Chapter 45: Fever and Bleeding
|| Chapter ini mengandung adegan mengganggu, risi, menyebutkan darah dan bunuh diri! Mohon bijak dalam membaca.
Darah merah segar tercetak di selimut putih hingga menetes ke lantai dan membuat genangan kecil di sana. Peluh keringat membasahi tubuh, hawa panas menyeruak, terdengar batuk yang bersamaan darah keluar dari mulutnya dan cukup kental. Perlahan ia bangun dari posisinya, duduk ke pinggir kasur, menempelkan punggungnya ke dinding yang sedikit membuat dinding itu terkena darah karena tubuh lemahnya penuh sayatan dan luka serta darah keluar dari luka-luka itu serta tembus ke piyamanya.
"Biarkan aku tidur, kumohon," ujar lelaki itu yang terdengar serak. Manik matanya yang lelah menatap sesosok boogeyman hitam yang terlihat tangannya berupa pisau setengah lingkaran serta meneteskan darah. Ya, sejak tadi boogeyman itu terus menyayat tubuh si lelaki karena lupa meminum Nix pil obatnya malam ini sebelum beranjak tidur atau barangkali ia ketiduran setelah lelah mengerjakan tugas sekolah.
"Kau harus tidur." Suara Sang boogeyman terdengar serak, kejam, dan bengis. "Agar aku bisa menarik jantungmu keluar!"
"Keparat! Aku hanya lupa minum obatku!" teriaknya lalu muntah darah lagi. "Motherfucker."
Lekas Violetta Beauvoir turun dari kasurnya dan berlari ke kamar mandi, mengunci pintu. Namun, pintunya digedor-gedor si boogeyman, Viole abaikan karena dia lekas ke kloset, berjongkok di sana seraya memuntahkan darah sebanyak mungkin. Terlihat darah menetes dari piyamanya, ia berusaha menghabiskan darah yang hendak keluar dari perutnya yang terasa mual. Sementara di belakang, pintu kamar mandi terus-menerus digedor-gedor oleh si boogeyman bahkan tampak pisau setengah lingkaran mulai merusak badan pintu yang terbuat dari kayu itu.
Beberapa menit berlalu setelah Viole memuntahkan darah bersamaan si boogeyman berhenti menggedor-gedor pintu. Perlahan Viole duduk di lantai kamar mandi, ia menyeret tubuhnya hingga bersandar di dinding kamar mandi yang jadi terkena darah akibat punggung Viole terluka parah. Dia terlihat berusaha menenangkan diri dan napasnya karena dadanya sesak sekali. Sesaat ia menatap langit-langit karena kepalanya sangat pusing.
"Boogeyman sialan, aku hanya ingin tidur tanpa minum obat!"
Percuma saja mengeluh, takkan menyelesaikan masalahnya, yang ada Viole bisa mati karena kehabisan darah. Maka perlahan ia berdiri dengan kaki gemetar, melepaskan bajunya. Sungguh tampak mengerikan karena tubuhnya penuh dengan sayatan pisau, lekas ia buang bajunya ke dalam bak mandi lalu ia lepaskan sisa pakaiannya dan dilempar ke dalam bak mandi pula. Shower dinyalakan, air memenuhi bak mandi, tanpa menuangkan sabun, maka Viole merendam seluruh tubuhnya ke dalam air yang dalam sekejap rasa perih menyengat merasuki dirinya, ia hendak berteriak, tetapi ia tahan dengan menggigit bibirnya sekuat mungkin. Semakin ia berendam di air yang jadi memerah itu, rasa perih menyelubunginya, ibarat luka-lukanya ditaburi garam dan perasaan jeruk lemon.
Kini ia menenggelamkan kepalanya di air yang merah karena darah, tercium bau darah dalam air yang tak sengaja masuk ke hidung dan mulutnya hingga Viole terpaksa naik ke permukaan dan terbatuk-batuk bahkan memuntahkan air dan saliva ke lantai. Seluruh tubuhnya basah dan ia terdiam merasakan sakit perih yang beruntung perlahan-lahan berhenti.
Sudah cukup berendam, ia keluar dari bak mandi, mengambil handuk, mengeringkan tubuhnya yang penuh luka, lalu mengenakan baju mandi. Ia keluar dari kamar mandi, menuju kamar tidurnya dan ke lemari pakaian untuk mengambil piyama baru, berwarna biru. Ketika mengenakan piyama, di belakangnya, tepat di kasurnya sesosok boogeyman tengah duduk dengan cara berjongkok dengan kedua kaki berjinjit, meskipun terlihat menyeramkan, Viole tak terganggu ketika diperhatikan oleh makhluk tersebut.
"Sekarang enyahlah," ujar Viole ketika mengambil lima pil obat Nix, lalu ia telan bersamaan dan menghabiskan segelas air. Maka perlahan sang boogeyman menghilang.
Meskipun hilang makhluk mengerikan itu, Viole merasakan dadanya sangat sesak, jantungnya berdebar kencang, tubuhnya berkeringat lagi, langkahnya mulai gontai, tetapi ia berusaha untuk tak ambruk dan tidur kembali meski hanya sebentar. Jadi ia berjalan, mengambil bantalnya karena kasurnya penuh darah, kemudian ia taruh bantalnya di lantai dan membaringkan tubuhnya, serta tidur disana. Selama proses untuk tidur, ia bernapas sesak seperti seseorang yang terkena GERD, tetapi ia berusaha untuk melawan, meskipun keringat membuat piyamanya basah. Butuh setengah jam hingga akhirnya Viole perlahan tertidur dan ia tak lagi sesak napas.
Waktu berlalu, kini jarum jam menunjukkan pukul satu malam, Viole terbangun dan tak bisa tidur lagi, jika ia ingat-ingat, ia hanya tidur tiga jam setelah meminum pil Nix. Merasa kepalanya sakit, ia bangun, meraih teko dan menuangkan air ke gelas lalu ia habiskan. Sayangnya kepalanya masih berdenyut sakit, tidur pun takkan bisa lagi, jadi ia hendak menghirup udara segar saja. Namun, sebelum itu, dia menuju kalender di meja belajarnya. Mengambil spidol hitam, menggambar awan hitam hujan di tanggal pada hari ini. Setelahnya dia melangkah keluar tanpa mempedulikan kasurnya yang penuh bercak darah bahkan ada darah menggenangi lantai.
"Sepi."
Berjalan di lorong apartement, ia menaiki tangga alih-alih menggunakan lift. Langkahnya pelan karena harus menjaga keseimbangannya akibat sakit kepala yang tak bisa dikompromikan. Tujuan Viole adalah puncak apartement ini yakni atapnya. Namun, sesampainya di depan pintu menuju atap apartement, ternyata malah terkunci.
"Once upon a time," ujar Viole seraya menutup mata, beberapa menit berlalu, seketika pintunya terbuka dengan sendirinya maka ia lekas melangkah ke sana bersamaan muncul bercak biru di lehernya, seperti lebam.
Melangkah di sana, angin malam bertiup menerpa setiap helaian rambutnya hingga rasa dingin menyeruak. Ia terus berjalan hingga berada di pinggir atap apartement tersebut, tetapi ada tembok pembatas hingga setinggi 80 cm. Tatapannya kosong memandang pada kota Erysvale yang sepi karena belum banyak yang beraktivitas. Dalam keheningan itu, terdengar bisikan dalam kepala Violetta.
Apa yang kau tunggu? Terjun sekarang saja karena takkan ada yang melihatmu.
Maka perlahan Viole naik ke tembok pembatas tersebut, terasa angin bertiup makin kencang dan isi pikirannya kosong, tatapannya juga sama bahkan seperti ia tak berada di sana.
Jangan diam saja. Terjun sekarang juga karena kau tak diinginkan di dunia ini. Semua selalu jahat padamu dan menunggu kematianmu.
Viole mengangkat kaki kanannya dan hendak melangkah serta menjatuhkan dari atas apartement-nya, tetapi ia urungkan dan berujar, "tidak, aku masih harus bertemu seseorang dan kau takkan mengatur hidup dan matiku." Ia menarik kaki kanannya lagi dan tak jadi melangkah dan bunuh diri.
Ia hanya berdiam diri saja di atas tembok pembatas tersebut, lalu menoleh ke bawah, melihat seorang wanita tua dengan pakaian panjang dan sedikit kuno seperti baju tahun 90-an, wanita tua itu tersandung dan jatuh, menyebabkan keranjang anyaman tergeletak dan bunga-bunganya berhamburan di jalan.
Viole terlihat menggumamkan sesuatu, lalu beberapa menit kemudian ia turun perlahan menggunakan tangga besi yang muncul begitu saja. Setelah berpijak di sidewalk tanpa alas kali, Viole melangkah pelan menuju wanita paruh baya itu, lekas membantu memunguti bunga-bunga berwarna ungu atau malah pink ini lalu dimasukkan ke dalam keranjang anyaman bambu.
"Ini Nek," ujar Viole lalu tersenyum tipis.
"Terima kasih, Nak," balas wanita paruh baya tersebut. "Apa yang kau lakukan di malam seperti ini?"
"Hanya mencari udara segar karena banyak pikiran," balas Viole, tentu saja itu hanya kebohongan.
"Jangan begadang, lalu terima kasih telah membantuku." Wanita itu tersenyum lembut seperti seorang nenek pada cucunya.
Viole memperhatikan wanita ini, dia cukup tua karena wajahnya ada kerutan, kulitnya mulai keriput, ia mengenakan shawl collar dress di atas lutut, berwarna merah tua dengan kancing emas, lalu mengenakan topi pula, sepatu boots hitam tanpa hak tinggi. Sesaat bagi Viole, wanita ini mirip dengan mendiang Queen Elizabeth II secara penampilan pakaian dan dari tutur katanya, ia sangat ramah serta lembut.
"Sama-sama," balas Viole, "kalau saya boleh tahu, Anda siapa dan mengapa Anda di luar pada malam hari, berjalan-jalan sendirian?"
Senyuman wanita itu mengembang, ia menatap pada lelaki berpiyama biru ini, menginjak sidewalk tanpa alas kaki, rambut berantakan, kantung mata terukir, bibir agak pucat, serta terlihat ada luka di perutnya ketika angin tak sengaja berembus dan mengangkat sedikit piyamanya itu. "Warga sini sering menyebutku sebagai "Nenek Penjual Bunga", lalu aku selalu membagi-bagikan bunga pada orang-orang yang kutemui, aku mau memberi mereka semangat sebelum menjalani aktivitas hari ini."
"Ah jadi Anda senang berjualan bunga ya," balas Viole dan senyuman wanita paruh baya itu terukir indah.
"Nah beautiful boy, siapa namamu, kalau Nenek boleh tahu?" ujar si Nenek Penjual Bunga, mari sebut nama itu karena sepertinya wanita itu enggan memberitahukan nama aslinya.
"Namaku Viole, bisa panggil Violet juga, seperti warna ungu," balas Viole.
"Nama yang cantik seperti bunga anggrek ini." Maka si Nenek Penjual Bunga menyodorkan setangkai bunga anggrek ungu yang tangkainya diselimuti kertas warna putih berpita ungu. "Terimalah, sebagai tanda terima kasih dan hadiahku untukmu hari ini karena telah membantuku tadi."
Viole secara naluriah meraih tangkai bunga anggrek itu, mencium wanginya yang sangat harum. "Seharusnya sulit tumbuh, ini musim gugur, jarang juga ada anggrek di sini. Bahkan paman pemilik toko bunga di sana, stok bunganya menipis. Dia jadi berjualan permen untuk bulan ini hingga Oktober nanti."
Nenek penjual bunga terkekeh. "Aku memetiknya di daerah lain."
"Di mana?"
"Asia Tenggara, ada Negara yang penuh banyak bunga dan berbagai tanaman. Benua itu beriklim tropis, jadi banyak bunga cantik tetap tumbuh meski di sini bermusim panas maupun gugur."
Viole mengangguk pelan. "Sering pergi ke sana? Apakah indah?"
"Indah sesekali, ada negara yang punya banyak pulau, dikelilingi lautan, punya banyak pantai. Selain itu, banyak pula budaya dan suku di Negara tersebut," jelas si Nenek Penjual Bunga dengan bahagia seolah-olah ia pernah berkunjung ke setiap sudut dunia. "Cobalah berkunjung."
"Tentu, aku selalu punya banyak waktu luang."
Senyuman wanita tua itu sangat meneduhkan. "Berkunjung juga ke Wilayah Timur, Jazirah Arabia seperti Yaman, Egypt, Azerbaijan, Turki, dan lainnya. Kuyakin kau akan senang."
"Mesir," balas Viole.
"Ya, aku pernah ke piramida Mesir," ujar Nenek Penjual Bunga seraya mendekatkan kepala ke telinga Viole agar mudah berbisik. "Ada pintu rahasia di piramida, coba cari mantranya maka akan terbuka jalan masuk ke dalam."
"Anda pernah masuk ke sana?" Viole menyadari jika Nenek Penjual Bunga ini bukanlah wanita biasa.
"Sayangnya tak sempat, aku mudah sakit pinggang, tidak mau juga bertemu makhluk misterius di sana." Ia terkekeh. "Kau saja karena punya badan sehat bugar. Ajak teman-temanmu juga, sangat menyenangkan berpetualangan bersama-sama."
"Akan kuingat," balas Viole.
Nenek Penjual Bunga mengangguk. "Satu hal lagi, sebelum kau menjalani hari ini." Ia mengeluarkan botol semprotan kecil berisi cairan bening, lalu disemprotkan ke bunga anggrek milik Viole.
"Apa ini?"
"Sedikit keajaiban," ujar Nenek Penjual Bunga. "Aku harus pergi."
"Terima kasih, semoga hari Anda menyenangkan." Viole tersenyum manis.
Nenek Penjual Bunga mengangguk, seraya menepuk punggung Viole. "Senang bertemu denganmu." Ia melangkah pergi. "Sampai bertemu lagi Violet atau harus kupanggil, Mr. Fairytale Prince."
Mendengar hal itu, Viole sedikit terkejut, lalu mengontrol ekspresinya lagi, senyuman terukir lembut, ia perlahan berbalik dan ternyata si Nenek Penjual Bunga sudah menghilang begitu saja. Membuatnya semakin yakin jika wanita itu bukanlah manusia biasa terutama julukan yang ia sebutkan tadi, sudah lama Viole tak mendengar julukan itu terucap dari mulut orang lain.
"Catatan, dia bukan musuh, semoga." Viole menghirup wangi bunga anggreknya lagi, seraya berbalik dan melangkah masuk ke lobi apartemen, detik-detik itu pula, cahaya putih mengelilingi tubuhnya dan menyembuhkan luka-luka akibat boogeyman sehingga tak lagi berdarah. Meskipun masih ada sisa sedikit yang terluka, tetapi ia tetap berterima kasih pada keajaiban kecil yang dibawakan si Nenek Penjual Bunga.
Viole berharap, ia bisa bertemu dengan wanita itu, suatu hari nanti.
****
Terlihat Viole hanya diam saja di kursinya dengan menenggelamkan wajah di antara lipatan tangan. Ia terlihat masih sakit, kepalanya berdenyut, tubuhnya demam, meskipun sudah tak ada luka gores yang parah lagi. Perlahan ia tarik tudung jaket untuk menutupi kepalanya. Kali ini, ia mengenakan kaos putih bertudung yang dilapisi jaket dari kain wool, berwarna merah muda untuk bagian badan jaket, sementara kuning di lengannya, lalu celana biru mirip jeans.
Hari ini, sekolah riuh karena para murid membicarakan kematian Bradh dan George, konten kreator yang mati dalam keadaan mengenaskan di sebuah bangunan yang belum selesai. Kali ini kematian mereka paling sadis dan mengenaskan dibandingkan kematian korban lain. Bagaimana tidak paling mengenaskan? Media memberitakan jika Bradh tertancap ke dinding, tubuh terlilit kawat besi, dan mata tertancap paku atau besi tajam. Sementara George lebih mengerikan lagi karena mulutnya penuh ulat bulu, tangan dan kaki putus lalu tertancap besi di ujung masing-masing kemudian ditancapkan tertukar antara kaki dan tangan, serta tulisan di dinding yang juga viral di mana-mana dimulai sejak berita kematian tersebut diangkat hingga detik ini.
Sudah dipastikan jika ini adalah pembunuhan terencana dan direncanakan sejak lama karena mana ada orang gila atau pembunuh abal-abal yang sempat-sempatnya menyumpal mulut korbannya dengan ulat bulu atau menggunakan paku tembak untuk membuat tulisan PIG di perut. Pasti sudah direncanakan dengan sangat matang.
"Sudah kukatakan, pasti si Bloodied Tortuner," kata Sophia, "di media sosial banyak yang berasumsi seperti itu karena dia satu-satunya yang bisa merencanakan pembunuhan matang dan sangat kejam hanyalah dia."
"Baiklah, anggap saja pasti dia," balas Louie, "lalu pihak sheriff belum berhasil menemukan jejaknya?"
"Kudengar di berita, sempat ada perlawanan dari kedua korban bahkan mereka menggunakan pistol karena setelah diselidiki, George menyimpan pistol dan sering dibawanya ke mana-mana terutama kalau nongkrong malam hari," kata Theodore seraya mengusap kepala Viole yang diselimuti tudung jaket karena sejak tadi lelaki itu tidur, tetapi terlihat gelisah.
"Kau benar," kata Emma, membuat murid lain semakin mendengarkan obrolan mereka. "Ayahku berkata jika George dan Bradh sempat melawan, ada baku tembak di bangunan tua itu karena dindingnya ada bekas tembakan peluru. Setelah diinvestigasi lagi, George memang menyimpan beberapa pistol di kediamannya."
"Gila, untuk apa dia menyimpan banyak pistol padahal hanya warga," balas Louie.
"Shit, ini Amerika, legal saja ada toko senjata, selagi kau di atas umur atau bukan minor. Hal lumrah kau bisa beli senjata api," balas Theodore.
"Terlepas dari itu, jika ada perlawanan, bukankah setidaknya si Bloodied Tortuner terluka, misal tertembak meski meleset, lalu ada jejak darahnya?" kata Sophia.
"Sayangnya tidak ada," kata Emma, "sheriff Jude dan rekannya memeriksa sampel darah, hanya ada darah Bradh dan George. Pelakunya kemungkinan tidak terluka sama sekali."
Sungguh di luar nalar dan logika! Sebagian besar murid berpendapat seperti itu setelah mendengar pernyataan Emma. Normalnya meski dalam sebuah film aksi dan kriminal jika ada aksi baku tembak antara polisi dengan penjahat atau tokoh utama melawan penjahat. Setidaknya si penjahat akan terluka meski tergores atau terjungkal, jatuh, tertembak bahkan tersudutkan meski sebentar saja. Namun, dalam kasus ini, si pembunuh selalu berhasil menghidari kematian dan selamat bahkan sehat tanpa luka gores sedikit pun.
"Jangan kaget," balas Sophia, "jika Pelakunya si Bloodied Tortuner. Barangkali dia bisa membaca gerakan lawannya karenanya dia tak pernah berhasil dilukai."
"Ini bukan cerita fantasi atau anime seperti Sasuke yang menggunakan sharingan." Seorang murid membalas.
"Ett, masih ada ævoltaire, hayoloh, lupa lho. ævoltaire itu kayak fiksi, tapi nyatanya ada di dunia ini, benar bukan?" balas Sophia membuat mereka jadi berpikiran hal yang sama sementara Louie dan Emma hanya diam. Mereka diam membisu.
"Kalau semisal si pembunuh adalah ævoltaire, 1.000 polisi pun takkan bisa menangkapnya," balas Louie.
"Kenapa tidak minta bantuan dari sesama ævoltaire untuk melawan si dia." Murid lain berujar, sengaja menyensor nama si pembunuh, takut kalau disebut nanti datang ke sekolah mereka.
"Kurasa sulit, perusahaan itu hanya peduli pada kesejahteraan ævoltaire-nya dan penelitian mereka," sahut Theodore.
"Kaum elite selalu mendominasi," sahut murid lain.
"Kau benar, aku takkan heran jika semisal ada alien menginvasi atau ada wabah zombie, hanya mereka yang selamat sedangkan kita binasa." Louie menatap pada Viole yang perlahan mendongak dan menegakkan tubuhnya. "Are you okay?"
"I think I had fever," ujar Viole.
"You sure?" Theodore yang di dekat Viole, lekas menyentuh dahi Viole dengan punggung tangannya. "Oh shit, dahimu panas."
"Kau sakit?" ujar Sophia, lekas menyentuh dahi Viole juga. "Kau terbakar! Cepat ke klinik sekolah."
"Aku tak kuat jalan." Satu kalimat terucap dan Viole tak sadarkan diri tiba-tiba. Membuat mereka panik dan segera Theodore menggendong Viole di punggungnya lalu lekas ke klinik sekolah.
****
Setengah jam berlalu semenjak Viole dilarikan ke klinik sekolah yang dijaga oleh Amelia. Kini jam pelajaran berlangsung sementara Viole diizinkan untuk tak ikut pembelajaran. Ia sengaja tidak dibawa pulang karena tidak ada juga yang merawatnya di apartemennya, jadi Viole akan beristirahat dan dirawat di klinik sekolah dahulu, jika sudah jam pulang, teman-temannya akan membawanya pulang dan merawat Viole semisal lelaki itu masih demam tinggi.
"Iya aku kaget saat dia dibawa ke sini dalam keadaan pingsan," ujar Amelia, terlihat earpod tanpa kabel terpasang di kedua telinganya. Ia mengobrol dengan Catherine. "Demamnya tinggi banget, teman-temannya tidak tahu kenapa dia bisa demam, padahal kemarin baik-baik saja. Mungkin pas malam tadi demamnya tinggi, tapi dia memaksakan tetap sekolah."
Catherine yang sedang istirahat karena selesai memeriksa para orang tua di panti jompo. Ia berujar, "apakah dia tak punya kerabat? Dia benar-benar tinggal sendiri?"
"Waktu itu dia sempat cerita kalau dia yatim-piatu, terus tinggal sendiri, katanya ada kerabat, tapi kerabatnya di luar kota," balas Amelia, seraya menyusun obat-obatan ke dalam lemari karena selesai digunakan.
Gadis cantik itu terlihat mengenakan kemeja hijau yang dilapisi vest warna hijau, tetapi lebih tua dengan ada garis-garis putih, lalu dipadukan dengan celana putih panjang.
"Pasti berat hidupnya," kata Catherine di seberang sana. Ia dan Amelia serta sahabatnya yang lain sudah terbiasa hidup mewah dan kebutuhan terpenuhi bahkan orang tua masih ada serta sehat sentosa. Jadi tak pernah mereka merasakan hidup susah, sedikit pun. "Beruntungnya dia anak baik dan multitalenta. Bayangkan kalau manja seperti kita, sepertinya sudah menangis setiap hari."
"Oh hello ... aku bukan anak manja," balas Amelia, "yeah, tapi aku akui kalau memang tak bisa hidup tanpa uang ayahku, tapi aku masih bisa mandiri dan berdiri dengan kaki sendiri tanpa mengemis cinta orang lain dan bukan perempuan bodoh yang bisa dimanipulasi."
"Yes, itu kamu," balas Catherine, "tapi tetap bodoh kalau nyentuh dapur, bukan berhasil masak lasagna, malah kompornya kebakar."
"Tolong ambil cermin sweetheart, kau pun sama."
"Sorry, aku masih bisa masak beberapa makanan, tidak sepertimu yang hanya tahu makan saja, beruntungnya kau bukan picky eater."
"Aku memang bodoh dalam memasak Cathy." Amelia tersenyum. "Karena itu aku perlu mencari suami yang pandai memasak untuk menutupi kekuranganku."
Kini Amelia duduk di kasur, tepat di samping Violetta. Lelaki itu berbaring dengan damai, napasnya teratur, wajahnya ketika tidur tetap tampan, cantik, dan imut. Dia ibarat pangeran dalam dongeng, jadi yang terbaring bukanlah tuan putri, melainkan sang pangeran. Di dahinya menempel kompres penurun demam, lalu jaketnya dilepaskan oleh Theodore tadi karena kasihan jika mengenakan jaket, nanti badannya malah terasa semakin panas.
"Memangnya ada, laki-laki idamanmu itu?" balas Catherine, "jika pun ada, memangnya dia mau denganmu?"
"Sweetheart, aku Amelia Psyche Cassiopeia, gadis paling cantik di kota Erysvale. Many people obsessed with me." Perlahan ia menyeka poni panjang Viole agar tak menutupi dahinya. "Lagi pula, aku sudah temukan laki-laki yang bisa memasak untukku."
"Shit, kau gila dan menyeramkan, berhenti menggoda laki-laki itu jika kau hanya mempermainkannya saja," sahut Catherine.
"Kapan aku berkata jika aku mempermainkan dia?" balas Amelia seraya mengusap pipi Viole. "Cathy, bagaimana bisa ada laki-laki yang kulitnya semulus bayi? Kuyakin anak ini rajin merawat kulitnya."
"For God's Sake, Amelia berhenti. Dia masih muda, minor, kau bisa terkena sanksi sosial jika terus mengusiknya," balas Catherine, "orang-orang bisa membencimu. Andai kata, hidup kita ibarat novel, maka pengarangnya yang akan dihina pertama dulu oleh para pembaca kemudian kau akan dimaki-maki sampai mati."
Hening sesaat terdengar. Amelia tahu jika perbuatannya salah, tetapi ia tak tahan untuk menggoda lelaki ini bahkan Viole selalu berhasil memperbaiki suasana hatinya yang buruk. "Aku akan berusaha untuk tak berpacaran dengannya, janji. Namun, aku akan berdoa agar dia jadi jodohku di masa depan nanti."
"Pembohong, jalang," balas Catherine.
Tawa kecil Amelia terdengar di panggilan telepon. "Setidaknya Viole bukanlah cowok red flag dalam fiksi remaja yang masih muda sudah merokok, menggunakan tato, minum minuman keras, senang menjadikan perempuan sebagai bahan taruhan, ketua geng motor atau ketua kelompok mafia, eww disgusting. Lalu playboy yang disukai banyak perempuan terus bangga gitu jadi playboy, dikutuk kelaminnya putus baru tahu rasa. Mengapa orang-orang menyukai para cowok seperti itu, girls, jika di dunia nyata ada cowok seperti itu mendekatimu kemudian kau tersakiti, kuyakin mereka akan menangis pada Tuhan, menganggap hidup tak adil, dan ujung-ujungnya merasa jika hidupnya paling menyedihkan. Like what, they're such a fucking foolish one."
"Amelia." Catherine terkejut, tapi hendak tertawa pula.
Amelia terkekeh, ia terus menyisir perlahan setiap helai rambut Viole. "Come on, Viole ini ibarat berlian di dasar Palung Mariana! Asalkan kau tahu jika di umur semuda ini, dia sudah paham dan sadar akan isu-isu sosial masyarakat di lingkungan. Dia bahkan anti-patriarki dan anti-misoginis, dia sendiri yang bercerita jika dia mendukung emansipasi wanita, dia feminis dan sering baca buku feminis, bahkan paham apa itu kesetaraan gender, ketidakadilan gender, dan tahu bagaimana memperlakukan wanita dengan terhormat. Okay dia memang agak menyebalkan padaku karena aku yang membuatnya kesal, tapi jika dia jatuh cinta pada perempuan, bukankah perempuan itu akan sangat beruntung. Dan tebak, perempuan itu kelak adalah aku. Hanya aku dan selamanya aku. Laki-laki green flag ini akan jadi milikku."
"Sorry, but you're the red flag," balas Catherine yang seolah-olah menusuk jantung Amelia.
"Bitch," balas Amelia jadi kesal.
"Listen, aku kenal kausejak kita di bangku sekolah dulu." Catherine sebagai sahabat, meski ia jahat juga, ia tak mau jika Amelia terjatuh karena tindakannya sendiri. "Aku tidak tahu apa yang ada di pikiranmu ketika kaumemutuskan mencintai si Violetta ini, tetapi jika kau hanya ingin mempermainkannya, kau harus berhenti sebelum dia mencintaimu kembali. Aku memang bukan orang paling suci, tetapi mengetahui Viole dari ceritamu dan Francesca, kurasa manusia sepertinya sangat disayangi Semesta dan jika karma berjalan, maka kau bisa saja jatuh sangat-sangat sakit dan aku tak mau melihat sahabatku sakit."
Hening cukup lama.
Catherine menunggu Amelia menyahut, tetapi tak ada jawaban. "Amelia."
"Cathy, can I kiss Violetta, right now? Mumpung dia tidur."
Semesta, tolong beri Catherine ketabahan menghadapi Amelia. "Without consent maka sama saja dengan pemerkosaan. He will hate you and I'm first will hate you."
Amelia tersenyum. "Baiklah, aku takkan melakukannya, memandangnya dan mendengar celotehan dan kesalnya padaku saja sudah cukup untuk memperbaiki suasana hatiku jika buruk."
"Kurasa kita sudahi obrolan ini, Krystal berulah lagi, sialan dia bertengkar dengan nenek-nenek," ujar Catherine dan ia bisa mendengar kekehan Amelia. "Ingat okay, without consent sama seperti pemerkosaan. Jika kau ingin si Violetta green flag itu, maka ubah dirimu jadi baik juga."
"Okay, bye, bye Cathy-ku!" kata Amelia, "lagian aku pernah sekali cium pipi dia dan dia tidak marah lho."
Detik itu, terdengar di panggilan telepon; suara teriakan Catherine. "FOR GOD'S SAKE! AMELIA CASSIOPEIA, I WILL KICK YOUR ASS---" Namun, tidak sampai selesai amarah Catherine didengar Amelia karena dia lekas memutuskan sambungan telepon tersebut.
Kini dia tersenyum manis pada Viole yang masih berbaring dan tidur sangat nyenyak. "Apakah kau begadang tadi malam, Pretty?" Ia kini sedikit jaga jarak, tetapi tidak berhenti menatap wajah Viole. "Padahal sudah janji lho sama aku untuk nggak begadang lagi. Terus sekarang kenapa malah sakit? Tadi kamu demam tinggi, untungnya sekarang agak turun karena kalau masih demam tinggi, terpaksa kuculik kamu ... ke rumah sakit tentunya."
Amelia sesaat menatap pada lebam biru di leher Viole meski sudah agak pudar, ah baru ia sadar jika ada lebam biru. "Kamu nggak self harm-kan pretty? Mustahil sih karena kamu kayaknya bukan tipe orang yang dikit-dikit mau mati, nggak kayak aku yang kadang nyakitin diri sendiri ...." Ada jeda sesaat. "Semoga ini cukup kecelakaan saat memasak yaa. Dulu aku pernah buat paha Sebastian merah karena sedikit kesiram air mendidih, jadi setelahnya aku nggak boleh ikut bantu di dapur lagi."
Perlahan Amelia menarik kursi, duduk di sana seraya melipat kedua tangannya di atas kasur dan merebahkan kepalanya di lipatan tangan itu, tak berhenti memandangi Viole. "Kenapa ya cowok-cowok yang kukenal lebih pandai memasak dibandingkan aku? Aku bahkan sama sekali nggak bisa? Kalau aku curhat di media sosial, pasti sudah di-hate komen kalau memasak itu basic skill, bare minimum, bla bla bla, tapi mereka nggak salah, aku memang payah dalam memasak. Karena itu pengen punya pacar kayak kamu."
Amelia menguap dua kali, ia mengantuk, perlahan menutup kedua matanya. "Pretty, kenapa kamu seperti pangeran dalam fiksi yang ditulis pengarang perempuan? Terus kamu beneran nyata lagi, bukan karakter fiksi. Oh Tuhan, makasih sudah menciptakan manusia kayak kamu." Ia pun tertidur sebentar.
****
Kini Viole menatap sinis dengan bersungut-sungut pada seorang gadis rambut cokelat di hadapannya yang membawa semangkuk sup dan segelas air hangat.
"Seharusnya aku dipulangkan saja, bukan dibawa kemari dan dirawat olehmu," ujar Viole.
"Jika kau sendirian di apartemen. Kau akan mati dalam keadaan demam tinggi karena tak ada yang merawatmu." Amelia meletakkan mangkuk sup dan gelas di nakas samping kasur. "Lagi pula kau harusnya berterima kasih padaku karena aku merawatmu selama hampir empat atau lima jam! Bukan menatap sinis seolah aku berusaha menjadikanmu kelabang seperti di film Human Centipede."
Gadis ini agak-agak miring otaknya kayak Sophia Reid si maniak horor. "Kau bilang berapa jam aku tidur. Bagaimana dengan kelasku?!"
"Kau diizinkan dari kelas dan begitulah kau tertidur seperti pangeran salju di kartun-kartun. Untung saja aku tak memberimu ciuman seperti alur ceritanya," balas Amelia mencari obat di lemari kaca.
Terlihat Viole menarik selimut untuk menutupi badannya. "Apa yang kau lakukan saat aku tidur? Apakah kau melakukan hal tak pantas dan melanggar norma padaku?! Dan hey!!! Mana jaketku?! Jangan katakan jika kau yang melepaskan---"
"For God's Sake, pretty! Theodore yang melepaskan jaketmu saat kau tiba di sini, dan aku tak melakukan hal tak pantas seperti apa pun isi pikiranmu itu, hampir." Amelia terkekeh mengejek.
"Hampir?! Aku akan melaporkanmu ke Mr. Xaviera, sekarang juga!"
"Sebelum kau melapor padanya, lebih baik isi perutmu dahulu karena kau belum makan apa pun sejak pingsan lima jam lalu," balas Amelia, "dan minum obatmu ini."
"Aku tak lapar," balas Viole, enggan makan apa pun yang diberikan Amelia.
"Bocah, kau harus makan," balas Amelia, "apa mau kupaksa dengan cara kasar, huh?"
"Aku bilang, aku-tidak-lapar!" Viole menekan setiap kosa katanya, tetapi detik selanjutnya, suara perutnya berbunyi cukup kencang, menandakan ia lapar, dan kini wajahnya memerah karena malu.
"Tidak lapar." Amelia mulai marah. Ia melangkah tegas seperti hendak menonjok seseorang di wajah. Persis di hadapan Viole. Amelia berujar dengan nada rendah, tapi penuh sarkasme. "Terus suara apa itu? Suara orang-orang tak bersyukur yang sudah diberi makan lezat, tapi disia-siakan dan dibuang-buang padahal di luar sana, ada ratusan bahkan ribuan manusia yang kekurangan makanan bahkan rela memungut tepung yang jatuh ke tanah agar bisa bertahan hidup. Dan kau di sini malah menolak makanan enak padahal hidup damai, aman, dan tentram!! Kau mau kupukul?"
Maka Viole menundukkan kepalanya seraya mengambil mangkuk sup di atas nakas dan mulai memakannya, terasa hangat dan lezat. "Maaf, bakal aku habiskan supnya."
"Goodboy," balas Amelia, "jangan lupa minum obat dan habiskan airnya juga. Setelah itu istirahat sebentar sampai Theodore menjemput okay?"
"O-okay." Sialan, kenapa Viole malah takut pada gadis ini?! Namun, aura gadis ini benar-benar menyeramkan. Viole lebih memilih bertemu Jason Voorhees dari film Friday the 13th dibandingkan melihat gadis ini berubah jadi seram dan penuh amarah.
"Tolong lindungi aku." Viole sempat-sempatnya berdoa.
Selagi makan, seorang murid laki-laki datang karena terluka saat latihan rugby, seingat Viole, tim rugby akan mengikuti pertandingan antara sekolah dari luar kota Erysvale. Amelia berjalan ke lemari obat, mencari perban dan obat luka serta antiseptik. Kini mata Viole memicing saat laki-laki yang terluka itu terus menatap Amelia, padahal gadis ini lagi tak mengenakan pakaian seksi, tetapi dia terus-menerus menatap Amelia bahkan diam-diam mengeluarkan ponsel untuk memotret Amelia.
Hal ini membuat Viole menggenggam erat mangkuk supnya lalu bergumam. "Once upon a time." Tiba-tiba saja lelaki rugby itu mendapat telepon dari seseorang, lekas ia angkat, lalu ia terkejut bukan main, dan langsung berlari dari sana meski kakinya terpincang-pincang.
"Hey, hey, kenapa kau kabur?!" teriak Amelia, tetapi lelaki tadi sudah menghilang saja. "Kenapa dia tiba-tiba berlari dan ketakutan?" Gadis itu menatap Viole yang sudah menghabiskan sup serta meminum obatnya.
"Entahlah." Viole mengedikan bahunya. "Dia takut padamu, barangkali."
"Wow, bisa-bisanya ada yang takut sama gadis tercantik dan seksi di Erysvale ini?" sahut Amelia.
"Terserah padamu." Viole lekas menarik selimutnya. "Aku sudah minum obat, mau tidur sebentar." Ia berbaring dengan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
"Pretty, kau tak kepanasan kalau seluruh tubuhmu ditutupi selimut bahkan kepalamu?"
"Aku akan baik-baik saja."
Amelia menghela napas. "Baiklah, aku akan naikkan suhu AC-nya saja. Silakan istirahat, aku ke toilet dulu sekalian menaruh mangkuk dan gelas ke cafetaria." Amelia beranjak pergi.
Sementara Viole di dalam selimut, ia tak tidur, ia malah menyentuh dadanya yang muncul bercak lebam biru yang terasa sakit ketika disentuh, lebam ini efek menggunakan kekuatannya tadi. "Kenapa aku harus menolong dia sampai menggunakan kekuatanku. Dia bahkan bukan siapa-siapaku, hanya orang asing tak jelas yang jadi dekat denganku." Ia bergumam kecil. Perlahan ia mengantuk, efek obat. "Ah pasti karena aku diajarkan untuk tidak diam saja kalau perempuan dilecehkan, tadi tindakan melanggar norma, bukan? Laki-laku rugby sialan itu hendak memotret Amelia diam-diam jadi aku selamatkan Amelia. Ya pasti karena itu."
Kini ia benar-benar hampir tertidur. "Sial, dirawat seperti ini, ternyata mengurangi boogeyman atau karena aku hanya tidur di malam hari ya jadi diganggu saat malam."
Selama ia hidup, Viole jarang tidur siang karena takut kesadarannya hilang dan diganggu boogeyman ketika siang hari, selelah apa pun tubuhnya, ia tak pernah tidur siang karena enggan harus meminum obat Nix siang dan malam. Namun, kali ini dia merasa bisa tidur dengan nyaman, mungkin. "Tolong jangan ganggu aku, beri aku tidur nyenyak, meski hanya sebentar."
****
"Byee, bye, jangan lupa istirahat yang banyak malam ini," ujar Amelia pada Viole yang akan pulang diantarkan oleh Theodore. Tadi sebenarnya Amelia yang mau antarkan Viole, tapi Theodore malah ngamuk.
"Ya, makasih banyak." Viole tersenyum tipis lalu dibalas kiss bye oleh Amelia, maka lekas Viole suruh Theodore tancap gas karena gadis itu kumat lagi.
Amelia tersenyum tipis, ia akan kembali ke klinik untuk mengambil barang-barangnya serta mengembalikan kunci klinik ke staf akademik. Saat dia masuk ke pintu utama, ia melihat seorang wanita rambut pirang dengan pakaian merah tengah tersenyum padanya.
"Sepertinya kau semakin dekat dengan Violetta," ujar Mrs. Rosalie, bibir merahnya terlihat jelas, sesaat Amelia hendak tertawa, ia tak suka make-up tebal dan menor seperti badut itu. "Apakah kalian bertemu selain di sekolah ini."
"Aku tak perlu menjawab pertanyaan seorang pedofil yang berusaha menyentuh Violetta-ku," balas Amelia, "permisi dan semoga harimu buruk." Ia melenggang pergi, sangat percaya diri dan meninggalkan Rosalie.
Detik itu tatapan Rosalie menjadi sinis dan jahat. Ia melirik Amelia yang perlahan-lahan menghilang di belokan koridor, tanpa ada yang sadar, Rosalie tersenyum, tiba-tiba ia menangkap seekor belalang yang melewati pandangannya kemudian memakan belalang tersebut hidup-hidup. Suara garing saat dikunyah terdengar seperti seseorang memakan keripik kentang.
"Sebelum aku menculik si ævoltaire Violetta, pertama-tama aku akan membunuh gadis jalang itu terlebih dahulu. Lihat saja nanti, siapa yang harinya akan lebih buruk!" Maka lekas ia pergi dari sana.
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
|| Afterword #14
Bagaimana dengan chapter ini? Mungkin sedikit trigger karena adegan berdarah dan penggambaran sedikit adegan ... tetapi beruntunglah karena Viole mampu melawan pikiran yang salah itu^^ Lalu mengenai mengapa Viole terluka sedemikian parahnya ya karena sang boogeyman. Sebenarnya serba-salah di posisi Viole ini, jika tidak minum Nix dia bakal diganggu oleh Boogeyman, tetapi jika terus bergantung pada obat Nix, sama saja seperti kecanduan obat-obatan. Sehingga keduanya sama-sama tidak baik ....
Lalu beri salam untuk sang Nenek Penjual Bunga yang mengapa tampak mencurigakan ya? Mungkinkah seperti yang Viole katakan bahwa bukan manusia seperti pada umumnya?
Mengenai sifat Amelia, dia masih cukup abu-abu karena mengapa begitu mudahnya jatuh cinta? Apakah benar-benar tulus atau hanya sekadar penasaran? Tapi kemungkinan tulus:) Lalu mari telisik lebih dalam percakapan Amelia dan Catherine tadi yang menyebutkan tentang consent atau persetujuan^^ Mudahnya adalah segala sesuatu itu butuh persetujuan karena jika lawan jenis menyentuh kita tanpa persetujuan atau mengarah pada hal-hal melanggar norma sudah bisa dikategorikan sebagai pelecahan seksual lho .... atas inilah kenapa Amelia diperingatkan begitu, apalagi perbedaan umur mereka, haha....
Meskipun ada age-gap, tapi novel ini berfokus pada thriller, horor, dan superpower, hanya saja tetap berusaha ditulis dengan memberikan beberapa pembelajaran, jadi mohon bijak membaca^^
Teruntuk Mrs. Rosalie, tampaknya sudah berniat membunuh seseorang, apakah ia berhasil ataukah ada hal tak terduga terjadi nanti?
Prins Llumière
Minggu, 16 September 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top