Osaka, 2017.
Tempat ini suram, tersusun dari batu bata hitam kasar, dan dingin. Lampu-lampu redup menyala dalam jarak tertentu. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa di sini. Namun, pastinya ini bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Aku mencoba berjalan, berharap menemukan pintu atau apapun yang bisa membawaku keluar dari tempat ini. Udara di sini mengalir tepat ke arah kakiku melangkah. Aku menduga itulah jalan keluar.
Tiba-tiba angin berhembus kencang dari arah belakangku. Sontak aku menoleh. Lampu dari ujung lorong yang bisa kulihat padam satu persatu. Kakiku tanpa diberi aba-aba berlari. Aku tidak tahu mengapa. Namun, aku harus berlari, pergi dari sini.
Tanpa disadari, Aku memasuki sebuah ruangan yang lebih luas. Walaupun tidak begitu jelas tetapi aku merasa tidak ada dinding di sekitarku. Akan tetapi, Aku tidak ingat telah melewati pintu lorong atau apapun. Aku mulai menduga ini bukan dunia nyata. Kemungkinan besar ini mimpiku yang terasa begitu nyata. Akan tetapi, dingin yang kurasakan dari udara yang berhembus benar-benar bisa kurasakan. Aku bisa bergerak secara sadar.
Sebuah cahaya muncul dari langit-langit dan menyorot ke tengah ruangan. Di sana terlihat sebuah tempat tidur rumah sakit lengkap dengan peralatan medisnya. Aku mendekat, penasaran. Suara patient monitor yang belakangan ramah di telingaku mulai terdengar. Aku berhati-hati. Mau bagaimanapun juga aku tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Seseorang berbaring di sana. Itu ibuku. Aku memastikannya dengan melihat dengan lebih teliti. Itu benar-benar ibuku. Dia tertidur dengan tenang. Bagaimana dia dan aku di sini? Ibuku seharusnya ada di rumah sakit.
Belum sempat aku selesai berpikir, suara patient monitor mengalami perubahan irama. Aku tidak tahu dengan pasti, tetapi kondisi ibuku tidak stabil. Dia terlihat sesak napas dan kejang-kejang. Aku panik. Aku tidak pernah menangani hal seperti ini. Di tengah kepanikanku suara denging aneh muncul entah dari mana, aku semakin panik. Aku coba mendekat dan ibuku tiba-tiba mendelik lalu menatap ke arahku. Aku mundur, tetapi mata kami masih sama-sama terpaku. Hingga tidak ada apapun yang kulihat lagi.
Pandanganku digantikan dengan langit-langit kamarku yang khas. Benar saja, itu hanya mimpiku. Aku baru menyadari bahwa mimpi itu kualami beberapa kali belakangan ini. Aku tidak tahu mengapa. Saat kita bermimpi, amigdala sebagai bagian otak yang mengelola emosi menjadi cukup aktif. Mungkin aku sedang takut dan khawatir mengenai kondisi ibuku yang sedang koma saat ini.
Aku memutuskan untuk bangun dari tempat tidur, segera menuju ke kamar mandi untuk bersiap ke sekolah. Aku Alfani Rahma. Seorang gadis berumur tujuh belas tahun, berkewarganegaraan Jepang, bernama Indonesia, bermata Eropa, dan rambut hitam legam seperti orang Asia pada umumnya. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana aku bisa menjadi kombinasi lintas benua seperti ini. Aku hanya tinggal bersama ibuku sejak kecil tanpa mengenal siapa ayahku. Ibuku tidak pernah menceritakannya. Ibuku membuka rias wajah dan salon tepat di samping rumah kami sebagai sumber pemasukan utama. Selain itu, yang kutahu ibuku sering trading saham.
Aku sudah selesai mengganti pakaianku. Sekarang aku berdiri di depan ambalan untuk memilih ramen instan mana yang akan kumakan. Kuputuskan untuk memilih yang ada tambahan kejunya. Jujur, aku malas mengurus diriku beberapa hari terakhir. Salah satu temanku sudah memakiku untuk setidaknya makan dengan benar. Namun, aku tidak mendengarkan.
Sambil menunggu, aku menyalakan televisi dan mengepang rambutku. Berita tentang pembunuhan sedang ramai saat ini, aku tidak tertarik dan beralih ke saluran lain. Ternyata tidak ada berita menarik bagiku. Aku memutuskan untuk mendengarkan radio saja. Beruntung, saluran favoritku sedang membicarakan tentang perkembangan ilmu kesehatan. Lima menit kemudian ramenku matang. Rambutku juga selesai dikepang. Sejak kecil aku sudah dilatih untuk mengepang rambutku sendiri. Hasilnya aku bisa mengepang rambutku dengan cepat. Aku segera memakan ramenku sambil terus mendengarkan radio.
Setelah itu, aku segera mengenakan sepatu, memastikan semua jendela dan pintu terkunci, dan melangkah keluar rumah. Hari ini adalah hari pertamaku setelah liburan musim panas. Aku harus menghadapi sekolah lagi. Beruntung aku bukanlah anak yang kesulitan dalam belajar, tetapi tidak hebat juga. Sejak bersekolah nilaiku hampir selalu aman. Begitu juga prestasi non-akademikku.
Aku adalah atlet panahan profesional. Aku dilatih dan diikutkan ke berbagai perlombaan sejak sekolah dasar. Sudah banyak kejuaraan yang kumenangkan. Aku cukup dikenal di sekolahku. Namun, tidak banyak yang menjadi temanku. Aku merasa kehidupan sosial harus dijalankan seperlunya saja. Oke, sekarang aku terdengar seperti Hachiman. Aku bukan tidak mau sama sekali, hanya membatasi saja.
Tanpa kusadari aku sudah berada di peron kereta bawah tanah. Seseorang melambai ke arahku dengan bersemangat. Dia Miyuki Diana, sahabatku. Dia adalah perempuan cantik dengan rambut sebahu, ceria, dan sangat aktif dalam kehidupan sosial. Bahkan dia menjabat salah satu ketua divisi di OSIS sekarang. Bisa dikatakan dia social butterfly. Walaupun begitu, Diana adalah orang yang tahu aku luar dan dalam, begitu juga sebaliknya.
"Ohayou, genki desuka?" sapaku balik.
"Tentu saja, ah ohayou Jacy!" balasnya dan menyapa seseorang di belakangku.
Dia Jacy Rosewell. Orang akan tahu bahwa dia bukan orang Jepang dari nama dan penampilannya. Dia memiliki rambut pirang, mata biru, dan nama eropa. Aku sedikit bingung menjelaskan hubunganku dengannya. Secara teknis, dia adalah saudara angkatku. Setahun lalu orang tuanya meninggal karena kebakaran di rumahnya. Ibuku memutuskan untuk mengangkatnya sebagai anak karena kedekatan keluargaku dengan keluarganya. Namun, dia belum tinggal bersama kami. Mungkin dia belum menerima kami sebagai keluarganya. Aku pun tidak begitu dekat dengannya walaupun kami sudah kenal sejak kecil.
Jacy hanya mengangkat tangan tanpa membalas sapaan Diana. Dia selalu seperti itu, tidak terlalu ramah. Tentu Diana memarahinya. Mereka cukup dekat tetapi Jacy terus saja begitu.
"Fan, jangan lupa hari ini kita langsung mulai latihan." Tiba-tiba seseorang berbicara padaku.
Aku menoleh, Yamaichi Gyoko, temanku. Aku biasa memanggilnya Gyo. Dia adalah ketua ekskul panahan di sekolahku. Aku balik menyapanya dan mengangguk. Aku tidak sabar ikut latihan hari ini.
Kereta tiba, kami langsung naik bersama. Sepanjang perjalanan, Gyo bercerita tentang pengalamannya memanah di atas kuda. Sementara itu, Diana bercerita panjang lebar entah tentang apa dengan Jacy yang tampak tidak tertarik. Namun, Jacy tampak tertarik denganku. Aku merasa dia memperhatikanku. Beberapa kali mata kami saling bertemu. Aneh sekali, gumamku di dalam hati.
***
Hari ini sekolah berjalan cukup lancar. Tidak ada yang benar-benar spesial hari ini. Saat ini, aku sedang memperhatikan guru biologiku. Aku sendiri dari jurusan IPS tetapi kami diharuskan mengambil satu mata pelajaran lintas minat. Aku memilih biologi. Aku tidak begitu tertarik dengan fisika dan kimia. Menurutku biologi lebih menarik untuk diperdalam. Walaupun begitu, aku tidak benar-benar tahu apa manfaat nyatanya di kehidupanku kelak. Aku hanya menyukainya.
Saat ini, guruku sedang menjelaskan bagaimana kehidupan bisa muncul di bumi. Aku pernah membaca di internet dan buku. Dahulu, filsuf percaya bahwa makhluk hidup hadir dari ketiadaan. Misalnya saja, tikus akan otomatis muncul dari tumpukan jerami yang diletakan di gudang. Terdengar aneh memang, tetapi pemikiran itu cukup mendominasi hingga abad ketujuh belas. Setelah itu seorang ilmuan melakukan percobaan dan menemukan bahwa makhluk hidup muncul dari makhluk hidup lain. Akan tetapi hal tersebut masih tidak dipercaya oleh beberapa ilmuan. Akhirnya setelah diuji coba kembali oleh ilmuwan yang berbeda hal tersebut bisa diterima.
Namun, hasil percobaan selama tidak berhasil menjawab pertanyaan, dari mana makhluk hidup itu ada. Akhirnya, Alexander Oparin dan John Haldane membuat teori bahwa reaksi kimia dari unsur anorganik bisa menghasilkan unsur organik yang kemudian membentuk bentuk yang lebih kompleks lagi dan viola muncullah makhluk hidup pertama. Teori itu dikonfirmasi kebenarannya oleh percobaan dua ilmuan lain, Urey dan Miller.
Seharusnya aku tidak perlu ikut kelas hari ini. Aku sudah pernah mempelajarinya secara mandiri. Namun, tidak apa-apa aku tidak boleh sombong dengan ilmuku, walaupun di dalam hatiku aku ingin keluar saja dan membeli makanan di kantin. Aku tidak membawa bekal. Tentang penjelasan asal usul makhluk hidup ini, aku berhipotesis bahwa jika di planet lain ada kondisi yang sangat mirip dengan bumi mungkin kehidupan bisa muncul dengan cara yang sama, akan menarik bila hal itu benar-benar terjadi.
Aku akhirnya kembali mencoba fokus memperhatikan guruku setelah melamun tadi. Mari fokus dan berharap pelajaran ini cepat selesai, ujarku. Aku tidak sabar membeli roti daging di kantin.
***
Beli istirahat berbunyi. Aku kembali ke kelasku. Diana sudah menantiku dengan bekalnya. Dia melambaikan tangan agar aku segera menuju tempatnya dan sesi bercerita Diana pun dimulai. Dia bercerita tentang film Star Wars The Force Awaken. Akhir tahun ini film terbaru dari sekuel trilogi legendaris ini memang akan rilis. Diana pasti menonton ulang untuk kembali mengingat ceritanya.
"Dan boom! Star Killer meledak seperti Death Star di A New Hope," ceritanya bersemangat. Tanpa dia sadari aku sudah mengambil dan menikmati salah satu onigirinya. Tentu aku tetap mendengarkan dengan serius, ralat, setengah serius.
"Apakah kau sadar bahwa premis dari film ketujuh itu sama seperti film keempat?" tanyaku.
"Hmmm, kau benar, tapi lihatlah nuansanya baru dan banyak--hey!" Dia mulai menyadari bahwa aku memakan onigirinya.
"Makan bekalmu sendiri!" serunya sambil mengamankan sisa bekanya.
"Aku malas membawa bekal," ujarku.
"Kau harus memperhatikan dirimu, Fan. Semenjak ibumu di rumah sakit kau jadi pemalas," balasnya.
"Kau benar," kataku. Ibuku koma karena sebuah kecelakaan lalu lintas dan tidak tahu sampai kapan kondisinya akan seperti ini. Itu membuatku khawatir.
"Ayolah Fan. Aku yakin ibumu akan baik-baik saja. Kita tinggal di Jepang! salah satu negara paling modern di dunia." katanya optimis.
Aku hanya mengangguk dan menghabiskan onigiriku. Aku bangun, berencana ke kantin. Diana memintaku membelikan sesuatu, susu coklat favoritnya. Aku menolak uangnya, "Sebagai ganti onigirimu."
Aku pun ke kantin. Cukup ramai seperti biasa. Beruntung, roti favoritku belum habis terjual. Aku segera membelinya. Setelah itu, aku ke vending machine untuk membeli minuman. Dua kotak susu sudah kudapatkan. Waktunya kembali, ujarku. Dalam perjalanan kembali ke kelas, aku sempat berpapasan dengan Jacy. Mata kami saling beradu. Dia seakan sedang mengawasiku. Aku penasaran sekaligus takut. Apa maunya?
***
Panahan adalah olahraga yang mengandalkan otot tangan. Aku sudah berlatih panahan sejak kecil. Saat pertama kali latihan dengan serius tanganku sakit. lecet dan pegal-pegal menemani hari-hariku. Selain itu, panahan juga memerlukan penglihatan yang baik. Aku harus benar-benar menjaga mataku.
Saat ini, aku sedang berlatih seperti biasa di dojo. Hari sudah sore, beberapa temanku sudah pulang dan menyisakan tiga orang. Aku, Gyo, dan salah satu adik kelas kami--Mashiro Ryu. Gyo sedang memberikan pelatihan khusus pada Mashiro yang bulan depan akan ikut turnamen pertamanya. Dia terlihat sangat bersemangat dan Gyo tidak kalah bersemangat untuk melatih anak itu. Sementara itu, aku hanya enggan untuk pulang. Tidak ada yang menungguku dan tidak banyak yang bisa kulakukan.
"Rahma-senpai, Yamaichi-senpai, bagaimana kalau hari ini kita makan bersama di kafe baru di depan stasiun?" tawar Mashiro .
Itu tawaran yang bagus, tapi aku tidak langsung mengiyakan. Hari ini tidak benar-benar ada yang harus kulakukan. Lagi pula ini hari pertama sekolah. Aku juga baru akan menjenguk ibu besok sore.
"Boleh, aku akan ikut. Segera selesaikan latihanmu," balasku dan dia terlihat senang.
Aku segera mengganti pakaianku dan merapikan peralatanku. Tidak lama kemudian Gyo menyusulku di ruang ganti. Sambil berganti pakaian dia menceritakan tentang perkembangan Ryu. Dia melihat potensi anak itu. Dia bahkan berkata kalau Ryu bisa menandingiku suatu saat nanti. Aku juga percaya dengan pengamatannya. Dia bisa membaca potensi orang lain. Saat kami keluar, Mashiro juga sudah berganti pakaian. Kami bertiga memastikan seluruh peralatan sudah dirapikan. Setelah itu kami melangkah keluar dari dojo.
Sekolah sepi. Kurasa hampir semua murid sudah pulang. Aku hanya melihat beberapa anak OSIS berkeliaran. Mereka sibuk rapat perdana hari ini. Mungkin Diana juga ada di sana. Nikmat sekali rasanya suasana sore ini.
Kami melangkah menuju gerbang. Beberapa orang yang melihat kami menyapa. Aku membalas dengan ramah. Suasana hatiku sedang baik-baik saja.
"Fani!" Seseorang memanggilku.
Kami bertiga menoleh, itu Jacy. Dia melangkah tenang ke arah kami bertiga. Dia mengenakan baju olahraga. Bisa kutebak kalau dia baru selesai dari kegiatan klubnya.
"Beruntung aku bertemu denganmu di sini, bisa bicara empat mata sebentar?" tanyanya.
"Tidak bisa di sini saja?" tanyaku. Dia menggeleng sebagai jawaban.
"Maaf Yamaichi, ini agak pribadi," tambahnya.
Gyo dan Mashiro mengerti. Mereka bilang akan menungguku di gerbang. Jacy mengajakku menjauh dari gerbang. Aku tidak tahu apa yang ingin dia bicarakan. Aku juga tidak berekspektasi apapun.
"Aku agak bingung memulainya dari mana," katanya.
Dia melihat sekitar, seakan memastikan tidak ada siapa-siapa. Aku mulai curiga ini berhubungan dengan tingkahnya yang sering memperhatikanku hari ini. Baiklah, akan kudengarkan apapun yang dia katakan.
"Ini agak sulit dikatakan," dia berhenti sejenak, "Mungkin kau juga tidak akan percaya."
"Apa yang ingin kaukatakan? Cepatlah aku mau makan-makan," balasku tidak sabaran.
TIba-tiba dia menatap lurus ke arah mataku. Aku agak terkejut. Kami jarang bertatapan sedekat ini. Dia masih diam. Aku bingung. Kemudian, Jacy mengucapkan sesuatu yang tidak kumengerti. Bukannya aku tidak bisa memproses makna dari perkataannya. Dia mengucapkan bahasa yang tidak kumengerti.
"Hah?" responsku bingung, "apa maksudmu?"
"Sudah kuduga, aku yakin kau akan kebingungan," balasnya.
"Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu apa," kataku.
"Baiklah, akan kujelaskan nanti aku harus bekerja sekarangi. Matta ne!" Dia kemudian meninggalkanku yang kebingungan.
Aku tidak sempat mencegahnya. Apa maksudnya. Aneh sekali, waktuku terbuang sia-sia. Astaga, mood-ku jadi rusak, ujarku di dalam hati. Aku segera meninggalkan tempatku berdiri. Lebih baik aku bersenang-senang sekarang.
***
Catatan Penulis:
Yay, sekian bab 1 dari TBM versi baru ini. Gimana-gimana? Ceritain pendapat kalian dong. Kalo ada saran atau kritik boleh banget nih ditulis di komentar. Kalo suka jangan lupa di-vote juga ya! Oh iya bonus buat chapter ini aku ngelampirin ilustrasi karakter utama kita.
Tadaaa
Ini yang buat temen gua—Nadila. Keren banget sih jujur. Kalo kalian penasaran sama karya karya dia yang lain bisa langsung cek aja instagramnya @e.namnamnami. oke gitu aja, thank you udah mau baca sampai jumat minggu depan!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top