03 Rekomendasi Bodyguard
Malam itu, Nini berlari dari kamarnya menuju pintu apartemennya setelah mendengar bunyi bel. Begitu ia melihat wajah sahabatnya di layar monitor, Nini segera membukakan pintu untuknya. Sesaat setelah sahabatnya masuk dan menutup pintu, Nini memeluknya erat, membuat sahabatnya khawatir.
"Wina, temenin gue malam ini, please!" ujar Nini ketakutan.
"Astaga! Lo ngga papa?" tanya Wina cemas usai mendengar kabar soal penguntit itu. "Ya, udah! Gue mandi dulu, ya. Abis itu kita cerita."
Nini mengangguk. Ia lalu membiarkan Wina masuk ke kamar mandinya. Seraya menunggu Wina selesai mandi dan berganti piama, Nini berbaring di tempat tidurnya. Pikirannya melayang. Tentu saja ia sedang melamunkan Wonbin hingga pipinya memerah. Nini kemudian berbaring menyamping, memeluk gulingnya, dan menyembunyikan setengah wajahnya yang merona. Otaknya tak henti menayangkan bagaimana Wonbin melindunginya dari penguntit itu. Jantung Nini mulai berpacu tidak jelas, membuatnya kebingungan. Setelah sekian lama, pria itu masih bisa membuatnya berdebar. Meskipun Nini tidak melihat wajah Wonbin dengan jelas, gadis itu tetap tersipu.
Wonbin makin keren ngga sih?
"Jadi gimana?" seru Wina yang kini melompat ke tempat tidur Nini. Rambutnya semi basah. Wina ikut berbaring menyamping, menyandarkan kepala dengan telapak tangan, siap mendengarkan curhatan Nini.
Nini tersadar dari lamunannya. Begitu melihat Wina di sampingnya, hatinya lega. Ketakutannya menguap. Nini kini bercerita panjang lebar, bagaimana penguntit itu membuntutinya hingga ke kuburan mamanya, dan bagaimana sebelum kejadian itu, penguntit yang sama berhasil masuk ke ruang ganti di backstage-nya.
"Gila! Tuh cowok beneran sakit sih," gerutu Wina. "Apa sih yang diliat dari elo? Gue yang udah bertahun-tahun bareng lo tuh ngga ngerti kok bisa ya ada orang sampe segitu ngefans-nya ama lo..."
Nini memutar bola matanya. "Udah deh, Win! Lo kalo ngga bisa comfort gue..."
Wina terkekeh dan menyela. "Sorry... Sorry... Ehem! Ini... Lo ngga mau bikin laporan?"
Nini menaikkan sebelah alisnya. "Laporan apa?"
"Laporan resmi ke polisi. Lo lupa temen lo ini polisi? Datang aja ke kantor gue. Ntar gue temenin lo."
Nini ragu mendengar usul dari Wina. "Gimana ya? Agensi gue ngga pengen bikin keributan dulu. Ya... Lo tau kan gue abis rilis album baru. Yang ada gue dikira nyari sensasilah, apalah."
"Aneh banget agensi lo! Lebih penting mana ama keselamatan lo? Mereka kan harusnya ngelindungin lo!"
"Ya udah kalo gitu gimana kalo lo aja yang lindungin gue? Lo kan polisi, Win. Bodyguard dari agensi gue aja lemes banget sampe ngga nyadar ada stalker yang kelayapan ke ruang ganti gue..."
Wina terdiam sesaat lalu tersadarkan oleh satu kata yang terucap dari Nini. "Eh, ngomong-ngomong soal bodyguard, gue kenal cowok yang profesinya bodyguard. Dia ngekos di tempat gue. Menurut gue dia bagus sih. Gimana kalo pake jasa dia aja?"
"Masa sih?" tanya Nini meremehkan dan tidak tertarik. "Sebagus apa?"
"Dia tuh bodyguard elit di agennya. Klien dia rata-rata VIP ama konglomerat. Kalo urusan pengamanan, lo ngga usah raguin dia, Ni! Dia mantap abisss!!! Dia cakep juga lho. Gue akuin itu!"
"Sumpah lo lebay amat sih. Lo yakin?"
"Seriusan gue! Dia tiap hari pulang ke kos gue dalam keadaan babak belur."
"Ihh hahaha... Kok serem sih?" sela Nini sambil tertawa. "Gue udah trust issue ama bodyguard."
"Percaya ama gue. Tapi, setau gue dia waiting list-nya panjang. Banyak banget orang yang pengen jadi kliennya. Ntar coba gue tanyain ya! Itu pun kalo lo tertarik pake jasa dia. Lo bisa tanya ke manajer lo dulu atau ke agensi lo."
Nini menggigit bibirnya. Ia lalu menarik selimut dan menyibakkannya menutupi tubuh mereka berdua. "Ngga ahh. Males gue. Bodyguard dimana-mana sama aja. Dari agensi gue udah sering gonta-ganti bodyguard juga."
Wina mengangkat bahu. "Terserah lo sih. Ehh, lanjut cerita yang tadi dong! Terus gimana lo bisa kabur dari stalker itu?"
Nini tertegun. Pandangannya lalu menerawang menatap langit-langit kamarnya sambil tersenyum samar. "Ada yang nyelamatin gue."
"Cowok?" tebak Wina asal. "Paling stalker yang lain lagi."
Nini tak kuasa melebarkan senyumnya. "Cowok terkuat yang pernah gue temuin."
Wina menggeleng tegas. "Lo salah!!! Lo belom ketemu aja ama bodyguard yang gue ceritain tadi."
Nini tertawa. "Tanpa gue liat, gue udah tau siapa yang paling kuat." Namun, lama-kelamaan, Nini menjadi penasaran. "Ngomong-ngomong, siapa sih nama bodyguard temen lo itu?"
"Wonbin."
"HAH???" Ekspresi Nini langsung berubah 180 derajat. Mendengar nama itu, Nini begitu terkejut hingga ia tidak mampu mengendalikan emosinya. Apakah mereka sedang membicarakan orang yang sama?
"WON-BIN," ulang Wina dengan penuh penekanan, menganggap Nini tidak mendengarnya tadi.
Nini masih syok sejadi-jadinya. Namun, ia berusaha tetap tenang dan tidak ingin membuat polisi wanita di sampingnya itu menjadi curiga. "Lo... punya foto atau video dia ngga?"
"Ngga ada. Ngapain gue punya?"
"Dia punya sosmed? Atau foto WA dia gitu?"
"Ngga ada."
***
Keesokan harinya, malam itu, Wina naik ke rooftop lantai tiga. Seperti biasa, Wonbin saat itu terlihat santai duduk di bale bambu dengan headset yang menyumbat telinganya. Wina menggotong kantong berisi makanan dan ikut duduk di samping Wonbin.
"Bin, gue bawa pempek nih! Pempek ama cukonya mantep. Cobain!" ajak Wina. Gadis itu mengeluarkan dua kotak makanan dari kantong dan mulai menyiapkan makanan untuk pria itu. Wonbin sesaat hanya bisa mengedip menatap Wina. Ia sungguh tidak enak hati.
"Lo rajin banget bawain gue cemilan," ujar Wonbin sambil menggaruk belakang lehernya.
"Dan lo rajin banget bersihin rooftop dan kos gue," balas Wina.
"Gue emang ngga tahan liat kotor dikit," jawab Wonbin tidak bermaksud meminta balasan atas tindakannya.
"Dan gue ngga suka makan sendirian."
Wonbin tertegun lalu tersenyum kecil. Kalau urusan berdebat, ia memang tidak mampu menghadapi gadis itu. Memiliki teman seperti Wina membuat Wonbin begitu bersyukur. Wina selalu memperlakukannya begitu baik. Entahlah, apakah gadis itu memang seperti itu ke semua orang? Namanya juga polisi.
Begitu Wonbin memakan suapan pertama, ia mengangkat sebelah alisnya. Sangat enak. Namun, bukan itu yang menjadi fokusnya sekarang. Ia tidak yakin juga sebenarnya. Entahlah. Akan tetapi, rasa makanan itu membuatnya seperti bernostalgia. Seolah-olah ia terseret ke masa lalu. Seolah-olah Nini...
"Nini yang buat tuh," ujar Wina sambil tersenyum. "Lo ingat kan? Gue punya temen artis?"
Wonbin membelalak mendengarnya. Sebelumnya, ia tidak begitu percaya jika Wina berteman akrab dengan Nini. Namun, setelah memakan makanan barusan, ucapan Wina sepertinya bisa dipegang. Wonbin kini kikuk dan bermaksud mengalihkan pembicaraan. "Kemarin lo lembur ya? Kok ngga pulang ke kos?" tanya Wonbin asal.
"Gue nginep di apartemennya Nini. Dia lagi syok jadi minta ditemenin. Biasalah, ulah stalker."
Wonbin salah memilih pertanyaan. Hal tersebut justru membuat rasa penasarannya menjadi semakin besar. Semenjak kejadian dengan penguntit itu, Wonbin menjadi sangat khawatir kepada Nini. Ia sangat ingin tahu keadaan gadis itu. Apakah gadis itu baik-baik saja? Wonbin bahkan mengecek seluruh sosial media mengenai kejadian tersebut. Namun, sepertinya tidak berhasil terdeteksi publik.
"Oh, iya! Si Nini lagi butuh jasa bodyguard gara-gara stalker kemarin. Gue rekomendasiin lo ke dia. Menurut lo gimana?"
Wonbin tersedak. Ia terbatuk-batuk parah hingga matanya berair. Wina menyodorkannya gelas berisi air. Namun, hal tersebut tidak berhasil membuat batuknya berhenti. Wina tertawa.
"Lo nervous ngawal si Nini?" goda Wina. "Coba tanyain agen lo dong. Bisa ngga kalo lo yang ngawal dia?"
Wonbin berhasil mengendalikan batuknya. Ia menatap Wina dengan kening berkerut. "Lo... Rekomendasiin gue ke dia? Terus dia gimana?"
"Dia mau kok. Ntar kabarin gue ya! Biar gue kabarin ke Nini lo bisa apa ngga. Makasih ya Bin."
Wonbin masih melongo di tempat. Wina bahkan tidak memberinya kesempatan untuk bicara dan mendengar pendapatnya. Mengapa Wina beranggapan bahwa ia mau-mau saja untuk menjadi bodyguard sang penyanyi terkenal? Kepala Wonbin pening.
Gue? Jadi bodyguard-nya Nini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top