Bab 5 - Hubungan
Catatan Penulis:
Halo! Akhirnya bisa upload lagi. Kali ini, babnya bakal lebih santai dan mulai masukin satu tokoh lagi ke konfliknya Fani. Makasih udah mau mampir, selamat membaca!
***
Ibu adalah orang yang penting bagiku. Aku tidak punya lagi siapa-siapa lagi selainnya. Dia adalah orang yang paling kupercaya. Tidak melihatnya saat turun dari lantai atas mengganggu keseimbangan kebiasaanku. Aku juga merasa kesepian ketika menyadari bahwa dia tidak ada di rumah. Seperti hari ini ketika aku turun dari lantai dua dan mengucapkan selamat pagi, tidak ada siapapun yang menjawabnya.
Ini sudah lima hari semenjak kejadian tidak sengajanya aku bertemu dengan penguntitku. Karena itu aku lebih berhati-hati setiap harinya. Aku juga sempat mempelajari teknik bela diri dasar walaupun agak malas-malasan. Bagaimanapun juga keselamatanku adalah tanggung jawabku sendiri saat ini. Tidak ada yang bisa kuandalkan untuk menjagaku.
Hari ini divisi desain akan rapat dan kerja di rumahku. Itu ide Diana. Jarang sekali orang berkunjung ke rumahku. Selain karena tidak ada yang menarik selama ini aku dan teman-temanku biasa mengerjakan tugas apapun di sekolah, restoran fast food, kafe, atau mall. Sesekali memang di rumah terutama jika tidak ada uang.
Seperti yang Diana katakan jika di luar hari sekolah kami akan mendapat konsumsi. Hari ini, kami memutuskan untuk masak sendiri. Aku menyarankan untuk memasak curry dan chicken katsu. Selain karena praktis, aku bisa memasaknya bersamaan dengan jatah makan pribadiku hari ini. Curry juga aplikatif dipadukan dengan berbagai lauk dan jenis makanan misalnya ramen, udon, atau bahkan nasi goreng. Alasan lain adalah curry dapat dihangatkan dengan mudah ketika kami memasak terlalu banyak. Rencananya makanan ini akan menjadi menu sarapan, makan siang dan makan malamku. Karena dana dari OSIS tidak terlalu banyak jadi kami juga patungan untuk menambah ikut memberikan kontribusi bahan dan uang, jadi aku tidak perlu mengeluarkan banyak modal.
Sekarang, aku akan bersiap untuk memasak. Aku sedikit kue kering dan susu sebagai pengganjal lapar sementara pagi ini. Tentu aku juga sudah sikat gigi. Aku akan memasak curry dulu, untuk katsu akan kumasak bersama teman-temanku. Aku cukup percaya diri memasak untuk teman-temanku. Semenjak ibu terbaring di rumah sakit kemampuan masakku meningkat pesat.
Ngomong-ngomong ada orang jepang sangat memperhatikan makanannya. Aku diajarkan bahwa saat makan bukan hanya mulut saja yang diberi makan tetapi juga indra lainnya. Aku juga diajarkan bahwa makanan harus dibuat dengan harmoni baik itu rasa atau warnanya. Sebuah makanan harus setidaknya mengandung warna putih, merah, hijau, dan kuning. Sementara itu, untuk rasa harus ada manis, asin, asam, pahit, dan pedas. Menurutku, keragaman warna dan rasa ini bertujuan agar makanan yang dimakan dapat memuaskan sehingga tidak mudah lapar dan makan secara berlebihan. Namun, aku pribadi tidak selalu menerapkan hal seperti itu. Terutama ketika sedang terlalu sibuk atau tidak punya uang. Akan tetapi, kuakui bahwa hal tersebut benar dan bekerja.
Kini, aku sudah mulai memasak. Bahan yang kuperlukan adalah kentang, wortel, bumbu curry instan, bawang bombay, bawang putih, dan potongan ayam. Pertama, aku memotong semua bahan. Tidak kusangka proses ini cukup memakan waktu, mungkin karena bahan yang kumasak cukup banyak. Selanjutnya aku menumis kentang dan wortelnya. Kentang dan wortel harus ditumis pertama karena akan lebih lama matang daripada bawang.
"Ah aku lupa," gumamku lalu menuju kulkas dan mengeluarkan crab stick dan sosis.
Sesuai request dari teman-temanku aku menambahkan dua bahan tersebut. Aku memasukan ayam, crab stick dan sosis ke dalam wajan. Sebenarnya untuk isian dari curry bisa dikreasikan dengan apapun, misalnya crab stick ini. Setelah semua bahan yang kutumis menjadi kecoklatan, aku memasukan bawang ke dalamnya. Aku menumisnya lagi sampai harum baru menuangkan air ke dalamnya. Aku menunggu sampai airnya mendidih. Setelah mendidih aku menurunkan sedikit suhunya lalu menunggu sebentar lagi baru kumasukan bumbu curry-nya. Sekarang aku hanya tinggal mengaduk dan menunggunya kental. Aku juga menambahkan kaldu jamur dan lada hitam. Setelah menunggu kekentalan yang pas curry-ku siap disajikan.
Aku mengambil sepiring nasi. Aku juga memasak telur acak sebagai tambahan lauk. Sarapanku hari ini penuh dengan protein. Aku menata makananku lalu membawanya ke depan televisi.
"Itadakimasu," ujarku setelah berdoa.
Saat baru akan menyendok nasiku suara bel berbunyi. Aku meletakan piringku dan berjalan ke pintu. Siapa yang pagi-pagi begini mau bertamu. Aku membuka kunci dan pintu.
"Ohayou gozaimasu!" seru orang di depan pintu dan dia langsung masuk ke dalam. Kalian tentu sudah bisa menebak siapa itu. Itu Diana.
"Diana..., kita janjian jam 10 nanti, masih dua jam lagi sebelum rapat dimulai," kataku.
Dia hanya tersenyum tipis dan melepaskan sepatunya. Hari ini Diana mengikat rambutnya. Dia mengenakan hoodie hitam dengan hiasan beberapa puisi pendek jepang. Dia terlihat cantik seperti biasa. Namun, ekspresi Diana tidak secerah biasanya. Seakan ada sesuatu yang tidak mengenakan terjadi padanya. Selain itu, aku baru sadar sesuatu. Dia tidak sendiri.
"Tommy!" seekor anjing jenis corgi berwarna hitam coklat melompat ke arahku. Dia langsung menjilat daguku dan menggonggong senang.
"Hisashiburi," kataku lalu memeluknya.
"Tumben sekali kamu membawanya keluar," kataku sambil kembali ke depan televisi.
"Aku ingin sesekali mengajaknya pergi. Kurasa teman-temanku juga akan suka padanya," kata Diana.
"CURRY!" Melihat sarapanku tanpa penjagaan di atas meja Diana langsung menyerbu dan memakan suapan pertama.
"Diana! Aku bahkan belum makan suapan pertamanya!" seruku lalu melepas Tommy dan merebut makananku.
"Biar saja, aku balas dendam terhadap perbuatanmu waktu itu," kata Diana.
Aku mendesis dan mulai menyantap makananku. TIdak kusangka dia masih mengingat dosaku waktu itu. Mungkin ada yang spesial dari onigiri waktu itu.
Aku terus menyantap sarapanku sambil menonton televisi. Sementara itu Diana bermain bersama Tommy. Dia bilang mau makan curry juga tetapi aku mengingatkan jatahnya hanya seporsi. Dia tidak boleh makan lagi nanti siang jika makan sekarang. Diana cemberut dan memohon padaku untuk memberinya dua porsi. Aku mencoba mengabaikannya tetapi dia terus memohon. Akhirnya aku mengiyakan tetapi sebagai gantinya dia harus membelikanku cola nantinya. Untungnya porsinya kulebihkan.
Jadilah pagiku ditemani Diana dan Tommy. Diana menyantap kare-nya dengan bersemangat. Aku ikut senang melihatnya ceria seperti biasa. Tidak seperti saat pertama kali kusambut di depan pintu, ekspresi Diana jauh lebih baik saat ini. Aku bisa menebak mengapa dia terlihat begitu suram tadi. Mungkin hanya padaku Diana mau memberitahu hal itu.
"Aku seperti mendengar sesuatu," ujarnya di sela makan.
Aku yang fokus pada televisi menatapnya bingung, "Aku tidak mendengar apa-apa."
Dia menghiraukan lalu melanjutkan makan. Aku juga ikut menghiraukan. Mungkin ada kucing yang sedang bertengkar di kejauhan atau semacamnya.
"Wah baunya nikmat sekali." Tiba-tiba terdengar suara bass laki-laki dari arah pintu ruang keluarga.
"Siapa itu?!" pekikku dan Diana bersamaan. Aku dan Diana jelas terkejut bukan main. Aku bahkan refleks mengambil sapu di dekatku dan bersiap melemparnya.
"JACY! Bisakah kau terlebih dahulu mengetuk pintu, mengucapkan salam dan menungguku membukakan pintu!" seruku kesal. Itu Jacy. Dia berdiri santai di depan pintu ruang keluarga seakan tidak terjadi apapun.
"Kenapa? Ini kan rumahku juga lagipula pintunya tidak terkunci," ujarnya santai lalu tertawa.
"Sialan kau. Dasar bocah tengik," umpatku masih kesal.
Diana juga ikut kesal dan memarahinya. Anak itu bahkan melemparinya dengan bantal sofa. Tommy yang ikut terkejut menggonggong marah ke arah Jacy. Dia hanya akhirnya minta maaf walaupun masih tertawa kecil.
"Dasar tidak tahu tata krama," gumamku kemudian melanjutkan menonton televisi.
Jacy bergabung bersama kami. Dia membawakan sebotol besar Coca Cola. Aku yang sedang mengidamkannya langsung mengambil gelas dan es batu. Dia bilang itu pemberian temannya saat perjalanan ke sini. Aku kira bocah ini sedang berbaik hati membelikan kami minuman.
"Jadi, apakah aku datang terlalu pagi?" tanya Jacy.
"Lumayan, aku juga sama," balas Diana.
"Sudah lama aku tidak ke sini. Mungkin aku harus lebih sering tidur di sini," katanya.
"Jika kau mau menetap di sini siapkan sendiri kamarmu," kataku.
"Siap baginda ratu!" balasnya kemudian hormat padaku.
Aku melemparnya dengan bantal lagi. Jujur aku masih kesal dengannya. Bisa-bisanya dia bergurau yang membuat rusak jantung orang.
Waktu berlalu, satu persatu teman kami datang. Hari ini semua subdivisi berkumpul karena kami ingin membahas dan mengerjakan desain bersamaan. Hal pertama yang mereka lakukan memohon padaku untuk makan curry sekarang. Aku menolak dengan tegas. Mereka akan lapar lagi jika makan sekarang. Tidak akan kubiarkan curry itu disentuh lagi sebelum jam makan siang.
"Yosh, minna-san mohon perhatiannya," kata Diana. Kami menghentikan semua bentuk kegiatan lalu menoleh ke arah Diana. Dia berdiri di depan kami semua dengan televisi yang sudah tersambung ke laptopnya. Sejak kapan dia melakukannya, kataku di dalam hati.
"Karena semua sudah datang jadi kita akan mulai saja sekarang. Agenda hari ini adalah membahas semua desain yang kita perlukan sekaligus menyelesaikan lima puluh persennya. Setidaknya itu targetku. Waktu kita memang masih banyak tetapi to do list kita juga. Selain, desain-desain utama yang kalian sudah tahu rinciannya kita juga harus membuat promosi mingguan untuk di share di media sosial. Oh iya kita harus berterima kasih pada Fani yang sudah mau menyediakan tempat dan memasakan makan siang kita. Baiklah langsung saja kita mulai," jelas Diana pada semua orang.
Kami langsung mengambil posisi masing-masing. Diana langsung membahas apa yang perlu dibahas tanpa basa basi. Dia mode serius memang tidak main-main. Kami melakukan brainstorming. Ide-ide dikumpulkan, dipilih, dipreteli, dan direalisasikan. Beberapa kali terjadi perdebatan tetapi jalan tengah tetap ditemukan. Aku tentu ikut menanggapi sesekali. Akan tetapi, aku juga sering hanya mengiyakan atau menolak. Hal itu karena ide-ide temanku mirip dengan yang ada dipikiranku.
Diskusi pun selesai tidak lama kemudian. Memang tidak terlalu banyak yang dibahas kali ini. Kami langsung mengerjakan tugas masing-masing setelah Diana menyatakan selesainya diskusi.
Menjelang makan siang aku dan dua orang lainnya berhenti sejenak untuk memasak katsu. Diana ingin ikut tetapi aku menolak. Aku tidak suka terlalu banyak orang di dapurku. Lagi pula dua orang saja cukup.
Memasak katsu adalah hal mudah. Pertama, kau memerlukan daging ayam tanpa tulang yang diiris menjadi beberapa bagian. Setelah itu, daging ini harus dipukul-pukul agar menjadi lebih tipis. Ini bertujuan agar nanti hasilnya lebih garing. Setelahnya lumuri irisan daging ayam dengan telur, lalu ke tepung terigu, ke telur lagi dan terakhir ke tepung roti. Jika ingin tepung yang lebih banyak lumuran tepung bisa diulang dua kali. Setelah itu daging yang sudah dilumuri tepung harus disimpan di lemari es selama minimal tiga puluh menit. Jujur saja aku tidak tahu tujuannya tetapi itu yang diajarkan ibuku.
Setelah selesai kami kembali bekerja. Rencananya kami akan makan siang jam satu nanti. Masih ada banyak waktu sebelum itu.
***
Jam dindingku berbunyi. Aku menoleh ke arahnya. Alat penanda waktu itu sudah menunjukan pukul enam sore. Hari berlalu tanpa terasa. Aku sudah hampir menyelesaikan tugasku. Teman-temanku justru sudah selesai. Hampir semuanya sudah pulang, menyisakan aku, Jacy, Diana, dan Mio. Oh iya aku belum mengenalkannya. Mio adalah teman sekelas Jacy. Dia adalah sukarelawan, sama sepertiku.
Mio adalah ketua klub sastra. Dia tinggi, memiliki rambut hitam panjang yang lurus, wajahnya sangat cantik bagiku. Mungkin Mio adalah perempuan tercantik di angkatanku. Aku tahu beberapa orang yang menyukainya.
"Ah lelah sekali, Diana aku sebentar lagi pulang ya," katanya terlihat lelah.
Diana yang sedang bermain catur dengan Jacy menjawab, "Hai..., Jangan dipaksakan waktu kita masih banyak."
"Fani, bagaimana dengan punyamu?" tanyanya.
"Aku sedang melakukan finishing," jawabku.
"Yosh, mari kita selesaikan," katanya lagi kembali fokus pada pekerjaannya.
Aku melakukan hal yang sama. Pekerjaanku harus diselesaikan hari ini agar waktu luangku lebih banyak. Aku tipe orang yang suka langsung menyelesaikan sesuatu. Aku khawatir tidak bisa menyelesaikannya jika menundanya.
Waktu kembali berlalu. Aku melihat jam lagi. Ini sudah satu jam semenjak aku terakhir melihat jam. Mio sudah menutup laptopnya. Pekerjaanku juga sudah selesai. Akhirnya aku bisa bersantai.
"Aku pulang sekarang ya." Mio merapikan barangnya lalu bangkit berdiri.
"Arigatou, Mio," kataku, Jacy, dan Diana bersamaan.
"Ah tunggu, aku akan mengantarmu ke stasiun. Ada yang ingin kubeli di minimarket. Fan, pinjams sepeda," kata Jacy.
"Hontou? Pas sekali aku malas jalan kaki," balas Mio.
"Ada di belakang pakai saja," kataku.
Jacy dan Mio lantas pergi. Aku ke dapur untuk mengambil segelas air. Nikmat sekali rasanya meneguk air setelah menyelesaikan sesuatu. Setelah ini aku mungkin akan mandi.
"Diana, mau mandi bareng?" tanyaku.
"Hmm..., mau tidak ya, sudah lama sekali aku tidak melakukannya. Oh iya Fan aku menginap malam ini," balasnya.
Aku nyaris tersedak saat meminum gelas keduaku, "Ha? Bisakah kau memberitahu rencanamu sejak awal sebelum itu benar-benar akan dilakukan."
Dia tertawa kecil. "Aku masih agak bimbang awalnya tapi sekarang aku benar-benar tidak ingin pulang."
"Baiklah, untungnya aku punya kasur lantai. Kecuali kau mau tidur sendirian di kamar ibuku," balasku.
"Daijoubu-daijoubu, aku bisa menyesuaikan diri di manapun," balasnya sambil tersenyum.
"Baiklah, aku mau mandi sekarang kalau kamu tidak mau ikut," kataku.
Aku melangkah keluar ruang keluarga dan langsung menuju kamar mandi. Aku berencana untuk berendam. Kuisi bak mandi dengan air hangat. Sepertinya aku harus mulai mengurangi penggunaan pemanas air untuk mengurangi beban penggunaan listrik. Jujur saja tabungan ibuku hanya cukup sampai bulan November. Aku harus berhemat apapun caranya.
Setelah air penuh aku langsung membuka bajuku dan menceburkan diri ke dalam. Nikmat sekali rasanya setelah seharian bekerja dan berinteraksi dengan orang lain. Aku adalah orang yang cukup introver. Seharian bersama banyak orang cukup menguras energiku. Berendam air hangat seperti ini bisa membuatku lebih segar lagi.
"Fan...." Diana memanggilku lemah.
"Ada apa?" tanyaku.
"Mau cerita," katanya.
"Mau sambil berendam?" tanyaku.
"Hmm, tidak usah tidak apa-apa," balasnya.
"Aku lelah, Fan." Diana mulai bercerita, "Kamu pasti sudah bisa menebak kenapa. Orang tuaku bertengkar lagi. Mereka bahkan saling baku hantam di depanku, adik, dan kakaku. Aku terlalu lelah mendengar dan melihat pertengkaran mereka."
"Aku tadi sempat mencoba memisahkan mereka. Namun, tidak berhasil dan ayah malah memukulku lagi. Aku sudah terbiasa tapi...." Diana mulai menangis.
Aku bangkit dari bak mandi dan mengenakan handukku. Aku membuka pintu kamar mandi. Diana menangis sambil memeluk lututnya. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sudah tidak terhitung berapa kali Diana bercerita hal ini kepadaku. Aku memeluknya. Kuelus kepalanya perlahan.
"Tidak bisakah mereka mengerti aku menginginkan keluarga yang damai!" serunya.
"Aku lelah Fan. Aku lelah. Aku manusia bukan hewan atau barang tak bernyawa. Tommy saja ikut stress mendengarkan pertengkaran mereka. Rasanya aku tidak mau kembali ke sana. Mengapa sih mereka sering bertengkar untuk hal tidak jelas, tidak peduli pada anak-anaknya dan kasar. Mengapa mereka menikah sebelum benar-benar siap!" keluhnya.
"Aku tidak tahu, Di," balasku sambil terus memeluk dan mengelus kepalanya.
Diana membalas pelukanku dan menangis keras. Aku tidak bisa banyak bertindak. Aku juga sudah melaporkannya pada wali kelasku. Sekolah pernah bertindak tetapi tidak ada perubahan yang berarti.
"Jika kamu tidak mau pulang. Rumahku selalu terbuka untukmu. Ibu tentu juga akan senang. Kamu kan murid kesayangnya," kataku. Diana tidak merespon tetapi dia mempererat pelukannya.
"Aku mau lanjut mandi dulu ya, Di. Abis ini kita makan setelah itu langsung tidur," kataku.
"Ikut," balasnya. Aku mengangguk.
"Oh sebentar, kita harus mengunci pintu. Bisa bahaya jika ada pencuri saat kita mandi," katanya lalu pergi ke pintu depan.
Aku masuk dan menunggunya. Tidak lama kemudian Diana kembali dan ikut bergabung ke dalam bak mandi. Kami mandi dengan banyak bicara. Rencana bersantaiku lenyap. Namun, aku tidak keberatan. Kami membicarakan hal-hal lucu yang membuatku tertawa. Lelahku tetap hilang. Ini juga demi Diana.
Keluar dari kamar mandi kami mendengar suara pintu diketuk berkali-kali. Aku langsung mengenakan bajuku. Diana melakukan hal yang sama. Setelah itu aku melangkah ke pintu lalu membukanya. Jacy dengan wajah kesal berdiri di sana.
"Mengapa lama sekali sih?" tanyanya lalu melangkah masuk.
"Kami mandi barusan," kataku tertawa kecil.
Jacy membawa sebungkus plastik. Aku tidak tahu apa isinya. Dia meletakkannya di atas meja lalu membaringkan diri di atas sofa.
"Aku akan menginap malam ini," katanya.
"HA?? Mengapa banyak orang yang ingin menginap di rumahku," kataku menepuk jidat.
"Banyak? maksudmu Diana juga?" tanyanya.
"Hai...," jawab Diana dari dapur. Aku menoleh ke arah dapur. Diana sudah menyendok kare dari dalam panci.
"Dianaaa, siapa bilang itu jatahmu. Hei!" seruku kesal.
Diana mendesis dan tetap menuangkan karenya ke atas nasi. Aku menyerah. Jatah makan malamku direbut olehnya. Tidak ada harapan lagi.
"Jacy apa yang kau beli?" tanyaku.
"Ramen instan, oh iya aku beli okonomiyaki untuk kita bertiga," katanya.
"Syukurlah, aku akan makan okomiyakinya dengan nasi," kataku lalu melangkah ke dapur.
Jacy mengikutiku dengan membawa ramen instan lalu memasaknya. Panciku kareku sudah kosong. Diana benar-benar menghabiskannya. Kurasa curry-ku sangat enak sampai-sampai dia makan tiga porsi hari ini.
Aku mengambil nasi dan segelas air lalu kembali ke ruang keluarga. Diana sudah di sana dengan Tommy dipangkuannya. Anjing itu sudah lelah bermain seharian. Dia adalah distraksi kami satu-satunya.
Akhirnya kami bertiga makan sambil menonton salah satu anime di televisi. Aku baru sadar bahwa akhirnya rumah ini memiliki penghuni lain selain diriku selama sebulan lebih. Suasana yang biasa sepi menjadi cukup ramai
"Di, ada satu rahasia yang ingin kukatakan padamu," kataku.
"Apa itu?" tanyanya.
"Aku dan Jacy bukan berasal dari bumi," jawabnya santai.
Dia tersedak mendengar perkataanku. Aku memberinya minum. Jacy hanya memandangi kami dengan santai. Diana lalu tertawa setelahnya. Aku sudah menduga responnya akan begini.
"Jangan bercanda Fan! Bagaimana bisa!" katanya.
"Itu benar, Fani tidak berbohong," kata Jacy sambil masih menyantap ramennya.
"Uso, ceritakan lebih lanjut," katanya.
Aku akhirnya menceritakan semuanya pada Diana. Aku menceritakan tentang keanehan Jacy, pengakuannya, penguntitku, serta kasus orang tuaku. Diana tampak tidak percaya. Jacy menambahkan beberapa penjelasan padanya. Terutama tentang beberapa istilah sains yang tidak begitu kupahami serta bukti-bukti seperti surat wasiat orang tuanya dan kekuatannya. Aku juga menceritakan bahwa aku tidak benar-benar yakin mengenai hal ini. Aku masih perlu bukti.
"Kamu bukan tidak tahu, Fan. Lebih seperti ingatanmu hilang begitu saja. Dulu kita pernah membicarakan tentang planet kita dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Namun, setahun terakhir kita tidak pernah membicarakannya sama sekali seakan kamu hilang ingatan," kata Jacy.
"Aku tidak merasa pernah kehilangan ingatan. Aku benar-benar tidak tahu mengenai fakta ini," balasku.
"Ini menarik jika yang kamu dan Jacy katakan adalah fakta," balas Diana.
"Mungkinkah ada bukti lain di rumah ini?" tanyanya.
"Bisa jadi. Orang tuaku banyak memiliki teknologi, senjata, dan beberapa barang yang berkaitan dengan planet kami di rumah. pasti ibumu juga punya Fan," kata Jacy.
"Hmmm, baiklah mari kita mencarinya besok," kataku. Jacy benar. Jika fakta mengenai diriku benar pasti ada petunjuk di rumah ini.
"Mengapa tidak sekarang? Aku penasaran!" kata Diana bersemangat.
"No, no, no aku sudah lelah. Habiskan makananmu kita tidur sebentar lagi," balasku.
"Yha baiklah..., aku turuti kata-kata tuan rumah," balasnya.
Aku mengelus kepalanya lalu pergi ke dapur. Aku mempercayai Diana. Jacy juga tidak terlihat keberatan. Tidak ada ancaman yang berarti jika dia mengetahui fakta tentang diriku. Justru ada untungnya bagiku. Aku bisa mendapat teman diskusi mengenai masalah identitasku ini. Apalagi Diana penggila fiksi ilmiah.
Kami akhirnya pergi tidur. Jacy tidur di kamar ibu. Sebenarnya ibu sudah menyiapkan kamar untuknya tetapi belum ada tempat tidur dan perabot lain. Diana tidur bersamaku. Dia tidur di kasur lantai sementara aku di tempat tidur. Awalnya dia memaksa tidur bersamaku di tempat tidur. Namun, setelah merasakan betapa sempitnya tempat tidurku dia beranjak turun. Tommy ikut tidur bersamanya di bawah. Anjing kecil itu tidak lepas dari Diana. Aku mulai memejamkan mataku. Kubiarkan diriku tenggelam dalam kekosongan dan kemudian terlelap. Aku bersyukur hari ini telah berlalu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top