05 Balik ke Awal

"Iced Americano satu, strawberry milkshake satu," ujar Wonbin. "Pake qris bisa ngga?"

"Bisa kak!"

Wonbin melirik Nini di belakang sana yang sedang duduk termenung di bangku taman di bawah pohon besar. Pertemuan pertama mereka setelah sekian lama benar-benar awkward. Setelah perbincangan formal di ruang atasan Wonbin, untungnya Nini meminta waktu kepada manajernya untuk dapat bicara berdua dengan Wonbin. Dan di sinilah mereka. Di taman belakang kantor. Wonbin sedang memesan minuman di coffee truck taman kantornya. Setelah minuman mereka jadi, Wonbin berjalan ke arah Nini, menyodorkannya strawberry milkshake.

"Kamu masih suka ngga?" tanya Wonbin sambil tersenyum kecil. "Aku ingat ini favorit kamu."

Nini mengambil minuman tersebut. Senyumnya mengembang menyadari Wonbin masih ber-aku-kamu-an dengannya. Ia juga tidak menyangka rupanya Wonbin masih ingat dengan minuman kesukaannya dulu. "Aku udah lama ngga minum manis pas jadi penyanyi. Kamu tau kan aku gampang gendut."

Dengan tidak enak hati, Wonbin bermaksud menarik kembali strawberry milkshake itu. "Maaf, aku... ngga nanya dulu kamu mau minum apa. Mau aku ganti dengan minuman lain? Atau less sugar?"

Nini menahan tangan Wonbin. "Ngga papa kok. Sesekali. Makasih ya!" Nini menyeruput minuman tersebut dengan sedotannya. "Hmm... Enak!"

Mereka berdua tertawa kecil. Setelah itu, hening panjang. Wonbin benar-benar bingung bagaimana harus membuka pembicaraan ini. Bagaimana memecahkan dinding pemisah di antara mereka? Wonbin sungguh berpikir keras. "Kamu... udah berhasil jadi penyanyi terkenal... Ya... Impian kamu dari dulu."

Nini mengangguk pelan. "Makasih, Bin. Ngga instan juga sih. Lumayan ikut audisi ajang pencarian bakat berkali-kali." Nini melirik Wonbin kikuk. "Kamu... udah lama kerja di sini?"

"Udah sekitar empat tahun. Sebelumnya kerja di perusahaan yang sejenis juga. Tapi, aku pindah ke sini karena fee-nya lumayan gede sih."

Nini terpaku menatap minuman di tangannya. Sebenarnya sangat banyak yang ia ingin tanyakan ke pria itu. Bukan pertanyaan basa-basi yang sejak tadi mereka lontarkan. Namun, keberaniannya menciut.

"Apa kamu... masih marah sama aku?" bisik Wonbin muram.

Mendengar pertanyaan itu, dada Nini seolah sesak. Matanya seketika berkaca-kaca. "Wonbin... Aku... Aku ngga pernah marah sama kamu. Ya... Emang yang terakhir itu... Aku kelepasan. Aku ngga nyangka kata-kata itu bakal keluar dari mulut aku. Aku akuin itu keterlaluan. Aku udah nyakitin kamu. Tapi, habis itu aku sumpah nyesel banget, Bin. Sebelum aku sempat minta maaf ke kamu, kamu udah ngga tinggal lagi di rumah itu. Aku ngga tau kamu kemana. Aku ngga bisa nemuin kamu. Aku ngga bisa hubungin kamu. Kamu hilang begitu aja. Kamu..."

"Nini..." lirih Wonbin yang seketika dihujani rasa bersalah. Pria itu seakan dihantam oleh perkataan Nini. Ia menggeleng cepat dan berusaha menenangkan gadis itu yang mulai emosional. "Kamu ngga salah apapun sama aku. Yang kamu ucapin waktu itu... Aku ngerti kok..."

Mereka lalu saling menyalahkan diri sendiri satu sama lain tanpa henti. Lama kelamaan, Nini tidak dapat menanggapi lagi perkataan Wonbin. Melihat Nini yang tidak memberikan reaksi apapun, Wonbin tertunduk.

"Gimana kalo kita berdua... Balik ke awal lagi?" usul Wonbin.

Balik ke awal? Nini membelalak kaget. Wajahnya memerah seketika. Wonbin menyadari perkataannya mungkin bisa bermakna ganda dan disalahartikan oleh gadis itu. Pria itu panik dan cepat-cepat meralatnya.

"Umm... Maksud aku, kita lupain aja rasa bersalah masing-masing. Kita ketemu lagi di situasi baru sekarang. Aku udah bukan majikan kamu lagi. Aku bodyguard kamu. Mungkin sekarang status kita jadi kebalik sih tepatnya," ujar Wonbin sambil tersenyum pahit.

Entah mengapa Nini justru semakin teriris mendengar perkataan Wonbin. Ya, hubungan majikan-pembantu, atasan-bawahan ini sungguh menyebalkan. Namun, di sisi lain, Nini sangat lega. Sungguh ia merasa sangat lapang sekarang. Seolah bebannya terangkat. Seolah rasa bersalah yang menghantuinya bertahun-tahun seketika lenyap. Semua berkat senyuman hangat pria itu, yang sedang ia saksikan.

***

Sepulangnya dari kantor Wonbin, Nini hanya bisa melamun menopangkan dagunya sambil menatap keluar jendela mobil. Tidak ada satu pun kata yang terucap dari bibirnya. Hal tersebut tentu saja membuat sang manajer khawatir dengan perubahan drastis suasana hati gadis itu.

"Lo kenapa, Ni? Kok murung gitu?" tanya Ivan cemas sambil sesekali melirik Nini di sampingnya.

Percayalah, Nini tidak mendengarkan suara apapun. Pandangannya kosong. Suara di kepalanya memekik keras, mengalahkan suara di sekitarnya. Ia sedang tenggelam dalam masa lalunya...

Senyum Wonbin merekah. "Hah? Serius? Kalo aku berhasil juara taekwondo, kita... jadian?"

"Ka-lau..." Nini memberi pemisalan.

"Artinya, kalo gitu kita sekarang pacaran dong?" balas Wonbin mengangkat sebelah alisnya.

"Ihh... Pede banget, emang udah pasti menang?"

"Iya dong! Emang kalo soal bela diri, ada yang bisa ngalahin aku?" ucap Wonbin percaya diri sambil menggenggam kedua tangan Nini.

Gadis itu terbelalak. "Wonbin, lepasin! Gimana kalo orang tau kamu pacaran ama aku?"

"Emang kenapa? Lagian kita kan beda sekolah."

Nini tertunduk lesu. "Ya... kan? Aku bukan siapa-siapa. Cuma pembantu di rumah kamu."

Nini membiarkan air matanya jatuh satu per satu. Ia menahan napas dan isak tangis hingga lehernya perih, serta berusaha mengontrol bahunya agar tidak bergetar. Mengingat masa lalu tersebut semakin membuatnya terluka. Mungkin Ivan tidak menyadari bahwa Nini sedang menangis sambil terus menghadap ke jendela.

***

Lewat tengah malam, Wonbin baru tiba di kosnya. Ia menaiki tangga menuju lantai tiga untuk segera beristirahat. Namun, di tengah langkahnya, ia melihat ada seorang gadis sedang berdiri di depan kamar Wina. Wonbin menyipitkan pandangannya. Ia sungguh sangat mengenali gadis itu. Wonbin terperanjat.

"Nini?" bisik Wonbin tidak percaya. "Kok malam-malam ke sini? Kamu nyari Wina?"

Nini tak kalah terkejut. Orang yang dicarinya kini datang. Ia menunduk malu. "Kata Wina, kamu biasanya pulang larut malam tapi ngga tau jam berapa. Aku lupa minta nomor hape kamu..."

"Astaga, kok ngga minta ke Wina atau ke agen aku?"

Nini tidak menjawab. Tentu saja ia sudah mengantongi nomor baru pria itu. Alasan utamanya adalah Nini hanya ingin bertemu kembali dengan Wonbin. Ia ingin melihatnya sekali lagi. Modus minta nomor hape kayaknya berhasil. "Aku cuma ngga enakan kalo ngga minta langsung ke kamu."

Wonbin tersenyum tidak menyangka. "Kan aku udah bilang, kamu ngga perlu segan sama aku. Kamu tuh bakal jadi klien aku. Kita bakal banyak ketemu dan komunikasi habis ini."

Senyum Nini mengembang. Ia kini benar-benar yakin hubungannya dengan Wonbin akan baik-baik saja setelah ini. Tidak ada lagi yang perlu ia khawatirkan. Rasa cemas itu hanya ada di dalam kepalanya saja.

"Mau ngobrol di rooftop ngga?" ajak Wonbin.

Pria itu menunjuk lantai atas. Begitu tiba di sana, Nini takjub dengan kenyamanan tempat tersebut. Wonbin mengarahkan Nini untuk ikut duduk di bale bambu di sana.

"Kamu tinggal di rooftop?" tanya Nini tidak percaya. "Enak banget nongkrong di sini ternyata."

Wonbin mengangguk lalu menunjuk kamar satu-satunya di lantai tersebut. "Kebetulan Wina ngasih tarif murah. Lumayanlah buat saving."

Mereka berdua saling bertukar nomor ponsel. Nini menghembuskan napas lega dan senyumannya kian lebar. "Aku seneng kita bisa balik kayak dulu. Waktu kamu bilang balik ke awal, terus terang aku ngga khawatir lagi soal hubungan kita."

Wonbin tertegun dan menatap lama Nini. "Aku ngga bener-bener hilang kok. Aku selalu ngeliatin kamu dari jauh."

Nini tentu saja penasaran. Ia berpikir keras. "Ngeliatin dari jauh? Kamu fans aku?"

Wonbin tertawa untuk pertama kalinya. "Hmm... Mungkin iya."

"Beneran? Kamu dengerin lagu-lagu aku?" timpal Nini terkagum-kagum.

Wonbin menceritakan betapa ia adalah penggemar berat Nini, membuat gadis itu terkesima bahwa selama ini Wonbin selalu memerhatikannya. Semakin larut malam, percakapan mereka kini mengalir apa adanya dan diselingi beberapa candaan. Tidak ada lagi kesedihan dan rasa bersalah di sana. Sungguh kembali ke awal.

"Ini udah larut malam banget. Aku anterin kamu pulang ya," tawar Wonbin seraya berdiri dari tempatnya.

"Ehh, ngga usah. Aku udah biasa kok pulang larut malam. Lagian kan aku belum berstatus klien kamu."

"Kamu baru kena teror stalker itu kan? Gimana kalo tiba-tiba dia muncul? Aku ngga mau nyesel."

Nini tak mampu berpaling dari Wonbin seusai mendengar perkataan pria itu. Nini mengeluarkan kunci mobilnya dan menyerahkannya kepada Wonbin. "Makasih banget, Bin. Untuk semuanya."

Wonbin mengangguk dan tersenyum tulus. "Sama-sama."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top