Kamu ngga papa?" tanya Wonbin cemas. Sadar bahwa ia masih mendekap Nini, Wonbin sontak melonggarkan pelukannya.
Nini mengangguk pelan. Ia kemudian tertawa puas. "Duh, udah lama banget ngga bebas kayak gini."
Wonbin mengernyit heran. "Kamu tuh kayaknya cuma nambah-nambahin kerjaan aku aja!" protesnya.
"Lah, siapa suruh tadi neriakin nama aku!"
Baru mereka berdua keluar dari persembunyian itu, orang-orang kembali menyadari kehadiran Nini. Lagi-lagi Wonbin menarik tangan Nini dan kabur dari kerumunan yang mulai padat itu.
Nini tertegun. Saat mereka berdua berlarian seperti itu, gadis itu hanya berharap semua akan di-slow motion. Saat ini, Wonbin menggenggam tangannya. Wonbin berlari bersamanya. Wonbin ada di sisinya. Sungguh hari yang tidak biasa! Dengan semua perpaduan itu, Nini tak henti tersenyum lebar. Ia malah menikmati setiap detiknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top