Chapter 42: Sexy Gym Girl

Sabtu siang Viole dan teman-temannya memutuskan untuk ke rumah Emma, selain mengerjakan tugas sekolah, mereka juga diundang oleh ibunya Emma untuk makan siang karena beliau hendak membakar daging atau membuat barbeque. Maka di sinilah Viole berada dengan menaiki motor Theodore sementara Sophia, Emma, dan Louie menaiki uber, mereka semua berangkat dari apartemen Viole.

Pada hari ini, tema baju yang Viole kenakan adalah warna cerah, yakni kaos berwarna kuning dengan kedua tangannya warna putih, lalu ia mengenakan celana kain warna hitam dan mencapai mata kaki serta sepatu berwarna kuning senada dengan warna bajunya. Outfit-nya sungguh sangat bertentangan dengan milik Theodore yang lebih berwarna gelap atau biru tua.

Sesampainya di rumah Emma, mereka disambut dengan baik oleh ibunya. Memberikan beberapa sapaan lalu mengobrol singkat, setelahnya mereka segera ke kamar Emma untuk beristirahat sejenak sebelum lanjut mengerjakan tugas fisika, biologi, matematika, maupun tugas mata pelajaran filsafat. Ya, terkejut bukan karena di sekolah mereka ada mata pelajaran filsafat dan baru ada dua tahun terakhir mengikuti kebijakan baru. Perlu diketahui jika Viole termasuk mahir dalam mata pelajaran ini terutama ia sering membaca novel yang berelevansi dengan filsafat maupun ideologi yang dituangkan oleh pengarangnya.

"Kurasa Viole ahlinya di tugas kali ini," ujar Louie.

Theodore lekas mengangguk. "Sekarang cari jawabannya, aku hendak lanjut main game."

"Maaf, tapi kau punya otak 'kan? Gunakan otakmu itu," sahut Viole seraya menggulir ipad-nya. "Lagi pula tugas filsafatnya sangat mudah, membuat sinopsis dari novel yang terdapat filsafat di dalamnya!"

"Masalahnya aku tak suka membaca novel!" ujar Theodore merasa frustrasi, ia paling benci tugas yang berkaitan dengan banyak buku dan tulisan. Sebenarnya ia benci semua mata pelajaran.

"Aku juga, jarang baca karena tidak ada waktu membaca buku, terlebih dulu aku kerja part-time." Louie juga mengaku dengan jujur. Meskipun kini ia sudah tak kerja part-time---karena ibunya yang bekerja---Louie tetap tidak tega menghabiskan banyak uang untuk beli sesuatu yang bukan kebutuhan penting.

Viole menghela napas. "Bagaimana dengan kalian berdua?"

"Aku jarang baca buku juga," balas Emma nyegir.

"Aku suka!" teriak Sophia sambil mengangkat tangannya.

"Sure, Thank's Goddess karena masih ada kau---"

Sophia berujar lagi. "Tapi baca novel thriller, horor, atau fantasi, kalau novel selain itu, aku nggak suka."

"I hate you all!" balas Viole sedikit meninggikan suaranya. Ia sangat kesal. "Mengapa orang-orang di dunia ini bodoh dan tak suka membaca buku?"

Waktu akhirnya berlalu, mereka mengerjakan tugas sekolah secara berurutan dimulai dari tugas Fisika, Matematika, dan lainnya terakhir baru tugas filsafat karena Viole harus sambil mengingat novel apa saja yang terdapat filsafat di dalamnya entah filsafat apa pun itu apakah filsafat dari Marxisme dan lainnya. Ketika mengerjakan tugas yang memiliki soal berhitung, mereka bagi tugas agar mudah, semisal Theodore mengerjakan nomor satu sampai lima, sedangkan Louie dari nomor enam sampai sepuluh, dan seterusnya seperti itu sampai semua dapat soal masing-masing. Meskipun begitu, bukannya pekerjaan mereka jadi lebih mudah, tetapi mempersulit Viole karena dia harus mengoreksi pekerjaan teman-temannya yang ternyata banyak salah!

"Kalian sebenarnya memperhatikan guru atau tidak kalau di kelas?" ujar Viole tersenyum, tetapi tidak terlihat kebahagiaan di senyumannya itu.

"Aku tidur," balas Theodore kembali fokus bermain game di ponselnya.

"Perhatikan, tapi bingung," kata Louie.

"Aku sambil catat materi kok, cuma kadang nggak paham," sahut Emma.

Sementara Sophia diam sejenak, lalu berujar, "aku selalu perhatikan penjelasan guru."

"Tapi pikiranmu ke mana-mana," balas Viole.

Sophia terkekeh kecil. "Iya, aku mikir mau nonton film apa atau nonton channel YouTube yang bahas hal-hal mistis atau kasus mengerikan di kehidupan nyata."

"Persetan kalian semua," ujar Viole. Percuma kalau hendak mengamuk, hanya membuang tenaganya saja. Jadi dia memutuskan untuk mengoreksi pekerjaan teman-temannya selagi yang lain lanjut mengerjakan tugas lain dengan metode yang sama yakni masing-masing dapat soal dan Viole akan kembali memeriksa tugas mereka.

"Viole romantis deh kalau punya pacar nanti, act of service gitu karena bantu kerjakan tugas meski marah-marah," kata Sophia lekas ditatap yang lainnya bahkan Theodore sampai mendongak dari ponselnya karena diam-diam main game padahal disuruh mengerjakan tugas.

"Shut the fuck up," sahut Viole dengan datar. "Aku kasihan jika kau punya pacar karena pacarmu akan lelah mendengar ocehanmu membahas film horor dan kau tidak berguna melakukan apa pun. Bahkan untuk sekadar menghitung dua tambah dua."

Entah mengapa ibarat ada ribuan belati tajam menusuk dada Sophia, begitu pula yang lain, merasa kalau perkataan Viole ibarat belati diasah berjam-jam untuk menusuk dada mereka dengan sengaja. "Nggak boleh mengejek gitu, lagian aku ahli memecahkan kasus kok!"

"Case your ass," sahut Viole.

"Violetta jahat!" Sophia berdiri dan memukuli Viole dengan bantal. "Jangan jahat-jahat sama cewek! Cewek tuh hatinya kayak porselen mudah hancur."

"Sophia, stop it!" teriak Viole, "oh Goddess, I'm sorry, please stop it!"

"Bicara soal kasus, semalam ada kasus pembunuhan di pom bensin, termasuk dekat perbatasan kota sih, tapi masih masuk daerah Erysvale," ujar Emma. Ia mengecek berita tersebut tadi pagi.

"Yeah, aku juga dikabari temanku soal berita ini," ujar Theodore berhenti main game. "Pembunuhnya mengenakan topeng kelinci goni, kurasa itu dia."

"See!" teriak Louie, "ini karena kalian terus menyebut namanya semalam, jadi dia benar-benar keluar dan mencari korban lagi!"

"Motherfucker Louie, ada ribuan manusia di Kota ini, mustahil jika hanya kita yang menyebut namanya," ujar Theodore, "lagi pula jika karena kita, seharusnya pembunuh itu hampir dekat dengan apartemen tempat Viole tinggal."

"Tapi tetap saja, kita harus waspada---"

"Jujur, aku tak terlalu percaya dengan teori konspirasi tentang sebut namanya maka dia akan datang," ucap Theodore, kesal sebenarnya ia karena seolah-olah rumor ini menanamkan ketakutan pada orang-orang. "Apalagi teori konspirasi dari si maniak horor itu!"

"Hey kenapa aku lagi yang kau salahkan?!" ujar Sophia berhenti memukuli Viole yang sudah terbaring di lantai. Kini bisa bernapas lega, tetapi bajunya jadi awut-awutan.

"Yeah, aku tahu kau sering muncul di kolom komentar beberapa sosial media dan ikut nimbrung teori konspirasi si Bloodied Tortuner," balas Theodore.

"Oh ayolah!" teriak Sophia, "aku ikut nimbrung karena kejadian pembunuhan itu dekat dengan nadi kita, berada di depan mata, aku ikut nimbrung untuk waspada juga, lagi pula kasus pembunuhan ini terjadi di kota ini!"

"Tenanglah guys," ujar Viole. Mereka pun jadi tenang. "Biarkan Sophia melakukan apa yang ia senangi, tak masalah ikut berteori konspirasi, tapi secukupnya saja, lagian dengan ini jadi lebih aware sama masalah di lingkungan kita." Viole merapikan pakaiannya. "Terus apa yang mustahil terjadi karena kita tahu kalau manusia sejenis ævoltaire saja hidup berdampingan dengan kita."

Mendengar hal itu, yang pertama hening adalah Emma dan Louie karena mereka tahu kebenarannya. Sementara Theodore masih kesal. "Okay, aku paham, ya aku tak menyalahkan Sophia jika sering ikut nimbrung dengan orang-orang yang suka berteori konspirasi mengenai apa pun itu, tapi dia sudah kelewat batas seolah-olah kita berada di film fiksi thriller!"

"Kita semua tokoh utama dalam hidup kita masing-masing," balas Sophia.

Theodore lekas menyahut, "tapi kau sering berpikir jika kita tokoh utama seperti dalam series Umbrella Academy atau Harry Potter! Apakah kau pikir kita ini adalah sekelompok anak yang akan terlibat menyelesaikan kasus atau survive dari masalah besar di dunia ini? Seolah-olah salah satu dari kita adalah tokoh utama dalam novel fiksi terus punya kekuatan super, huh?! Lalu kita berjuang bersama menyelamatkan dunia atau diteror pembunuh seperti di film Scream, The Purge, atau Halloween!"

Viole adalah tokoh utamanya dan ya ia punya kekuatan super, setidaknya itulah yang digumamkan Louie dan Emma. Sementara empunya hanya diam saja. Viole sudah salah menyinggung hal ini terutama Sophia terlalu banyak akal dan imajinasi, tetapi selalu telak ke relung dada.

"Lalu sebulan lalu, kau kira apa?!" sahut Sophia, maju selangkah hingga ke depan Theodore. Tangannya terkepal kuat, tapi gemetar. Begitu pula suaranya. "Kau pikir, kejadian pembantaian sebulan lalu hanyalah imajinasiku saja? Tidak!! Semua itu nyata! Ketika kau pergi untuk membawa Chelsea pergi karena kakinya tertembak. Aku kembali menolong Viole dan kau tahu apa yang kuhadapi? Aku hampir mati tertembak, kejar-kejaran hingga ke toilet, dan aku membunuh seseorang menggunakan panah! Membunuh!!! Aku bunuh dia dengan panah kemudian kupukul berkali-kali menggunakan badan senjata api hingga dia mati!"

Mereka semua terdiam ketika Sophia kehilangan senyumannya dan mulai menangis. "Aku bunuh dia ... kau pikir aku tidak takut apa? Aku trauma!! Pada malam tertentu, saat aku hendak tidur, aku terus terbayang wajah dan tubuhnya yang bersimbah darah karena aku membunuh dia! Aku hanya anak SMA berumur 15 tahun yang tak pernah terbayangkan dalam hidupku kalau aku harus survive dari para teroris gila kemudian aku membunuh salah satu dari mereka!"

Manik matanya memerah, ia terus terisak, membuat Emma dan Louie juga mulai menangis bahkan Theodore terpaksa mencengkeram kuat pahanya untuk tak menangis juga. "Aku berusaha tersenyum dan terlihat baik-baik saja, berakting seperti orang bodoh saat ada berita yang mempertanyakan siapa yang membunuh para teroris, aku bersikap normal di depan kalian karena aku tak ingin melihat kalian bersedih karena aku tahu jika kalian juga berusaha bersikap baik-baik saja setelah melalui semua kejadian gila itu!"

"Sophia," panggil Louie yang sudah tak bisa membendung tangisnya.

"Diam, diamlah, aku benci saat seseorang berkata jika aku terlalu berlebihan dengan segala isi kepalaku padahal isi kepalaku tidak sepenuhnya salah. Kita hidup di dunia yang adanya ævoltaire, banyak dari mereka yang juga jadi pembunuh gila jadi bukan sekadar perampok atau orang mabuk di jalanan sana! Kita hidup berdampingan dengan pembunuh berantai yang berkeliling Negara Bagian dan tak satu pun berhasil menangkapnya, lalu kau berkata agar aku hidup normal saja? Bagaimana mungkin? Jika aku tak punya kekuatan super atau ahli senjata tembak, setidaknya aku harus mengetahui banyak informasi untuk mencegah kemungkinan buruk terjadi karena aku tak mau kehilangan orang-orang yang kusayangi lagi!"

Lekas Emma berdiri dan mendekap sahabatnya itu, ia berusaha menenangkan Sophia yang tak karuan tangisnya membasahi pipinya. "Kita anggap fiksi dalam novel hanyalah sekadar imajinasi pengarangnya, tapi kita lupa jika perusahaan Æthelwulfos dan ævoltaire itu nyata, bukan sekadar tulisan pengarang! Our lives are not little fairytales, so they may not always end happily like the tale of princess marrying her prince!"

"Cukup, Sophia, cukup, kami paham rasa takutmu, kami juga takut," ujar Emna, "sayangnya kami tak sekuat dirimu, kami juga berusaha menutupi rasa takut kami, tapi tidak sepertimu yang masih bisa mengkhawatirkan yang lain dan mencari cara agar kita tidak terlibat dengan hal-hal gila seperti bulan lalu."

Sophia mendekap Emma. "Aku benci Tyler dan lainnya, tapi mereka tak seharusnya mati seperti itu. Andai aku bisa sekuat orang-orang, aku akan lakukan apa pun untuk melindungi mereka terutama kalian."

"Maafkan kami," ujar Louie.

"Aku jarang punya teman, mereka benci mendengar celotehan dan isi kepalaku yang berisik ini. Kini aku bertemu kalian yang mau nerima isi kepalaku meski kalian terkadang kesal, tapi aku tak masalah selagi kalian tak membenciku. Aku bersyukur punya kalian, bahkan berani menghadapi teroris gila untuk memastikan jika satu sama lain selamat." Sophia menenggelamkan wajahnya ke bahu Emma, ia malu wajahnya dilihat yang lain. "Aku takut jika sesuatu menimpa kita karena tak mungkin hal buruk tidak mendatangi kita selagi Bloodied Tortuner masih berkeliaran. Aku takut dan aku belum siap jika orang-orang yang kusayangi terluka."

"Aku tahu perasaanmu," ujar Emma, "aku punya ketakutan yang sama. Aku takut setiap ayahku pergi untuk menginvestigasi kasus, meski dia berselingkuh dan akan cerai dengan ibu, tapi aku menyayanginya. Aku takut jika kita harus bertahan hidup seperti sebulan lalu, kau tidak sendiri, kami di sini punya kekhawatiran yang sama."

"Emma benar, aku minta maaf jika ada kata-kataku yang menyakitimu, sejujurnya aku kesal kalian menyebut nama pembunuh itu karena aku tak ingin dia datang, aku takut jika kita terluka lagi," ujar Louie.

Sementara Theodore menghela napas. Ia bisa menahan tangisnya. "Baiklah, baiklah, aku bersalah! Aku kesal pada sifatmu, tapi aku bukan benci, kau boleh lanjutkan investigasi atau ikut nimbrung teori konspirasi entah tentang Bloodied Tortuner atau ævoltaire atau apa pun itu, tapi secukupnya saja jangan sampai kau terlibat hal-hal berbahaya atau kultus maupun sekte sesat."

"Kau ngomong ngelantur, aku tidak mungkin bergabung dengan sekte sesat, aku tak bodoh," balas Sophia.

"Entahlah! Terserah! Maksudku seperti yang kau katakan jika sebulan lalu saja teroris menyerang sekolah jadi bukan hal mustahil jika kita bertemu si pembunuh gila itu atau ada sekte sesat hendak menjadikan kita tumbal!" Theodore kembali berbaring di kasurnya Emma.

"Baiklah aku paham." Sophia menyeka air matanya. "Intinya kita harus berhati-hati, terutama ada Viole di sini, kita harus melindunginya."

"Kau benar," sahut Emma cepat.

"Kenapa aku pula?" balas Viole yang sejak tadi paling diam, saat yang lain emosi dan saling sahut-menyahut, lelaki itu malah sibuk makan cokelat.

"Kau itu punya ciri-ciri tokoh utama dalam series thriller atau horror, paling pendiam, cuek, cerdas, tapi selalu jadi gravitasi siapa pun di sekitarmu," ujar Sophia.

Mulai lagi si Sophia dengan segala isi kepalanya yang unik, mereka hanya perlu memakluminya, lagi pula tak sepenuhnya salah. "Yeah, jika hidup kita film tema Teeneeger di Netflix, kuyakin Viole adalah tokoh utamanya." Louie berujar, lagi pula ia tak salah, Violetta adalah ævoltaire, dia patut jadi tokoh utama meski lebih berharap hidup mereka hanya sekadar tokoh figuran agar tak terlibat hal-hal gila.

"Aku tak mau jadi tokoh utama," ujar Viole, "biarkan aku jadi NPC di game saja."

"Sayangnya mereka benar, kau seperti punya magnet yang menarik segala hal yang baik atau buruk, contohnya saja sekarang kau menarik gadis gila dari Kedokteran Klinis itu," balas Theodore, ia paling membenci Amelia.

"For God's Sake! Salahkan gadis gila itu karena menghampiriku duluan!" teriak Viole.

"Dia begitu karena wajahmu," sahut Sophia.

"Terus kalian menyalahkan wajahku huh? Katakan hal itu pada Tuhan, kenapa aku diberi wajah ini, semua ini bukan keinginanku, tapi atas Kehendak Yang Maha Kuasa!" balas Viole. Mereka tertawa karena lelaki itu terlihat marah, tapi wajahnya malah imut dan menyebalkan.

"Err, tapi sejujurnya, gadis bernama Amelia itu memang cantik sih, aku saja yang perempuan iri padanya," ujar Emma yang seketika tawa mereka lenyap.

"Tidak," ujar Louie, Theodore, dan Sophia secara bersamaan bahkan nada dan intonasi mereka juga serupa.

"Oh okay." Emma merasa jika teman-temannya ini memang protektif pada Viole. "Tapi aku tak mendengar jawaban Viole."

"Dia tidak cantikkan menurutmu?" ujar Louie.

"Sifatnya mirip dengan Dolores Umbridge," balas Sophia.

"Bukankah lebih mirip dengan Cersei Lannister?" balas Theodore, baiklah ia anggak berlebihan, tetapi ia paling benci si wanita jalang di series Game of Thrones itu.

"Apa jawabanmu?" ujar Emma.

Viole menghela napas. "Pertama, jangan pernah menyamakan gadis itu dengan tokoh sejahat Dolores Umbridge, terutama Cersei Lannister, aku tak selesai menonton filmnya, tapi aku tahu dia wanita yang sangat buruk. Kedua, Amelia memang menyebalkan, tetapi jangan mudah menilai seseorang. Ketiga, dia hanya menyusahkan diriku dan kalian juga meski sedikit, tetapi jangan menanam kebencian berlebihan padanya karena kita tak tahu aslinya dia bagaimana."

Mereka hening, tak menyangka jika ada sedikit pembelaan dari Viole untuk Amelia. Yeah, meski mereka salah karena sampai membandingkan Amelia dengan tokoh menjijikan seperti Dolores Umbridge dan Cersei Lannister. "Baiklah, apakah ada lagi?" ujar Sophia.

"Keempat, aku lapar."

Lalu mereka tertawa kencang. "Kalau begitu ayo makan, kuyakin ibuku sebentar lagi meminta kita membantunya untuk memasak daging. Namun, tunggu dulu ... kau tahu Cersei Lannister?"

Langsung hening, Viole mengangguk.

"FOR GOD'S SAKE, VIOLETTA, KAU MENONTON FILM SIALAN ITU?!" Emma seketika berteriak.

"Aku tidak selesai menonton, lalu sebagian filmnya sering dibahas warganet, terus aku fokus baca novelnya," ujar Viole kini jadi gugup.

"Shit, bukankah baca novelnya jauh lebih parah," sambung Sophia.

"Iya, maksudku tidak!" teriak Viole kini dia melihat Emma sudah memerah seperti hendak meledak sementara Theodore dan Louie hanya menahan tawa. "Aku skip adegan ehem-nya kok, nggak aku baca." Suaranya jadi pelan di akhir.

"Tetap saja VIOLETTA! Tidak ada bedanya!" teriak Emma, "kalian berdua juga sama! Terutama kau Theodore, kau seharusnya tak menonton film itu!"

Kini selain sifat bapak si Theodore, muncullah sifat ibu dari Emma. Sialan, Viole bingung mengembalikan citranya, tetapi ia jujur dari lubuk hati terdalam jika ia tak melanjutkan novel maupun series Game of Thrones karena ada adegan yang tak bisa ia sebutkan serta novel itu banyak trigger-nya.

Setelah mengerjakan tugas. Mereka kini sibuk dengan mempersiapkan makan siang, Theodore dan Louie di halaman belakang dan menyalakan api untuk memanggang daging, mereka hendak membuat barbeque. Sementara Viole, Sophia, dan Emma sibuk di dapur mempersiapkan salad, minuman seperti jus jeruk, serta kue bolu rasa cokelat-keju sebagai hidangan penutup.

Perlu diketahui jika Viole awalnya hendak membantu memanggang daging, tetapi ibunya Emma, Mrs. Walter berkata jika ia tak tega Viole terpapar asap jadi wanita paruh baya itu menyuruh Viole di dapur dan Viole terima-terima saja, lagi pula permintaan seorang ibu harus dituruti, benar bukan?

"Lihatlah apa yang Ayah bawa?!" ujar Jeremiah yang datang ke dapur dengan membawa paper bag-nya berisi es krim.

"Ayah!" ujar Emma lekas mendekap ayahnya, menghirup aroma parfume yang sudah tergantikan dengan bau terik matahari, tetapi tak masalah karena Emma sangat bahagia kalau ayahnya kembali dari bekerja dengan selamat, tanpa kurang satu pun. "Ayah sehatkan?"

"Iya sayang, Ayah sehat," ujar Jeremiah, "ini es krim, makan sama teman-teman kamu."

"Makasih Ayah. Aku sayang Ayah!"

"Sama-sama sayang," ujar Jeremiah seraya mengusap kepala Emma setelah Emma meraih paper bag-nya.

"Kawan, ada es krim! Ayo makan es krim dulu sebelum meleleh!" teriak Emma lalu berlari ke halaman belakang, disusul Sophia, sementara Viole melirik sekilas pada Jeremiah yang mendatangi ibunya Emma.

"Hey," sapa Jeremiah.

"Hai," ujar ibunya Emma, "bagaimana kasusnya?"

Jeremiah mengambil gelas dan meminum air hingga habis. "Tidak kunjung ditemukan pelakunya, korban sudah dimakamkan, dan pom bensinnya ditutup untuk sementara waktu."

"Kalau begitu, ganti baju dulu, nanti makan dengan yang lain."

"Ya." Jeremiah segera pergi.

Viole lekas mendekati Emma, meraih es krim rasa vanila, memakannya dengan lambat seraya memikirkan orang tua Emma itu. "Ah jadi begitu yah kehidupan pasangan yang sudah tak mencintai lagi. Masih bertahan hanya untuk anak mereka, meski tak ada cinta antara keduanya, tapi cinta pada anaknya tetap tak berkurang. Aku banyak belajar setelah keluar dari ruangan putih, meski aku masih bingung."

Berhenti memikirkan kebingungannya, ia kembali fokus makan es krim, lalu melanjutkan tugas untuk menata piring-piring di atas meja kayu di halaman belakang sementara Theodore dan Louie fokus pada daging, terlihat jika Louie lebih ahli dibandingkan Theodore, kemungkinan karena Theodore lebih sering memesan makanan ketimbang membuat sendiri jadi dia tidak cukup mahir untuk memanggang daging barbeque ini.

Waktu kembali berlalu, mereka makan siang dengan damai, ibarat keluarga yang hangat. Sophia dan Louie terlihat memotret makanan mereka untuk dikirimkan pada ibu masing-masing, memberitahukan jika mereka sedang makan dan tak perlu dikhawatirkan.

Sementara Theodore tidak mengabari kedua orang tuanya sama sekali, toh mereka pasti sibuk, dan pesan Theodore juga akan tenggelam oleh kesibukan mereka terutama chat dari para klien maupun rekan bisnis. Jikalau tanya Viole, siapa juga yang harus dia hubungi? Ia tak punya sanak saudara sama sekali dan ponsel juga sepi selain chat dari teman-temannya sendiri. Ah, sebenarnya akhir-akhir ini sering ada chat random masuk dari gadis gila, tetapi lebih sering Viole abaikan.

"Gadis ini semakin diabaikan, semakin kirim banyak chat," gumam Viole seraya memakan dagingnya. "Semua cewek segila ini ya? Kupikir hanya ada di novel."

"Jadi pelakunya belum ditemukan, Ayah?" kata Emma.

"Yeah, Sheriff Jude menyuruh beberapa bawahannya termasuk ayah dan Francis untuk menyelidiki area pom bensin. Namun, tidak membuahkan hasil." Jeremiah berujar, ia duduk tepat di sampingnya Emma.

"Sir, apakah benar jika pelakunya sama seperti yang membakar kabin dan serangkaian pembunuhan yang terjadi dalam satu bulan ini?" ujar Theodore.

Jeremiah mengangguk lesu. "Kemungkinan besar seperti itu."

"Apakah pelakunya ... dia?" ujar Sophia, kali ini ia benar-benar tak berani menyebut namanya.

"Aku ingin berkata tidak, tetapi sudah jelas kalau satu-satunya pembunuh berantai yang mengenakan topeng kelinci goni, hanyalah dia," ucap Jeremiah yang seketika semuanya hening.

"Ibu ke belakang dahulu, mengisi es jeruknya lagi," ujar Mrs. Walter seraya mengangkat mangkuk kaca yang besar untuk ditambah es batu serta jus jeruk.

"Apakah tidak ada cara menangkapnya?" ujar Louie, "kupikir dia sudah meninggalkan kota ini sebelum pembantaian di sekolah kami."

"Inilah yang jadi masalahnya," ujar Jeremiah, "selama teror dari Bloodied Tortuner itu, kepolisian membaca polanya, jika dia takkan kembali ke kota yang sudah pernah disinggahi. Sebenarnya beberapa kali dia pernah kembali ke kota yang sudah dia singgahi, tetapi terhitung hanya ada empat Kota, itu pun hanya beberapa hari. Selebihnya, dia tak pernah kembali lagi dan terus melanjutkan terornya dari kota baru ke kota baru."

Jeremiah menarik napas sebelum melanjutkan. "Namun, kali ini seperti kasus langka karena pembunuh itu kembali lagi ke kota kita dan melakukan teror selama hampir dua bulan. Padahal media sempat memberitakan jika pembunuh itu sudah keluar dari kota Erysvale."

"Lalu apa artinya?" ujar Theodore.

Jeremiah berujar, "baru asumsi dari kami, jika Bloodied Tortuner mengincar sesuatu di Kota ini karenanya dia kembali lagi."

Diam-diam tangan Emma bergerak dan menggenggam tangan Viole, ia sangat tegang setelah mendengar perkataan ayahnya, Viole sadar jika Emma menjadi tegang, jadi lelaki itu lekas mengusap punggung tangan Emma dan berbisik agar Emma jangan terlalu tegang.

"Apakah ada petunjuk siapa yang diincar oleh pembunuh itu?" kata Sophia.

"Inilah yang masih berusaha kami selidiki," ujar Jeremiah, "masalahnya Kota Erysvale ini termasuk Kota yang tak semewah New York atau Los Angeles meski kota ini cukup tua dan penduduknya banyak. Sayangnya tak ada hal yang penting disembunyikan di sini andaikata hal penting inilah yang diincar si pembunuh."

"Apakah ada asumsi lain?" ujar Louie.

Jeremiah hendak berkata, tetapi lidahnya kelu hingga Sophia yang lebih dulu berucap, "ævoltaire, bagaimana dengan itu? Aku mendengar beberapa warganet berkomentar jika Bloodied---maksudku pembunuh itu bisa saja mengincar ævoltaire."

Kali ini, Viole meringis sakit ketika Emma semakin mencengkeram tangannya sementara Louie sangat-sangat tegang juga. Di sisi lain, Jeremiah berujar dengan helaan napas dahulu. "Itulah salah satu asumsi kami. Namun, kami merasa tak yakin karena kami pernah diberitahukan persatuan kepolisan jika para ævoltaire selalu diawasi perusahaan Æthelwulfos atau tinggal di perusahaan itu, jadi mustahil ada ævoltaire yang bebas tinggal di sebuah Kota dan menjalani kehidupan layaknya manusia biasa. Jadi hanya kemungkinan kecil jika yang diincar pembunuh itu adalah ævoltaire."

Detik itu, tanpa ada yang sadar, Emma dan Louie menatap tegang pada Violetta yang sangat sadar jika ada banyak pertanyaan di kepala mereka. Lelaki cantik itu seolah-olah bergumam, "sialan, sekarang aku harus jelaskan alasan kenapa aku bebas hidup seperti manusia biasa padahal aku ævoltaire."

****

Minggu pagi, Viole sudah mulai beraktivitas terutama dia hendak pergi ke toko buku dan jalan-jalan di taman kota. Jadi dia sudah bersiap dengan pakaian rapi dengan tema biru-biru. Jadi dia mengenakan kaos yang dilapisi jaket biru muda yang lembut dengan lengannya serta kerah dan tudung kepalanya warna putih, tetapi bukan putih gading. Sementara celananya senada warna putih. Pakaiannya itu terbuat dari bahan wol sehingga lembut serta di jaketnya ada gambar cinnamoroll. Sungguh ia baru tahu jika cinnamoroll adalah laki-laki dan binatang anjing bertelinga panjang. Padahal selama ini ia pikir, cinnamoroll adalah kelinci perempuan! Lalu Viole tak lupa mengenakan sepatu dengan warna biru-putih. Lelaki itu benar-benar terlihat sangat soft kali ini.


Kini dia berjalan dengan riang gembira, menyusuri sidewalk ketika tidak ada awan mendung. Lagu Greedy---Tate Mcrae berputar di kedua earpod-nya, menambah semangatnya untuk menjalani hari ini. Beberapa pemilik toko seperti toko permen, toko bunga, hingga toko pernak-pernik terlihat menyapa Viole karena lelaki itu sudah mulai dikenal, keseringan berjalan kaki ketika pergi ke mana pun, lalu Viole terkadang membalas sapaan mereka. Entah mengapa menyenangkan juga bisa memiliki banyak kenalan meski hanya bertegur sapa sesaat saja.

Terlihat jelas kalau lelaki itu berjalan tanpa beban seolah-olah bunga-bunga akan bermekaran mengikuti setiap langkahnya, Viole juga sangat bahagia, suasana hatinya hari ini lebih baik, barangkali semalam ia tak terlalu diganggu boogeyman meski ia harus tetap meminum obatnya. Kini Viole hendak singgah di toko buku karena belum terlalu lapar, ia sudah makan dua potong roti dan susu hangat pagi tadi, jadi niatnya setelah dari toko buku, ia akan sarapan di kafe favoritnya. Ya harapannya adalah hari Minggu ini berjalan dengan lancar.

Kira-kira maukah semesta mengabulkan keinginannya? Sayangnya semesta paling senang bercanda melalui trik-trik murahan yang tak sengaja menyatukan takdir yang sebenarnya tak pernah bersinggungan sekali pun.

Suara gedubrak terdengar ketika Viole tak sengaja menabrak punggung seseorang, akibat ia terlalu fokus mendengarkan musik dan berjalan riang gembira sampai terlihat melompat seperti seekor kelinci, lalu mengapa juga punggung seseorang yang ia tabrak terasa seperti beton? Alhasil Viole terduduk di lantai seraya terdengar suara makian.

"Hey, gunakan matamu dengan benar! Tidakkah kau lihat jika aku ada di sini?!" Suara seorang gadis, ah ternyata Viole menabrak punggung seorang gadis yang kini berbalik menatap Viole. Lalu mengernyitkan dahinya. "Pretty."

Satu kata terakhir menyadarkan Viole jika di hadapannya adalah si gadis gila sekaligus penyihir jahat! Maka perlahan Viole mendongak, pandangannya sedikit buram karena sinar matahari menerpa wajahnya, secara samar-samar Viole bisa melihat wajah gadis bermanik mata hazel itu yang mengulurkan tangannya untuk membantu Viole berdiri.

"Aku tak perlu bantuanmu." Lekas Viole berdiri sendiri sambil menepuk-nepuk baju dan pantatnya yang terkena pasir, beruntung bajunya tak benar-benar kotor.

Amelia memutar bola matanya seraya ikut menepuk celana Viole. "Kurasa kita memang jodoh karenanya terus bertemu."

"Jangan sentuh aku!" ucap Viole lekas menghindar karena gadis itu sudah mulai beringas dan tak punya batasan. "Kau pikir aku anak kecil yang bisa kau perlakukan seperti tadi?"

Alis Amelia terangkat. Ia memperhatikan Viole dari ujung ke ujung. "Cinnamoroll boy, kau pikir kau tak terlihat seperti bocah?"

Wajah Viole memerah malu karena ditertawakan Amelia. Ia lepaskan earpod-nya lalu dimasukkan ke kantong celana. "Kau sendiri, kenapa mengenakan pakaian kurang bahan, huh!"

"Kurang bahan." Amelia menekan perkataannya dan ia bingung. "Kau sebut pakaian seksi ini, kurang bahan?!"

Alasan Viole berkata seperti itu karena Amelia mengenakan tank top warna hitam, celana legging tebal warna hitam pula. Sehingga sangat mencetak tubuh seksinya, terutama pinggang serta perutnya terlihat jelas. Sebenarnya ia melapisi tank top-nya dengan jaket denim, tetapi ia lepas dan ditaruhnya dalam mobil. Perlu diketahui jika Amelia habis selesai workout di gymnasium di dekat sini. Jadi tentu saja ia mengenakan pakaian yang Viole sebut sebagai kekurangan bahan.

"Pretty," ujar Amelia dengan nada sinis, jujur ia tak terima jika tank top mahalnya ini disebut baju kurang bahan. "Ini namanya tank top dan memang harus kukenakan karena aku tadi habis workout di gym! Kau pikir orang-orang ke gym menggunakan gaun atau kemeja dan jas hitam!"

Viole cemberut dengan memanyunkan bibirnya. "Mana kutahu pakaian kurang bahan ini digunakan untuk workout! Lagi pula aku juga tak tahu kau habis dari gym, tidak ada tulisan juga di dahimu sebagai penanda kau habis dari mana saja!"

Sesaat Amelia merasa jika Viole adalah spesies langka, lalu apa-apaan itu? Jangan memanyunkan bibir karena Amelia benar-benar hendak meleleh. Kenapa Tuhan, kenapa wajah lelaki ini sangat cantik dan imut! Sial, Amelia harus menjaga citranya kali ini, jangan mudah luluh karena lelaki ini habis menghina Amelia yang workout untuk menjaga tubuh seksinya. "Wah bocah satu ini, makin hari makin tak sopan padaku ya? Kauharusnya bangga padaku karena aku sering workout dan olahraga untuk menjaga tubuhku tetap sehat dan bugar."

"Itu karena kau keseringan makan makanan manis dan junk food jadi harus olahraga atau kalau tidak, kau akan---aw sakit!"

Perkataan Viole terhenti, ia memekik karena Amelia menjewer telinganya. "Aku akan apa? Coba lanjutkan, maka kutarik telingamu sampai lepas. Berani?"

"Maaf." Viole kembali cemberut, ia mengusap telinganya yang sedikit memerah.

"Good boy," balas Amelia dengan senyuman. "Sekarang ayo ikut aku." Lekas ia meraih pergelangan tangan Viole.

"Hey, aku ada urusan, jangan seenaknya menyeretku, aku mau ke---"

"Toko buku 'kan?" sahut Amelia membuat Viole berpikir bagaimana gadis itu bisa tahu?! Apakah Amelia cenayang? "Nanti saja toko bukunya karena takkan lari ke mana-mana. Sekarang temani aku cari makan, kuyakin kau lapar."

"Aku tak lapar!" balas Viole, "lagi pula kau habis gym! Bagaimana bisa cari makan! Seharusnya kau tak makan, percuma workout-mu itu!"

"Fuck, aku tahu apa yang harus kulakukan," balas Amelia, "terserah padaku apakah aku mau makan atau tidak sehabis workout."

"Kau gila ya, kau mahasiswi kedokteran harusnya paling paham!" ujar Viole. Sungguhan, Viole tak paham masalah workout dan makan atau tidak setelah workout.

"Yups, aku Queen Bee dan paling cerdas di Departemen Kedokteran Klinis, tetapi aku punya hak atas tubuhku, apakah aku harus makan atau tidak meski setelah workout," ujar Amelia seraya menyeringai. "Intinya pretty harus mau menemaniku makan!" Suara Amelia terdengar sangat bahagia, membuat Viole enggan untuk menolak terutama tak sedikit pun gadis itu berniat melepaskan cengkeraman tangannya yang kuat ini.

"Hidupku sial banget," gumam Viole seraya menatap Amelia. Lalu ia memalingkan wajahnya karena tak sengaja terfokus pada bagian pinggangnya yang terekspos serta pantatnya yang selain itu. "Tuhan, jauhkan aku dari godaan setan yang terkutuk."

"Aku bukan setan, pretty, aku secantik bidadari surga," balas Amelia lalu terkekeh. Sementara Viole menahan diri untuk tak mengumpat.

Mereka pergi ke sebuah kafe di seberang dan agak jauh jaraknya dari gymnasium termasuk jauh pula dari toko buku. Viole hendak menangis karena terpisah dari toko buku favoritnya. Sungguh gadis gila ini semakin menjadi-jadi tingkahnya, Viole bingung harus menghadapi Amelia dengan cara apalagi agar gadis itu berhenti mengusik hidup Viole. Kini dia berpikir jika Amelia benar-benar kerasukan setan. Haruskah di-exorcism dengan meminta bantuan Ed dan Lorraine Warren atau suster Irene yang menangani Valak? Baiklah Viole berlebihan, tetapi sungguh-sungguh ia harus banyak sabar menghadapi Amelia terlebih jika gadis itu marah beneran, ia sangat mengerikan!

"Aku belum lapar," ujar Viole, ia memang belum lapar, tetapi Amelia tetap memaksanya dan kini ia terpaksa duduk di salah satu kursi.

"Kau harus makan banyak Pretty," ujar Amelia, "agar gizimu tercukupi dan tidak stunting serta kau tinggi lebih cepat."

"Aku tidak stunting!" ujar Viole.

"Hampir pretty karena jujur kau terlambat pertumbuhan dibandingkan anak-anak seumuranmu," ujar Amelia dengan kekehan sementara Viole mengepalkan kedua tangannya untuk menahan amarah, ia juga mulai lelah marah pada Amelia. "Pilih menu apa pun yang kau suka."

Viole pun terpaksa menurut, ia menatap menu, ternyata ada menu daging steak, jadi ia pesan steak dan kentang goreng serta minumannya milkshake rasa cokelat. "Itu saja yang kupilih."

Amelia menaikkan satu alisnya, lalu berujar, "milkshake diganti air mineral biasa okay? Kau harus kurang-kurangi minum minuman manis."

"Kenapa, kau tidak ada hak---"

"Di sekolah, kau hampir setiap hari minum susu pisang dalam kemasan, tidakkah kau tahu berapa kadar gula di dalamnya?" Suara Amelia memang rendah, tetapi terdengar mengintimidasi. "Kau tinggal pilih pretty, air mineral atau kaki membusuk dan diamputasi karena diabetes?" Ia tersenyum psiko.

"Iya, iya, air mineral aja," balas Viole setengah sedih, setengah tak mau kakinya diamputasi.

"Good boy, pookie bear." Amelia mengusap kepala Viole, ditepis lelaki itu, tetapi Amelia malah terkekeh kemudian menuju kasir untuk menyerahkan kertas menu yang mereka pesan. Terlihat Amelia mengobrol sesaat dengan kasir.

"Gadis menyebalkan, tukang intimidasi, dan mengancam." Viole mengejek meski suaranya sangat pelan. Ia menatap ponselnya yang memperlihatkan e-book novel.

Lalu fokusnya teralihkan ketika ia melihat beberapa pengunjung kafe ini terutama para pria yang tengah terkekeh, lalu mengobrol pada teman-temannya seraya bersiul, dan memberi kode untuk menatap pada Amelia. Hal ini membuat Viole menatap Amelia juga. Tampak jelas pinggang, perut gadis itu yang terekspos. Bahkan tank top-nya mencetak belahan dadanya serta legging ketat yang juga memperlihatkan lekuk pantat hingga paha dan betisnya. Para pria nakal itu semakin menjadi-jadi karena wajah Amelia yang sangat cantik bak seorang model berkelas layaknya Bella dan Gigi Hadid. Terutama ketika gadis itu tersenyum yang semakin saja meleleh para pria itu pada kecantikan bak Dewi Aphrodite.

Sesaat Viole mengepalkan tangannya, lalu ia menenangkan dirinya. "Aku tidak peduli." Ia bergumam kecil. "Lagi pula salahnya juga mengenakan pakaian itu di kafe, seharusnya langsung pulang saja setelah dari gym." Viole benar bukan? Setidaknya gadis itu punya jaket atau blazer untuk menutupi tank top-nya, lagian apakah dia tidak kedinginan karena kulitnya terbuka tanpa ditutupi sehelai kain? Meskipun hari ini cuaca cukup terik dan bersahabat.

"Kenapa Pretty?" ujar Amelia seraya meletakkan pesanan mereka di atas meja. "Wajahmu masam begitu."

"Tidak ada, tak ada yang salah, aku hanya mau lekas pulang dan jauh-jauh darimu." Viole berujar sinis dan meraih segelas air lalu ia minum.

Amelia memutar matanya, ia bingung sekali menanggapi bocah satu ini, apakah karena masih anak sekolah jadi semua sikap para bocah seperti itu? Padahal seingat Amelia, ketika ia seumuran Viole, ia tidak bersikap kekanak-kanakan. Ia sudah anggun dan berpikiran dewasa serta sering ikut acara besar dan penting bersama ayahnya. "Serius, Pretty, kau tidak senang padaku? Padahal para pria rela mengantre dan berlama-lama demi bersamaku."

Sekarang Viole paham kenapa banyak pria naksir gadis ini, lihat saja contohnya di belakang sana, beberapa pria masih senantiasa memandangi lekuk tubuh Amelia bahkan membuat ekspresi mesum seperti hendak menggoda. Bajingan, pasti para pria itu menjadikan Amelia sebagai bahan objektifikasi.

"Aku mau cepat pergi darimu," ujar Viole lekas memakan steak-nya dan berusaha abai pada para pria yang masih melirik Amelia.

Terlihat Amelia menghela napas dan meminum americano-nya. "Apakah kau misoginis? Punya kebencian berlebihan pada perempuannya?"

Viole tersedak sampai harus minum air mineralnya. "What?! No, I'm not misogynist, why would you think that?"

Amelia mengedikkan bahunya. "Kau terlihat tak suka padaku, barangkali karena aku perempuan dan kau misoginis, jadi kau tak menyukaiku karena itu kau selalu bersikap menolak dan kadang kasar padaku. Aku juga berpikir, mungkin kau juga seorang---"

"Aku mendukung gerakan emansipasi wanita," balas Viole dengan menggenggam kuat garpunya. Menatap tajam pada Amelia. "Aku setuju akan adanya kesetaraan gender di mana wanita juga punya hak mendapatkan pendidikan tinggi, hak bekerja, hak dalam bidang politik, dan dilindungi dari pelecehan seksual. Aku bukan patriarki karena aku membaca banyak buku feminis dan sering ikut seminar tentang perempuan serta feminisme. Aku mengutuk keras para pria bodoh yang menjadikan wanita sebagai objektifikasi dan segala tindakan patriarki dan misoginis."

Suara Viole cukup lantang dan ia menatap tajam dan sinis pada para pria di belakang Amelia, mereka sadar ditatap Viole, mereka sadar perkataan Viole, membuat mereka takut dan berhenti memandangi tubuh Amelia. Sesaat Viole merasa lega meski tetap kesal karena Amelia menuduhnya sebagai lelaki misoginis dan patriarki, mana harga diri Viole dihina seperti itu padahal sejak kecil, ia diajarkan oleh Dite untuk menjadi lelaki yang terbuka akan hak-hak perempuan dan seorang feminis. Bahkan namanya saja ....

"Violetta Beauvoir," ujar Amelia, "pantas namamu begitu karena kau memang seorang feminis, aku sudah menebaknya sejak awal. Benar bukan? Beauvoir diambil dari nama filsuf Simone De Beauvoir, seorang tokoh feminisme modern dengan pemikiran feminisme eksistensialisnya."

Sesaat Viole merasa tenang. "Iya, namaku berasal dari sana."

Amelia tersenyum manis, perlahan tangannya bergerak untuk mengusap puncak kepala Viole, sela-sela jarinya menyentuh rambut lembut dan tebal lelaki itu. "Siapa pun yang memberimu nama itu, dia sangat cerdas dan kuyakin dia pasti bangga karena berhasil menjadikanmu laki-laki yang tak merendahkan derajat perempuan."

Perlahan Viole menarik pelan tangan Amelia. Gadis itu benar, Dite berhasil mendidik Viole hingga seperti ini. "Aku tak suka kau, bukan karena aku misoginis atau patriarki, aku memang sebal padamu."

Suara kekehan gadis itu terdengar lembut. "Nah pretty, mau kuulangi tawaranku kemarin?" Amelia mencondongkan badannya ke depan. "Mau nikah sama aku nggak? Kau tipeku banget, laki-laki imut, cerdas, dan feminis, sayang kalau tak dinikahi."

"Mulai kambuh gilanya!" teriak Viole, "berhenti bercanda atau aku akan memblokir semua media sosial dan kontakmu! Lebih baik kau fokus makan karena aku ada kesibukan lain selain harus menghadapi tingkahmu ini!"

"Maaf pretty, kau makin imut kalau kesal begitu," balas Amelia, sedikit kecewa lalu lanjut makan steak-nya.

"Oh Goddess," gumam Viole. Akhirnya ia bisa lanjut menghabiskan steak-nya yang tersisa setengah. Lalu ia tersadar sesaat, jika Amelia sudah menghabiskan dua piring steak, sungguh bagaimana bisa gadis itu sudah habis dua piring? Makannya cepat juga atau Viole yang terlalu menikmati rasa steak ini meski tak sekelas koki bintang lima.

Amelia berdiri dari kursinya. "Kau mau tambahan steak lagi?"

Viole menatap Amelia sejenak, lalu menggeleng. "Tidak, aku sudah kenyang."

"Okay," balas Amelia segera ke kasir. Beberapa menit kemudian, dia datang dengan membawa tiga piring steak dan dua gelas americano. Lalu ia lanjut makan lagi seraya bermain ponselnya.

Detik itu, Viole kebingungan, apakah wajar seorang gadis habis workout makan lima piring steak dan tiga gelas americano? Apakah perutnya akan baik-baik saja?! Atau orang-orang workout pada umumnya memang seperti itu? "Jangan pedulikan, itu tubuhnya sendiri, dia paling tahu yang mana benar dan tidaknya." Maka lelaki itu kembali bermain ponselnya, mengecek sosial media, dan ada berita perkembangan investigasi dari sheriff Jude.

Fokus Viole terenyak ketika Amelia berdiri lagi dan menuju kasir untuk memesan tiga piring steak dan segelas milkshake cokelat. Sialan, gadis itu tak kunjung kenyang? Bukankah itu sudah berlebihan atau memang begitu caranya membentuk tubuhnya, setahu Viole ada sebutan seperti bulking? Namun, ia tak yakin apakah bulking memang seperti ini?! Oh Demi Tuhan, Viole merasa bingung, haruskah ia tegur gadis itu karena menurut Viole hal seperti ini sudah tak sehat dan berlebihan.

"Aku tidak peduli, bukan urusanku, itu tubuhnya sendiri." Kembali ia fokus pada ponselnya, seharusnya seperti itu, tetapi melihat Amelia terus memakan steak dengan cepat, ia kunyah dan telan, maka hal ini membuat Viole risi karena gadis itu seperti tak ingat akan berhenti untuk makan, jadi dia menghentikan tangan Amelia yang hendak menusuk daging steak dengan garpu.

"Pretty ada apa?"

Viole merasa harus menghentikan Amelia karena baginya gadis itu sudah terlihat berlebihan. Namun, ia tidak mau menggunakan kalimat yang implisit supaya tak menyakiti hati gadis itu. "Kita harus pergi dari sini 'kan? Kurasa masih ada tempat yang hendak kaukunjungi." Meskipun harus mengorbankan waktu Viole.

"Ah ya kau benar." Amelia meletakkan garpunya, tersisa satu steak yang belum habis. "Kau harus menemaniku berbelanja okay? Teman-temanku sibuk semua, jadi kau yang harus menemaniku."

Oh Tuhan, Viole jadi harus terjebak dengan gadis ini di Minggu pagi. "Ya, aku punya waktu luang untukmu."

"Yes, sure, kau harus punya waktu untukku." Amelia meraih milkshake-nya. "Tapi steak-nya sisa satu, mubazir jika tak dimakan."

"Aku akan habiskan steak-nya," ujar Viole.

"Sungguh? Kau bersungguh-sungguh?!" Amelia merasakan kupu-kupu di perutnya. "Baguslah, kau sangat membantuku, pretty," balas Amelia segera berdiri. "Aku hendak ke toilet dulu, tunggu di sini pretty, jangan kabur jika kau kabur, aku akan mengejarmu bahkan hingga ke ujung dunia." Lekas Amelia berjalan ke toilet di kafe ini.

Viole menghela napas, ia menghabiskan steak Amelia, dan meminum air mineral. Lalu beberapa menit berlalu, Amelia belum kunjung keluar dari toilet. Jadi Viole ke kasir dan membayar semua makanan dan minuman mereka, ia tak masalah jika harus menghabiskan hingga 100 dollar sekali pun, ah ia juga memesan air mineral dalam botol, lalu kembali duduk di kursi dan menunggu Amelia sambil memainkan ponselnya. Kemungkinan hampir 15 menit lebih gadis itu di kamar mandi.

"Pretty!" kata Amelia tersenyum simpul. "Maaf membuatmu menunggu, ayo pergi, ah ya harus kubayar dulu makanan kita."

"Minum air dulu, kau belum ada minum air setelah milkshake tadi," ujar Viole, "lalu semuanya sudah kubayar, giliran aku yang mentraktir kamu."

Amelia sesaat terkejut, tak ia sangka Viole mau membayarkan semuanya tanpa diminta Amelia. "Oh pretty, kau sangat manis. Makasih ya, nanti next time, gantian aku yang bayar lagi." Amelia tersenyum seraya membuka tutup botol dan hendak meminum airnya.

Ketika itu, Viole menatap Amelia, dan sadar jika bibir gadis itu sedikit pucat. "Dia menghapus liptint-nya. Apa dia menghapusnya di toilet tadi?"

"Ayo pretty, kita pergi berbelanja." Amelia berucap. "Kita pergi ke toko buku dulu 'kan? Ada buku juga yang hendak kucari, lalu kita ke toko parfume okay, ada parfume yang mau kubeli juga. Tokonya di dekat sini kok jadi kita jalan kaki sambil gandengan tangan saja!"

Amelia mau menggenggam tangan Viole, tetapi lelaki itu lekas berdiri. Seraya melepaskan jaket cinnamoroll birunya. Lalu disodorkan pada gadis itu. "Pakai ini, nanti kau kedinginan, please."

Viole berusaha terlihat datar dan tak berekspresi. Sungguh ia tak mau Amelia berpikiran macam-macam, seperti berpikir jika Viole jatuh cinta atau lain sebagainya! Tidak! Demi Tuhan, ia takkan jatuh cinta pada Amelia. Ia memberikan jaket ini karena tak mau gadis itu jadi bahan objektifikasi dan pelecehan seksual dari pandangan para pria otak mesum. Ia harus melindungi seorang perempuan, begitulah ia diajarkan.

"Jika kau tak mau, tak masalah," ujar Viole.

"Tentu saja aku mau!" Amelia dikelilingi kebahagiaan besar pada detik itu. Ia merasakan perutnya dipenuhi kupu-kupu lebih banyak. Lekas ia kenakan jaket cinnamoroll Viole, meski hanya menutupi pinggangnya atau melewati pusar perut, karena lelaki itu lebih pendek dari Amelia. Namun, ia merasa nyaman, hangat, dan seolah-olah dilindungi. "Terima kasih pretty, sekarang ayo pergi."

"My pleasure."

Maka Amelia genggam jemari Viole dengan erat, mereka keluar dari kafe dan menyusuri sidewalk, tampak Amelia dipenuhi kebahagiaan sementara Viole menahan kesal dan malu karena bergandengan tangan. Tanpa Viole ketahui jika sebenarnya Amelia ada jaket denim di mobilnya, seharusnya ia bisa mengenakan jaketnya sendiri tanpa meminjam punya Viole. Namun, gadis itu tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk diselimuti jaket imut dan comel dari seorang lelaki cantik yang aroma parfume-nya seperti parfume bayi. "Dasar toddler."

"Aku bukan toddler!" ujar Viole.

"Kau toddler."

"Berhenti memanggilku toddler!" Viole bersungut-sungut.

Lalu Amelia menghentikan langkahnya seraya mengusap puncak kepala Viole untuk membuang daun kecil yang gugur di atas kepalanya, yah bagaimanapun juga, ini bulan musim gugur. "Pertimbangkan tawaranku, kalau kau mau menikah denganku okay?"

"In your delulu," balas Viole.

Amelia terkekeh. "Jangan sampai jilat ludah sendiri, pretty."

Detik itu, Viole harus menyakinkan dirinya bahwa ia takkan pernah jatuh cinta pada Amelia. Terlebih lagi, ia bukanlah manusia biasa, Viole seorang ævoltaire yang meskipun kini ia terlihat menjalani kehidupan seperti orang kebanyakan. Namun, mana tahu di masa depan, ia harus kembali mengenakan pakaian putih, seluruh tubuhnya dipasang selang, tenggelam dalam tong kaca yang berisi cairan khusus, hingga harus berteriak-teriak karena menjalani serangkaian percobaan dan penelitian gila, hanya untuk menjadi yang paling sempurna diantara yang sempurna.

Ya, pada akhirnya ævoltaire mustahil hidup bahagia layaknya kebanyakan manusia biasa.

Malam pun tiba, terlihat Amelia sampai di rumah Francesca karena mereka janjian hendak mengerjakan tugas artikel ilmiah bersama serta Sebastian janji mau memasakkan mereka daging wagyu, entah akan dimasak apa, terserah padanya karena keempat gadis itu tidak ada yang pandai memasak, Claudia sedikit bisa memasak semacam kukis atau kue bolu.

"For God's Sake," ujar Catherine terkejut, "jaket apa yang kau kenakan itu?!

"Oh wow, cinnamoroll!" ujar Francesca, ia menyukai cinnamoroll. "Eh tapi seingatku kau tak punya jaket itu, baru beli? Kapan?"

"Apa kau mencoba gaya pakaian baru," ujar Claudia sementara Sebastian tak ikut nimbrung karena fokus memasak.

"Ini bukan punyaku," kata Amelia, gadis itu terlihat seksi dengan outfit hitam, tetapi kali ini ia selimuti dengan jaket cinnamoroll.

"Jadi punya siapa?" ujar Francesca, ia menatap jaket tersebut yang ternyata sangat lembut bahannya.

"Coba tebak?" Amelia terlihat bangga.

"Sialan, Cassiopeia! Jangan bilang jika itu milik si bocah SMA?!" teriak Catherine, ia berpikir jika sahabatnya ini sudah benar-benar miring otaknya! "Bagaimana bisa jaketnya ada padamu?!" Ia berujar lagi setelah Amelia mengangguk bahwa jaket cinnamoroll adalah milik Viole.

"Yeah, ceritanya panjang," ujar Amelia mengambil segelas wine. "Namun, yang jelas, aku makin tertarik dengan si cantik itu. I think he's perfect for me."

"Sebastian!" teriak Catherine, "tolong beri sianida di daging khusus milik Amelia."

"Laksanakan Ma'am," teriak Sebastian dari dapur.

"Sialan kalian semua," balas Amelia maka mereka tertawa kencang dan aktivitas malam yakni mengerjakan tugas, minum alkohol sedikit, dan makan daging wagyu pun berjalan.

Amelia juga terlihat mengunggah sebuah foto dirinya di depan cermin ketika di toko perfume, fotonya yang memperlihatkan jaket cinnamoroll biru milik Viole, ke Instagram-nya lalu ia beri musik Give Love—AKMU, caption-nya bertuliskan: bookstore date with cinnamoroll lalu emot love warna biru.

"Tetap hati-hati lho, fans fanatikmu, bisa saja mencari tahu apakah kau beneran kencan dengan seseorang atau kencan di sini maksudnya kau pake jaket cinnamoroll." Claudia memperingatkan.

"Tenang saja sweetheart," balas Amelia.

"Tidak kau tag, Violenya?" kata Francesca.

"Nope," balas Amelia, "aku tak mau karena jika ku-tag maka banyak penghuni universitas kita tahu akan kecantikan dan keimutan Violetta, jadi biarkan saja, lelaki itu menjadi milikku dan hanya aku yang boleh menikmati wajah cantiknya."

Catherine melirik Sebastian yang datang membawa wagyu yang telah dimasak. "Punya Amel, ada sianidanya 'kan?"

"Oh tentu saja, paling spesial," balas Sebastian.

"Kalian benar-benar suka bercanda yaa." Amelia tersenyum lalu mereka makan bersama sebelum harus bertempur dengan tugas-tugas kuliah yang menggunung.

Di sisi lain, tanpa diketahui siapa pun. Namun, di waktu yang bersamaan yakni pukul delapan malam. Di daerah Utara dari kota Erysvale, berada di sebuah jalan setapak sempit, terlihat sesosok makhluk bertopeng kelinci goni dengan pisau, perlahan masuk ke gubuk tua peyot yang di dalamnya samar-samar terlihat dua manusia yang tergantung di langit-langit, leher terikat tali tambang, darah menetes akibat leher tersebut hampir putus, terlihat jelas jika perut bolong karena kulit dan dagingnya terkoyak, barangkali karena pisau atau gancu tambang, serta usus-usus panjang terburai keluar bahkan hingga menggantung serta berceceran di lantai kayu yang kini digenangi lautan darah.

Di belakang mayat tergantung itu, sang makhluk bertopeng kelinci goni tengah duduk dengan kaki bersilang serta menikmati secangkir kopi pahit serta steak dilumuri saus barbeque. "Aku lebih suka daging domba atau kelinci putih atau bebek kuning."

Ia meletakkan cangkir kopinya. Tidak tampak wajahnya karena gubuk tersebut sangat gelap, tak ada penerangan sedikit pun bahkan lilin atau lentera malam. "ævoltaire, di mana kau ævoltaire kecil di kota ini. Aku sangat tak sabar menemukanmu dan menyiksamu hingga kau menjerit sepanjang malam."

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

|| Afterword #11

Cerita semakin kompleks dan Viole belum memperlihatkan tanda-tanda apa pun, tentu saja karena seperti yang tampak pada narasi cerita jika sangat berbahaya bagi seorang ævoltaire jika ketahuan identitasnya terutama normalnya seorang ævoltaire, tidak hidup normal layaknya manusia biasa karena mereka akan diawasi atau dijaga suatu kelompok atau bahkan memiliki bodyguard, tetapi kasus pada Violetta sepertinya sedikit berbeda^^

Violetta dididik sangat baik sehingga memiliki pemikiran yang tak patriarki dan tak misoginis, berbeda dengan lingkungan sekitar yang sepertinya masih melanggengkan kedua hal tersebut sehingga membuat posisi seorang perempuan sering terpojokkan bahkan tidak mendapatkan keadilan entah dibidang pendidikan, pekerjaan, maupun politik.

Belajar dari Viole pula, kita dapat memahami bahwa seorang perempuan rawan menjadi korban atau bahan objektifikasi oleh kaum pria maupun sesama perempuan, terutama jika tampak korban memiliki kelebihan di fisik dan wajah, makin saja membuatnya menjadi bahan objektifikasi terutama bagi manusia yang memiliki otak cabul. Meskipun begitu, tidak menutup kemungkinan jika korban yang berusaha menjaga diri saja, masih sering menjadi bahan objektifikasi bahkan tindakan pelecehan seksual. Sehingga permasalahan di sini adalah isi pikiran dari manusia-manusia tersebut entah pria dan wanita yang harus sama-sama menjaga pandangan dan isi pikiran untuk tidak memandang rendah manusia lain dan tidak memiliki pemikiran cabul nan kotor pada manusia lain.

Kalau masih saja punya pemikiran kotor, mari ambil kapak atau pisau kemudian penggal kepala manusia-manusia bejat tersebut^^ bercanda ya~~

Lalu sepertinya, pembunuh berantai hendak menargetkan seorang ævoltaire di Kota Erysvale^^ Apakah Viole targetnya atau ada alur mengejutkan lainnya?

Prins Llumière

Kamis, 30 Mei 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top