01 Penggemar

Wonbin remuk.

Setidaknya itu yang ia rasakan di sekujur tubuhnya. Tulang-tulangnya seakan patah, terutama di rusuk kirinya. Bekas tinjuan di perutnya seolah masih membekas dan begitu nyeri. Memar di pipi dan lengannya mulai timbul. Ia bahkan tidak menyadari sudut bibir kanannya berdarah.

Pukul 23.34 hampir tengah malam, Wonbin dengan begitu perlahan menaiki tangga kosnya ke lantai tiga. Tangan kirinya bertumpu pada pegangan tangga dan tangan kanannya terus memegangi rusuk kirinya. Ia meringis kesakitan seraya menapaki satu per satu anak tangga itu. Ia hanya ingin cepat beristirahat.

Wonbin tiba di lantai tiga depan kamarnya, satu-satunya kamar di sana. Kamar yang awalnya tidak terpakai itu sebenarnya diperuntukkan untuk asisten rumah tangga. Wonbin berhasil membujuk pemilik kos untuk menyewakannya setengah harga normal kamar kos, berhubung asisten rumah tangga tidak menginap di kos. Di depan kamar Wonbin terdapat rooftop yang tadinya bertumpuk rongsokan. Namun, setelah dibersihkan oleh Wonbin, rooftop tersebut kini menjadi tempat yang nyaman. Tanaman hijau berada di sekelilingnya. Lampu-lampu kecil menggantung dari satu sisi ke sisi yang lainnya. Wonbin juga memasang bale bambu yang di atasnya telah dilapisi kasur tipis lengkap dengan bantal. Sisa ruang kosong ia manfaatkan sebagai area berlatih bela diri. Pemilik kos juga tidak keberatan. Wonbin sebenarnya menang banyak karena dapat memanfaatkan ruang seluas itu. Tidak ada satu pun penghuni kos yang sering ke rooftop, selain pemilik kos tentu saja.

Wonbin memutuskan untuk berbaring di bale bambu daripada tidur di kamarnya. Ia menatap langit Jakarta yang seperti biasa, gelap berkabut tidak berbintang, sambil mengatur napasnya. Pandangannya sayu seraya angin malam menyibak rambutnya. Ia merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel dan melirik jam. Kini tepat jam 12 malam.

Ohh, harusnya udah di-upload...

Video musik baru yang sudah lama ditunggunya ternyata telah diunggah. Wonbin menekan video musik tersebut dan mengatur mode full screen. Ia tersenyum samar. Nampak wajah manis gadis itu memenuhi layar ponselnya. Wonbin mengeluarkan headset yang keriting dari saku celananya. Ia tidak terlalu meluruskan kabel kusut itu karena terlalu buru-buru ingin mendengar lagu dari penyanyi itu.

Wonbin masih terpaku menatap layar ponselnya. Ia kini tenggelam dalam lagu, suara, dan... gadis itu. Menatap gadis itu, membuatnya hatinya terenyuh. Ia bahkan tidak merasakan sakit di sekujur tubuhnya lagi. Gadis itu sumber kekuatannya. Sejak dulu.

"Wonbin!"

Pria itu terkejut. Ia nyaris menjatuhkan ponsel ke wajahnya. Wina, si pemilik kos sudah berdiri di samping bale bambu tempatnya berbaring. Gadis itu berkacak pinggang. Seperti biasanya, ada kotak P3K di tangannya. Wina sudah sangat mengerti ritme kerja Wonbin. Siap-siap saja ia mendengar omelan gadis itu.

"Lo tuh ya!" seru Wina. "Bisa ngga sih lo pulang kos dalam keadaan ngga babak belur?"

Wonbin perlahan duduk sambil meringis. "Lo baru pulang? Gimana kencan lo? Aman?"

Wina mengabaikan pertanyaan Wonbin. Gadis itu duduk di sampingnya, memerhatikan tiap detail luka di tubuh pria itu. "Siapa lagi klien lo sekarang? Kok lo bisa sampe luka-luka parah gini sih? Ngga biasanya."

Wonbin menggigit bibirnya. "Gue habis nemenin klien ketemu sama orang buat nyelesaiin sengketa tanahnya. Tapi, mereka malah bawa banyak preman."

Wina kini mulai membersihkan luka di ujung bibir Wonbin. Matanya melotot. "Lo dikeroyok? Gue kan udah bilang jangan terima dia buat jadi klien lo!"

"Tapi, bayarannya lumayan sih," jawab Wonbin mengangguk puas. "Gue ngga papa kok."

Di sela-sela mengobati luka Wonbin, Wina tidak sengaja menangkap video musik dari layar ponsel pria itu. Wina tentu saja mengenali penyanyi itu. Ia agak sedikit terkejut. "Lo ternyata fans-nya si Nini, ya?" tanya Wina. "Tuh MV-nya di hape lo."

Wonbin sedikit terkesiap. Namun, ia tidak ingin terlihat panik. Ia menutup video musik di ponselnya dengan lagak santai. "Ngga, kebetulan lewat aja. Muncul di thumbnail gue."

Senyum Wina tiba-tiba melebar, menghilangkan raut galaknya sejak tadi. "Percaya ngga? Gue temen deketnya Nini lho! Tapi jangan bilang siapa-siapa ya! Cukup lo aja yang tahu. Tapi, ngapain juga gue ngasih tau lo hahaha..."

Kedua mata Wonbin melebar. Informasi itu benar-benar menarik perhatiannya. Namun, sekali lagi, ia berusaha bersikap wajar. "Seriusan?"

Wina mengangguk. "Dia temen SMA gue. Nama panggungnya aja tuh Nini. Nama aslinya Ningtyas. Dia etnis Tionghoa juga. Kalo ngga salah nama lainnya tuh Ning... Ying Zong?"

Ning Yi Zhuo...

Wina melanjutkan kalimatnya. "Terus dia tuh asal Batam."

Bukan Batam... Babel, tepatnya di Desa Lumut...

"Dia anaknya centil, cerewet, suka ketawa. Dari dulu ngga berubah sih. Emang udah cantik dan suaranya bagus kalo nyanyi. Tapi, kalo marah, hmm... bahasa Mandarinnya keluar!"

Bukan Mandarin... Hakka...

Wonbin sibuk mengoreksi kata-kata Wina dalam hatinya. Ia sejenak ragu apakah Wina benar-benar teman baik Nini karena tidak ada satu pun informasi yang diucapkannya tepat. Namun, Wonbin tidak ingin membicarakan hal itu lebih dalam. Meskipun ia terkejut karena Wina adalah teman Nini, ia tidak ingin membangkitkan kenangan gadis itu di otaknya. "Lo belum jawab pertanyaan gue," tanya Wonbin mengalihkan pembicaraan. "Gimana kencan lo?"

Wajah Wina merona di bawah remang lampu-lampu rooftop. Ia terdiam untuk beberapa saat. "Gue baru mutusin dia."

"Putus?" ulang Wonbin dengan nada meninggi. Ia sebenarnya sangat ingin menanyakan alasannya, namun rasa segannya muncul.

"Tadi dia ngajakin gue check in... yah..." balas Wina polos. "Gue ngga maulah! Emang gue cewek apaan?" seru gadis itu. Wina sekarang sudah selesai mengobati luka-luka Wonbin. Ia membereskan obat-obatan dan perbannya kembali ke kotak P3K. "Baru aja kenal, udah ngajakin check in. Kalau dia tau gue polisi..."

"Tapi, lo ngga papa? Dia ngga macem-macem ke lo, kan?" potong Wonbin memastikan.

Wina terdiam sejenak dan mengangguk pelan. "Gue ngga papa. Dia ngga ngapa-ngapain kok."

"Kalo lo butuh perlindungan dari gue, bilang gue ya," ujar Wonbin menawarkan diri.

Wina tertegun untuk beberapa detik. Gadis itu tersenyum tulus. "Kalo gratis boleh deh."

Wonbin menimbang-nimbang. "Kalo ngga bayar kos setahun boleh."

Wina memutar bola matanya dengan kesal. Ia bangkit berdiri untuk bersiap turun ke kamarnya. "Lo buruan istirahat. Kalo besok sakit lo makin parah, dengan berat hati gue harus ngantar lo ke RS. Gue ngga pengen ada yang mati tiba-tiba di kos gue."

Mendengar hal tersebut, Wonbin tertawa kecil. "Makasih ya, Win."

Gadis itu tersenyum kecut dan bergegas turun ke kamarnya. Wonbin baru bersiap untuk balik ke kamar namun perhatiannya kembali teralihkan oleh video musik Nini di ponselnya. Ia awalnya ragu tapi lama-kelamaan ia kembali memutar ulang video musik itu. Senyum kecilnya kembali terlukis. Sepertinya ia memang sudah resmi menjadi penggemarnya. Pikirannya melayang.

***

"Wonbin sayang, nih ada temen baru," ujar sang ibu kepada anak lelakinya yang berusia lima tahun. "Disapa dong temennya!"

Wonbin melongo menatap anak perempuan berponi dan berambut panjang itu berlindung di balik kaki seorang wanita yang berperawakan Tionghoa dengan takut. "Hai, nama aku Wonbin. Nama kamu siapa?" tanya Wonbin mengulurkan tangannya.

Melihat anak perempuannya tak kunjung menyambut tangan Wonbin, asisten rumah tangga itu meminta maaf kepada majikan barunya. "Maaf Bu. Bahasa Indonesianya belum terlalu lancar. Kami baru saja pindah ke Jakarta. Di kampung kami di Babel, kami selalu pakai Hakka." Wanita itu lalu berbicara kepada anak perempuannya dengan bahasa yang sama sekali tidak dimengerti. Setelah itu, barulah sang anak perempuan menyambut jabatan tangan Wonbin.

"Ningtyas," sahutnya malu-malu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top