Chapter 49: Green Boy with Stalker
|| Peringatan! Chapter ini cukup mengganggu bagi sebagian orang! Menyebutkan tentang kata-kata trigger, tindakan tidak membuat nyaman dan menyimpang, penguntitan, dan lain sebagainya! Diharapkan untuk bijak dan tidak mengikuti adegan tersebut di dunia nyata. Thank's.
Tidak disangka akun media sosial milik Viole dan Theodore telah kembali setelah menghilang begitu saja. Namun, sayangnya setengah dari followers dan following mereka berkurang, bahkan teman-temannya harus mengikuti media sosial mereka kembali, tetapi beruntung sekali karena foto-foto di feeds masih tertata rapi.
"Wah, bagus nih, Amelia juga terhapus dari followers-ku," ujar Viole seraya memasak sarapan pagi hari ini; telor dicampur irisan daun bawang, bawang merah dan putih, tomat, serta disajikan dengan saus dan nasi hangat, tak lupa pula susu hangat rasa cokelat. "Kuharap gadis itu tak sadar jadi bisa diam-diam bisa kublokir akun Instagram-nya."
Lalu muncul notifikasi Instagram jika seseorang telah mengikuti akun Viole serta pesan di direct message.
Psycassie:
Pretty, ternyata akunmu sudah kembali?
Kenapa nggak bilang ke aku, jadi bisa langsung ku-follow.
Btw bakal kamu followback-kan akun Instagram-ku:) Wajib following back lho.
Hanya karena seluruh followers sama following kamu berkurang, termasuk aku yang ke-unfollow, bukan berarti aku nggak tahu.
Jadi secepatnya followback okay? Biar kamu bisa lihat snapgram sama foto-fotoku yang cantik dan seksi♡♡
Violevoir:
Tidak terima followback, aku selebriti, following-ku harus dikit.
Psycassie:
Biadab ya.
Kamu selebriti? Nggak ada selebriti yang followers-nya bahkan nggak nyampe 2.000.
Lagian yang selebriti sebenarnya siapa sih di sini^^ Seharusnya kamu bahagia karena di-follow AKU yang notabenenya punya followers lebih dari 10 juta, paham?
Violevoir:
Memangnya kamu punya prestasi apa sampai punya followers sebanyak itu?
Psycassie:
Pamer muka dan badan, kan aku paling cantik di Erysvale bahkan bisa bersaing dengan model papan atas kok.
Terus masih kamu tanya kenapa followers-ku banyak?
Aku kurang cantik kah di mata kamu???
Violevoir:
Kalau gitu, aku unggah foto wajahku deh, biar banyak yang follow.
Psycassie:
Pretty, Viole, honey bunch sugar plum.
Jangan coba-coba okay?
Kalau kamu pamer wajahmu yang cantik nan tampan itu biar narik atensi orang-orang, kupastikan besok akun Instagram kamu bakal hilang selamanya termasuk pemilik akunnya.
Do you understand, pretty?
Detik itu Viole langsung merinding, meski hanya dalam bentuk teks bukan ucapan langsung, tetapi ia membayangkan gadis itu mengancamnya sungguh membuat bulu kuduknya berdiri dan ia jadi takut.
Violevoir:
Sudah ku-followback.
Aku janji nggak bakal unggah macam-macam kok.
Psycassie:
Good boy.
Jaga dirimu okay? Jangan lupa minum obat dan jangan terlibat hal-hal konyol lagi, apalagi sok jadi pahlawan:)
Have a nice day, luv u♡
Violevoir:
Have a nice day too, thank's.
Psycassie:
Pretty.
Pretty.
Pretty, Violetta baby.
Violevoir:
I'm here
Ada apa lagi?
Psycassie:
Hari ini, aku sibuk banget karena persiapan seminar. Aku jadi pemateri seminar di kampusku hari Rabu nanti.
Violevoir:
Oke, nice info.
Psycassie:
Hanya itu? Seriusan, cuma itu reaksi kamu?!!!
Violevoir:
Iya Amelia, semangat ya.
Meskipun sibuk, tetap jaga kesehatan. Jangan lupa makan sama istirahat. Terus semoga persiapan sampai hari acara seminarnya berjalan lancar.
Psycassie:
Kamu perhatian banget deh.
Makin yakin aku untuk melamar kamu terus kita ngundang Ariana Grande sama SZA ke acara nikahan kita.
Violevoir:
Bye Amelia.
Psycassie:
Kok langsung hilang, jawab dulu!
Pretty.
Pretty.
Violetta!!
Viole menghela napas panjang, ia tak mau lagi menanggapi pesan terakhir itu yang sangat terdengar menyebalkan, sungguh baru menghadapi beberapa pesan saja sudah membuat energinya terkuras banyak, beruntung hari ini hari Minggu jadi tak perlu bertemu dengan Amelia di sekolah. "Ya Tuhan, ujian apa lagi yang Engkau hendak berikan padaku."
Lalu Viole mencium bau gosong bersamaan asap hitam hampir membumbung di dapurnya. Omelette-nya gosong! "No, no, oh Goddess! Hidupku sial banget!" Baru Seminggu setelah dia keluar dari rumah sakit, Viole sudah ditimpa berbagai ujian kehidupan lagi.
****
Selesai dengan membersihkan kamar apartemennya. Viole bersiap-siap untuk aktivitas di luar yakni hangout ke mall bersama dengan teman-temannya, mereka sudah janjian akan pergi menghabiskan waktu dengan keluar rumah di Minggu pagi ini, awalnya hampir diundur karena takut jika Viole belum sehat total, tetapi lelaki itu berkata bahwa ia baik-baik saja, jadi hangout-nya tak ditunda.
Dikarenakan pergi ke mall yang kemungkinan jadi perhatian banyak orang, Viole tentu akan mengenakan outfit nyaman dan simple saja seperti kemeja putih gading berlengan panjang yang dipadukan dengan vest rajut warna hijau tanpa lengan yang ada gambar bunga kuning serta jingga. Kemudian celana bahan dasar wol atau katun berwarna cokelat, kaos kaki hijau, sepatu putih-hijau, terakhir ia mengenakan topi baret warna hijau pula, tetapi lebih terang kemungkinan hijau neon. Sungguh sangat simple bukan outfit-nya hari ini?
Mereka berangkat dengan diantar oleh ayahnya Emma yakni Jeremiah Walter menggunakan mobil tuanya, tetapi pria tua itu yakini masih bisa melewati jalan rusak, berbatu-batu, bahkan hutan sekali pun. Sementara Theodore naik motornya sendiri seperti biasa, ia termasuk enggan menaiki mobil karena lebih cinta berkendara sendiri. Sebenarnya hendak membonceng Viole, tetapi ia urungkan karena memikirkan kondisi kesehatannya.
Berada di dalam mobil, mereka bisa mengetahui betapa Emma sangat dekat dengan ayahnya terutama akhir-akhir ini, ia lebih banyak bercerita hal-hal random termasuk menceritakan kegiatannya dengan teman-temannya. Lalu Jeremiah juga sangat baik karena mereka pernah beberapa kali ditraktir pizza, burger, hingga es krim, kini pun saat sampai di mall nanti, sebelum Jeremiah pergi— dia hanya akan mengantar bocah-bocah itu ke mall---Jeremiah akan mentraktir Viole dan lainnya es krim. Setelah itu, para bocah bebas bermain di mall hingga pukul empat sore.
"Makasih Ayah," ujar Emma tersenyum lembut kemudian mencium pipi Jeremiah. "Ayah perlu bercukur."
Jeremiah terkekeh seraya mencium puncak kepala Emma. "Ayah akan bercukur setelah ini, selamat bersenang-senang, ingat pesan ayah tadi, kalian juga."
"Tenang saja, Mr. Walter," balas Sophia, "ada Sophia di sini, detektif andal!"
"Detektif gadungan lebih tepatnya," balas Theodore seraya memutar bola matanya. Lalu bahunya dipukul kuat oleh Sophia.
"Terima kasih sudah mentraktir kami," kata Louie.
"Sama-sama." Jeremiah menatap pada Viole. "Jaga diri kalian semua. Violetta, kau terutama, kasihan Francis selalu sakit kepala karenamu."
Viole terkekeh lalu mengangguk pelan. "Terima kasih, Mr. Walter karena sudah mengkhawatirkanku." Dibalas anggukan oleh Jeremiah.
"Bye, bye Ayah!" kata Emma kemudian mereka semua segera masuk ke mall yang sangat ramai pengunjung.
Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Viole ke mall ini. Sudah beberapa kali, ia pergi sendiri maupun bersama teman-temannya. Namun, kali ini suasananya jauh lebih berbeda karena lebih meriah, terutama mulai banyak properti dan dekorasi-dekorasi untuk menyambut Halloween di bulan Oktober nanti. Lalu orang-orang juga ramai kemari untuk mencari dekorasi Halloween sehingga mall-nya semakin riuh serta padat.
"Ibuku sudah sibuk sejak beberapa hari lalu," ujar Sophia, "dia membeli dekorasi Halloween melalui toko online maupun website amazon."
"Kalau ibuku kemungkinan baru Minggu depan mulai cari dekorasi karena Minggu ini masih sibuk," ucap Emma.
"Aku entahlah, tahun lalu tak ada dekorasi yang bagus di rumahku, hanya berbagi permen, itu pun sedikit saja," balas Louie.
Lalu mereka bertiga menatap pada Theodore dan Viole. "Jangan tanya kami," balas Theodore.
"Aku maklumi jika Viole," kata Sophia, "tapi kaukan kaya, Theo! Kau beli dekorasi harga jutaan dollar saja bisa atau buat wahana rumah hantu di rumahmu!"
"Orang tuaku tak suka hal-hal seperti itu," balas Theodore, "mereka menganggap dekorasi Halloween hanya memperjelek rumah dan membuang waktu. Mereka juga sibuk bahkan di malam Halloween, cuma ada waktu di malam Natal, itu pun sehari atau dua hari saja."
Kini mereka jadi sedih, meskipun hidup bergelimang harta, ternyata Theodore kekurangan waktu bersama dengan keluarganya. Pantas saja Theodore jadi bersikap semena-mena, suka balap liar dan bolos sekolah, beruntung saja kebiasaan itu agak berkurang. "Keluargamu agak berbeda ya," kaya Emma, "bahkan keluarga-keluarga selebritas saja masih merayakan Halloween."
"Benar misalnya saja, siapa itu yang dari keluarga model? Mengubah rumahnya jadi salju," balas Sophia. Viole hendak ikut nimbrung, tetapi ia tak tahu siapa yang mereka bicarakan. Di kalangan model yang ia ikuti hanyalah tiga bersaudara Hadid saja.
"Oh aku tahu, kalau mereka 'kan memang suka pamer," balas Louie.
Theo menghela napas. "Mereka selebritas dan model, tentu saja masih sempat merayakan acara-acara seperti Halloween atau Natal dengan damai. Orang tuaku 'kan bekerja di perusahaan yang masih berelasi dengan Perusahaan Æthelwulfos, jadi sibuknya berbeda."
Kini teman-temannya menatap Theodore, termasuk Viole, sungguh mengapa baru lelaki itu ceritakan jika orang tuanya masih ada kerjasama dengan perusahaan terkaya di dunia itu?! "Kau berutang cerita pada kami."
Theodore menghela napas. "Nanti aku akan cerita, tapi tidak sekarang karena aku belum siap." Ia lalu melirik pada Viole yang sibuk mengagumi dekorasi berupa balon sangat besar di tengah-tengah mall. "Ayo kita main arcade games."
Kemungkinan inilah yang dulu dikatakan oleh Dite, ketika Viole melangkah keluar dari dinding putih, maka dia akan melihat betapa dunia sangat luas dan besar bahkan berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain saja akan ada banyak perbedaan. Dimulai dari tata bangunannya, masyarakat, sistem pemerintah, bahkan budaya, bahasa, norma sosial, serta masih banyak lagi.
"Jadi ini yang namanya menikmati masa muda?" gumam Viole, ia pernah membaca kutipan dari sebuah novel bahwa seseorang harus menikmati masa mudanya selagi bisa. Maka mungkin masa inilah yang tengah Viole hadapi meski ada banyak huru-hara yang lebih kompleksitas karena dirinya bukanlah manusia biasa seperti orang kebanyakan.
"Ayo Viole," kata Emma, "jangan diam saja!"
Tujuan pertama mereka adalah sebuah tempat bermain, arcade games barangkali sebutannya? Berada di sini, mereka membeli kartu untuk bermain, masing-masing dapat satu kartu dan ditraktir oleh Theodore, termasuk Viole padahal lelaki itu bisa beli sendiri, tetapi tak diizinkan Theodore. Lalu mereka pun mulai bermain. Terdengar alunan lagu We Got The World—Icona Pop mengalun di Arcade Games ini, menambah semangat mereka bermain. Kini mereka tampak layaknya anak-anak remaja pada umumnya yang tak perlu memikirkan mengenai kejadian pembantaian sekolah mereka dua bulan lalu serta Bloodied Tortuner yang entah mengapa beberapa hari ini tak terdengar kabarnya lagi. Viole terlihat paling bahagia karena dia tak menyangka bisa bermain bebas dan tak terkekang seperti dulu.
Bukankah hal ini adalah kebahagiaan yang harus disyukuri?
Sesaat Viole hendak kebahagiaan ini bertahan selamanya, tanpa ada kesedihan atau kejadian buruk menimpa lagi. Namun, bukankah ia adalah ævoltaire yang meskipun ia terbebas dari dinding putih, tetapi belum tentu terbebas dari berbagai macam teror yang masih mengikutinya ibarat sabit malaikat kematian di lehernya.
Maka detik itu, malaikat kematian dengan sabitnya serta teror telah menemukan Viole meski tak menyentuhnya secara langsung.
Tanpa disadari oleh siapa pun terutama oleh Viole dan keempat sahabatnya. Tampaknya Viole tengah dipantau oleh seseorang yang mengenakan kemeja putih, celana hitam dan blazer hitam, topi warna putih, mengenakan kacamata hitam, dan masker putih, rambut orang itu pendek dan berwarna hitam pula. Ia tengah membawa tas serta kamera di tangannya yang siap memotret targetnya atau lebih tepatnya, seorang lelaki berwajah cantik nan tampan yang mengenakan vest hijau dan baret hijau neon.
Kini sosok berpakaian hitam itu tengah berdiri di balik salah satu permainan berupa mesin capit. Ia membawa tiga jenis kamera, kamera yang tengah ia pegang, bertipe kamera DSLR, lalu ada pula kamera Mirrorless, dan terakhir Kamera 360 yang terpasang di dadanya agar terus merekam setiap pergerakan Viole.
"Foto yang sempurna," gumam sosok berpakaian hitam tersebut terus diam-diam memotret Viole yang asyik bermain lempar bola basket dengan teman-temannya.
Kini sosok berpakaian hitam berjalan agar menemukan angle kamera terbaik untuk mendapatkan foto Viole yang tengah memainkan mesin capit untuk mendapatkan boneka bebek. Bagaimana jika sebut saja stalker untuk sosok berpakaian hitam karena tak diketahui identitasnya? Maka stalker tersebut mengangkat sedikit kameranya dan memotret Viole saat ia terkekeh karena boneka bebeknya gagal dia dapatkan. Ia memotret lagi ketika ekspresi Viole berubah jadi kesal, cemberut, hingga bibir manyun karena terus gagal. Lalu tak lama datang Sophia untuk bermain juga. Membuat stalker itu menurunkan kameranya.
Beralih ke mesin permainan selanjutnya, setiap menemukan angle terbaik, stalker itu terus memotret Viole, bahkan beberapa gambar terfokus pada bagian tubuh tertentu dari lelaki cantik itu. Seperti matanya, alis, pipi, rahang, leher, jemari lentik lelaki itu, pinggang meski tertutupi vest hingga ketika Viole menungging untuk mengambil kartu game-nya yang jatuh, stalker itu berhasil mengambil gambar dengan proporsi dan angle yang sempurna.
Senyuman Sang stalker terukir meski tertutupi masker putihnya. "Tubuh yang sempurna, foto ini akan jadi salah satu favoritku."
Kini anak-anak itu selesai bermain di arcade games dan berniat mencari minuman di salah satu toko menjual minuman rasa buah karena Viole tak bisa minum kopi. Berjalan ke sana, mereka tak sadar jika seorang stalker tengah menguntit mereka dengan sempurna, ibarat tak ada yang mendengar langkah kaki stalker tersebut dan mereka benar-benar buta serta tuli. Ketika para bocah itu mengantre, Sang stalker bersembunyi di antara dekorasi-dekorasi berupa pepohonan, patung menyerupai batang permen, hingga dekorasi Halloween lainnya yang dijual.
Kali ini ia gunakan kamera Mirrorless untuk memotret wajah Viole berkali-kali, ketika lelaki itu mendengarkan cerita Sophia yang membahas mengenai film favoritnya yang ia tonton di bulan Halloween. Sang stalker mulai memotret wajah Viole ketika lelaki itu menerima minumannya, kemudian kamera diganti ke DSLR di-zoom sedekat mungkin ketika Viole menyeruput minumannya, berfokus pada mulut dan bibir lelaki cantik itu.
"Bibir yang indah." Sesaat stalker itu menatap hasil potretnya yang memperlihatkan bibir cantik Viole. "Oh." Terdengar suara gedebuk.
Sang stalker lalu menatap pada anak kecil yang tak sengaja menabrak kakinya. Anak kecil berkepang yang membawa es krim cone. "Kau siapa?" kata anak kecil itu.
Perlahan sang stalker menggerakkan jari telunjuknya ke depan maskernya, memberi isyarat untuk diam, lalu anak kecil berkepang itu mengangguk kemudian kembali menemui ibunya. "Mereka pergi lagi."
Ternyata setelah menghabiskan minuman mereka, tujuan para bocah itu adalah toko buku di mall ini. Maka Sang stalker pun mengikuti mereka masuk ke sana. Viole terlihat bersama dengan Sophia ke rak-rak novel genre thriller dan horor, Theodore mau tak mau mengikuti karena ia jarang baca novel, bingung juga hendak membeli novel dengan genre apa. Di sisi lain, Emma sibuk melihat-lihat novel genre remaja dan romansa, sementara Louie di rak buku komik. Melihat para bocah sibuk dengan novel masing-masing. Stalker tersebut melangkah ke lorong rak sebelah mereka sambil menatap Viole di antara celah-celah buku, lalu meraih kameranya lagi dan memotret Viole, ia hanya fokus pada Viole karena tujuannya hanyalah lelaki cantik itu.
"Aku akan ke rak buku psikologi," kata Viole pada Sophia yang masih sibuk melihat-lihat novel thriller.
"Okay, aku akan tetap di sini," balas Sophia. Jika bertanya di mana Theodore, dia sudah kelelahan jadi memilih duduk di bangku sambil menatap ponselnya.
Sendirian berjalan di rak-rak buku teori psikologi maupun filsafat adalah keputusan buruk bagi Viole, tetapi keberuntungan bagi seorang stalker dengan kameranya. Kini seiring langkah Viole, stalker itu terus mengikutinya, ia menatap tajam melalui kacamata hitamnya, memperhatikan setiap gerak-gerik Viole yang sibuk melihat beberapa buku psikologi dan filsafat, mengambil satu buku lalu dibacanya seraya membolak-balikan halamannya. Perlahan stalker itu mengangkat kameranya lagi untuk mengambil gambar Viole yang berfokus pada sebuah buku psikologi teori Sigmund Freud.
"Laki-laki yang cerdas dan menyukai Sigmund Freud," ujar stalker itu.
Entah sudah berapa banyak gambar yang stalker itu ambil, tetapi ia belum puas juga. Kini ia menatap pada kamera CCTV yang terpasang di toko buku tersebut, perlahan-lahan ia lambaikan tangan ke kamera CCTV tersebut kemudian fokus kembali pada Viole.
Tampak jika Viole tengah berusaha untuk menjangkau sebuah buku filsafat yang berada di rak paling atas, tetapi tak kunjung bisa. Sampai-sampai lelaki itu harus berjinjit dengan satu kaki dan menjulurkan tangannya, membuat sesaat kemeja dan vest Viole tertarik dikarenakan pendek, kini tampak sedikit perut lelaki itu dan berhasil dipotret oleh stalker tersebut berkali-kali sampai Viole berhasil mendapatkan buku filsafat yang ia mau.
Kini kembali terukir senyuman si stalker, ia tatap kameranya yang memperlihatkan kulit putih barangkali lembut dari lelaki bernama Viole itu. Ia dekatkan kameranya ke bibirnya yang ditutupi masker, ia cium layar kamera itu. "Perfect." Lekas ia keluar dari toko buku tersebut karena Viole dan kawan-kawan hendak membayar buku mereka di kasir.
Tujuan selanjutnya adalah berbelanja di toko pakaian karena permintaan Sophia dan Theodore, lalu Viole juga hendak melihat-lihat pakaian, siapa tahu ia temukan sweater gambar bebek dan berwarna kuning.
"Kalian dengar tadi staff-nya berkata apa?" ujar Louie, "ada beberapa pengunjung yang melihat orang mencurigakan, lalu staff mall hendak mengeceknya di CCTV, tetapi kamera pengawas itu malah rusak."
"Oh come on," balas Theodore, "banyak orang aneh di kota ini, apalagi mendekati Halloween."
"Jangan khawatir, Louie," kata Sophia, "salah satu rules yang harus kauketahui jika pembunuh takkan membunuh di siang hari terlebih di keramaian. Mereka akan bergerak di saat sepi." Dan Louie hanya bisa pasrah karena abainya teman-temannya ini.
Berada di toko pakaian yang sangat besar ini, mereka mulai mencari baju sesuai selera mereka, jika pun tak beli, mereka hanya akan melihat-lihat saja, terutama Emma dan Louie yang hendak hemat. Ketika mereka berjalan ke pakaian anak-anak remaja, mereka tak sadar jika berpapasan dengan seseorang yang mengenakan blazer serta diam-diam memotret dan mengamera Viole dari belakang untuk fokus pada salah satu bagian tubuh lelaki itu ketika berjalan bersama teman-temannya.
Berada di toko pakaian ini agak sulit untuk mengambil banyak gambar karena sangat ramai, tetapi dikarenakan Viole terpisah dari teman-temannya yang mencari pakaian warna gelap sementara Viole warna terang, maka membuat stalker itu semakin gencar memotret karena tak ada halangan dari teman-temannya. Ketika mendapatkan beberapa gambar yang bagus, stalker itu sesaat terkejut ketika Viole tepat di dekatnya karena Viole fokus menatap sebuah jaket warna biru dan kuning.
"Terlalu dekat," gumam stalker itu, bukannya menjauh, dia malah berjalan ke arah Viole, tangannya bersiap-siap, ia akan melewati lelaki itu dan hendak menyentuhnya barangkali ia belai pipinya agar ia rasakan bagaimana tubuh lelaki itu.
"Sialan," gumam sang stalker langsung mengurungkan niatnya ketika Emma muncul. Lekas stalker itu berbelok dan pergi dari sana.
Apakah stalker itu sudah berhenti? Tentu saja tidak.
Kini Viole dan kawan-kawannya masuk ke ruang ganti untuk mencoba pakaian yang mereka pilih, ternyata cukup mengantre karena banyak juga pengunjung.
"Paling ujung nggak keluar-keluar," kata Emma, "hampir 15 menit lho, sampai pengunjung lain kesal."
"Pantas jadi panjang antreannya," balas Louie.
"Positif thinking, dia ketiduran," ujar Viole, ia membawa jaket warna biru serta sweater rajut kuning. Hendak dia coba ukurannya, takutnya kebesaran.
"Mungkin lagi makan," celetuk Sophia.
Theodore menyahut pula. "Kemungkinan sih mati, nanti sebentar lagi datang sheriff Jude."
"Theo!" ujar Emma, Louie, dan Sophia bersamaan, sementara Viole hanya diam saja. Ia juga merasa ingin pergi ke toilet. Namun, masih bisa ia tahan.
Beberapa menit berlaku. Hingga akhirnya giliran Viole juga. Setelah dikunci pintunya, menggantung kedua pakaiannya, lalu ia menatap cermin. Tak sama sekali ia sadari jika di ruang ganti sebelah sudah ada orang lain yang sejak tadi memang menunggu Viole untuk masuk ke dalam bilik ruang ganti di sebelahnya, ya stalker itu sudah memprediksi jika Viole akan masuk ke bilik di sebelahnya. Maka dengan kamera 360 yang terpasang di dadanya, ia lepaskan, diberi tongkat hitam, lalu ia berjinjit sedikit agar kamera tersebut dapat merekam apa yang terjadi di bilik sebelah---bilik ganti ini tak memiliki atap---ia sangat berharap bisa mendapatkan rekaman ketika Viole melepaskan bajunya untuk mencoba jaket dan sweater-nya.
"Aku akan melihat tubuh atasnya yang telanjang itu," gumam stalker tersebut.
Hanya saja suara ketukan terdengar dari arah luar, membuat stalker itu menurunkan kameranya. "Permisi, apakah Anda baik-baik saja? Beberapa pengunjung berkata jika Anda terlalu lama di dalam." Itu suara staff di toko pakaian ini.
Lekas stalker itu mengambil dua pakaian berupa jaket besar yang sebagai kedok jika ia tengah mencoba ukuran pakaian tersebut. Setelahnya ia membuka pintu. "Maaf." Lalu pergi dari sana. Membuat beberapa pengunjung menatap heran termasuk staff tersebut.
Kini stalker itu menaruh kedua pakaian di tempatnya semula seraya mengeluarkan kameranya yang sudah tersambung ke ponsel untuk melihat hasilnya apakah ia sempat merekam Viole yang telanjang itu. "Beruntung sekali dia."
Alasan ia berucap seperti itu kemudian berdecak sebal karena melalui ponselnya, hasil rekaman hanya menunjukkan Viole yang mencoba pakaiannya dengan melihat melalui cermin apakah cocok atau tidak sehingga lelaki itu tak membuka bajunya untuk mencoba pakaian yang hendak ia beli.
Dengan tatapan kesal karena tidak berhasil merekam Viole, ia menatap dari kejauhan, targetnya yang tengah mengobrol dengan teman-temannya. Ia terus memperhatikan Viole bak seekor singa tengah melihat mangsanya yang segar nan lezat. Hingga detik selnjutnya, manik mata stalker itu membulat sekilas karena Viole menatap ke arahnya. Ya, ke arahnya! Mereka benar-benar saling bertatapan satu sama lain, meskipun wajah stalker itu tertutupi masker dan kacamata hitam, ia tetap sedikit takut terutama waspada semisal Viole sadar jika ia sejak tadi tengah dikuntit.
"Siapa dia? Kenapa terlihat mencurigakan," gumam Viole semakin menatap pada si sosok mengenakan masker dan kacama hitam, lalu Viole terenyak ketika panggilan telepon masuk yang ternyata berasal dari Amelia. Helaan napas terdengar karena gadis gila itu malah menelepon Viole. Maka terpaksa lelaki itu mengangkat panggilan tersebut dan mengabaikan orang berpakaian mencurigakan tersebut yang tiba-tiba saja sudah hilang dari pandangan Viole.
"Kenapa?" Viole fokus pada ponselnya, seraya berjalan keluar dari toko pakaian bersama teman-temannya. Mereka hendak membeli waffle.
"Pretty, aku benar-benar suntuk karena banyak tugas, jalan yuks, aku jemput ke apartemen kamu."
Sebelum menjawab perkataan Amelia, Viole menunjuk pada menu terlebih dahulu, waffle rasa cokelat campur keju karena hendak dipesankan oleh Emma. "Aku tidak bisa."
"Seriously? Kau di mana sekarang? Terdengar riuh di sana."
"Aku di luar dengan teman-temanku, jalan-jalan ke mall."
"Kamu bisa jalan bareng mereka, masa nggak mau jalan sama aku?" Terdengar nada memelas di seberang sana. "Ayo kita jalan berdua atau sekarang deh aku ke mall, terus kita makan bareng sama nonton, gimana? Kan sudah jalan sama teman kamu, sekarang giliran aku, boleh?"
"Kami bentar lagi mau pulang. Aku juga sudah capek."
Viole bisa mendengar umpatan dari Amelia. "Jahat kamu. Nggak usah teman kita."
"Lebih baik kamu istirahat dari pada jalan-jalan."
"Tapi pengen jalan berduaan sama kamu."
"Nggak boleh berduaan, nanti yang ketiganya setan atau hantu atau malah pembunuh berantai."
"Bajingan, teori dari mana itu?"
Viole mengedikkan bahunya sambil menerima waffle dari Emma, kemudian ia makan. "Entahlah, komentar warganet di media sosial."
"Sialan." Jeda sesaat terdengar. "Jadi beneran nggak mau jalan sama aku?"
"Nggak."
"Kalau kapan-kapan mau nggak? Minggu depan atau minggu depannya lagi, atau tahun depan pun bakal kutunggu deh, asalkan kamu janji mau jalan sama aku."
Viole lelah sekali, sampai keempat temannya bisa paham siapa yang kini mengobrol dengan Viole. Beruntungnya Theodore tidak dalam kondisi penuh emosi.
"Pretty, boleh ya?"
"Iya, iya, nanti kita jalan kalau aku ada waktu luang."
Kini terdengar suara kegembiraan di seberang sana, Viole tebak Amelia tengah melompat-lompat di atas kasurnya saking dia bahagia. "Makasih banyak! Sekarang aku mau istirahat dulu baru lanjut kerjakan tugas lagi! Have a nice day pretty, kiss dari jauh."
"Semangat." Lekas Viole matikan panggilan tersebut dan meletakkan ponselnya seraya menyuap potongan waffle ke dalam mulutnya.
"Kau sangat stress," celetuk Sophia.
"Sudah kukatakan jangan ditanggapi lagi cewek gila dan seram itu." Theodore menyahut.
"Kau yakin berkata seperti itu?" balas Emma, "Viole sudah tolak berkali-kali, dia tetap nggak nyerah lho."
"Benar, kalau dilawan balik, adanya kau malah dibanting ke tanah lagi nanti." Louie terkekeh disambung kekehan Sophia, lalu Emma, bahkan Viole.
Sementara Theodore hanya diam karena pasrah juga. Ia jadi teringat ketika Amelia mencekiknya, Theodore tak berani cerita kejadian itu. "Jesus Christ, tolong beri aku umur panjang."
Setelah makan waffle dan membeli minuman cokelat, Viole pergi ke kamar mandi, sementara yang lain menunggu di luar sambil melihat-lihat barang di toko barang serba ada. Berada di sini ternyata sepi, kemudian ada delapan bilik toilet yang semuanya kosong jadi kini hanya Viole seorang saja, terlebih dua orang pria barusan pergi.
"Aku benar-benar lelah," ujar Viole seraya menatap cermin, memperbaiki topi baretnya kemudian masuk ke salah satu bilik toilet.
Detik itu, teror perlahan menghampirinya. Ketika ia di dalam toilet, dari arah luar, terdengar langkah berat sepatu boots hitam yang perlahan berhenti karena memastikan jika tak seorang pun di sana kecuali Viole. Ya, kini sang stalker kembali dengan kamera mirrorless yang siap memotret apa pun yang dia inginkan. Maka stalker itu masuk ke bilik toilet tepat di samping bilik toilet Viole.
"Ada orang lain." Viole menatap pada bayangan melalui celah bawah, tetapi ia abaikan setelahnya.
Benar-benar tak lelaki itu sadari jika di sampingnya, tengah berdiri sesosok manusia gila yang perlahan menempelkan telinganya ke dinding toilet untuk mendengar apa yang terjadi di bilik toilet Viole berada. Senyumannya terukir hingga memperlihatkan gigi-gigi putihnya. Lalu terdengar suara ponsel berdering.
"Halo." Kini Viole mengangkat panggilan dari Emma. "Oke, aku bentar lagi menyusul." Ternyata teman-temannya di restoran yang tak jauh dari toko barang serba ada, mereka memutuskan untuk makan sebelum pulang.
Mematikan panggilannya, Viole keluar dari bilik toilet, membasuh kedua tangannya. Selesai mengeringkan tangan. Ia tak langsung pergi karena menoleh ke belakang. Entah mengapa ada perasaan tak nyaman menyeruak ke dadanya. "Apa ada orang di sana?"
Maka Viole melangkah menuju bilik toilet pertama, disentuhnya pintu toilet tersebut lalu didorong pelan untuk memastikan apakah ada seseorang di dalamnya atau tidak, jika ada pasti pintunya tak bisa didorong. Lalu ke bilik toilet kedua dan tiga, ternyata tak ada orang juga, bilik keempat dan kelima juga tak ada, selanjutnya bilik keenam dan ketujuh, kosong pula. Sebelumnya Viole di bilik ketujuh, maka tersisa satu bilik toilet dan dia merasa semakin tak nyaman.
"Apakah ada orang?" Namun, tidak ada jawaban, membuat Viole menelan saliva, sesaat ia merasa yakin pasti ada seseorang di dalam sini, maka dengan memantapkan diri, ia mendorong perlahan pintu bilik toilet terakhir itu dan ... tak ada seorang pun di sana. "Syukurlah, hanya firasatku saja. Sialan, jadi saat aku di dalam toilet, tidak ada yang masuk ke sini selain aku---"
Sekonyong-konyong ada tangan yang menyentuh bahu Viole, lekas lelaki itu hendak menepis tangan tersebut dan berbalik. Lalu terdengar suara. "Wow sakit! Kenapa kau pukul aku!"
Ternyata Louie.
"Kau mengagetkanku!" balas Viole.
"Aku tak mengagetkan, kau yang melamun," balas Louie sesaat takut pula karena Viole terlihat diam di depan toilet bilik terakhir. Ia takut Viole dirasuki hantu penunggu toilet ini. "Ayo, aku kemari untuk mengecekmu, Theodore sudah mulai emosi. Dia kelaparan, tapi tak mau makan duluan tanpamu"
"Okay." Viole menghela napas seraya menatap kembali ke bilik toilet. "Ayo." Mereka lekas keluar dari kamar mandi. Namun, Viole terdiam ketika ia sadar jika di lorong ini, ada seseorang dengan blazer hitam dan topi putih berada di belakangnya dan tak jauh darinya.
"Louie," ujar Viole memberi kode yang dipahami langsung oleh Louie. Maka Viole berbalik yang ternyata sosok berpakaian blazer hitam langsung berbalik dan melangkah cepat, ia lari dari sana. Lekas Viole dan Louie juga mempercepat langkah mereka untuk mengejar orang mencurigakan tersebut yang ternyata sosok blazer hitam berbelok ke lorong yang jika tak salah mengarah ke elevator di mall ini.
"Siapa dia?" kata Louie.
"Entahlah, ayo cepat," balas Viole.
Saat keduanya berbelok ke lorong, tiba-tiba saja mereka menabrak seorang wanita rambut pirang-kecoklelatan yang membuat barang-barang belanjaannya terjatuh dan berserakan.
"Maafkan kami," ujar Louie lalu sadar jika wanita ini adalah guru biologi mereka. "Mrs. Rosalie."
"Oh tidak masalah, aku terlalu fokus membalas pesan," ujar Mrs. Rosalie, wanita itu mengenakan gaun simple warna biru tua. "Louie dan Viole, benar bukan?"
"Iya kami," ujar Louie sementara Viole hanya menatap saja, enggan terlalu dekat.
"Apa kalian sedang berbelanja dekorasi Halloween atau kostum Halloween?" kata Mrs. Rosalie seraya tersenyum tipis dan menatap Viole. "Bagaimana kabarmu, Violetta? Kudengar kau sakit selama beberapa hari."
"Kami hanya sekadar jalan-jalan saja, bukan beli dekorasi Halloween," balas Louie sangat cepat kemudian menyenggol siku Viole karena lelaki itu malah menatap sinis Rosalie.
"Saya sudah sehat," balas Viole, "terima kasih sudah bertanya."
"Baguslah kalau begitu." Rosalie hendak sekali mengusap bahu lelaki cantik bertopi baret ini, tetapi ia urungkan. "Selamat bersenang-senang di akhir pekan dan jangan lupa jaga kesehatan juga. Saya permisi duluan." Lekas Rosalie melangkah cepat meninggalkan kedua bocah itu.
Mereka menatap kepergian Rosalie, Viole masih menatap sinis, sementara Louie merasa jika ada yang tak beres di sini. "Ada apa?"
"Kau ingat jika Mrs. Rosalie lulusan Universitas Stanford dan pernah bekerja sebagai ilmuwan farmasi di sebuah perusahaan meski dia tak pernah mengatakan perusahaan apa."
Mendengar hal itu, Louie paham ke mana arah pembicaraan ini. "Oh tidak. Jesus Christ, semoga tidak benar."
"Jika pun tidak sesuai dengan asumsiku, mengapa seorang ilmuwan mau bersusah payah mengajar di kota ini?" balas Viole lalu menatap Louie.
"Artinya kita harus waspada, terutama kau?"
"Aku memang merasa tak nyaman di dekatnya, tetapi tak mau berprasangka buruk dan menuduh," ujar Viole, "tetapi aku tetaplah ævoltaire, selalu diincar oleh siapa pun, organisasi kriminal, perusahaan lain, bahkan sesama ævoltaire. Banyak jalan yang kemungkinan untukku bertemu dengan malaikat kematian."
Detik itu mereka paham jika selain teror pembunuh berantai yang masih berkeliaran di kota ini, mereka harus waspada terhadap berbagai macam teror terutama yang mengincar Viole sebagai ævoltaire.
"Ayo pergi," kata Viole dan Louie mengangguk setuju kemudian mereka menuju restoran tempat mereka akan makan.
****
Kini berada di parkiran mall tersebut, Rosalie berdiam diri di mobilnya yang berwarna hitam. Ia hanya melamun dan memikirkan pertemuannya tadi. Perlahan ia buka mulutnya selebar mungkin hingga ribuan ulat keluar dari mulutnya dan merayap ke badan dan wajahnya, seraya beberapa ulat ia kunyah dan telan.
"Ada pengganggu dalam rencana kita," ujarnya pada sosok berjubah hitam basah di bangku tengah mobil.
"Kurasa tak bisa diremehkan." Suara berat terdengar. "Harus disingkirkan."
"Hanya saja belum tepat waktunya." Kini Rosalie menyedot minumannya, ada beberapa ulat di dalam minuman tersebut, tetapi ia sedot saja kemudian ulatnya dikunyah hingga halus seperti bubur lalu ditelan. "Aku harus merasakan langsung bagaimana kemampuan bocah ævoltaire itu dan kuharap sesuatu ekspektasiku."
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
|| Afterword #18
Sudah diberi peringatan untuk chapter ini^^ Jadi harap tidak ditiru di kehidupan nyata.
Baiklah karena menyambut bulan Halloween di dalam cerita ini, maka orang-orang di kota Erysvale sibuk dengan dekorasi seram dan horor, meskipun mereka masih dikelilingi rasa takut akan adanya Bloodied Tortuner, tetapi tidak dapat menahan diri mereka untuk menghiasi rumah dengan properti menyeramkan.
Teruntuk Viole, dia sudah sehat setelah beberapa hari pemulihan, jadi dia bisa pergi hangout dengan teman-temannya, tetapi ada orang tambahan yang ikut dalam jalan-jalan ke mall^^ Kepada Stalker? Apa tujuan dan Siapakah dia?
Teruntuk Amelia, tolong sabar ya karena belum dapat bagian jalan-jalan dengan Viole, kemungkinan 1,000 tahun lagi, hehe.
Prins Llumière
Sabtu, 26 Oktober 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top