Chapter 46: Are You Drunk?
Malam ini dengan berbalut kaos lengan panjang warna kuning bergambar kartun polar bear mengenakan headphone warna merah muda dengan tulisan Lucky Bear di atasnya. Kemudian celana hitam yang kedua ujungnya diberi karet, lalu ada gambar beruang yang sama di sebelah kiri. Dia juga mengenakan kacamata malam ini karena nanti akan cukup lama menatap layar laptop.
Setelah selesai makan malam berupa lasagna yang Viole masak sendiri. Ia akan melakukan video call berlima dengan teman-temannya melalui aplikasi, tetapi sebelum itu ia berniat memasak croissant sendiri dengan bahan-bahan instan dan terjangkau, lumayan. Jadi berada di dapur, ia menggulung lengan piyamanya, bersiap memasak croissant sehingga ia keluarkan pastry, dipotong segitiga menjadi enam potong, kemudian diberi isian, tiga isian cokelat dan tiga lainnya keju mozarella diberi taburan ceres. Setelah digulung masing-masing pastry, ia beri olesan kuning telur, lalu ia panggang selama beberapa menit. Setelah matang, ia taruh ke dalam nampan, tak lupa ia ambil botol diisi dengan es batu serta susu rasa full cream.
"Besok harus cari resep baru untuk coba masakan lain," ujar Viole seraya berjalan ke dalam kamar, terdengar suara celotehan teman-temannya melalui aplikasi video call atau biasa digunakan orang-orang untuk meeting secara daring.
"Oh come on, Louie, musuhnya tepat di hadapan kamu!" teriak Theodore, ia tengah bermain game di ponselnya dengan Louie, entahlah namanya, tetapi semacam tembak-menembak dan membunuh lawan.
"Aku sudah berusaha, hey, hey itu musuhnya di atas pohon!" balas Louie terlihat sangat semangat.
"Semua cowok sama saja, kerjaannya main game terus," ujar Emma, terlihat di layar jika ia tengah merajut sebuah topi, ia pandai merajut ternyata, diajarkan oleh ibunya terutama ibunya ada buka olshop yang menjual topi, syal, maupun tas rajut, penghasilan sampingan.
"Kau pikir, kau mau kita melakukan apa? Merajut atau membuat action figure mengerikan seperti Sophia?!" teriak Theodore, "Louie, shit!! Kenapa kau malah mati, aku jadi harus menyembuhkanmu!"
"Jangan hina hobiku!" teriak Sophia.
Kini Viole memakan croissant-nya seraya mengambil novel berjudul As Long As The Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh, novel ini berkisah tentang kacau-balaunya Suriah saat terjadi perang. Viole direkomendasikan novel ini dari Amelia. Ternyata gadis itu punya banyak bahan bacaan yang sangat bagus.
Sebenarnya hari ini, Jumat malam. Jika ada yang bertanya, mengapa mereka malah melakukan video call melalui aplikasi alih-alih berkumpul bersama seperti biasa untuk nonton bersama film horor? Karena ada imbauan dari sheriff Jude Lawson agar masyarakat tidak pergi keluar rumah mulai pukul lima sore bahkan orang-orang yang bekerja, tempat mereka bekerja diberi perintah agar memulangkan para pekerjanya, sebelum jam lima sore. Imbauan ini karena maraknya pembunuh berantai berkeliaran dan tim sheriff Jude terus melakukan investigasi dan ronda keliling sepanjang malam secara bergantian serta memeriksa bangunan-bangunan kosong yang bisa menjadi tempat pembunuhan.
Atas inilah, karena sudah biasa di Jumat malam mereka bersama, maka malam ini pun sama meski metodenya sedikit berbeda. Nanti pada pukul sembilan, mereka akan menonton film, sekarang masih pukul 20:17 jadi masih ada waktu untuk menyelesaikan kegiatan sendiri. Seperti halnya Theodore dan Louie yang bermain game, terlihat Emma merajut sebuah topi, ia akan membuat empat topi rajutan seperti kupluk untuk diberikan pada teman-temannya sebelum musim dingin tiba nanti. Meski masih beberapa bulan, terlebih saat Halloween, ia pasti sibuk menikmati malam Halloween jadi tak ada waktu merajut karenanya dia merajut mulai dari sekarang.
"Apa yang kau buat?" kata Emma pada Sophia yang duduk di kursi dan terlihat serius wajahnya.
Viole ikutan penasaran, ia jadi menatap layar laptopnya. "Apakah itu tanah liat?"
"Benar sekali!! Aku membuat action figure dari tanah liat," ujar Sophia dengan semangat. "Ini bakatku!"
"Action figure apa?" timpal Louie, tapi fokus pada layar ponsel. "Kuda poni atau kartun disney princess Sofia?"
Terdengar suara Sophia berdecak. "Bukan kartun, tapi Freddy Krueger!" Sophia memperlihatkan action figure yang lagi ia pahat. "Freddy Krueger dari film A Nightmare on Elm Street."
"Kau benar-benar gila, mengapa bisa membuat action figure pembuhuh berantai," balas Theodore, "cobalah sesuatu yang normal."
Sementara yang lain hanya bisa diam karena tak heran dengan isi pikiran Sophia yang selalu tentang horor dan thriller. Terdengar lagi teriakan Sophia. "Ini normal, lagi pula aku posting foto action figure ini malah banyak yang suka ketimbang aku membuat action figure Harry Potter." Sepertinya masyarakat kebanyakan juga agak-agak miring otak mereka.
Kini kembali pada kegiatan masing-masing lagi karena masih ada setengah jam sebelum pukul sembilan malam. Viole terlihat fokus membaca setelah menghabiskan susu full cream-nya. Ia lalu tak sengaja menatap pada boneka bebek di rak bukunya, sebenarnya bebek kuning itu ditaruh dalam lemari, tetapi karena tak cukup ruang dan terus terguling setiap Viole membuka lemarinya jadi ia putuskan untuk menaruhnya di rak saja, meskipun jadi terpampang jelas jika ia menengok ke rak buku-bukunya.
"Bakar saja kali ya, kenapa masih kusimpan." Suara hujan di luar sana semakin deras. Waktu yang cocok bagi pembunuh berantai jika menjalankan aksinya, benar pilihan terbaik bagi mereka untuk rumah masing-masing.
Berbicara mengenai Amelia, gadis itu semakin menjadi-jadi dan tidak tahu diri untuk berhenti meski sudah Viole usir berkali-kali. Selalu ada pula balasan yang dilayangkan Amelia ketika beradu argumen dengan Viole serta gadis itu pula yang selalu menang adu argumennya. "Apakah ini yang dinamakan, perempuan selalu benar?"
Viole sejak dulu, sebagai ævoltaire, tentu minim interaksi dengan sesama manusia bahkan sesama ævoltaire, ia kebanyakan menghabiskan waktu sebagai kelinci percobaan dan menjalani serangkaian ujian atau tantangan untuk mengasah kekuatannya jadi tak heran jika ia akan terluka, tubuh lebam hingga berdarah, lalu ujian menghadapi sesama ævoltaire bahkan pernah mendapatkan misi untuk melawan sekelompok teroris, sial, ia tak suka semua ingatan itu. Jadi setelah ia bebas dari ruangan putih---sebutan untuk tempatnya dijadikan kelinci percobaan. Ia jadi penuh rasa penasaran dengan kehidupan di luar ruangan putih tersebut bahkan interaksi dengan manusia lain.
Sebenarnya jauh sebelum ia bebas, ia diajarkan oleh Dite mengenai sifat manusia, kebiasaan mereka, dan tingkah laku mereka agar Viole tak terlalu kaget jika bertemu dengan manusia-manusia ini. Atas inilah, ia jadi harus mengobservasi manusia lain dahulu, karenanya di awal masuk sekolah, ia lebih banyak diam dan mengamati terutama karena langsung dihadapkan dengan manusia perundung seperti Tyler, Lola, dan Ben. Namun, kini ia sudah nyaman dan mulai terbiasa berinteraksi dengan Emma, Louie, Sophia, Theodore serta beberapa teman sekelasnya bahkan ia mulai terbiasa dengan anggota tim basket Deadly Wolves.
Hanya saja, kehadiran Amelia menjadi potongan puzzle yang asing dan tak biasa. Ia terlihat seperti tokoh antagonis dalam novel terutama julukannya Queen Bee, identik dengan gadis jahat seperti di film-film maupun karya sastra. Namun, di sisi lain, gadis itu sangat egois dan akan mengamuk pada siapa pun yang menyentuh apalagi menyakiti Viole seolah-olah lelaki itu adalah vas kaca yang tersenggol sedikit saja akan hancur berkeping-keping. Hal inilah yang membuat Viole bingung, ia benci Amelia, tetapi seolah-olah kata benci hanya sebagai tutur kata, sementara dalam hati berbeda makna.
"Gadis aneh, aneh, semoga dia pergi setelah tugasnya di klinik sekolah selesai," gumam Viole.
"Okay!!!" teriak Sophia, "malam ini ayo nonton, A Nightmare on Elm Street!"
"Tidak!" teriak Emma dan Louie bersamaan.
"Tolong kali ini jangan film horor," ujar Louie, "kita harus mendinginkan otak kita dari tontonan horor."
"Louie benar," balas Emma, "aku bukan tak suka rekomendasi darimu, tapi akhir-akhir ini terasa seram terutama berita tentang kematian warga, jadi setidaknya kita harus membuat pikiran positif dengan menonton film selain horor."
"Jadi apa? Di otakku hanya film seputar horor, thriller, gore, dan teman-temannya," balas Sophia.
"Kita spin saja," ujar Theodore, "kasih rekomendasi kalian selain horor dan sejenisnya terus kita masukkan spinner untuk dipilih apa yang ditonton."
Mereka setuju dengan saran tersebut jadi mereka memberi rekomendasi masing-masing, seperti Louie hendak film Star Wars, Emma film Alice in Wonderland, Theodore film Jumanji: The Next Level, Sophia film Hercule Poirot: A Haunting in Venice. Sesaat mereka diam dan menatap Sophia di layar laptop.
"Seriusan? Film itu horor lho," kata Emma, "aku lihat review di orang-orang."
"Itu Hercule Poirot, film detektif, yeah meski ada hantunya, tapi nggak ngeri kayak Valak atau film Exorcism!" balas Sophia, sementara Louie dan Theodore hanya bisa menghela napas.
"Sialan," balas Theodore, "baiklah aku putar spinner-nya."
Ketika diputar, ternyata spinner tersebut berhenti di film rekomendasi dari Viole. Mereka menatap ke layar kaca pada lelaki yang sibuk menghabiskan croissant-nya. Lalu Viole berujar sedikit mengejek. "Yay, film Shaun the Sheep the movie!"
Kini keempat temannya menepuk jidat masing-masing karena hasilnya malah jatuh di film kartun anak-anak, tetapi mereka tertawa kemudian karena tak menyangka jika rekomendasi dari Viole benar-benar di luar film berat atau mengerikan. Terlebih lagi cocok dengan tampang lelaki itu yang memberi saran film Shaun the Sheep. Sekali lagi, Shaun the Sheep, si domba bernama Shaun dengan segala tingkah dan permasalahannya bersama teman-teman dombanya. Cowok mana lagi yang memberi saran film tersebut? Alih-alih film aksi dan fantasi. Yeah, lagi pula, mereka memang perlu menenangkan diri dari riuh banyaknya berita pembunuhan dengan menonton film yang hanya ada percakapan domba dan manusia, meski tak mereka paham bahasa mereka apa artinya.
Film pun akhirnya diputar, mereka berada di kasur masing-masing dan menatap layar laptop, terlihat Viole tengah berbaring tengkurap sambil memeluk bantalnya, terdengar pula tawa teman-temannya karena tingkah jenaka para domba yang selalu menyusahkan si anjing kuning dan farmer. Ternyata asyik juga film pilihan Viole, barangkali karena mereka menonton bersama jadi tak membosankan. Terutama bagi Viole yang menikmati setiap detik berlalu ini, apalagi ia jadi tidur agak larut malam, semakin lama ia tidur, semakin bentar si boogeyman mengganggunya ketika tidur. Namun, ia harus minum obat sebelum tidur supaya tidak terluka parah seperti terakhir kali.
"Aku mau ambil minum," kata Viole dan dibalas oke oleh teman-temannya.
Selang beberapa menit, ia kembali dengan botol diisi susu full cream dengan es batu serta berondong jagung karamel dalam kemasan. Ternyata yang lain juga punya berondong jagung masing-masing, pasti karena sudah terbiasa di Jumat malam menonton film bersama jadi mereka siap siaga.
Saat Viole kembali berbaring tengkurap sambil memakan berondong jagung karamelnya. Beberapa pesan berantai masuk ke ponselnya, terdengar ribut, membuatnya jadi kesal. Siapa yang mengirimkan pesan di pukul sepuluh malam, huh?! Lekas ia raih ponselnya.
Crazy Girl🤬:
prettvvy
prettvvy, howqy aryuo douing
immdootried hepqnmeiqb
bdanqu sakiet smauqiw
veetty fiuole
akq cafejj, hjan bsahqaa smusaa bdaneku
Viole diam sejenak dengan alis terangkat, apa-apaan teks tidak jelas ini? Kenapa gadis itu mengirimkan pesan dengan kata tak beraturan bahkan tak bisa Viole baca? Apakah i i bahasa Sansekerta atau bahasa alien? Sebenarnya beberapa pesan bisa Viole pahami sedikit, meski entahlah benar atau tidak.
Viole:
Kamu mabuk 'kan?
Biasanya ini ciri-ciri orang mabuk, kirim pesa nggak jelas.
Kamu habis dari bar atau klub malam ya?
Mending istirahat jangan main ponsel.
Bukannya balasan berupa teks, tiba-tiba Viole mendapatkan pesan berupa video. Jadi mau tak mau dia bukan pesan video yang berdurasi hampir satu menit itu, rekaman video memperlihatkan ruangan gelap yang hanya disinari lampu kamar yang temaram, terdengar suara grasak-grusuk di tempat tidur. Lalu terdengar suara Amelia berujar tepat di dekat speaker ponsel.
"Ahhh~ Violeehh, aku basah, dan badanku sakit semua, tolong aku."
"Shit!! Suara apa itu?!" teriak Theodore terkejut dan mengalihkan perhatian dari film lalu menatap pada Viole di layar, begitu pula yang lain. "Violetta, apa itu, siapa yang mengirim suara itu?! Apakah si Amelia sialan?!! Apalagi yang diperbuat perempuan itu!"
Bajingan, Viole lupa mute mikrofon di laptopnya setelah izin ke dapur untuk mengambil minum tadi. Kini terlihat juga wajah Sophia, Louie, dan Emma yang terkejut bukan main.
"Kalian lanjut nonton, aku ada urusan sebentar." Viole mute mikrofonnya dan beranjak dari kasur.
"Hey jawab aku dulu!" teriak Theodore terdengar dari speaker laptop. "Apa yang sialan Amelia itu kirim padamu?! Jika itu video mesum, maka dia akan berurusan denganku karena terus saja mengganggumu! Violetta Beauvoir!!!" Suara Theodore tak terdengar lagi ketika Viole keluar dari kamar dan menutup pintu.
Kini degup jantung Viole berdetak kencang, ia kesal sekaligus bingung harus berbuat apa terutama Amelia terus mengirimkan chat berantakan. Maka Viole memutuskan untuk menelepon gadis itu, sebelum terjadi kesalahpahaman dan Theodore serta teman-temannya jadi mengamuk.
"Vioooleeee, pretty, kamu meneleponku duluan, aku senang," ujar Amelia di seberang sana, suaranya terdengar jelas seperti orang mabuk. "Pretty, sayang, kamu telepon aku, kamu pasti sayang sama aku 'kan?"
"Apa yang terjadi denganmu? Apa maksudmu mengirimkan video tadi." Viole berusaha abaikan kata sayang karena ia tahu, kebanyakan orang termasuk gadis itu akan semakin gila dan melantur jika mabuk. "Amelia jawab aku. Lalu apakah kau pulang hujan-hujanan?"
"Aku basah pretty, basah banget," ujar Amelia, ia tengah berbaring di kasurnya. "Dress-ku basah banget karena hujan tadi. Terus badanku sakit, capek, kepalaku sakit. Tolong aku pretty."
Viole sudah menduganya. "Kalau begitu lekaslah ganti dress-mu yang basah itu, bersihkan dirimu, lalu istirahat, minum obat. Apakah tidak ada asisten rumah tangga di sana? Lagian kau calon dokter, kenapa malah mabuk?!"
Hening sesaat terdengar. Suara Amelia terdengar pelan. "Mereka tidak di rumahku lagi dari jam tujuh, jadi kalau malam, aku selalu sendiri. Tidak ada siapa pun di rumah besar ini karena mereka akan mulai kerja jam lima subuh nanti."
Viole terdiam mendengar curhatan itu yang sesaat ada kesedihan di dalamnya. Suara Amelia terdengar lagi. "Pretty, aku sendirian, badanku sakit banget, kepalaku pusing, aku bingung harus apa dulu. Tolong aku."
"Amelia." Viole menghela napas panjang.
"Tolong jangan tutup teleponnya." Suara Amelia semakin sedih terdengar dari seberang sana. "Temani aku di telepon ini, aku sendirian."
"Okay." Viole memutuskan mengikuti permintaan gadis itu. Ia duduk di sofa dan masih dalam panggilan. "Pertama-tama, apakah kau bisa berdiri?"
"Kepalaku sakit," ujar Amelia.
"Cobalah bangun dan ambil obat sakit kepala dan demam karena kau kehujanan, takutnya besok sakit."
Di seberang sana, Amelia perlahan menuruti perkataan Viole. "Okay, pretty, jangan tutup teleponnya okay?"
"Iya."
"Okay pretty, jangan tinggalkan aku sendirian."
"Iyaa Amelia, iyaa, aku nggak bakal tutup teleponnya."
"Pretty?"
"Iyaa Amelia."
"Makasih pretty," kata Amelia kemudian bangun dari kasurnya, berjalan dengan langkah sempoyongan menuju lemari obatnya. Terdengar seperti suara ia menabrak sesuatu. "Aku baik-baik saja, cuma nabrak kursi. Terus aku dapat obatnya, oh ada air juga."
"Cepat minum," ujar Viole, "sambil duduk minum obatnya."
Amelia menuruti setiap perkataan Viole dengan telaten dan ia selesai minum obatnya. "Sekarang apa pretty?"
"Mandi dan ganti bajumu yang basah, biar kamu nggak masuk angin dan demam," kata Viole.
"Nggak mau mandi, mau langsung tidur," balas Amelia.
"Nggak boleh, Amelia," kata Viole dengan sabar, tolong Semesta beri Viole kesabaran dan ketabahan yang banyak. "Kamu harus mandi atau setidaknya ganti bajumu yang basah."
"Gak mau!"
"Amelia." Viole menekan perkataannya. "Mandi atau ganti bajumu yang basah."
"Nggak! Nggak mau!"
"Amelia."
"Nggak, nggak!"
"Amelia, mandi atau ganti bajumu yang basah, nggak boleh tidur kalau kamu masih pakai baju itu, nanti sakit."
Amelia kesal, tetapi ia tersenyum pula. "Okay, aku bakal mandi, tapi kamu janji bakal temani aku mandi. Aku bakal bawa ponselku ke kamar mandi, kamu jangan tutup teleponnya sampai aku selesai mandi."
"Nggak boleh Amelia," balas Viole sudah sangat sabar. "Nggak boleh okay? Ini namanya melanggar privasi."
"Tolong, tolong, tolong, aku bakal taruh ponselku agak jauh dari shower jadi kamu jangan matikan teleponnya, tolong aku, lagi pula kan kita cuma telponan bukan video call!" rengek Amelia, "kalau kamu nggak mau nurut, aku nggak bakal mandi! Biarkan saja aku masih pakai baju basah terus masuk angin, terus demam, terus masuk rumah sakit, terus aku meninggal."
"Okay, okay, aku nggak bakal matikan ponselku," balas Viole sudah sangat pasrah.
"Yaay! Pretty, nanti aku taruh ponselnya agak jauh, terus kalau kamu dengar aku minta tolong atau aku terpeleset di kamar mandi, pretty cepat-cepat telepon bantuan atau 911, okay, cepat bantu aku, okay."
"Iyaa, Amelia, aku bakal jaga kamu jadi cepat mandi sekarang, keburu larut malam."
"Makasih pretty, makasih banyak."
Maka Viole bisa mendengar Amelia masuk ke kamar mandi dan terdengar suara shower, kemungkinan gadis itu menaruh ponselnya di lemari yang ada di kamar mandinya. Selagi gadis itu mandi, ponsel masih menyala, Viole ke dapur untuk membuat mi dalam cup kemasan karena ia lapar, cocok pula untuk cuaca dingin di luar. Lima belas menit berlalu dan Amelia akhirnya selesai mandi, sedangkan Viole hampir menghabiskan mi cup kemasannya.
"Pretty!!!" teriak Amelia sudah mulai lepas dari pengaruh alkohol. "Makasih banyak. Sudah nungguin aku, sekarang aku sudah nggak terlalu mabuk lagi, tapi kepala sama badanku masih sakit."
"Iyaa, sekarang cepat istirahat tidur," ujar Viole seraya meletakkan cup minya di atas meja dekat sofa.
"Nggak mau, mau ngobrol sama kamu dulu."
"Tidak. Sekarang tidur karena aku juga mengantuk," ujar Viole berbohong karena jika tak seperti ini, Amelia pasti ingin memaksa mengobrol dengannya semalaman.
"Oh okay," kata Amelia sedikit sedih. "Aku bakal tidur karena capek juga. Terus makasih tadi sudah nemanin aku." Ada jeda sesaat. "Boleh minta bantuan lagi nggak?"
Viole sedang minum air, ia berujar, "apa?"
"Temani aku tidur, jangan tutup panggilan teleponnya sampai aku tidur."
Detik itu Viole sungguh tak mengerti jalan pikiran Amelia, tetapi mendengar suaranya yang sedih itu, membuat Viole kasihan jika menolak.
"Pretty," panggil Amelia, "boleh ya, ya? Aku nggak bakal ngomong lagi pas sudah baring di kasur, aku janji kok."
"Baiklah, sekarang ayo cepat ke kasurmu dan tidur," balas Viole, sesaat mute ponselnya.
Ia masuk ke kamarnya, terlihat teman-temannya masih menunggu Viole bahkan mengirimkan pesan berantai di grup chat. Namun, Viole malah mematikan laptopnya, padahal teman-temannya hendak mengobrol langsung, lalu ia menaruh laptopnya di atas meja begitu pula dengan berondong jagungnya. Ia lalu duduk di kasur, menyandarkan punggungnya di kepala kasur. "Sekarang tidur."
"Okay." Di seberang telepon, Amelia benar-benar berbaring dengan selimut tebal menutupinya. Rasa dingin hujan di luar, ditambah Air Conditioner serta selimut hangat menjadi satu. Ponselnya masih menyala, Amelia menaruh ponselnya di dekat kepalanya. "Pretty, makasih ya."
"Iyaa, Amelia."
Senyuman manis Amelia terukir. "Tadi aku ke klub, terus pulangnya sama sopir kok, tapi sopir dan asisten rumah tangga sudah nggak boleh masuk rumah utama lagi. Besok jam lima baru boleh."
"Iyaa, sekarang pejamkan matamu dan tidur, kamu pasti capek."
"Pretty," kata Amelia, Viole menghela napas lelah, tetapi masih menanggapi Amelia. "Aku sendirian, papahku kerja di tempat yang jauh banget, jarang pulang, bahkan jarang tanya kabarku. Aku sedih."
Viole hanya diam, bingung harus menanggapi dengan kalimat apa karena ia sendiri pun tak paham mengenai semua ini, Viole tak tahu rasa kasih sayang orang tua bahkan hingga detik ini, ia tak tahu siapa orang tuanya. Jadi ia tak terlalu bisa memahami perasaan Amelia mengenai kasih sayang orang tua. "Tidur Amelia."
"Viole pretty, di sini sepi banget."
Di sini juga sepi. Namun, Viole sudah terbiasa dengan kesepian. Pasti berat bagi manusia biasa hidup dalam kesepian. "Nggak papa, ada aku, jadi nggak sepi lagi."
"Makasih."
Beberapa menit berlalu, Viole jadi membaca novelnya kembali karena Amelia tak berujar apa pun lagi. Lalu tiba-tiba terdengar suara pelan. "Pretty, Viole."
"I'm here, Amelia," balas Viole di telepon.
"Kupikir sudah kamu matikan ponselnya." Amelia terkekeh pelan, ia sudah hampir terlelap. "Makasih ya, makasih sudah sabar sama aku."
"Iyaa, sekarang tidur yaa."
"Okay, pretty. Kamu juga tidur yang nyenyak."
Viole baru hendak menjawab, "have---"
"Pretty," kata Amelia melalui ponselnya. "Aku sayang kamu."
Viole menghela napas, ia tak senang dengan pengakuan itu, tetapi ia tetap berujar, "have a nice dream, semoga Tuhan melindungi kamu ketika tidur." Setelahnya tidak ada lagi suara Amelia, ia benar-benar tertidur lelap, kemudian Viole mematikan ponselnya.
Kini ia turun dari kasurnya, menuju nakas, mengambil pil obat Nix, ia makan tiga butir dan dihabiskan segelas airnya. Degup jantungnya berdetak kencang, dadanya sakit, ia mulai pusing dan berkeringat dingin. Perlahan ia menuju kasur, berbaring dan menarik selimutnya. Kini napasnya sangat sesak. Berusaha ia tahan sakit di dadanya hingga ia merintih kesakitan.
Hingga beberapa menit berlalu, ia mulai tertidur nyenyak, dan sang boogeyman tak jadi berkunjung pada malam itu. Benar-benar malam yang sangat tenang.
****
Pagi hari ini, Amelia bangun tidur dan merasa jauh lebih baik, kepalanya tak pusing lagi, ia juga tak sakit badan, atau mual seperti semalam yang sangat kacau. Rambutnya berantakan dan ia sesaat mengedarkan pandangannya mencari ponselnya yang ternyata tergeletak di bawah, lekas ia pungut, menatap jam yang menunjukkan pukul 8:59, ah sial, ia melewatkan kelas paginya pada pukul delapan tadi, pasti Catherine mengamuk di kampus nanti. Sayangnya, Amelia tak khawatir.
"Aku benar-benar gila semalam dan dia meladeni kegilaanku dengan sabar." Amelia menatap chat-nya dengan Viole, serta panggilan telepon yang hampir satu jam. Kini ia tersenyum sangat bahagia. "Makasih banget, nggak kusangka dia bakal mau nurutin gilanya aku!"
Suara ketukan pintu terdengar. "Nona Amelia, apakah Anda sudah bangun? Sarapan pagi sudah siap." Ini suara salah satu asisten rumah tangganya yang boleh ke kamar Amelia, namanya Dayami. Perlu diketahui jika asistennya ini berasal dari Asia Tenggara karenanya namanya asing terdengar di Amerika sini.
"Baiklah, aku akan ke bawah lima menit lagi."
"Baiklah Nona," ujar Mrs. Dayami kemudian pergi.
Amelia menghela napas panjang, ia turun, hampir jatuh, ternyata agak sempoyongan. Ia berjalan ke kamar mandi, memungut dress-nya yang ada di bak mandi, dimasukkan ke dalam tempat pakaian kotor. Ia mencuci wajahnya dulu. "Oh, aku tidur sangat damai semalam. Pasti berkat si cowok cantik mau ladeni gilanya aku."
Setelahnya ia mengambil semacam jaket tidur dari bahan wool, lalu ia lekas ke bawah setelah mengambil ponselnya di atas kasur. Sudah terlihat beberapa pelayan melakukan tugas mereka masing-masing, bahkan ada yang izin mengambil pakaian kotor Amelia untuk segera dicuci dan gadis itu memberi izin. Berada di meja makan, sudah ada dua asisten rumah tangga, salah satunya Mrs. Dayami. Ia tugas utamanya adalah melayani semua kebutuhan Amelia secara langsung, jadi pelayan atau asisten rumah tangga lain tak boleh karena mereka punya tugas masing-masing.
"Apakah tidur Anda nyenyak?" kata Mrs. Dayami dan dibalas anggukan oleh Amelia.
"Kau tahu, Dayami, kali ini aku benar-benar tidur nyenyak setelah mabuk, tidak seperti biasanya." Amelia mulai mengambil beberapa potong kalkun panggang, serta sayurannya.
"Benarkah, jika saya boleh tahu, kira-kira alasannya apa?" ujar Mrs. Dayami seraya menuangkan segelas susu hangat dan segelas air.
Mulut Amelia yang penuh, ia terus kunyah, setelahnya berujar, "kali ini aku sering ditemani seorang laki-laki imut, tadi malam saja, dia mau temani aku sleepcall sampai aku tertidur nyenyak. Buktinya pagi ini aku telat bangun."
"Syukurlah jika ada yang mau menemani Anda dan tahan dengan keras kepala Anda yang melebihi bebatuan." Mrs. Dayami tersenyum kecil.
Bagi Amelia, candaan seperti itu sudah terbiasa, Dayami memang akrab dengan Amelia entah sejak kapan, ia lupa. "Yeah, aku bahkan kaget, teman-temanku saja kadang marah karena keras kepalaku, tapi dia yang notabenenya baru kenal aku sebulanan ini, mau ladeni tingkahku dengan sabar. How can?"
Amelia sudah menghabiskan tiga potong kalkun panggang yang kini ia ambil empat potong daging domba saus barbeque dan diberi chili pepper juga, lalu ia makan dengan lahap dan cepat.
"Mungkin saat Jesus Christ menciptakan dia, Jesus terlalu banyak memberinya sifat sabar, melebihi panjangnya tembok Cina," ujar Mrs. Dayami seraya terkekeh dan Amelia juga terkekeh. Kini hanya ada mereka berdua karena pelayan satunya sudah pergi ke dapur lagi.
"Kau benar," ujar Amelia mengambil dua potongan kalkun panggang lagi. "Ibaratnya Jesus Christ menumpahkan terlalu banyak air kesabaran saat menciptakan Viole." Ia terus melahap makanannya sambil meminum segelas susunya hingga ludes, lalu minta dituangkan kembali oleh Mrs. Dayami.
"Apakah kau tahu, Viole sangat suka membahas novel dan beberapa karya sastra, dia juga pintar menggambar dan melukis lho, aku pernah lihat di mengunggah lukisannya di snapgram." Amelia terus makan, kini ia mengambil banyak sayur dan daging domba, ia menyeka saus di bibirnya dengan lengan bajunya sehingga membuatnya kotor. Lalu ia lanjut makan yang kini lima piring sudah menumpuk. "Viole itu juga pernah bercerita jika dia pandai memasak. Kuyakin aku akan merasakan masakannya suatu hari nanti." Kini bertambah jadi delapan piring menumpuk.
"Nona," ujar Mrs. Diyama, tetapi diabaikan Amelia yang terus mengunyah makanannya hingga bibirnya belepotan dan ia usap dengan lengan bajunya yang jadi membuatnya semakin kotor. Kini ia hendak makan kue pie yang sangat enak.
"Aku penasaran di mana dia tinggal, Viole tak mau memberitahukan di mana apartemennya," ujar Amelia terus menguyah kue pie rasa bluberi, sementara Mrs. Dayami mulai khawatir. "Haruskah kupaksa dia memberitahukan alamat rumahnya? Jadi aku bisa berkunjung kapan pun jika aku ada waktu." Amelia menghabiskan segelas susu dengan cepat dan hendak makan pie lagi padahal sudah habis empat potong pie. "Ya! Aku harus bertanya di mana alamat apartemennya---"
"Cukup, Nona Amelia." Mrs. Dayami menghentikan tangan Amelia yang hendak menyuap sepotong pie lagi. "Anda akan terlambat ke kelas kedua."
Amelia diam, sejenak menatap Dayami, lalu mengangguk cepat, menaruh garpu ke piring. "Kau benar, kau benar. Aku harus bersiap untuk tampil secantik mungkin sebelum ke kampus dan bertemu Viole nanti siang di sekolahnya." Suara kursi berderit, ia berdiri setelah mengusap bibir dengan lengan bajunya yang sudah kotor. "Aku akan segera bersiap, beritahu sopir jika aku bawa mobilku sendiri karena aku sudah tak pusing."
"Baiklah, Nona Amelia," ujar Mrs. Dayami.
"Oke, eh aku mau anggur satu," kata Amelia mengambil satu anggur hijau lalu segera ke kamarnya. Sementara Mrs. Dayami menghela napas, tampak sedih saat menatap piring-piring yang menumpuk.
"Tolong jaga kesehatannya, Tuhan," ujar Mrs. Dayami.
Berada di kamar mandinya, ia mengunci pintu hingga grendelnya juga agar memastikan tak seorang pun bisa masuk ke dalam selain dirinya. Suara keran wastafel terdengar, begitu juga shower di bak mandinya, semuanya dibiarkan menyala. Kini dia menatap dirinya di cermin, lalu tersenyum tipis kemudian lekas ia lepaskan seluruh pakaiannya dibuang ke pinggir kamar mandi.
"Kamu cantik okay, gadis paling cantik di kota ini," ujar Amelia seraya menatap dirinya yang telanjang dada kemudian tersenyum seraya mematikan keran air di wastafel.
Amelia menggulung rambutnya dengan dijepit menggunakan jepit rambut. "Kau paling sempurna dari segi apa pun." Perlahan kedua tangannya kuat memegang badan wastafel, lalu ia menundukkan kepalanya ke wastafel atau tepatnya ke lubang saluran pembuangan wastafel tersebut. Maka perlahan-lahan tirai panggungnya tertutup agar tak seorang pun tahu bagaimana kelanjutannya dari sang Queen Bee, Amelia Cassiopeia.
****
Masih ada jeda waktu sebelum kelas selanjutnya, jadi Viole dan teman-temannya berada di meja kayu seperti biasa yang jadi tempat mereka nongkrong, beruntung sekali hari ini tak terlalu terik mataharinya, tetapi terik matahari atau tidak, mereka berlima menggunakan sunscreen karena diajarkan oleh Sophia dan Viole, kata mereka menjaga kesehatan kulit sangat penting.
"Masuk penjara, masuk penjara," ejek Sophia ketika pion monopoli Theodore masuk ke penjara.
"Sialan! Tidak ada kartu bebas penjara!" Theodore sangat frustrasi.
"Makanya jangan sombong," balas Sophia seraya menyeruput susu full cream-nya.
Tawa Louie terdengar. "Sudahlah, kau sudah kehilangan tanah, kehilangan banyak uang juga," balas Louie.
"Jangan diejek, nanti ngamuk," ucap Emma, "coba lihat, Viole sejak tadi adem-anyem saja." Menatap pada Viole yang sibuk merapikan uangnya berdasarkan warna, ia juga sesekali menyeruput susu rasa pisang.
Terlihat Viole hari ini mengenakan kemeja putih garis-garis terlihat jelas pada kerah kemejanya kemudian dipadukan dengan sweater rajut-lembut warna kuning, celana kain garis-garis warna putih, dan ia kenakan topi warna kuning pula.
"Dia terlalu hoki," balas Theodore, "lalu apakah perlu dikelompokkan uangnya berdasarkan warna?!"
"Tentu saja perlu untuk kerapian dan memudahkan menghitung berapa jumlah uang kita," ujar Viole, "lagi pula setelah ini, mau borong semua tanah dan hotel."
"Sialan, mentang-mentang lagi hoki karena dapat bagus terus kartunya," ujar Theodore, Louie, dan Sophia bersamaan sementara Emma hanya terkekeh.
Mereka kembali bermain monopoli untuk mengisi waktu sebelum kelas selanjutnya. Awalnya mereka sempat membahas mengenai Amelia dan segala masalah gadis itu semalam, Theodore sangat marah bahkan hendak mengancam agar gadis itu pergi dari hidup Viole. Namun, Theodore urungkan karena melihat betapa besarnya kepedulian Viole bahkan pada gadis jalang itu sekali pun.
"Aku jadi kau, kuabaikan dia semalam," ujar Theodore di sela-sela permainan mereka.
"Theodore sudah, jangan dibahas lagi," tegur Emma, tetapi tak digubris.
"Gadis itu sangat gila, aku membencinya sejak kaucerita, dia menggodamu di toko buku," ujar Theodore, ia semakin benci saat merasakan bantingan kuat dari Amelia. Padahal Theodore laki-laki bagaimana bisa kalah dari perempuan!
"Theodore," tegur Emma, ia melirik teman-teman agar membantunya, supaya Theodore berhenti membicarakan Amelia.
"Gadis itu perangainya sangat jelek, Violetta." Theodore berujar ibarat seorang ibu menasehati anak-anaknya. "Dia selalu mengganggumu, menempel padamu, dia juga sangat menyeramkan, lalu apa-apaan semalam itu, dia mabuk bukankah artinya dia berkepribadian sangat buruk, jangan-jangan dia jadi perempuan jalang juga."
"Siapa kau bilang, jalang?"
Detik itu, mereka semua langsung diam membisu. Suara seorang gadis yang terdengar dingin dan rendah berhasil menginterupsi perkataan Theodore bahkan membuat punggungnya serta yang lain termasuk Viole jadi merinding dan dingin. Kini mereka menatap pada seorang gadis yang perlahan mendekati Theodore.
"Coba katakan sekali lagi," ujar Amelia Psyche Cassiopeia. Ia mengenakan kemeja putih yang dipadukan dengan vest hitam tanpa lengan, kemudian semacam capelet cloak warna hitam pula, serta rok, stoking panjang hitam agak tembus pandang, serta knee high boots mencapai bawah lutut.
"Aku ingin langsung mendengar kata itu di hadapanku. Jangan takut, aku sudah sering mendengar orang-orang di kampusku mengatakan aku seorang jalang maupun pelacur, entah di belakang atau langsung di hadapanku."
Kini Amelia bersilang dada. "Jadi katakan kata itu sekarang bocah." Ia menatap sinis pada Theodore yang tertunduk, terlihat jika Theo hendak berucap karena tangannya gemetar kesal, tetapi di sisi lain, ia merasa takut juga.
"Kenapa diam, boy?" balas Amelia, "apakah kau takut pada seorang perempuan yang kau bilang jalang? Ayo, tatap aku dan katakan dengan lantang bahwa aku seorang JALANG."
Perlahan Theodore mendongak, menatap sinis pada Amelia, bibirnya bergerak seperti hendak mengatakan sesuatu, lalu ia berujar, "kau jalang menyebalkan berhenti mengganggu sahabatku."
Senyum Amelia terukir. "Bocah pemberani." Ia terkekeh, tak terlihat jika tersinggung atau tidak. "Namun, maaf karena aku tak mau mendengarkan perkataan seorang bocah yang berani menghina perempuan di belakang."
Amelia lekas menatap teman-teman Viole yang lain, lalu beralih pada si bocah sweater kuning yang menyeruput susu rasa pisangnya. "Violetta-ku."
"Tidak," kata Sophia, "kau pikir, kami akan mengizinkanmu setelah semalam kau meneror Viole dengan chat dan video suara anehmu itu?" Hal ini membuat Louie dan Emma juga berusaha mencegah Amelia mendekati Viole. Mereka setuju untuk menjauhkan gadis ini dari Viole. Takutnya membuat Viole terseret ke dalam hal-hal tak baik dan bersifat negatif.
"Aw," kata Amelia sangat gemas pada bocah-bocah sekolah ini. "Para bocah yang berusaha melindungi sahabat mereka, aku tersentuh karena kalian sangat peduli pada Viole, tapi aku bukan penjahat yang akan menyeretnya ke hutan kemudian memakannya seperti singa hutan, rwaarr."
"Kau mabuk, bisa saja kau akan mengajak Viole minum alkohol," ujar Louie sedikit gemetar. Ia tahu bagaimana mengerikannya menghadapi seseorang yang mabuk apalagi jika bersikap kasar dan memukul, seperti ibunya dulu.
"Ah, jadi Violetta-ku menceritakan semua kejadian semalam?" Amelia tersenyum, sungguh sebenarnya gadis ini sangat cantik bahkan setara kecantikan model papan atas, tetapi sifatnya yang brutal membuat mereka harus waspada bahwa kecantikan bisa pula berbisa.
"Iya, kami selalu berbagi cerita jika menyangkut hal-hal penting agar bisa saling melindungi," ujar Emma.
"Tapi sweetheart." Suara Amelia terdengar lembut. "Aku berjanji takkan membawa Viole ke hal-hal tak baik, cukup aku saja yang gila, aku takkan membiarkan lelaki cantik inj juga terseret."
"Lalu apa maumu kini?" ucap Theodore, "mengapa kau di sini, bukan berjaga di klinik?"
Senyum Amelia terukir lagi. "Tentu saja mau berterima kasih pada Viole karena sudah menolongku semalam dan masa aku nggak boleh ketemu sama charger mood-ku."
"Pergi sialan." Theodore mengusir.
"Oh come on, aku mau berterima kasih dengan Viole, setelah itu kalian lanjut bermain saja, aku janji nggak bakal ganggu kok." Amelia memperlihatkan jari kelingking dia. "Pinky promise."
"Tidak masalah," kata Viole, "dia hanya mau berterima kasih." Viole meletakkan susu kemasan kotaknya. Keempat teman Viole menghela napas dan terpaksa mengizinkan Amelia.
"Baiklah, terserah," sahut Theodore.
"Makasih pretty!" Tiba-tiba Amelia langsung beringsut mendekap Viole, tetapi didorong lelaki itu. "Mau peluk, boleh?"
"Woy! Jangan seenaknya main peluk!" teriak Theodore.
"Nggak boleh Amelia, duduk saja," ujar Viole.
Amelia cemberut, lalu duduk di samping Viole. "Okeee, makasih pretty karena semalam sudah bantu aku meski aku di ambang ketidaksadaran dan gila."
Terkadang Viole risi jika gadis ini mengatakan dirinya sendiri gila. "Jangan sebut dirimu seperti itu dan ya sama-sama."
Sesaat Amelia terdiam. "Kau aneh pretty, kau sering mengatakan jika aku gila, tapi aku akui diriku gila, kau malah nggak suka." Ia terkekeh sementara teman-teman Viole hanya diam dan lanjut bermain.
"Aku sebisa mungkin takkan mengatakan kata jahat itu ke orang-orang lagi," ujar Viole, "terutama padamu." Kini giliran Viole, ia melempar dadunya kemudian digerakkan pionnya.
Amelia menatap hangat pada Viole. "Makasih pretty."
Viole menghela napas, lalu mengangguk. "Iya, sama-sama."
"Boleh nggak aku peluk?"
"Gak boleh."
"Oh okay, kalau aku di sini beberapa menit sebelum kembali ke klinik, boleh nggak?"
Viole sedikit menatap teman-temannya yang terlihat lelah, tapi tak memberikan penolakan. "Iya boleh."
"Makasih banyak." Maka Amelia duduk tenang di samping Viole, ia sengaja menempelkan bahunya pada Viole, merasakan sepoi angin membelai setiap helaian rambut panjangnya serta mendengar suara-suara teman Viole yang asyik bermain monopoli. Ia merasa tenang di sini, sangat tenang seolah-olah bersama sahabatnya di kampus dan lebih tenang karena ada si lelaki cantik di sampingnya.
Bisakah Semesta membiarkan waktu berhenti dan Amelia lebih lama merasakan ketenangan ini?
"Kau akan masuk penjara." Amelia berujar ketika Theodore mengocok dadunya.
"Mustahil, aku selalu hoki." Ketika dadunya dilempar, pionnya dijalankan, dan ternyata berhenti ditanda penjara. "Sialan! Ini semua karena kau!"
"Aku lho hanya asal tebak," balas Amelia seraya menjulurkan lidahnya.
"Bajingan, lihat saja nanti, kau takkan menertawakanku seperti itu lagi!" ujar Theodore sangat geram.
"Sorry, but I'm Amelia Cassiopeia and no one can beat me, apalagi bocah ingusan sepertimu."
Mereka hendak menyangkal, tetapi mengetahui betapa gadis ini selalu melawan seseorang tanpa emosi dan amarah serta mengerikan saat mengintimidasi, mereka memilih untuk diam dan tak menanggapi karena takut mereka benar-benar akan dapat masalah atau badan dibanting ke tanah.
"Ya Tuhan, kenapa gadis ini masuk dalam hidupku." Lubuk hati kecil Viole berujar.
****
Sore harinya, Viole dan Theodore serta anggota tim basket Deadly Wolves berlatih di gedung olahraga. Sudah beberapa kali latihan dan kematangan Viole dalam bermain basket juga meningkat, kalau Theodore jangan ditanya karena memang mahir bermain basket. Berkat kehadiran Viole dan Theodore juga membuat banyak murid yang dengan senang hari menonton latihan tim tersebut bahkan memberi mereka minuman gratis secara cuma-cuma.
Kini riuh gedung tempat latihan basket terdengar, para murid perempuan banyak di sini padahal latihan tim rugby juga ada, tetapi mereka memilih untuk menonton latihan basket demi melihat sosok Viole yang jarang tampil depan umum kini terlihat sangat karismatik ketika berkeringat, meskipun kecantikan tidak memudar.
Semua mengagumi Violetta, padahal banyak di antara mereka yang selalu ditolak lelaki cantik itu. Namun, tak masalah karena ia jadi penyegar mata selain Theodore.
Hanya saja apakah di antara rasa kagum tersebut adalah rasa kagum bersifat positif atau malah negatif bahkan malapetaka.
Maka di antara riuhnya para penonton di bangku tribune, berada di paling ujung tangga ke bangku-bangku tribune. Seorang gadis dengan capelet cloak warna hitam tengah memegang ponselnya seraya mengambil foto Viole yang sedang bermain basket; rambut acak-acakan, berkeringat, mengenakan seragam basket tanpa lengan, sehingga memperlihatkan tubuhnya meski tidak cukup berotot. Gadis itu bahkan sempat mengambil gambar ketika Viole mengusap wajahnya dengan bajunya sehingga memperlihatkan perut lelaki itu.
"Pretty-ku memang karismatik," ujar Amelia seraya menggeser foto-foto yang berhasil ia dapatkan. Serta satu foto yang jelas memperlihatkan wajah Violetta yang tampan sekaligus cantik itu.
"Kau pasti jadi milikku, bukan? Violetta-ku." Kini ia dekatkan ponselnya ke bibirnya dan mencium foto tersebut, cukup lama, lalu menyeringai kecil. "Aku takkan membiarkanmu menjadi milik orang lain, hanya diriku dan begitulah takdir akan berjalan. Kau adalah milikku hingga selamanya."
Setelahnya, ia berbalik dan melangkah pergi keluar dari gedung sekolah itu, mengenakan earpod tanpa kabel, lalu berujar, "tolong mobilku."
Di sisi lain ketika gadis itu pergi. Berada di kamar mandi gedung olahraga khusus wanita. Sosok wanita seksi dengan pakaian biru tua tengah bersandar di loker-loker. Ia berdiam diri layaknya manekin, tak berkutik barang seujung jari pun. Matanya menghitam hingga ke sklera dan pupil matanya. Ia tengah mengamati targetnya yang berlatih basket menggunakan lima ekor nyamuk yang beterbangan di sekitar lapangan latihan basket tersebut.
"Seharusnya seorang ævoltaire, punya tanda pengenal di tubuhnya, seperti angka atau kode, tetapi bocah itu badannya bersih tanpa bekas sedikit pun." Mrs. Rosalie Camillia berujar pada sesosok pria berjubah basah dan menitikkan air di dekat wastafel. Hanya ada mereka berdua di sana.
"Kemungkinan tanda pengenalnya dihapus," ujar si sosok jubah basah. Sementara Rosalie sibuk mengunyah laba-laba yang keluar dari telinganya. Ia seperti memakan berondong jagung, tetapi versi laba-laba segar dan masih hidup.
"Jika begitu, bukankah dia spesial?" ujar Mrs. Rosalie, "hanya bisa dihitung jari bagi ævoltaire muda dan belia yang punya kehidupan bebas tanpa pengawal di sekitarnya." Rosalie tahu jika ævoltaire muda selalu diawasi dan diberi pengawal oleh Æthelwulfos, terkecuali benar-benar dewasa atau bekerja di bawah Æthelwulfos.
"Aku pernah beberapa kali melihatnya menemui Julius Cunningham," balas si jubah basah.
Kepala Rosalie menoleh meski matanya masih menghitam. "Julius Cunningham," ujarnya lalu tersenyum lebar. "Tak kusangka manusia itu mau peduli sesama ævoltaire."
"Atas inilah, kemungkinan bocah itu sedikit spesial."
"Kalau begitu, kita tak punya waktu, selain mendapatkan bocah itu sebelum Æthelwulfos menyadari pergerakan kita." Mrs. Rosalie terkekeh, tetapi berhenti ketika dua perempuan berjalan ke kamar mandi tersebut. "Hentikan mereka."
Tiba-tiba pintu ruangan tersebut tertutup. "Siapa kau?! Monster!" teriak kedua gadis, tetapi tak bisa kabur.
"Mari susun rencana untuk mendapatkan bocah itu," ujar Rosalie, "tetapi aku ingin makan dulu."
Maka si sosok jubah basah menggunakan kekuatannya, menyeret kedua gadis ke bilik toilet, seluruh pakaian mereka basah. Lalu Rosalie melangkah yang kini manik matanya kembali seperti semula.
"Tidak, tidak, lepaskan kami!" Menangis sudah gadis berambut pirang.
"Kumohon, jangan bunuh kami!" Begitu juga temannya yang berambut hitam. "Uhmm, uhmmm." Mulutnya dililit tali terbuat dari air begitu juga seluruh tubuhnya.
"Aku butuh makan!" teriak Mrs. Rosalie
Wanita itu mencekik kuat si murid rambut pirang hingga kehabisan napas, wajahnya memerah, terus meronta-ronta. Rosalie membuka mulutnya sangat lebar seolah-olah hendak merobeknya, lalu keluar tiga kelabang besar yang langsung menusuk kedua mata serta mulut si rambut pirang. Suara rintihan terdengar dan tubuh kejang tampak mengerikan ketika Rosalie menyedot darah dari dalam tubuh murid tersebut hingga kulitnya pucat pasi, dagingnya hilang, menjadi sangat kurus, kulitnya mengkerut, hingga seolah-olah tersisa hanya tulangnya saja.
"Lezat!" Rosalie melepaskan si gadis pirang kemudian beralih ke gadis berambut hitam.
"Uhmm, please, no, no!"
"Diamlah gadis cantik, kau hanya perlu menjadi nutrisi bagi tubuhku!" Maka lima kelabang menusuk mata, kedua lubang hidung, dan mulut si rambut hitam, disedot kuat oleh Rosalie hingga menjadi kurus kering, pucat, dan kehabisan darah. Lalu tubuh tersebut ambruk ke lantai. Kedua murid tiada secara mengenaskan.
"Bereskan mereka berdua." Rosalie mengusap bibirnya dengan sapu tangan.
"Baiklah." Kini si jubah hitam dengan kekuatan airnya, menyelimuti tubuh kedua korban hingga benar-benar ditutupi air, perlahan-lahan air tersebut mendidih hingga melelehkan tubuh kedua murid dan menyatu menjadi cairan yang kemudian larut ke saluran pembuangan di toilet tersebut.
"Aku harus pergi." Rosalie selesai merapikan riasan wajahnya.
"Satu pertanyaan."
"Silakan."
"Jika benar, anak itu adalah satu dari tiga ævoltaire paling sempurna," ujar si jubah hitam basah. "Apa yang akan kau lakukan?"
Senyuman Rosalie terukir, tampak di cermin. "Tentu saja akan kubawa Wyvcortés jika mereka setuju dengan negosiasiku dan memberiku posisi tinggi, maka kuserahkan bocah itu pada mereka."
"Bagaimana jika tawaranmu ditolak? Mereka sama liciknya seperti Æthelwulfos."
"Maka akan kugunakan bocah itu untuk menghancurkan mereka semua dan menguasai dunia ini. Bocah itu adalah boneka paling sempurna untuk kupermainkan."
Perlahan si jubah hitam basah menganggukkan kepalanya kemudian menghilang dengan membuat tubuhnya meleleh jadi cairan dan larut ke dalam saluran pembuangan air di toilet. Sementara Rosalie lekas melangkah keluar dari kamar mandi kemudian pergi dari gedung itu.
Detik ini berada di lapangan basket. Viole selesai berlatih dan beristirahat. Ia sangat kelelahan dan menghabiskan air dalam botolnya seraya menatap pada kaca jendela di gedung ini yang terlihat di luar, awan-awan hitam mulai menutupi cahaya matahari sore. "Aku benci hujan."
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
|| Afterword #15
Well, kegiatan Jumat malam dengan cara menonton film bersama sudah seperti ritual wajib yang dilakukan oara bocah itu. Sayangnya malam ini cukup berbeda karena hanya bisa melalui daring akibat teror pembunuh berantai yang hingga detik ini belum berhasil ditangkap pihak kepolisian.
Jika kalian bersama mereka, film apa yang kalian rekomendasikan? Apakah kalian setuju menonton Shaun the Sheep yang direkomendasikan oleh si pretty boy?
Lalu sepertinya kita semakin diberitahukan bagaimana tingkah gila dari Amelia. Beruntungnya Viole adalah lelaki cerdas sehingga dia tahu batasan dan sangat sabar untuk menghadapi kegilaan gadis tersebut^^ Semoga dengan ini, orang-orang akan jauh lebih waspada akan suatu hubungan maupun interaksi sosial dengan orang lain baik pria maupun wanita. Tetap ingat jika segala sesuatu memiliki boundaries (batasan).
Uhm um teruntuk Mrs. Rosalie ... apa maksud percakapannya? Dan apakah kedua murid barusan dia uhuk uhuk ... semakin menarik^^
Prins Llumière
Kamis, 26 September 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top