Chapter 47 - Arc 05: Nowhere to Run

|| Chapter ini menyebutkan adegan mengganggu seperti kata-kata sensitif, pelecehan seksual, diskriminasi gender, adegan menjijikkan serta darah, dan penyebutan binatang-binatang serta serangga. Mohon Arcaners sekalian bijak dalam membaca dan memilah adegan baik dan buruknya^^

Hari ini Viole sudah bersiap sangat pagi, sebelum makan sarapan paginya, ia menyempatkan diri untuk mengambil kalendernya dan menggambarkan awan hitam di tanggal hari ini padahal berdasarkan aplikasi cuaca jika cuaca hari ini akan cerah dan terik. Namun, Viole akan tetap mengisi tanggalnya dengan awan hitam karena begitu semua tanggal di kalender, bahkan sejak awal Viole mengisi kalendernya, selalu awan hitam dan hujan meski cuaca terik di luar sana.

Ia melanjutkan aktivitasmu dengan makan cukup banyak, setelahnya ia gosok gigi, menuju cermin, ia beri wajahnya sunscreen, tolonglah ya untuk tidak menghakimi lelaki itu karena mengenakan sunscreen yang notabenenya digunakan semua sex atau jenis kelamin, jadi tak bisa semata-mata seorang pria menggunakan sunscreen atau skincare dianggap sebagai banci atau gay.

"Hanya opini orang-orang bodoh yang menyepelekan skincare, katakan saja jika mereka tak mampu beli jadi hanya bisa menghina orang lain." Viole berujar tepat di depan cermin. "Tuhan, hukum saja orang-orang berpikiran dangkal seperti itu."

Hari ini Viole tak mengenakan baju warna kuning, jadi ia kenakan kaos putih lengan panjang dipadukan dengan sweater atau malah jaket bertudung, berwarna biru tua ada juga gradasi warna biru muda menyerupai langit, kemudian ada gambar dinosaurus hijau seolah-olah sedang marah. Celana berbahan dasar lembut berwarna cokelat muda. Viole suka pakaian ini karena ada gambar dinosaurusnya.

"Jika ada manusia bodoh yang berkomentar mengenakan outfit yang kugunakan, artinya mereka tak menghargai pakaian yang kusukai atau yang membuatku nyaman. Manusia senang sekali mengejek kesukaan orang lain, katakan saja jika mereka tak mampu beli."

Setelah siap, Viole segera keluar dari apartemennya. Ia tersenyum hangat pada beberapa tetangga yang juga beraktivitas pada Minggu pagi ini. Ketika di lift, ia kenakan headphone-nya dan terdengar alunan lagu Die For You-The Weeknd. Berada di lobi, ia menatap ponselnya seraya memantau taxi uber-nya hampir sampai, ia sengaja memesan uber karena tujuannya hari ini cukup jauh. Jika ada yang bertanya apakah Viole pergi ke Panti Asuhan? Jawaban adalah tidak karena tujuannya adalah Panti Jompo di kota ini juga.

"Terima kasih," ujar Viole segera duduk di bangku belakang. Ia jika naik uber selalu pilih di bangku belakang sopir. Ia harus waspada atas segala kemungkinan.

"Sama-sama, tujuanmu Panti Jompo?" ujar si sopir uber. Viole menurunkan volume musiknya. "Kudengar jika di sana ada perayaan ke-98 berdirinya Panti Jompo tersebut. Apakah kau hadir di acara perayaan itu?"

Viole mengangguk pelan. "Ya, ada orang yang kukenal jadi aku berkunjung ke sana." Viole tak berkata jujur, antisipasi agar hal buruk tak terjadi.

"Baguslah, semoga banyak anak-anak muda yang mau berkunjung ke Panti Jompo," ujar si sopir, "selama aku bekerja, jarang ada anak seusiamu yang peduli untuk berdonasi pada sesama, alih-alih mereka malah menghabiskan uang saku untuk membeli game PC baru, seperti putraku. Dia sangat kecanduan bermain game, aku sampai lelah menegurnya."

Viole tersenyum tipis. Ia penasaran bagaimana rasanya dimarahi oleh orang tua karena terlalu lama bermain game. "Ya, semoga banyak yang sadar pentingnya berdonasi."

Selain rutin berdonasi di panti asuhan, ia juga berdonasi di panti jompo di kota Erysvale ini. Meskipun ia jarang berkunjung, tetapi karena nama Viole terhitung sebagai donatur rajin dan teratur setiap bulan atau dua minggu sekali, jadi pihak panti jompo mengundang Viole bersama dengan donatur lainnya untuk menghadiri acara ulang tahun memperingati panti jompo tersebut yang ke-98, atas inilah tujuan Viole adalah panti jompo tersebut.

Ia mengucapkan terima kasih dan tersenyum tipis pada sopir uber ketika sampai di tempat tujuan, kemudian ia turun seraya menanggalkan headphone-nya di leher. Terlihat jika banyak mobil parkir, termasuk orang-orang berdasi serta wanita-wanita mengenakan gaun formal, tetapi tak berlebihan. Pasti mereka para donatur lain panti jompo ini, ah ada beberapa anak kecil juga yang asyik bermain.

"Apa mereka pekerja baru di panti jompo ini?" gumam Viole, "kenapa lebih muda ya." Dia melihat seorang gadis berambut hitam dan lumayan cantik tengah tersenyum menyapa beberapa donatur serta mendorong kursi roda seorang nenek tua ke aula tempat acara dilaksanakan.

"Entahlah, aku tak peduli." Viole kembali melangkah, ia hendak menuju ruangan aula. Namun, ketika berada di sana, seorang anak kecil dengan gaun biru selutut serta ada manik-manik, sepatu hitam dan kaos kaki putih, tak sengaja menabrak Viole, hingga anak kecil itu jatuh.

"Sakit," gumamnya, "jangan lari bantu aku!" Berteriak pada temannya, tetapi temannya malah meninggalkan anak itu.

"Apa kau baik-baik saja?" ujar Viole berjongkok untuk membantu anak itu.

"Woah, pangeran disney," ujar si anak dengan mata berbinar-binar. "Namaku Michelle. Apakah kau pangeran dari negeri dongeng?" Ia mencubit pipi Viole.

Suara kekehan terdengar. "Bukan, aku bukan pangeran, namaku Violetta Beauvoir, salam kenal Michelle."

"Kau bukan pangeran disney?" Gadis kecil itu menelengkan kepalanya. Jika diperhatikan, ia imut dan gaunnya sepertinya mahal. Pasti anak salah satu konglomerat.

"Bukan, aku cuma Violetta, bukan pangeran disney." Viole tersenyum.

"Tapi aku mau pangeran." Michelle menggenggam tangan Viole. "Pangeran yang bisa lindungi aku dari naga jahat. Ayo, ayo, kita datangi daddy dan mommy, pangeran harus ketemu mereka! Terus kita pulang bareng daddy dan mommy-ku."

Terpaksa Viole mengalahkan dan rela diseret oleh gadis kecil yang memanggilnya dengan sebutan pangeran. Lagi pula pangeran dari sisi mana, huh? Viole sering juga dipanggil pangeran padahal ia tak merasa seperti seorang pangeran. Manusia suka menggunakan majas hiperbola, sangat melebih-lebihkan.

"Motherfucker! Gunakan matamu bocah!" teriak seorang gadis dengan rambut hitam yang menumpahkan jus jeruknya ke lantai serta beberapa dokumen ia baca jadi berserakan.

"Pangeran disney, aku takut." Michelle merapat pada Viole dan mendekap kaki lelaki itu.

"Bocah sialan ini," ujar si gadis berambut hitam, "apakah kau kakak dari bocah ini?"

Viole menatap sinis pada gadis berperangai buruk ini. Dia terlihat mengenakan tanda pengenal sebagai petugas panti jompo, tetapi tidak memiliki perilaku yang sopan bahkan pada anak kecil saja kasar. "Michelle, kamu duluan ketemu daddy dan mommy-mu okay? Aku bakal ngobrol di sini sama kakak itu."

"Okay! Hati-hati pangeran, dia galak kayak penyihir jahat!" Lekas Michelle menjulurkan lidahnya kemudian berlari pergi dari sana.

"Bocah biadab!" teriak gadis itu lagi, kemudian menarik kerah baju Viole. "Jawab aku sialan, kenapa adikmu sangat tidak sopan?"

"Maaf, aku bukan kakaknya," kata Viole seraya melepaskan cengkeraman tangan gadis kasar itu. "Hanya saja tadi kau yang tak memperhatikan jalan, jadi kau yang harusnya meminta maaf pada anak tadi."

Suara tawa terdengar, gadis itu merasa lucu pada perkataan seorang lelaki berwajah cantik. "Bajingan, kau pikir aku mau minta maaf? Tidak ada maaf dalam kamusku." Tiba-tiba gadis itu menarik kerah baju Viole lagi. "Siapa namamu, Sissy? Kalau namaku Krystal Elizabeth Gracelynn, gadis terseksi di kota ini terutama di Universitas Varenheim."

"Aku bukan sissy." Viole mendorong gadis itu, tetapi lekas bahunya dicengkeram kuat balik.

"Kalau bukan banci lalu mengapa wajahmu cantik dan kau gunakan pewarna bibir, huh? Jangan takut, aku punya banyak teman di kampus yang berpenampilan seperti banci dan berorientasi seksual sebagai gay." Krystal tersenyum. "Lagi pula, wajahmu termasuk tipeku lho."

"Aku bukan banci atau gay." Viole balas mencengkram kuat lengan gadis itu agar melepaskan bahunya. "Aku normal."

"Kalau begitu, aku makin suka denganmu?" ujar Krystal dengan kekehan. "Kapan lagi aku ketemu cowok straight yang berwajah tampan sekaligus cantik? Well, mau jadi one stand night denganku tidak?"

Viole diam sejenak. "Maksudnya?"

Krystal menaikkan alisnya serta menarik tangannya, ia tertawa dan menutupi mulutnya. "Sialan, selain cantik dan tampan, kau sangat polos ya, bisa-bisanya tak paham maksudku." Krystal jadi semakin senang, ia akhirnya mendapatkan lelaki yang bisa membuatnya bersenang-senang. Ia merasa sangat beruntung karena bisa bertemu dengan manusia ini, pasti Amelia akan iri karena Krystal menemukan lelaki cantik dan tampan.

"Dikarenakan kau tak tahu maksudku tadi, pasti kau tak pernah bodycount juga ya?" Ia melangkah pelan, Viole mundur karena merasa jika gadis ini mengerikan bahkan sangat kasar melebihi Amelia.

"Aku tidak paham maksudmu," balas Viole, ia sangat jujur jika tidak tahu istilah tentang one stand night atau bodycount, ia hendak mengecek di internet, tetapi gadis gila ini tak mau melepaskannya. "Namun, aku paham satu hal jika menyentuh seseorang tanpa consent, termasuk tingkatan dari piramida pemerkosaan." Punggung Viole menabrak dinding. Tolonglah Tuhan, kenapa Viole malah bertemu manusia gila lagi.

"Kau cukup cerdas untuk bocah yang lebih muda dariku," ujar Krystal, "karena perlu consent, maka aku akan meminta izin. Kau mau bersetubuh denganku, Sissy?"

Detik itu Viole merasa takut dan punggungnya merinding. Ia tak sangka harus bertemu gadis gila, tetapi versi lebih menjijikkan dari pada si Amelia. "Menyingkir dariku, sialan." Viole menatap sinis.

"Jangan kasar, seharusnya kau bahagia karena gadis seksi sepertiku menawarimu untuk bersetubuh secara cuma-cuma karena biasanya aku meminta bayaran untuk para pelacur---" Tangan Krystal terhenti ketika hendak menyentuh pipi Viole. "Jangan ikut campur, jalang."

Viole terdiam dan semakin bingung ketika seorang gadis rambut hitam berhasil mencengkeram kuat tangan si Krystal ini dan wajahnya terlihat marah. "Kenapa kau malah mengganggu tamu?"

"Catherine jalang, lepaskan aku," ujar Krystal, "aku hanya menyapa tamu di sini."

"Tamu kita ketakutan," ujar Catherine, berusaha tak melepaskan tangan Krystal bahkan digenggam sangat kuat karena ia dilanda amarah. "Mengapa kau tak kembali mengerjakan tugasmu, seperti membersihkan kekacauan yang kau perbuat di sini."

"Lepaskan aku, jalang." Krystal tak peduli pada jus jeruk di lantai atau dokumennya berserakan. "Urusanku dengan bocah itu belum selesai!" Ia meronta-ronta berusaha melepaskan cengkeraman tangan Catherine, bahkan hendak menjambak rambut gadis itu.

"Berhenti," ujar gadis lain dengan rambut pendek dan berponi, mirip dengan Sophia, tetapi wajahnya lebih tirus. "Krystal, kau dicari suster Danylova."

"Fuck you!" teriak Krystal, "urusanku belum selesai dengan kalian, terutama kau bocah cantik sialan." Lekas ia memunguti dokumennya dan pergi dari sana.

"Dia benar-benar kacau," ujar gadis berponi, bernama Claudia. "Aku sudah memanggil petugas kebersihan, jadi kekacauan di sini akan dibersihkan."

Catherine menghela napas, ia merapikan rambutnya, menoleh pada Viole. "Kau baik-baik saja Violetta?"

Mata Viole membulat. Ia bingung.

"Kau tak dilukai Krystal 'kan? Apa dia mengatakan sesuatu yang aneh padamu?" ujar Claudia.

Viole diam sejenak, bingung harus merespon apa.

"Ikut kami saja, acaranya 15 menit lagi baru dimulai," kata Catherine seraya menarik lengan baju Viole. "Btw, aku Catherine, dia Claudia."

"Bagaimana kalian tahu namaku?" balas Viole, kini mereka di tempat lain yang ada sofa panjang serta kaca besar mengarah pada taman belakang panti jompo ini.

"Kami sahabat Amelia," balas Claudia dan dibalas anggukan oleh Viole serta mulutnya membentuk O, kini ia tak heran lagi. Dunia benar-benar sempit, lebih tepatnya kota ini sangat sempit.

"Jadi jujur pada kami, apakah Krystal tadi ada menyakitimu atau mengatakan sesuatu yang tak senonoh?" ujar Catherine.

"Tadi dia mengatakan jika aku banci dan gay, lalu menyebutkan juga kalau dia mau aku jadi one stand night-nya dan bodycount. Sejujurnya, aku tak paham maksud dua istilah itu." Lagi pula Viole lebih lama tinggal di balik ruangan putih sebagai kelinci percobaan para ilmuwan gila dibandingkan merasakan kebebasan, jadi ada beberapa kosa-kata yang tak ia pahami sebelum ia pelajari.

Sementara itu, Claudia terdiam membisu dengan mata membelalak, Catherine lebih parah, dia mengepalkan tangan dan menahan amarah. Lalu ia coba tenangkan diri, seraya berpikir, "jika Amelia di sini dan mendengar apa yang Krystal katakan pada Viole. Sudah dipastikan Krystal itu akan kehilangan nyawanya."

"Apakah ada yang salah?" kata Viole.

"Tidak, kau tak salah, Krystal memang punya mulut yang jahat, kau harus menghindar jika bertemu lagi," ujar Claudia, "lalu tolong jangan terlalu diambil hati, okay? Lupakan saja yang dikatakan Krystal karena maksud perkataannya itu sangat tidak bermoral."

"Aku minta maaf atas apa yang terjadi padamu," balas Catherine, benar-benar bingung harus bereaksi seperti apa karena ia tak sangka jika cowok yang selalu digoda Amelia ini lebih polos dibandingkan yang ia duga. "Namun, seperti yang Claudia katakan, lupakan saja perkataan Krystal karena sungguh tak baik dan menjijikkan."

Viole mengangguk pelan, ia menarik kedua ujung lengannya hingga melebihi tangannya. "Oh okay, aku akan lupakan." Viole diam sejenak, lalu berujar lagi, "tapi jujur, aku tidak gay atau banci seperti yang dikatakan Krystal itu. Aku hanya suka baju warna terang dan wajahku memang seperti ini. Aku masih normal."

Krystal jalang bajingan! Kau akan mati jika Amelia tahu kau mengganggu cowok ini dan membuatnya sedih! Setidaknya itu jeritan hati Catherine dan Claudia.

"Kami tahu," ujar Claudia tersenyum tipis seraya menepuk-nepuk bahu Viole. "Kau diberi kelebihan oleh Tuhan, punya wajah tampan dan cantik, kau harus bersyukur. Jangan dengarkan perkataan Krystal, dia selalu berusaha menjatuhkan orang-orang di sekitarnya."

Catherine mengangguk. "Dia jalang, selalu seperti itu, berbuat sebelum berpikir jadi otaknya kosong. Intinya lupakan perkataan Krystal dan jadilah dirimu sendiri okay? Banyak yang menyukaimu."

"Benarkah?" balas Viole.

Demi Tuhan, kau disukai Amelia, gadis paling dipuja-puja di Universitas Varenheim, mengapa tidak sadar? Pantas saja Amelia sering mengeluh karena Viole tak kunjung tertarik pada pesona dan kecantikan Amelia.

"Ya, kau punya daya tarik, kau sangat atraktif sehingga gadis tercantik pun akan jatuh cinta padamu," ujar Claudia lalu menarik ujung lengan baju Viole yang dibalas anggukan oleh cowok cantik itu.

"Apa yang kau lakukan di sini? Ada kerabat atau kau juga ... donatur?" ucap Catherine seraya mengetikkan pesan untuk Amelia, tetapi ia urungkan mengirim pesan tersebut karena takut jika Amelia tahu mengenai Viole hampir diperkosa Krystal.

Viole mengangguk tanpa beban. "Aku juga berdonasi di sini."

"Pantas saja dia jatuh cinta padamu," ujar Claudia spontan, tetapi tak terlalu didengar Viole. "Maksudku, pertahankan kegiatan positifmu yang rutin berdonasi di panti jompo ini."

"Jadi selain di panti asuhan, kau juga berdonasi di sini?" kata Catherine. Ia yakin kalau Amelia akan makin gila karena lelaki yang ia sukai punya kepedulian besar dan sering beramal.

"Iya, bagaimana kau bisa tahu?"

"Francesca," balas Catherine, "sahabat kami yang tugasnya di panti asuhan."

"Ah ya, aku ingat dia," ujar Viole, ia makin yakin jika kota Erysvale ini sangat-sangat sempit.

"Kurasa acaranya mau dimulai," kata Catherine, "kami harus kembali mengurus beberapa hal, kau masuk saja ke aula bersama donatur lain. Ingat, jangan dekati Krystal dan menjauhlah dari dia."

Viole mengangguk dengan polos seperti anak kecil penurut pada ibunya.

"Oh ya," ujar Claudia, "minta nomor ponselmu dong sekalian followback Instagram kami, jadi kalau kau diganggu Krystal atau sejenis, tinggal hubungi kami."

Catherine sesaat membelalak, tak ia sangka mengenai keberanian Claudia meskipun dengan maksud baik.

"Oke," ujar Viole mengetikkan nomor ponselnya, saling mengikuti Instagram satu sama lain. "Done."

"Sip, thank's," ujar Claudia, "nikmatilah acaranya. Kami pergi dulu, bye, bye." Lekas Claudia menarik lengan Catherine.

"Ingat ya kalau ketemu si Krystal, kamu harus pergi atau ke tempat ramai, jangan mau ikut jika diseret oleh si jalang itu!" Catherine memberi peringatan lagi dan dibalas anggukan pelan oleh Viole.

Kemudian kedua gadis itu pergi meninggalkan Viole yang masuk ke aula serta duduk di kursi yang telah disediakan.

"Amelia akan mengamuk jika mendengar Krystal berkata hendak menjadikan Viole sebagai one stand night-nya," ujar Claudia.

"Beruntunglah dia tak di sini," balas Catherine, menatap ponselnya karena chat yang ia kirimkan tak kunjung dibalas Amelia, kemungkinan gadis itu sibuk dengan urusan lain. "Jika ia di sini, kuyakin Amelia akan mengejar Krystal dengan membawa kapak."

****

Acara hampir usai, sambutan dan pidato panjang sudah diutarakan kini lanjut ke acara makan-makan bersama, hanya makanan ringan saja seperti beberapa kue bolu hingga minuman soda dan jus jeruk. Jadi para donatur yang kebanyakan terdiri dari orang dewasa yang kaya raya serta beberapa bekerja di bidang kesehatan. Entah apa yang kini mereka obrolkan, Viole enggan ikut campur jadi ia memilih menikmati hidangan saja.

"Siapa namamu, Nak?" ujar seorang kakek berambut putih keseluruhan dan tipis, ia tengah duduk di kursi roda.

"Halo, namaku Violetta," ujar Viole menatap pada kakek tua itu.

"Ah nama yang bagus, kalau aku sering dipanggil Smith," balas si kakek bernama Smith.

"Salam kenal, Mr. Smith." Viole kembali fokus pada makanannya, ia memperhatikan para donatur yang sibuk mengobrol.

"Kau lihat yang kemeja putih tanpa jas itu," kata Mr. Smith, lalu Viole perhatikan pria yang dimaksudkan ternyata pria itu yang dikelilingi para donatur lain.

"Kenapa dengannya?"

"Dia penyumbang terbesar di sini," kata Mr. Smith, suaranya serak. "Serta paling berpengaruh dan orang-orang selalu berusaha terlihat baik di depannya. Namanya, Mr. Carlos Albertonious."

Viole tak merasa seperti kenal, ia asing dengan nama itu, tetapi jika donatur terbanyak dan punya pengaruh artinya dia orang penting. "Dia tinggal di Kota Indianapolis, jauh-jauh kemari karena memang sering memberikan donasi ke berbagai panti jompo."

Mr. Smith menggerakkan tangannya, memanggil Viole agar mendekatkan telinganya. Jadi Viole menurut saja. "Namun, yang paling mengejutkan adalah pria itu salah satu dokter yang bekerja di Perusahaan Æthelwulfos karena itu banyak penjilat di sekitarnya."

Mata Viole membulat sejenak, ia cukup terkejut mendengar perkataan itu. Ada seorang dokter yang bekerja di bawah Æthelwulfos dan kini tak jauh berdiri di hadapan Viole? Apakah ia kenal Viole? Haruskah Viole waspada?

"Tidak, identitasku sudah ditutup serapat mungkin oleh pihak Æthelwulfos." Viole meyakinkan dirinya sendiri, lagi pula tidak ada yang tahu tentang Viole terkecuali para Petinggi Æthelwulfos termasuk Julius Cunningham karena menjadi psikiater khusus Viole. Jika Mr. Carlos Albertonious bekerja sebagai dokter maka dia takkan tahu keberadaan Viole karena Mr. Carlos hanyalah dokter bukan setara ilmuwan dan para petinggi.

"Apakah dia hanya sendiri?" kata Viole, harus bersikap senormal mungkin.

"Tidak, kulihat tadi dia kemari dengan istri dan putrinya," ujar Mr. Smith, "itu istrinya." Dia menunjuk pada seorang wanita anggun dengan gaun biru. "Dan kurasa putrinya yang berlarian ke sana-kemari."

"Ah jadi itu putrinya," gumam Viole, merasa lelah dengan takdirnya karena putri dari Mr. Carlos adalah gadis kecil bergaun yang mengatakan jika Viole mirip Pangeran disney, si Michelle.

"Kurasa aku butuh air," kata Mr. Smith, "aku hendak menemui yang lain, nikmatilah acara ini!" Kakek tua itu mendorong kursi rodanya.

Viole tersenyum manis menatap kehangatan di sekitarnya terutama suara tawa para orang tua berumur itu serta anak-anak yang asyik bermain. Ia berharap jika kebahagiaan ini terus berlangsung. Hanya saja, tidak semua hal selalu berakhir dengan kata bahagia. Detik itu, Viole menatap pada gelas-gelas di atas meja yang berguncang seperti ada gempa kecil. Lalu detik selanjutnya berubah menjadi teror yang sangat mengerikan ketika terdengar jeritan para anak-anak maupun wanita.

"Bom asap!" teriak seorang pria yang seketika ledakan terdengar, menyebabkan gelas-gelas berjatuhan dan segala yang di atas meja. Lalu asap mengepul memenuhi ruangan tersebut, membuat para tamu sesak napas, dan bergegas membantu yang lain, mendorongkan kursi roda mereka menuju tempat yang tak diselubungi asap.

"Shit, apa yang terjadi," ujar Viole terbatuk-batuk, tetapi bom asap susulan datang lagi. Menyebabkan kepanikan hingga terpaksa dibunyikan alarm kebakaran yang kemudian air dari penyemprot kebakaran di langit-langit menyala, para tamu pun basah.

"Tolong! Tolong aku! Daddy, mommy!" teriak seorang gadis kecil yang diseret oleh seorang pria bertopeng hitam.

Tanpa pikir panjang, Viole melepaskan tas dan headphone-nya kemudian berlari mengejar si putri dari Mr. Carlos atau si Michelle yang diculik, tetapi bom asap susulan datang lagi, memecah kaca jendela kemudian membuat seluruh lorong panti jompo jadi penuh asap yang menyesakkan pernapasan. Sayangnya hal ini tak membuat Viole menyerah, ia berlari untuk mengejar si penculik.

"Lepaskan dia!" Viole mengepalkan tangannya kemudian menghajar wajah si penculik. "Gawat." Namun, si penculik tidak merasakan sakit. Tenaga Viole kalah jauh.

Tiba-tiba si penculik menendang perut Viole dengan sangat kuat hingga lelaki itu menjerit, kemudian satu tendangan di dada membuat tubuh Viole sangat sakit terutama punggungnya menghantam dinding cukup kuat. Kini Viole mengusap bibirnya, ia perlahan hendak bangun, tetapi dari arah samping, penculik kedua muncul dengan tongkat besi kemudian memukul kuat punggung Viole hingga pupil lelaki itu memutih dan ia ambruk ke lantai bersamaan Michelle yang terus menangis.

"Bawa bocah ini juga," perintah si penculik yang memegang tongkat besi.

"Baiklah," balas rekannya, "diamlah gadis bodoh." Ia hantam kuat leher Michelle hingga gadis itu pingsan juga, ambruk tepat di samping Viole, kemudian keduanya digendong dan dibawa masuk ke dalam sebuah mobil van warna hitam dan agak tua butut. Suara mesin terdengar kemudian berjalan menjauh dari panti jompo tersebut.

Sepuluh menit berlalu, kini kepanikan melanda para tamu terutama ayah dan ibu Michelle. Sang ayah, Mr. Carlos sangat mengamuk bahkan sudah menghubungi sheriff Jude serta deputy Francis untuk segera ke panti jompo ini. Mereka harus segera menemukan Michelle dan ternyata tak hanya si gadis kecil yang diculik, tetapi lelaki sekolah yang bernama Violetta. Hal inilah yang membuat Catherine dan Claudia ketakutan bukan main.

"Apa yang kau tunggu, cepat hubungi Amelia karena kita tak tahu nomor teman-teman Viole!" teriak Claudia seraya memegangi tas Viole. Mereka sudah berusaha menggunakan ponsel Viole, tetapi terkunci jadi mereka bingung harus menghubungi siapa selain teman-temannya Viole, lelaki itu tak punya orang tua. Namun, mereka juga tak punya nomor teman-teman Viole!

"Aku takut," kata Catherine.

"Takut, kenapa takut?!" teriak Claudia, "jika kau tak hubungi Amelia sekarang. Dia akan lebih marah kalau baru tahu dari wartawan yang mengangkat kejadian ini di stasiun televisi!"

"Baiklah, aku akan menghubunginya." Maka Catherine berusaha menghubungi Amelia.

Di sisi lain, Krystal dan sahabatnya yakni Amberlee---baru tiba karena terlambat---menguping pembicaraan mereka berdua.

"Jadi Amelia kenal bocah yang kau goda?" kata Amberlee.

"Kemungkinan," balas Krystal, kemudiannya keduanya tersenyum besar. "Kita akan cari tahu detailnya, cepat hubungi Henry, suruh dia jemput kita, aku tak mau berlama-lama di sini, takut ada bom asap lagi."

Sementara itu, Catherine terus berusaha menghubungi Amelia, tetapi tak kunjung diangkat bahkan nomor ponsel gadis itu tidak aktif. "Sialan, mungkin dia sibuk atau masih tidur."

"Oh Amelia," ujar Claudia menggaruk kepalanya meski tak gatal, ia frustrasi. "Hubungi lagi nanti, kita harus fokus di sini dan menunggu sheriff Jude datang. Kuharap semuanya akan baik-baik saja."

"Jika tidak," kata Catherine menatap pada tas milik Viole. Lalu beralih pada Claudia. "Amelia benar-benar akan menggila."

****

Viole bisa merasakan kedua tangannya terikat tali tambang yang sangat kuat. Meskipun kepalanya sakit serta ia belum bisa membuka matanya, tetapi ia mendengar jelas suara deru mobil melewati jalan tak rata karena bebatuan, terutama mobil ini sepertinya mobil tua karena terdengar derit badan mobil seperti hendak lepas, tubuh Viole terguncang karena dia pasti duduk di bagasi mobil yang kemungkinan pick-up atau malah sejenis van. Namun, besar kemungkinan van karena ia tak merasakan angin berembus serta di dalam sini sangat pengap. Perlahan ia membuka matanya, pandangannya buram, ia bisa merasakan darah menetes dari pelipisnya, bibirnya lebam dan sedikit terkoyak, bajunya kotor dan ia bisa merasakan perut dan dadanya berdenyut sakit, pasti lebam membiru juga. Lalu punggungnya sangat sakit bahkan ngilu hingga dia susah menegakkan tubuhnya.

"Michelle," ujar Viole seraya beringsut pelan menuju si gadis kecil bergaun biru yang perlahan membuka matanya, baru sadar pula.

"Pangeran disney!" ujar Michelle, tangannya tak terikat jadi ia lekas mendekap Viole sangat erat. "Aku takut, aku takut, kita ada di mana? Mau pulang."

"Shhht, tenang okay?" kata Viole, "kita tak boleh berisik. Kita akan mencari jalan keluar dari sini, Michelle hanya perlu mengikuti arahanku, okay?"

Anggukan pelan terlihat. "Oke pangeran."

Suara keras terdengar ketika mobil ini terentak akibat jalan yang menanjak ke bawah, lalu laju mobil perlahan melambat, hingga akhirnya berhenti. Tiba-tiba pintu van terbuka dengan sangat lebar dan dua orang penculik berada di depan, lekas Viole sekuat tenaga hendak menendang kedua penculik, tetapi kakinya malah tertahan.

"Jangan coba-coba melawan bocah," ujar penculik bernama Mario. Lalu ia mengeluarkan stun gun dari saku celananya kemudian diarahkan ke kaki Viole, akibat aliran listrik bertegangan tinggi, tubuh Viole mengejang, ia menjerit, hingga manik matanya menjadi putih, dan ia ambruk lagi.

"Tidak, tidak, pangeran-tolong lepaskan aku!" teriak Michelle ketika tubuhnya diangkat paksa oleh penculik bernama Jackson. "Bawa bocah laki-laki ini dan kurung juga. Kita bisa menjual organ tubuhnya dan si gadis kecil ini kita serahkan kepada boss."

"Siap! Lumayan kita bisa membeli mobil baru karena dia masih muda kuyakin banyak pejabat menginginkan organ tubuhnya," ujar Mario lekas dia menarik tudung Viole dan diseret tubuh Viole begitu saja.

"Perlakukan dengan baik, jika terluka, maka berkurang juga harga jualnya," sahut Jackson, "diam kau bocah!" Ia berteriak pada Michelle yang terus meronta-ronta.

"Aku masih baik hati menyeretnya seperti ini." kata Mario, "karena tadi aku mau merantai lehernya terus kuseret seperti babi busuk."

Setengah tak sadar, Viole merasakan tubuhnya diseret ke sebuah bangunan tua dan kumuh, serta berada di tengah hutan yang rimbun pepohonan. Daerah ini berada di luar kota Erysvale, barangkali tiba di kota lain, Viole tak yakin terutama ia baru sadar ketika hampir sampai di tempat tujuan jadi ia tak bisa menghitung waktu selama di perjalanan. Bangunan kumuh yang menjadi tempat penyekapan ini tak punya banyak jendela, tetapi dindingnya retak, langit-langit tak terurus dan bocor, bahkan ada pipa bocor di mana-mana.

Ada begitu banyak rantai besi bergelantungan di atap, piring dan gelas kotor, pakaian kotor berserakan---lebih ke arah kain tak layak pakai, lalu dijahit menyerupai piyama, ia juga mencium bau amis darah dan pesing seperti seseorang buang air kecil secara sembarangan, ia bahkan melihat banyak kecoak merayap di dinding serta tikus-tikus berjalan melewati pipa-pipa bocor. Lalu ada banyak ruangan yang disekat oleh pintu dari besi, terdengarpula suara jeritan melolong seperti anjing meminta pertolongan. Tunggu, ini suara anak kecil juga? Ada sangat banyak suara anak kecil yang terus berteriak tolong, memanggil nama orang tua mereka hingga menangis tersedu-sedu.

"Oh Tuhan, ini sangat mengerikan." Viole menelan ludah ketika membuka sedikit matanya, mengintip, dan dapat melihat beberapa anak kecil duduk di pinggir ruangan, dijaga oleh penculik lain, serta anak-anak itu dalam keadaan menyedihkan; tubuh kurus kering, bibir pucat, mata sembab dan memerah, serta mereka semua tidak mengenakan pakaian yang layak, hanya kain putih mirip kain kotor kemudian melapisi tubuh rentan anak-anak yang kemungkinan berusia dari empat hingga enam tahun. Mereka semua adalah korban penculikan para penjahat biadab ini.

"Total ada sepuluh anak kecil ditambah putri Mr. Carlos, lalu si bocah sekolah ini," ujar Mario pada rekannya yang lain bernama Matthew.

"Kenapa bocah ini ikut?" kata Matthew, memegang shotgun.

"Saat di panti, dia melindungi putri Mr. Carlos, jadi kami bawa saja sekalian, bisa dijual organ tubuhnya," ujar Jackson.

"Baiklah, masukkan ke dalam bersama putri Mr. Carlos lalu beri obatnya, langsung suntik ke tubuh gadis kecil itu," ujar Matthew lalu melangkah pergi.

"Baik Sir," balas Jackson langsung menyeret Viole ke dalam ruangan yang kecil dan berbau amis karena banyak kotoran manusia maupun tikus di dalam sana. Michelle juga dikurung dalam ruangan tersebut.

"Ayo ambil suntikannya," kata Mario lekas keluar untuk mengambil obat khusus yang kemudian disuntikkan ke dalam tubuh para anak-anak yang diculik, kini selanjutnya adalah Michelle.

Detik ini, tak diketahui pukul berapa, tetapi hari semakin panas atau malah ada awan berarak membawa hujan? Michelle merangkak mendekati Viole yang akhirnya bisa menggerakan tubuhnya karena kejang selama beberapa menit akibat stun gun. Viole tak mengerti apakah napasnya sesak karena pengaruh sengatan listrik tadi atau ia sangat marah pada apa yang ia lihat detik ini.

"Aku takut," bisik Michelle.

"Tenang okay, pertama-tama bantu Viole dulu untuk melepaskan ikatan tali ini," ujar Viole berbalik badan agar Michelle melepaskan ikatan tali tambangnya. Maka Michelle menurut dengan baik dan berusaha melepaskan ikatan tersebut, beruntung sekali karena Michelle adalah anak kecil berumur lima tahun yang cerdas, jika dia hanya bisa menangis maka tamat sudah riwayat Viole.

Berdasarkan pengamatan Viole, kemungkinan para penculik ini bekerja untuk suatu organisasi atau perusahaan besar, mereka bukan fokus bergerak di bidang jual organ tubuh manusia karena anak-anaknya masih utuh organ tubuh mereka meski tak terawat akibat diberi makan tidak selayaknya makanan manusia. Ya, mereka memang berkata hendak menjual organ tubuh, tetapi hanya target yang sudah berumur remaja atau dewasa seperti Viole. Sementara para anak-anak yang berusia muda dan beli dijadikan kelinci percobaan, atas inilah mereka hendak menyuntikkan sesuatu ke dalam tubuh anak-anak ini.

"Mustahil jika Æthelwulfos," gumam Viole, "mereka tak sekejam ini pada anak-anak sebelum dibawa ke perusahaan, pasti organisasi kriminal atau perusahaan saingan Æthelwulfos. Kemungkinan mereka."

"Pangeran aku tidak bisa buka tali tambangnya, terlalu kuat." Michelle mulai menangis. "Aku takut, mau pulang, mau daddy dan mommy." Ia terisak, wajahnya memerah, air mata bercampur ingus menetes.

Viole hanya bisa menghela napas, lagi pula siapa yang takkan takut dan bersedih jika di posisi anak ini. Terlebih dia masih belia dan hanya manusia biasa, bukan manusia yang memiliki kekuatan spesial, meskipun ayahnya Michelle bekerja sebagai dokter di perusahaan Æthelwulfos.

"Takut, aku nggak mau di sini-" Suara Michelle menjadi kencang ketika ada seekor kecoa terbang di dekat mereka. "Tidak!!! Ada kecoak, aku takut kecoa, mereka akan gigit kita terus makan kita!"

Lekas gadis kecil itu menempel pada Viole dan mendekapnya sangat kuat, tubuh kecilnya gemetar ketakutan, ia bahkan tak berhenti menangis. Sejenak Viole berpikir, ia menggigit bibirnya hingga sedikit berdarah, ia punya firasat jika kedua penculik akan kembali dengan obat suntik yang mereka maksudkan terutama setelah mendengar suara jeritan Michelle.

"Michelle, dengerin Viole ya," ujar Viole, "Viole bakal bacakan dongeng dan Michelle harus percaya sama dongeng Viole, okay?"

"Dongeng, Michelle suka dongeng."

"Bagus, tapi dongeng kali ini Michelle harus percaya karena ini dari cerita nyata," ujar Viole lagi.

"Iya, Michelle bakal dengerin," kata Michelle.

"Bagus, sekarang tutup mata Michelle." Viole melirik ke celah pintu sesaat. "Kemudian peluk Viole, Michelle harus janji juga, jangan buka mata Michelle sebelum Viole selesaikan baca dongengnya okay? Kalau Michelle berhasil, kita akan selamat dan Michelle bisa pulang dan ketemu daddy dan mommy Michelle. Janji?"

Michelle menganggukkan kepalanya. "Aku janji."

Kini Michelle mendekap tubuh Viole, lelaki itu menutup matanya. Ia harus menyelesaikan dongengnya sebelum kedua penculik kembali, kini dia bertarung dengan waktu. "Once upon a time. Hiduplah seorang tuan putri yang tinggal di sebuah kastil, tuan putri itu sangat cantik dan dicintai banyak orang hingga suatu hari ia diculik oleh penyihir jahat dan membawa tuan putri ke sebuah kastil besar." Sialan, Viole harus membacakan dongeng yang tak menakutkan untuk Michelle, tetapi juga menjadi pemicu dari kekuatan ævoltaire Viole aktif. "Tuan putri kemudian dikurung dalam kamar tidur yang berdebu, kasur kotor, banyak sarang laba-laba dan dinding bolong sehingga tikus dan kecoak berdatangan."

"Viole, kenapa dongengnya seram." Michelle menangis, "aku takut."

Viole terpaksa mengabaikan Michelle, karena ia mendengar langkah kaki penculik menuju ruangan mereka. "Setiap malam, sang tuan putri menangis ketakutan karena terus mendengar langkah kaki kecil kecoak dan para tikus. Ia juga dikunjungi oleh penyihir jahat yang hendak memakannya dan akan menyihirnya menjadi seekor kecoak juga untuk dimakan hidup-hidup oleh sang penyihir jahat."

"Ada apa ini?" teriak Mario lalu menatap pada Viole dan Michelle. "Kalian berdua, kenapa malah mengobrol?! Tutup mulut kalian!" Lekas Mario menendang tubuh Michelle hingga menghantam dinding. Gadis itu kesakitan, tetapi tak berani membuka matanya karena sudah janji pada Viole.

Sementara Viole menatap sinis pada Mario yang membawa jarum suntik berisi cairan ungu serta sebuah pemukul bisbol. "Kenapa kau tatap aku begitu, kau mau kubuat buta?"

"Sang penyihir jahat akhirnya tiba, ia membawa sihir yang akan mengubah sang tuan putri menjadi kecoak, kini sang penyihir benar-benar kelaparan, maka ia bersiap untuk merapalkan mantranya---" Satu hantaman di wajah menggunakan pemukul bisbol berhasil membuat Viole terdiam, darah menetes, bersamaan pipi dan rahangnya membiru.

"Seharusnya kau diam saja menunggu giliranmu dijual ke pasar organ tubuh manusia." Mario angkat tinggi pemukul bisbolnya dan ia hantamkan sekuat mungkin ke sisi lain wajah Viole. Lalu tendangan di perut hingga mencapai ulu hati membuat Viole ambruk, kini Mario terus-menerus menendang perut Viole, lalu dengan tongkat bisbol menghantam punggung hingga kepala Viole, lelaki itu memuntahkan darah cukup banyak.

"Cukup," ujar Michelle, tetapi ia tak membuka matanya. "Viole, jangan tinggalkan aku."

"Keparat!" teriak Mario seraya melempar tongkat bisbolnya ke sembarang arah karena sudah patah. "Selanjutnya kau bocah kemari!"

"Tidak, aku tidak mau, jangan suntik aku! Aku takut!" jerit Michelle berusaha melepaskan diri, tetapi tangannya dicengkeram sangat kuat.

"Jangan meronta!" teriak Mario dan perlahan hendak menyuntikkan cairan ungu ke leher Michelle, terlihat jika jarum suntiknya sangat besar dan tajam. "Kubilang diam bocah sialan!"

"Penyihir merapalkan mantranya." Suara Viole terdengar.

"Huh, kau masih saja bicara melantur, apakah kau gila karena kepalamu kupukul?" Kini Mario terdistraksi, ia kagum dengan kegigihan Viole padahal sudah babak belur.

Detik itu kengerian mulai terasa ketika Viole tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang tak hanya putih melainkan merah karena muntah darah. "Ketika penyihir hampir mengubah tuan putri menjadi kecoak, terdengar suara keras dari langit-langit." Maka di atap ruangan tersebut terdengar suara yang tak lazim. "Suara langkah kaki kecil dan bergerombol siap menerobos langit-langit tempat sang tuan putri disekap oleh penyihir jahat. Mereka pun berdatangan, melalui celah pintu-"

"Sialan, dari mana para kecoak ini datang!" teriak Mario.

"Celah-celah ventilasi, lantai yang sudah rusak, dinding yang rapuh, hingga pipa-pipa air menjadi jalan mereka masuk untuk menyelamatkan sang tuan putri dari genggaman penyihir jahat!"

"Hentikan!" teriak Mario ketika ribuan kecoa berdatangan.

"Kecoak-kecoak ini adalah makhluk yang memakan segala jenis makhluk hidup dan kini target mereka adalah---" Secara ajaib ikatan tali tambangnya lepas. Perlahan Viole menunjuk pada Mario. "Kau, kecoak-kecoak kanibal ini akan menggerogoti para penyihir yang hendak menyakiti tuan putri hingga tak bersisa. Jadi bunuh mereka semua."

"Hentikan mereka, kau monster!!" teriak Mario yang seketika seluruh tubuhnya langsung tertutupi ribuan kecoa besar dan berwarna hitam dan cokelat. Jeritan Mario terdengar menggelegar, seolah-olah membelah langit ketika kulit, daging, mata, hidung, lidah, dan organ tubuhnya mulai digerogoti para kecoak.

"Ayo Michelle," ujar Viole lekas menggendong gadis kecil tersebut. "Jangan buka matamu dulu." Ia pinta hal ini karena tak mau anak ini trauma akibat melihat ribuan kecoak memakan para penjahat.

Viole sesaat menatap pada Mario yang tubuhnya sudah tak dapat teridentifikasi lagi karena seluruh daging hingga tulangnya dimakan para kecoak. "Aku tak tahu ini sebenarnya kecoak atau bukan karena aku hanya teringat SIlent Hill saja. Jadi sumbernya adalah film Silent Hill."

Seraya menggendong Michelle, Viole juga menuju ruangan lain, pintunya sudah terbuka dan terlihat anak-anak ketakutan berada di pinggir ruangan, lekas ia menolong anak-anak itu serta seluruh anak-anak yang ada di bangunan ini untuk keluar dari bangunan yang seluruhnya ditutupi para kecoak, bahkan lantainya saja dipenuhi kecoa hingga siapa pun yang melangkah tanpa alas kaki dapat merasakan bagaimana menginjak tubuh menjijikkan dari ratusan bahkan ribuan kecoak ini.

"Kau siapa?" kata salah satu anak, ia laki-laki dan kepalanya botak, ada banyak bekas suntikan di kepalanya.

"Namaku Viole, aku di sini untuk menyelamatkan kalian," ujar Viole, "Michelle, kau boleh buka matanya dan turun."

Perlahan Michelle membuka matanya, mereka kini sudah berada di luar. "Makasih Pangeran disney."

"Sama-sama ...." Viole terdiam ketika di hadapannya seorang pria dengan shotgun terarah tepat ke depan mereka terutama ke kepala Viole. "Jadi masih ada satu," ujar Viole.

Matthew menodongkan shotgun-nya, bersiap untuk menembak karena jarinya sudah di pelatuk. "Kau ævoltaire."

Viole terdiam sejenak, ia bingung harus menjawab apa karena kini dada dan lehernya muncul bercak lebam membiru, terasa perih serta membuat pernapasannya sesak. "Bekerja untuk siapa kau?"

"Kenapa harus kujawab?" ujar Matthew, "lagi pula, bukankah kau harus khawatir pada dirimu sendiri dan bagaimana bisa seorang ævoltaire berada di sini tanpa pengawasan?"

Viole menarik Michelle dan menyembunyikannya di belakang anak-anak yang lain. "Aku tak harus menjawab pertanyaan itu." Ia membalikkan perkataan Matthew.

"Baiklah tak masalah karena aku mendapatkan jackpot, seorang ævoltaire tanpa identitas jelas dan dapat berkeliaran sesuka hati padahal masih di usia belia, bukankah kau sangat penting?"

Sesaat senyuman Viole pudar. "Sebelum itu, bolehkah aku bertanya?" Satu kali lagi, setelah ini tubuh Viole takkan tahan menahan rasa sakit akibat kekuatan ævoltaire-nya. Terutama lebam biru mulai bermunculan lebih banyak di badannya akibat efek kekuatan supernya. "Apa genre film favoritmu?"

"Pertanyaan bodoh apa itu? Kau pikir aku akan terjebak permainan kata-katamu?" ujar Matthew, ia masih menodongkan senjatanya meski takkan ia tembak karena ia tak mau membunuh ævoltaire secara langsung, mungkin hanya dibuatnya lumpuh.

"Hanya pertanyaan asal saja. Aku senang genre horor dan thriller."

"Aku tak suka genre apa pun," balas Matthew, "aku tak pernah menonton film apa pun."

Senyuman Viole terukir kecil. "Apakah kau tahu, jika kau dan rekan-rekanmu memperlakukan para anak-anak ini sangat kejam, seperti memelihara babi. Kalian tidak memberi mereka makan dengan layak bahkan terkesan menyiksa mereka."

"Lalu apa hubungannya denganmu?" sahut Matthew.

"Melihat kondisi mereka, aku jadi teringat sebuah kasus. Dia seorang perempuan cantik dan terlihat seperti remaja, bahkan lebih muda dariku, berumur sembilan atau sebelas tahun, kemungkinan." Sesaat Matthew terpengaruh mendengar cerita itu terutama yang berasal dari seorang ævoltaire seperti Viole.

"Ceritakan padaku."

"Once upon a time. Perempuan itu suatu hari menggila, kemudian dia harus dibawa berobat dan tak berhasil, alhasil dia dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Banyak orang berasumsi jika perempuan itu sangat cerdas dan berperilaku seperti orang dewasa bahkan perangai dan sifatnya terlihat sangat dewasa. Para dokter dan perawat berpikir jika mungkin karena perempuan itu adalah ævoltaire, ternyata bukan hanya karena itu dan para dokter serta perawat pun terkejut setelah menemukan fakta bahwa ...."

"Bahwa apa?"

"Perempuan itu menderita hipopituitarisme, membuatnya tidak menua dan terus berpenampilan seperti anak kecil padahal umur asli perempuan itu berumur 33 tahun."

"Apakah itu nyata?" ujat Matthew dengan kembal menodongkan shotgun-nya.

"Tentu saja, jika seorang ævoltaire saja nyata, mengapa tidak untuk penyakit dan down-syndrom?" Senyuman Viole terukir jahat, perlahan ia mundur. "Terlebih lagi nama anak itu cukup terkenal, ia bernama Esther ...."

Perlahan Matthew menarik pelatuknya.

Sementara Viole berujar, "dan wanita iblis itu ada di sini."

"Diam kau ævoltaire."

Maka suara tembakan terdengar kencang dan tepat terarah ke kepala Viole, para anak kecil di belakangnya saling berpelukan dan ketakutan, sama sekali tak berani membuka matanya. Terutama ketika darah merembes, membuat genangan di tanah, sayangnya rasa sakit tak menyeruak malah tawa kecil Viole terdengar. "Kau berhasil membawa iblis itu kemari."

Mata Matthew membelalak mendapati pemandangan kepala bolong seorang perempuan dengan rambut hitam kepang dua, pita di leher, gaun selutut warna biru, serta kulitnya pucat pasi, ia tengah tersenyum dengan memegang pisau yang meneteskan darah. "Kau ...."

"Esther, bunuh dia dan silakan nikmati tubuhnya," ujar Viole.

"JANGAN MENDEKAT!" teriak Matthew seraya menarik pelatuk, tetapi tak bisa, pelurunya habis. Segera ia isi lagi, lalu ia tarik pelatuknya, tepat menembus dada si wanita iblis tersebut, sayangnya tidak berhasil membunuhnya karena dia terus berjalan seperti seorang zombie dengan darah merembes ke tanah, tetapi tangannya masih kuat menggenggam pisau. "BAJINGAN KAU ævoltaire SIALAN!"

Detik itu, lekas Viole membawa para anak-anak pergi ketika sosok Esther melompat dan mengayunkan pisaunya ke dada Matthew hingga terkoyak, kedua matanya tertusuk pisau dan buta bahkan tercongkel keluar, Esther terus mencabik-cabik tubuh dan wajah Matthew dengan pisau tajamnya hingga darah terus memuncrat ke mana-mana bahkan jeritan Matthew yang terdengar kencang kini perlahan menjadi lemah, ia pun tiada dengan wajah tak bisa teridentifikasi lagi. Lalu Esther berjalan mengambil bensin, ia siram seluruh tubuh Matthew, lalu bangunan yang menjadi tempat penyekapan anak-anak, serta menyiram dirinya sendiri dengan bensin, ketika sudah terguyur bensin. Tiba-tiba tubuh Esther terbakar begitu saja serta tubuh para penjahat lain hingga bangunan tersebut, tetapi apinya tak lama karena hanya menghanguskan para kecoa serta mayat-mayat dari penculik. Mereka semua lenyap tanpa jejak.

Menjelang sore hari, Viole kini melangkah bersama para anak-anak yang diculik, mereka hendak menuju ke sebuah mobil van tua, terdengar sesaat gumaman dari Viole. "Find you, sumber film Orphan."

Sesampainya di mobil van, ia menyuruh anak-anak untuk masuk ke mobil tersebut dan beristirahat di sana. "Pangeran tak apa?"

"Istirahatlah, aku baik-baik saja." Viole tersenyum manis seraya merogoh tempat penyimpanan di mobil van tersebut dan menemukan ponsel tua, tetapi masih bisa menyala. "Tunggu di sini okay? Kita akan segera selamat." Dan Michelle menganggukan kepala lalu menunggu bersama anak-anak lainnya.

Kini langkah gontai Viole berhenti, ia merasakan dadanya sangat sesak, efek kekuatannya yakni lebam biru mengelilingi lehernya dan dada sehingga membuatnya sangat susah bernapas, bahkan pandangannya sangat kabur. Ia bisa ambruk kapan saja terutama darah di pelipis dan hidungnya terus menetes. Ia perlahan menekan nomor 9-1-1, lalu terdengar suara operator perempuan. "911, what is your emergency?"

"Violetta Beauvoir, asal kota Erysvale, aku diculik bersama beberapa anak, kami berhasil kabur dan menunggu bantuan." Ia terus berujar karena tak punya waktu lagi, kesadarannya akan habis. Terlebih lagi dia melihat sesosok makhluk hitam besar dan tinggi, berjongkok di batang pohon, si boogeyman.

"Aku tak tahu persisnya di mana, tetapi tempat ini jauh dari perbatasan kota Erysvale, penuh dengan pohon pinus, dan ada beberapa bangunan tua tak terurus. Tolong lacak ponsel ini---" Viole pun ambruk padahal ponselnya masih berbunyi.

"Halo, Violetta, hey kids, hey," ujar si operator, "kami sudah menemukan lokasimu, kami akan segera mengirimkan bantuan ke sana. Mohon bertahan bersama dengan anak-anak itu. Apakah kamu masih di sana? Bantuan akan segera datang. Hey apakah kau bisa mendengarku? Violetta. Bantuan akan segera tiba." Panggilan pun terputus.

Bagaimana kelanjutan dari panggung yang tirainya belum tertutup ini? Sungguh patut dinantikan.

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

|| Afterword #16

Selain berdonasi ke Panti Asuhan, Viole juga rajin berdonasi ke Panti Jompo. Lalu sangat tak terduga ya bisa bertemu dengan Catherine serta Claudia, kemudian si Krystal ... sungguh sial karena bertemu dengan musuh bebuyutan Amelia itu.

Lalu mengenai beberapa kata sensitif yang tak Viole mengerti, dia benar-benar tak mengerti karena meskipun dia banyak membaca sejak ia masih menjadi kelinci percobaan, tetapi kebanyakan bahan bacaan dia seputar teori-teori dan jika pun novel, hanya sebatas novel misteri atau sesuatu yang memiliki isu sosial-masyarakat. Kemudian dia juga tidak terlalu paham bahasa slang atau gaul karena ketika dulu Dite atau para ilmuwan lain mustahil mengajarkan hal-hal tak baik atau melanggar norma pada Viole^^

Tetap bisa ya meski kalian sudah mencari arti kata sensitif tersebut!

Terakhir, kita telah menyaksikan kekuatan Viole, tetapi hmm masih bingung dengan konsep kekuatannya, kira-kira apa ya? Lalu Amelia ... kalau dia tahu Viole terluka parah, kira-kira apa yang akan dia lakukan?

Prins Llumière

Minggu, 06 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top