Chapter 40: Don't Fucking Touch Me!
Hari ini kabar mengenai terjadinya kebakaran di rumah kabin sekaligus pembunuhan pada enam mahasiswa dan mahasiswi Universitas Varenheim tersebar sangat cepat. Beritanya juga kembali disebarkan melalui siaran langsung televisi, kanal YouTube, tersebar di sosial media dan lain sebagainya.
Para mahasiswa semakin ricuh terutama di Departemen Kedokteran Klinis karena keenam korban berasal dari Departemen tersebut. Setiap sudut koridor para mahasiswa berkumpul untuk membahas atau bergosip masalah ini, ada pula yang menonton berita investigasi dari pihak Sheriff yang menyatakan bahwa mereka tak menemukan tanda-tanda dari pelaku atau oknum.
"Saya Didiane melaporkan langsung dari tempat kejadian perkara. Sejak subuh tadi, pihak Sheriff kota Erysvale beserta Deputy dan jajaran petugas lainnya masih melakukan investigasi di sekitar lokasi kejadian. Sejauh ini, mereka belum berhasil menemukan tanda-tanda dari pelaku yang membakar kabin dengan sengaja serta membunuh enam mahasiswa Departemen Kedokteran Klinis, Universitas Varenheim."
Para mahasiswa menatap kanal YouTube, terlihat sang jurnalis memperlihatkan lokasi kejadian perkaranya, jasad para korban sudah dipindahkan ke rumah sakit untuk diotopsi lebih lanjut. Maka tayangan berpindah ke rumah sakit Erysvale, bersama jurnalis Zack, ia memulai penyampaian berita terkininya. "Sejauh ini, para dokter yang menangani otopsi jasad keenam korban telah memberikan pernyataan bahwa meski tubuh para korban terbakar, tetapi tidak semua tubuh mereka hangus dan masih bisa dilakukan otopsi, maka hasil otopsi tersebut menyatakan bahwa para korban terkena serangan berupa benda tajam yang menusuk tubuh mereka berkali-kali.
"Beberapa korban mendapatkan luka di dada, paha, tangan putus, kepala putus, hingga kemungkinan terkena tembakan karena ada korban yang kepalanya hancur bukan karena terbakar oleh api. Berdasarkan hal ini, Sheriff Jude menyatakan bahwa kejadian ini bukanlah karena kelalaian para korban sehingga menyebabkan kebakaran melainkan karena pembunuhan berencana kemudian pelaku membakar kabin untuk menutupi jejak pembunuhannya."
Tayangan kanal YouTube tersebut dimatikan ketika profesor yang mengajar masuk ke kelas mereka, dia adalah profesor Abraham yang terlihat raut wajahnya penuh kesedihan. Ia seolah-olah tidak tidur selama beberapa hari, kemungkinan tidak tenang karena mendapat kabar jika enam mahasiswanya meregang nyawa akibat pembunuhan berencana yang entah dilakukan oleh siapa. "Selamat pagi, semua."
"Pagi Profesor," ujar para mahasiswa. Kini mereka berada di kelas yang tempat duduknya mirip seperti tribune serta dapat menampung hingga 100 mahasiswa lebih, mereka sengaja dikumpulkan dalam satu kelas untuk melakukan duka dan doa singkat atas tiadanya enam mahasiswa Departemen Kedokteran Klinis ini meskipun yang meninggal adalah kakak tingkat mereka bukan satu angkatan.
Mr. Abraham kembali berujar, "hari ini kita mengalami duka yang sangat dalam, kalian pasti sudah tahu kabarnya. Enam mahasiswa Kedokteran Klinis kita di angkatan atas kalian, meninggal dengan cara mengenaskan, mereka ditikam dengan benda tajam hingga meninggal kemudian kabin tempat perkara kejadian itu sengaja dibakar oleh pelaku. Hingga kini pelakunya tak kunjung ditemukan. Atas inilah, saya mengumpulkan kalian semua untuk memberikan doa kepada keenam teman kalian."
Maka para mahasiswa itu mengepalkan tangannya seraya menundukkan kepala dan memanjatkan doa, termasuk Amelia, Catherine, Francesca, Claudia, dan Sebastian yang terlihat sangat khusyuk memanjatkan doa meski mereka tak kenal dekat siapa keenam kakak tingkat itu, hanya pernah curi-curi dengar saja.
"Kalian tak berdoa," bisik Jill ketika melihat Amberlee dan Krystal sibuk memainkan ponsel mereka.
"Sudah dalam hati," sahut Krystal, "lagi pula aku tak kenal mereka dan aku juga tak peduli."
"Aku kenal Daisy," balas Amberlee, "dia menyebalkan dan jalang, dia sering merebut pacar orang lain dengan berpura-pura lugu dan baik hati. Beruntung dia mati terpanggang sebelum merusak hubungan orang lain lagi."
"Oh Goddess, setidaknya berikan empati, mereka mati karena dibunuh," ujar Jill, "kau sendiri, kenapa sejak tadi mengejek, huh?" Dia menatap pada pria yang rambutnya sedikit di-bleaching abu-abu. Pria itu adalah Henry Remington.
"Aku berdoa tadi," balas Henry padahal ia tak berdoa sedikit pun. "Lagi pula Jared dan Corey atheis."
Jill diam sejenak, sementara Amberlee dan Krystal terlihat menahan tawa. Mereka merasa lucu akan hal ini ketika orang-orang berdoa untuk para korban, padahal korbannya saja tak percaya Tuhan. "Fuck, setidaknya berempati, kau seolah-olah tak berempati."
"Aku tak berempati karena mereka bukan orang yang kukenal, asal kau tahu kalau Jared sangatlah sombong dan suka merundung adik tingkat," ujar Henry.
"Kau juga tak lebih baik dari Jared itu," bisik Amberlee, "kau playboy dan suka memanipulasi wanita."
"Merekalah yang bodoh," sahut Henry sambil memakan permen karetnya. "Pantas saja mudah dimanipulasi."
"For God's Sake, mengobrol dengan kalian hanya memperbanyak setan dalam diriku," ujar Jill kini berhenti mengobrol dengan mereka.
"Aku lebih setan dari setan," ujar Henry lalu terkekeh seraya menatap ke sisi lain bangku tribune. Ia tersenyum melirik pada Francesca yang terlihat selesai memanjatkan doa.
"Bitch," ujar Amberlee, "jangan kau berani menggoda jalang sok polos itu. Apalagi tiga gadis lainnya terutama si pelacur Amelia."
"Oh come on, Francesca itu punya daya tarik tersendiri," bisik Henry.
"Yeah daya tarik pelacur sama seperti ketiga sahabat jalangnya," sahut Amberlee.
"Terutama Amelia," timpal Krystal sesaat melirik sinis pada Amelia yang tengah mengurai rambutnya. "Akhir-akhir ini dia terlihat lebih bahagia, kurasa dia punya boneka baru."
"Lebih tepatnya pria bodoh yang tertarik padanya," ujar Amberlee terkekeh pelan disambung pula kekehan Krystal. "Aku selalu bingung, mengapa para pria jadi bodoh jika berada di dekat jalang itu."
Henry tiba-tiba menyahut, "mungkin dia bersekutu dengan iblis, jadi para pria yang menyukainya sudah terdoktrin dan menjadi hilang akal."
"Woah, kata-katamu menyakitkan, padahal sahabatmu tergila-gila padanya juga," balas Amberlee, sahabat yang dia maksudkan adalah Kenneth Winchester yang kini berada di Universitas Oxford karena ada pertukaran pelajar di sana. Jadi selama satu atau dua semester dia tak berada di Varenheim. "Kurasa dia harus diberi anggur merah untuk mensucikannya dari godaan setan yang terkutuk."
Henry memang tak bisa menyangkal jika sahabatnya mencintai Amelia sejak lama, begitu perhatian pula pada gadis itu, meski tak pernah Kenneth ungkapkan perasaannya, terkadang Henry beranggapan jika Kenneth hanya pria bodoh yang mencintai gadis sombong dan kemungkinan telah mencuci otak Kenneth secara diam-diam. "Yeah, kuakui sahabatku itu memang bodoh meski nilainya selalu sempurna, andai ada kultus menyembah Amelia, kuyakin Kenneth akan dengan senang hati jadi pengikut pertama."
Tawa Amberlee terdengar, lekas ia menutup mulutnya, begitu juga Henry sementara Krystal hanya bisa diam saja. Ia tak senang dengan pembicaraan mengenai Kenneth yang menyukai Amelia. "Kultus? Dia lebih cocok jadi Valak yang harus di-exorcism oleh pendeta atau pastor."
"Asalkan kau tahu, Valak pun banyak penggemarnya," balas Henry.
"Eww shit, siapa yang menggemari hantu biarawati mengerikan itu?" Krystal benar-benar tidak mengerti jalan pikiran manusia-manusia masa kini. Andaikata memang benar banyak yang menyukai Valak, secara harfiah sangat menyukai, maka ia tidak akan heran jika orang-orang menyukai Amelia meski jika gadis itu berteman baik dengan iblis atau menjadi pelacur sekali pun.
"Lebih baik menyukai Valak dibandingkan jadi penggemar berat selebriti penuh dengan skandal 'kan?" balas Amberlee yang hampir saja tawa keras Krystal terdengar. Begitu pula Henry yang hampir juga kelepasan tawanya.
"Shut the fuck up, Amber," ujar Krystal, tetapi ia sangat setuju dengan perkataan itu. "Namun, aku jauh lebih benci jalang pelacur sialan Amelia itu, ketimbang apa pun di dunia ini." Maka pembicaraan mereka usai ketika Mr. Abraham akan mulai membuka sesi diskusi untuk para mahasiswanya.
****
Andai detik ini Amelia bisa menonjok wajah seseorang maka sudah ia lakukan, tetapi ia tak mau membuat masalah yang berujung dirinya menjadi bahan gosip satu Departemen lagi, parahnya hingga keluar Departemen ataukah ia tonjok saja?! Ia sebenarnya sudah cukup lelah mendengar kanan dan kiri, depan serta belakangnya yang terus membicarakan dirinya entah dari hal-hal besar seperti Amelia selalu mendapatkan nilai sempurna atau ia dihubungi salah satu brand fashion terkenal agar ia menjadi brand ambassador, hingga hal-hal sepele sekali pun seperti ia tidak menghabiskan makan siangnya dan hal ini dapat memicu gosip seolah-olah tindakan ilegal dan berbahaya.
Kalau kata Catherine. "Kau gerak sedikit saja akan jadi sorotan, kau napas saja sudah dianggap salah." Entah mengapa kalimat itu terlalu hiperbola, tetapi itulah kenyataannya karena setiap tindak-tanduk Amelia, selalu diperhatikan dan para pembenci pasti akan mencari kesalahan dan kekurangannya sebagai bahan hujatan!
"Cobalah jangan cari masalah atau kenapa tidak mencoba untuk menghindari masalah?" Pernah Francesca berkata polos seperti itu pada Amelia. Kemudian dijawab oleh Claudia Brooklyn.
"Bukan Amelia yang tak mau mencari masalah atau menghindari masalah, tetapi masalah yang selalu datang padanya!"
"Omong kosong," sahut Catherine, "opini itu tak masuk akal karena Amelia terkadang membiarkan masalah itu masuk ke hidupnya seolah-olah dengan sengaja ia hendak mencoba masalah itu sambil berpikir jika dia bisa melewati semua masalah."
Baiklah bisa dikatakan jika kehidupan Amelia yang penuh warna dan berbagai macam cobaan ini dikarenakan dua alasan pasti; pertama, masalah yang cari perkara dengannya. Kedua, Amelia sengaja mempersilakan masalah masuk kehidupannya. Layaknya pada detik ini. Amelia sudah paham sejak lama jika ada chat masuk melalui DM Instagram dengan akun yang benar-benar baru dibuat atau pun akun asli, lalu meminta Amelia menemuinya di belakang gedung kampus maupun tempat sepi lainnya, intinya meminta tempat privasi, maka dapat ditebak jika pengirimnya hendak menyatakan perasaan pada Amelia; ungkapan cinta seorang pria pada Queen Bee Universitas Varenheim. Atas inilah, sebenarnya Amelia bisa menolak menemui pria itu, tetapi karena gadis jahat itu senang sekali dengan tantangan maka ia turuti perkataan si pria dan menemuinya tanpa ditemani Catherine, Francesca, atau pun Claudia, maaf Sebastian tak masuk hitungan.
"Ah jadi ini gadis dari Departemen Kedokteran yang sering digosipkan bahkan sampai dibicarakan Divisi dan Departemen lain," ujar seorang pria dengan rambut blonde berponi, tapi disisir ke belakang dan diberi pomade. Ia mengenakan kaos polo hitam, lengan kanan-kirinya ada tato, pria itu terlihat menilik Amelia dari atas ke bawah. "Namaku Davidson, aku dari Divisi Ilmu Sosial, Fakultas Hukum."
"Cantik juga ternyata kau, mulus juga lagi tuh badan," timpal temannya seraya tersenyum lebar dan memperhatikan betapa gadis berambut cokelat di hadapan mereka ini punya proporsi tubuh yang seksi. "Lalu kau sangat pemberani, kemari sendirian, ternyata rumornya benar jika gadis seksi sepertimu belum punya pawang. By the way, namaku Paul, nice to meet you, bitchy. Kau benar-benar seksi."
Amelia menghela napas, ia benci sekali tatapan kedua pria asing ini pada tubuhnya padahal ia hanya mengenakan pakaian normal seperti hari-hari biasanya. Bahkan terkesan lebih simpel dibandingkan outfit yang biasa ia kenakan. Hanya terdiri dari mini dress putih di atas lutut, terbuat bahan katun, pita besar di tengah sebagai aksesoris, yah sejujurnya dress ini membentuk proporsi pinggangnya yang ramping lalu sebenarnya mini dress ini diselimuti blazer hitam panjang melebihi lutut, sayangnya Amelia merasa kepanasan jadi tak ia kenakan blazer-nya yang berakhir hanya ia tenteng di lengan kirinya. Ah ya, ia hanya mengenakan kaos kaki hitam di bawah lutut kemudian sepatunya jenis flatshoes.
Mungkin karena pahanya terpampang mulus jadi para pria berengsek ini tergoda, begitukah? Akan tetapi, yang terpampang pun hanya lutut dan sedikit pahanya, mengapa mereka jadi tergoda atau isi pikiran mereka saja yang memang dipenuhi hal-hal kotor?
"Dasar manusia-manusia otak mesum," batin Amelia seraya tersenyum tipis lalu menilik kedua pria yang tampang mereka seperti gelandang ini---di mata Amelia---padahal kedua pria itu mengenakan Prada di seluruh tubuh mereka. "Aku tak butuh teman-temanku hanya untuk menemui Toni. Benar bukan? Kenapa kau memanggilku kemari?"
Amelia sengaja untuk mengabaikan kedua pria berengsek ini dan berbicara pada Toni, si kutu buku yang kemungkinan dipaksa oleh Davidson dan Paul agar menghubungi Amelia karena kedua pria itu mencoba menggoda Amelia, si Queen Bee yang sering dibicarakan itu.
"Hey, kami di sini yang bicara denganmu, bukan si bodoh ini," ujar David mendorong Toni agar melangkah mundur.
"Tapi chat-nya dari Toni," balas Amelia.
"Itu kami yang menyuruhnya," sahut Paul merasa kesal karena gadis di hadapannya malah memasang wajah sombong tanpa rasa takut.
"Ah jadi kalian," balas Amelia pura-pura polos. "Kalau begitu aku harus kembali karena tak ada urusan dengan kalian berdua."
"Hey, hey, jangan buru-buru pergi," ujar Davidson yang kini berada di dekat Amelia. "Kami jauh-jauh ke Departemen Kedokteran hanya untuk menemuimu lho, seorang bidadari yang cantik dan sering dibicarakan bahkan hingga ke Fakultas kami, jadi harusnya kau menyambut kami dengan senang hati."
Amelia sudah sering mendengar kata-kata manis mengenai dirinya yang setiap ujung tujuan kalimat ini diucapkan adalah ingin mengajak Amelia kencan atau lebih kasarnya ingin berhubungan badan.
"Dia benar, kami ingin sekali mengenalmu, Amelia Cassiopeia 'kan? Gadis yang sering disebut dengan Queen Bee Universitas Varenheim ini," ujar Paul dengan senyuman yang sangat menjijikkan.
"Queen Bee hanya julukan yang orang-orang gunakan," balas Amelia seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Kudengar kalian berdua kuliah di Fakultas Hukum?"
"Benar sekali," balas Davidson, "apakah kau tertarik pada kami? Apakah ada yang hendak kau ketahui mengenai kami?"
Amelia bahkan enggan menatap tampang kedua makhluk ini! "Hanya observasi sedikit," jawabnya, "tidakkah kalian punya hal yang lebih penting untuk dilakukan daripada mencoba menggodaku?"
"Oh tidak, Nona Amelia," ujar Paul, "kami tak menggodamu, kami hanya ingin berkenalan, siapa tahu kami berdua bisa jadi sahabatmu."
Lekas Davidson berujar juga, ia merasa terpana dengan ukiran wajah Amelia yang sangat cantik ini. "Lebih dari sahabat pun kami dengan senang hati menerimanya, benar bukan, jalang? Kapan lagi kau bersahabat dengan pria tampan seperti kami asal Fakultas Hukum."
Sesaat Amelia memutar bola matanya, bau rokok menjijikkan keluar dari mulut mereka, Amelia benci para perokok terutama bertampang lebih jelek dari anjing rabies. "Yah maaf harus memberitahu kalian ini, tetapi Queen Bee ini tidak tertarik berhubungan dengan siapa pun yang menyebutnya jalang. Jadi tolong bantu dengan cara tinggalkan aku sendiri sekarang karena aku mual melihat wajah kalian."
Hal ini mulai memicu rasa kesal pada Davidson dan Paul, mereka tak percaya jika mereka yang selalu berhasil menggoda banyak wanita di Fakultas Hukum hingga mematahkan hati mereka, tetapi kini oleh seorang gadis yang terseksi dan tercantik---mereka harus akui jika Amelia adalah gadis paling cantik yang pernah mereka temui---dengan mudahnya menolak mereka. Keduanya masih berusaha menggunakan taktik sebagai pria baik dan tenang untuk meluluhkan Amelia!
"Wow, wow tenang cantik. Mohon maafkan perkataan kami sebelumnya, kami di sini dengan niat baik lho, yaitu mengajakmu berkencan," kata Davidson, "kami memanggilmu jalang karena kau adalah gadis terseksi yang pernah kami temui selama kami bernapas di dunia ini."
"Ya, setelah melihatmu, para wanita lain seperti tidak ada yang cantik lagi, mereka semua kalah oleh kecantikanmu!" Paul berujar dengan senyuman lebar tanpa kebohongan sedikit pun, tetapi semua kalimat itu terdengar menjijikkan di telinga Amelia.
"Niat baik katamu?" Amelia menaikkan satu alisnya, menatap sinis dan ia hampir tertawa lebar. "Niat baik apa jika kau bahkan tak tahu tata krama dan sopan santun hingga berani memanggil wanita yang kau ajak berkencan dengan kata jalang? Jujur kalian bahkan lebih mirip tukang judi yang hendak meminjam uang padaku dibandingkan pria gentleman yang hendak mengajak seseorang berkencan atau ke pesta dansa."
Kedua pria itu diam membisu, bagaimana bisa gadis jalang ini menyahut begitu kalem, tetapi penuh pisau? Di sisi lain, Toni sejak tadi hanya diam. Ia diam bukan karena takut pada Davidson dan Paul, melainkan mendengar suara dingin dan kalemnya Amelia karena ia curi-curi dengar dari gosip jika Amelia punya tingkatan amarah dan kini baru memasuki tingkat terbawahnya. Lalu jika Amelia marah, maka habis sudah kehidupan tenang para musuhnya. Jadi Toni berusaha diam saja, tak mau dihajar Davidson dan Paul, tak mau pula kehidupannya penuh neraka karena Amelia.
"Ternyata mulutmu berbisa seperti rumornya ya," ujar Davidson, "tapi tak masalah, kami memang bersalah dengan menghinamu. Sejujurnya, kami sangat serius untuk mengajakmu berkencan, kau bisa tinggal pilih, hendak berkencan denganku atau Paul, atau kami berdua sekaligus. Kami dengan senang hati menerimanya." Senyum David terukir.
"Ya, kami sangat berpengalaman menghadapi wanita jadi kami bisa memperlakukanmu layaknya tuan putri," sahut Paul, "maukah kau berkencan dengan kami? Nona Amelia."
Sungguh Amelia tidak bisa menahan nada sarkastiknya, tetapi ia masih bisa menahan emosi. "Kalian berdua, apakah kalian serius? Demi Tuhan, aku lebih suka berkencan dengan sampah daripada berkencan dengan kalian berdua yang bahkan tidak sedikit pun masuk standar dari pria yang harus kukencani. Ah tidak, kalian bahkan tak pantas mengobrol selama ini denganku." Tawa kecil keluar darinya, sukses membuat Davidson dan Paul darah tinggi.
"Hey jalang," ujar Davidson, "kami tahu caramu bermain, kau pasti hanya berpura-pura menolak kami, kan? Bersikap seolah-olah wanita mahal padahal seorang pelacur juga! Lagi pula, berani kau menolak kami padahal kami punya segalanya untuk membeli tubuh jalangmu itu!"
"Sekarang kalian menyebutku pelacur secara terang-terangan ya?" Amelia berhenti bersedekap dan melangkah maju. "Coba katakan apa yang kalian miliki sehingga berani berkata jika kalian mampu membeli tubuhku?"
"Kami punya uang, terutama aku!" ujar Davidson, setidaknya ia tak kekurangan uang dan punya dua mobil mahal karena mobil lainnya adalah milik ayahnya. "Aku sangat kaya, punya banyak mobil, dan tampan tentu saja."
Amelia menganggukan kepalanya. "Yah, itu memang alasan yang bagus ...." katanya, suaranya terdengar sarkasme. "Tapi apakah hanya hal itu yang bisa kau tawarkan padaku? Karena banyak pria kaya raya dan tampan di Kota ini yang tertarik padaku bahkan para pria di luar kota Erysvale juga tertarik padaku."
"Kau jalang," sahut Davidson sementara Paul hanya diam saja karena dia merasa tak nyaman dengan gerak-gerik gadis sombong itu, sejak tadi terus-menerus berhasil melawan balik perkataan Davidson tanpa emosi padahal berkali-kali pula dihina jalang dan pelacur.
"Lagi pula, semua yang kau katakan itu sudah aku miliki, uang, rumah mewah, pakaian mahal, dan tentu saja aku punya otak genius, selalu dipuji banyak dosen serta profesor." Amelia kembali berucap dengan senyuman terukir di wajahnya. "Tidak seperti kalian yang berotak kopong, semakin aku yakin lebih baik berkencan dengan sampah dibandingkan kalian berdua."
Davidson kini dipenuhi amarah. "Dasar gadis jalang sialan, jangan berani-berani kau menolakku?!"
"David, kurasa kita sudahi saja," ujar Paul semakin merasakan firasat buruk.
"Tidak! Aku takkan pergi sebelum gadis jalang ini berkencan denganku dan menarik kata-katanya kembali!" teriak Davidson, "jangan berani kau menolakku, you bitch."
Amelia bisa merasakan kekesalan mereka, tapi itulah intinya. Dia ingin melihat mereka berkeringat dan dipenuhi amarah. Amelia merasa bahagia seolah-olah berada di atas angin dan ingin bersenang-senang dengan kedua pria berengsek itu. Perlahan Amelia menyeringai. "Tentu saja aku harus menolakmu." Ia berujar dengan penuh arogansi. "Seperti yang kubilang sebelumnya, ada banyak pria kaya dan tampan di kota ini yang tertarik padaku. Apa yang membuatmu menganggap dirimu spesial? Kau bahkan kasar pada seorang wanita yang hendak kau kencani. Lebih baik sudahi hal ini karena wajahmu membuatku mual."
"Berani kau berkata seperti itu! Aku bisa membuat hidupmu hancur, jalang pelacur!" Maka tanpa aba-aba, Davidson beringsut maju dan mencengkeram kuat pergelangan tangan Amelia tanpa izin. "Kau akan mendapatkan konsekuensinya jika berani menolakku."
Sesaat Amelia diam sejenak, kini ia berpikir, apakah ia boleh gunakan kekerasan saat ini juga ataukah ia harus melawan tanpa kekerasan demi menjaga martabatnya sebagai Queen Bee? "Inilah yang kubenci dari para pria bodoh."
Tanpa rasa takut, Amelia menyerang balik dengan menggunakan lutut dan menendang kuat kemaluan Davidson hingga lelaki itu memekik kesakitan dan melepaskan cengkeraman tangannya, lalu tanpa jeda, Amelia memberikan pukulan tepat di belakang tengkuk leher Davidson hingga lelaki itu ambruk ke tanah. Detik itu, Toni dan Paul terdiam. "Aku bukan wanita jalang yang lemah."
"Bajingan kau!" teriak Paul hendak melayangkan tinju, tetapi ia tahan saat melihat beberapa mahasiswa tengah mengacungkan ponselnya dan merekam mereka. "Sialan."
"Mereka di sini jauh lebih membela diriku," ujar Amelia, "dan sejak awal sebenarnya kalian sudah masuk perangkapku." Senyuman Amelia terukir saat dua mahasiswi mendekatinya dan memberikan ponselnya yang berisi rekaman video sejak awal Amelia mengobrol dengan Davidson dan Paul serta Davidson yang hendak berbuat kasar pada Amelia. "Opss, kurasa video ini akan viral dengan headline, dua mahasiswa Fakultas Hukum melakukan perbuatan melanggar norma karena melecehkan seorang wanita. Bagaimana, sudah mulai terbaca bagaimana alur ke depannya?"
"Kami akan jadi saksi karena kalian mengganggu Amelia," ujar gadis blonde bernama Jeanice.
"Ya, seharusnya kalian tidak datang kemari dan mengacau," balas Marsha, "bagusnya para pelaku pelecehan seksual ini dihukum kebiri, benar bukan?"
"Jalang kalian berdua!" teriak Davidson yang telah sadar kembali, tetapi lehernya terasa sangat sakit. "Ayahku kenal dekat dengan kepolisian daerah ini, dia punya banyak koneksi besar, dan kalian akan mendapatkan ganjaran---"
Tiba-tiba Amelia berjongkok, jari lentiknya perlahan menyentuh bahu Davidson dan mencengkeram kuat hingga terasa berdenyut. "Bajingan, kenapa gadis ini punya tenaga yang besar."
Lalu Amelia mendekatkan wajahnya agar ia dapat berbisik dan hanya didengar oleh Davidson. Ketika gadis itu mengucapkan beberapa patah kata, detik itu pula, Davidson merasa jika punggungnya merinding dan bulu romanya berdiri, waktu dalam hidupnya seolah-olah berhenti berputar, ia merasakan sesak di dadanya seolah-olah ada ketakutan tak terkira yang membuat degup jantungnya berdetak sangat cepat. Setelah Amelia selesai berbicara, gadis itu menyeringai, lalu berdiri dan menatap sinis Davidson serta Paul. "Enyah dari hadapanku."
Tanpa bantahan, Davidson yang penuh rasa takut itu, lekas berlari dari sana, membuat bingung Paul, tetapi ia terpaksa mengejar Davidson yang berlari tunggang-langgang seperti dikejar anjing liar saja ataukah kini ia yang jadi anjing liar terkena rabies dari berlari dari kejaran para petugas binatang?
"Rahasiakan apa yang terjadi di sini," ujar Amelia pada ke ketiga mahasiswa di dekatnya itu. "Terutama kau Toni, tutup mulut rapat-rapat, okay?" Senyuman Amelia terukir manis. Lalu ia segera melenggang pergi dari sana.
Melangkah di koridor kampus, ia abaikan para mahasiswa yang menyapanya, lalu lekas ia masuk ke kamar mandi wanita, menyalakan keran, mengambil sabun dan mencuci tangannya sebersih mungkin karena dia baru saja menyentuh Davidson dan dia enggan bersentuhan dengan kuman terutama para pria berengsek tersebut. Kini dia menatap pantulan wajahnya di cermin, perlahan tersenyum manis, ia terlihat sangat cantik. Setelah mengeringkan tangannya dengan tisu, ia pun keluar dari kamar mandi wanita.
Berjalan di koridor lagi, dia mengeluarkan ponselnya seraya membuka aplikasi chat. Mencari kontak nama seorang lelaki yang selalu berhasil menaikkan dan memperbaiki suasana hatinya jika sedang rusak.
Amelia:
Hey Pretty, apakah kau sedang ada kelas?
Aku akan ke sekolahmu setelah makan siang, eh atau aku makan siang di kantin sekolahmu saja?
Sepertinya Viole sedang ada kelas dan mematikan ponselnya karena pesan yang Amelia kirimkan tidak kunjung dibaca oleh Viole. Meskipun begitu, ia tetap mengirimkan pesan.
Amelia:
Pretty.
Tadi aku digoda sama dua pria berengsek dari Fakultas Hukum dan mereka hampir melecehkanku. Untungnya aku berhasil mengusir mereka.
Sampai jumpa di sekolah, pretty<3
Setelahnya Amelia mengeluarkan aplikasi chat tersebut dan menuju kelas karena sebentar lagi ada kelas selanjutnya, sebelum ia ke sekolah Viole dan melanjutkan tugasnya sebagai penjaga klinik sekolah. Kini di saat kelas Amelia berlangsung, gadis itu tak sadar jika beberapa pesan masuk berasal dari Viole.
My pookie bear♡:
HUH?!!
Is they touch you?! Sekarang bagaimana keadaanmu?! Apa kau terluka? Kau baik-baik saja 'kan? Mereka tak melukaimu 'kan? Apakah kau sudah melaporkan hal ini pada dosen atau siapa pun itu?
Sayangnya, selang beberapa detik, chat Viole tersebut dihapus oleh empunya sendiri sehingga Amelia tidak bisa membaca pesan tersebut. Lalu beberapa menit kemudian, Viole mengirimkan pesan baru yang berbunyi.
My pookie bear♡:
Ya.
****
Setelah bercakap-cakap dengan Mrs. Adriana, Amelia keluar dari kantor para dosen dan profesor. Ia merasa sangat lelah saat ini, tetapi harus ke sekolah Erysvale untuk melanjutkan tugasnya sebagai penjaga klinik sementara. Catherine dan Claudia sudah pergi lebih dulu pukul sebelas tadi, begitu pula Francesca dan Sebastian. Teman-temannya benar-benar sibuk Minggu ini, terutama Catherine dan Claudia di Panti Jompo serta harus banyak-banyak bersabar agar tidak bertengkar dengan Krystal. Catherine bercerita jika dia bertengkar dengan Krystal sampai ditertawakan para orang tua di panti jompo tersebut, sungguh mengerikan, Amelia sangat bersyukur jika ia ditempatkan di sekolah menengah atas dan hanya perlu menghadapi tingkah para bocah saja.
Manik mata hazelnya menatap pada dua petugas kepolisian setempat yang mengenakan seragam cokelatnya dan topi koboi, pria itu cukup Amelia kenal, deputy Francis dan Jeremiah. Ia curi-curi dengar jika sheriff Jude juga ada di sini untuk melakukan investigasi dan beberapa interogasi pada mahasiswa yang dikenal dekat dengan keenam korban dari tragedi terbakarnya rumah kabin semalam. Jadi kemungkinan kehadiran deputy Francis juga untuk menginterogasi para mahasiswa.
"Halo Amelia," ujar Francis mendekati gadis cantik itu. "Mau pergi?"
"Halo Deputy," balas Amelia tersenyum tipis. "Ya aku hendak ke sekolah Erysvale karena aku menjadi penjaga sementara di klinik sekolah itu."
"Ah ya, aku tahu, putriku ada cerita hal ini," ujar Jeremiah, "ada beberapa guru baru, staf, dan juga penjaga klinik sementera."
"Putri Anda?" sahut Amelia dengan alis terangkat.
"Emma Walter," balas Jeremiah, "dia di tahun pertama."
Senyuman Amelia terukir begitu juga tawanya, jadi si Emma sahabat Viole adalah putri dari petugas kepolisian setempat. Tidak disangka, kota ini memang kecil dan sempit. "Aku tahu putri Anda," balas Amelia, "dia sahabat dari Violetta, benar 'kan?"
"Kau tahu Violetta?" sahut Francis, cepat. Ia melirik tajam pada Amelia, jadi waspada, kebiasaan sifatnya yang selalu waspada. Merasa aneh pula karena Violetta adalah pendatang ke Kota ini dan sepertinya jarang berinteraksi dengan orang lain selain teman-temannya. Lalu bagaimana bisa Amelia kenal dengan Violetta.
"Sir," ujar Amelia merasa jika ia tengah dicurigai. "Violetta itu terkenal di sekolahnya jadi mustahil aku tak tahu, lalu kami pernah bertemu sebelumnya di toko buku dan sering mengobrol juga hingga kini." Tentu saja Amelia akan menjelaskan tanpa kebohongan terutama hal ini menyangkut si cantik Violettanya.
"Begitu rupanya, putriku tak ada cerita, tapi syukurlah jika kau akrab dengan anak-anak di sekolah itu," sahut Jeremiah.
Deputy Francis menurunkan kewaspadaannya lalu tersenyum dan berdeham. "Baiklah, aku bersyukur juga jika kau akrab dan berteman dengan mereka. Maaf, tadi aku hanya sedikit waspada, kau tahu 'kan mengenai kejadian pembantaian di sekolah itu, aku jadi sensitif kalau hal-hal aneh terjadi pada anak-anak. Mereka banyak mengalami trauma."
Amelia diam sejenak, ia tahu jika sebulan lalu sangat heboh bahkan beritanya tayang hingga ke luar negara. Pembantaian massal yang dilakukan sekelompok orang gila hanya untuk balas dendam, tidak sedikit yang meregang nyawa dan banyak keluarga masih berkabung. "Anda benar, bahkan hingga sekarang, beberapa murid sering terkena panic attack tiba-tiba dan mereka harus pergi ke psikolog untuk mengatasi trauma mereka. Namun, aku yakin dengan penanganan yang tepat serta kepala sekolah yang baru, sekolah itu jauh lebih aman. Setahuku penjaga di sekolah juga ditambah."
Deputy Francis menganggukan kepalanya. "Kau benar atas ini pulalah Wali Kota memerintahkan mahasiswa Universitas Varenheim untuk menjadi relawan di beberapa tempat termasuk sekolah itu karena kami perlu waspada meminta bantuan tenaga dari luar. Takut jika ada celah sehingga para penjahat berhasil menyusup kemari."
"Bagaimana dengan kasus semalam? Apakah pelakunya ditemukan?" ujar Amelia. Sejujurnya meski tak kenal dekat dengan si Jared serta lainnya, tetapi tetap saja menyesakkan karena yang menjadi korban adalah mahasiswa di Departemen Kedokteran ini.
"Kami masih melakukan investigasi termasuk berjaga di sekitar kabin dan hutan tempat kejadian perkara," ujar Francis seraya melirik Jeremiah yang mengobrol dengan beberapa mahasiswa. "Namun, belum mendapatkan petunjuk apa pun, pelakunya benar-benar sempurna menutupi jejaknya bahkan tidak kami temukan jerigen jika semisal ia membawa bensinnya sendiri untuk membakar kabin itu."
"Jadi sudah dipastikan kalau kasus ini murni pembunuhan bukan karena kecelakaan?" balas Amelia.
"Ya, hasil otopsi para korban sejauh ini menyatakan jika selain terbakar, ditemukan serangan benda tajam di tubuh para korban bahkan ada korban yang kepalanya pecah karena tembakan, tengkoraknya ditemukan hancur dan terpisah dari tengkorak leher." Mendengar perkataan itu, Amelia meringis sesaat, memikirkan kepala pecah sungguh mengerikan. Francis melanjutkan perkataannya. "Atas inilah, kami menyatakan jika kasus ini murni pembunuhan lalu kabinnya dibakar ...." Hening terdengar sesaat. "Lagi pula jika kau mengikuti berita akhir-akhir ini, pola kematian korban selalu sama dan tak ditemukan jejak si pembunuh."
"Maksud Anda kasus kematian di peternakan atau pemilik ladang serta terbakarnya mansion keluarga Hartman, bahkan pembantaian keluarga Higgins?" ujar Amelia. Ia tahu semua berita ini karena Francesca dan Sebastian paling senang mengecek berita di kanal YouTube atau melalui media sosial lain.
"Benar sekali," sahut Francis, "kematian para korban itu meski dengan cara yang berbeda-beda, tetapi satu hal yang pasti jika mereka mati dengan sangat mengenaskan karena tak hanya melibatkan senjata tajam, tetapi cara di luar akal manusia bahkan korban dari keluarga Hartman diikat di kursi sebelum mansion itu dibakar. Hingga kini pelakunya juga belum kami temukan."
Amelia berpikir sejenak, jikalau pola kematiannya sama, bukankah artinya pelaku semua kasus yang terjadi akhir-akhir ini jugalah sama? "Pelakunya kemungkinan orang yang sama dengan kejadian semalam dan kasus lainnya?"
Berat bagi Francis untuk mengakui hal itu, tetapi atas semua investigasi mereka, maka satu-satunya pelaku yang bisa melakukan pembunuhan terencana tanpa meninggalkan jejak hanyalah .... "Ya, pelakunya adalah orang yang sama."
"Apakah pelakunya yang sering dibicarakan warganet seluruh dunia?" Amelia berucap lagi.
Maka Francis menganggukkan kepalanya. "Bloodied Tortuner, pembunuh yang selalu diselimuti darah korbannya, tapi darahnya sendiri tak pernah menetes sedikit pun. Pembunuh itu terlalu sempurna sampai-sampai tak ada yang berhasil menangkapnya meski tahun lalu pernah dikerahkan kepolisian langsung dari New York dan Washington DC."
"Sir, Sheriff Jude meminta kita menemuinya," ujar Jeremiah.
"Baiklah," balas Francis, "kurasa kita sudahi percakapan ini."
"Ya Deputy, terima kasih sudah mau berbagi informasi dengan saya," ujar Amelia, "saya juga harus segera pergi."
"Ah Amelia," ujar Francis dan Amelia menoleh dengan alis terangkat. "Tolong jaga bocah-bocah itu ya terutama Violetta, dia terlalu polos. Aku takut terjadi sesuatu pada anak itu."
Amelia terkekeh. "Bahkan Anda berpikir jika dia polos juga? Padahal Violetta itu sering bersikap dingin lho."
"Dia dari luarnya saja terlihat dingin, tetapi dia sebenarnya cukup ekspresif dan terkadang polos. Aku hanya takut jika dia terlibat hal-hal berbahaya bersama teman-temannya," ujar Francis, "jadi tolong pantau mereka selama kau bekerja sebagai penjaga klinik di sana."
Tanpa diminta pun, Amelia dengan senang hati berada di dekat si cantik Violetta. "Tentu saja, saya senang berada di dekat mereka."
"Aku titip putriku juga si Emma Walter," teriak Jeremiah.
Amelia menghela napas. "Baiklah, saya juga akan menjaganya karena putri Anda dengan Violetta itu dan teman-temannya lagi ibarat perangko dan surat jadi sulit terpisahkan."
"Terima kasih," ujar Jeremiah lalu pergi dengan Francis menemui sheriff Jude.
Kini Amelia menghela napas. Dia menatap ponselnya yang ternyata ada chat dari Viole. Hanya satu jawaban saja dari lelaki itu padahal Amelia cukup banyak mengirimkan bubble chat. "Untungnya dia imut dan menggemaskan jadi ingin kupeluk saat bertemu nanti."
****
Kepopuleran Amelia sepertinya meningkat di sekolah para bocah ini, ia jadi mulai ada penggemar baik dari bocah perempuan atau pun laki-laki, sehingga mulai beberapa murid menyapa padanya, tersenyum kecil, atau memanggil nama Amelia dengan riang gembira, bahkan beberapa lelaki memberanikan diri untuk memberikan hadiah kecil seperti roti atau susu kotak. Sayangnya, semua hadiah itu Amelia tolak dengan cukup kasar seperti, "maaf aku tak menerima hadiah dari bocah ingusan yang bahkan perkalian saja belum kalian hafal."
Ia sangat sadar jika perkataannya berlebihan, tetapi ia sudah terbiasa menjawab sesuatu dengan bahasa yang sarkas dan kasar, tidak pandang bulu ia berucap pada siapa. Lagi pula jika ia terus menerima pemberian itu, para murid akan semakin berani mendekatinya padahal Amelia tak mau diganggu oleh mereka terutama oleh bocah songong yang merasa diri mereka dewasa padahal mengurus diri sendiri saja masih merengek pada orang tua.
"Di mana Violetta itu," gumam Amelia setelah menaruh barang-barangnya di klinik sekolah. Ia mengecek buku yang berisi daftar nama jika ada yang berkunjung ke klinik ini, ternyata kosong, woah ia rasa para murid sedang tak ingin berpura-pura tak enak badan. "Dia tak menjawab panggilan telepon atau pesanku."
Melangkah keluar klinik sekolah, masa bodoh jika ada yang berkunjung ke klinik karena sakit, Amelia butuh Violetta untuk menjadi charger atau pengisi daya baterai suasana hatinya. Berjalan di koridor ini, ia jadi sedikit bernostalgia mengenai masa sekolahnya meski ketika kecil, Amelia tidak bersekolah di kota ini. Lalu ia mendengar para murid tengah membicarakan berita mengenai kasus kebakaran kabin dan kematian enam mahasiswa Universitas Varenheim, ternyata mereka sibuk membicarakan masalah ini, pantas saja tidak ada yang berpura-pura sakit karena lebih tertarik pada gosip dan teori-teor konspirasii yang berkaitan dengan kasus semalam.
Mengapa Amelia menyebutnya sebagai teori konspirasi? Karena para bocah ini senang sekali berteori mengenai suatu kejadian entah disangkutkan pada hal-hal misteri, horor dan supranatural, hingga sci-fi. Mereka tak lupa juga mengecek forum diskusi di internet dan memantau sosial media barangkali ada yang membuat utas mengenai alasan terjadinya kebakaran dan kematian korban, tentu saja alasan ini di luar dari pernyataan pihak sheriff dan rumah sakit.
"Dasar para bocah yang percaya teori konspirasi akan adanya alien dan Underworld." Amelia menggelengkan kepalanya, meskipun begitu, hal ini jauh lebih baik dilakukan karena dengan adanya hal ini, para bocah itu jadi lebih sering mengecek kabar terkini dan lebih waspada pada lingkungan sekitar apalagi dikabarkan jika pelaku pembunuhan semalam belum kunjung ditemukan jadi bisa saja masih berkeliaran di sekitar warga.
"Mungkin pelakunya ævoltaire." Seorang murid menyeletuk seperti itu, jadi membuat Amelia penasaran karena di kampusnya, beberapa mahasiswa juga memberikan asumsi jika pelaku dari semua kejadian pembunuhan akhir-akhir ini adalah seorang ævoltaire. "Karena itu dia sulit ditangkap!"
Murid lain menyeletuk lagi. "Mungkin kekuatannya invisible! Jadi dia menghilangkan tubuhnya sehingga tembus pandang karenanya tidak meninggalkan jejak, atas inilah sheriff dan deputy tidak menemukannya."
Amelia jadi berhenti sejenak mendengar mereka, ia berpura-pura main ponsel. Rasanya lucu dan menggemaskan melihat para bocah sekolah, tengah berdiskusi meski diskusi ini cukup mengerikan karena membicarakan pembunuh. "Menurutku dia punya kekuatan teleportasi! Lebih masuk akal bukan? Karena itu dia selalu berhasil kabur, dia berteleportasi sejauh mungkin dari tempat pembunuhnya!"
Sesaat Amelia setuju dengan perkataan itu, sangat masuk akal karenanya sang pembunuh bisa hilang tanpa jejak pastinya juga barang yang ia gunakan untuk membunuh para korban dibawanya berteleportasi juga. Lalu terdengar murid lain berujar dengan teori yang lebih lucu.
"Bagiku, dia punya kekuatan mengecilkan badan hingga seukuran semut, makanya nggak bisa dilacak dan ditemukan manusia biasa."
"Lho jadi plagiat ant-man dong?"
"Kau pikir kita bahas film? Plagiat, plagiat ini kehidupan nyata!" teriak murid lain, "lagi pula ant-man pastinya terinspirasi dari kekuatan ævoltaire, kuyakin jauh sebelumnya, ada ævoltaire yang kekuatannya bisa mengecilkan badan atau menjadi semut."
"Woah, jangan-jangan pemeran ant-man itu sebenernya ævoltaire, terus aktingnya berubah jadi kecil itu nyata bukan CGI!"
"Apakah superman dan hulk, diperankan ævoltaire yang punya kekuatan besar dan berubah jadi makhluk warna hijau?" Para murid itu tertawa, tetapi menikmati percakapan yang jadi melenceng dari topik utama ini.
"Jangan-jangan Hogwarts beneran nyata?" Mereka diam sejenak dan ingin berteriak kalau ternyata Hogwarts adalah sekolah sihir nyata yang hidup para ævoltaire di sekolah itu. "Begitu juga Narnia!"
"Oh gawat, kalau semisal Hogwarts nyata, bagaimana dengan Godzilla?!" Kini para murid itu hening dan saling bersitatap.
"Tolong jangan ada yang berkata kalau virus jamur di series The Last of Us jugalah nyata."
"Dan zombie apocalypse akan segera datang." Maka usai sudah percakapan mereka dan lekas membahas hal lain seperti membicarakan game PC yang akhir-akhir ini sering dimainkan para gamer, misalnya saja seperti The Lethal Company atau Fears to Fathom.
Sementara Amelia sudah sejak tadi meninggal para bocah itu semenjak mereka berpikir jika ant-man diperankan ævoltaire, sungguh tidak logis untuk seorang manusia yang berhasil jadi ævoltaire, tapi malah bekerja menjadi aktor film Marvel. Tunggu, ant-man Marvel bukan? Amelia sangat jarang mengikuti series superhero DC dan Marvel karena bukan penggemar berat kedua hal itu.
"Ternyata benar kau di sini bocah," ujar Amelia mempercepat langkahnya menuju gedung olahraga sekolah tersebut. "Kenapa tidak membalas pesanku?! Dan kenapa kalian bersembunyi seperti orang mengintip ...."
"Shhhttt." Keempat bocah itu berdesis bersamaan untuk menyuruh Amelia diam, kini mereka bersembunyi di balik tembok gedung olahraga tersebut dan memantau Louie yang tengah mengobrol dengan seorang gadis rambut dikepang dan berasal dari angkatan tahun ketiga.
"Apa yang kalian lakukan?" ujar Amelia jadi ikutan bersembunyi, ia tepat di belakang Viole.
"Jangan ribut, sialan," ujar Theodore merasa kesal karena kehadiran Amelia.
"Diamlah, jangan ribut," ujar Viole.
"Kami memantau Louie, sepertinya gadis itu menyatakan perasaannya pada Louie," sambung Sophia.
Mau tidak mau, Amelia jadi ikut memantau Louie bersama dengan bocah-bocah sekolah ini. Sebenarnya dia enggan berada di sini dan terlihat seperti orang bodoh, tetapi karena Viole bersama dengan teman-temannya memantau, maka gadis itu memilih untuk mengalah, terutama melihat tingkah kekanak-kanakan mereka serta Viole, membuat suasana hati Amelia jadi membaik. Bahkan gadis itu mulai operasi menggoda Viole dengan mendekatkan tubuhnya hingga tepat berada di belakang si bocah cantik nan pendek darinya ini, lalu hendak menyentuh bahu Viole dengan kedua tangannya.
"Jangan sentuh," ujar Viole merasa risi, tiba-tiba saja, Theodore mendorong Amelia lalu menarik Viole ke sampingnya.
"Jangan membuat masalah." Theodore berujar dengan kesal.
Amelia berdecak sebal, ia memutar bola matanya dan bersedekap, sungguh Theodore membuat kesal, andai ia bisa mengusir atau menyeret Theodore pergi maka sudah ia lakukan sejak lama. "Apa teman kalian itu sering ditaksir perempuan sekolah ini?"
"Tidak." Maka keempat bocah menyahut bersamaan.
"Seriously? Jadi ini pertama kalinya dia mendapat surat dan cokelat serta perempuan menyatakan perasaannya?" Amelia menaikkan alisnya, tetapi tertebak jika Louie jarang ditaksir karena wajah lelaki itu biasa-biasa saja, tidak semenarik Viole dan si Theodore sialan. Yeah, lagi pula jangan pernah membandingkan wajah pria manapun dengan Violetta, si cowok cantik yang seolah-olah bukan manusia karena kontur wajahnya dipahat sedemikian cantik dan tampannya oleh Tuhan.
"Si culun dan jarang berinteraksi itu memang tak punya banyak kenalan jadi tidak ada yang naksir dia," ujar Theodore.
"Perkataanmu jahat, Louie tidak culun, dia hanya susah berinteraksi dengan perempuan," balas Emma seraya menatap pada Theodore yang membuat wajah meremehkan. "Lagi pula, Viole juga jarang berinteraksi dengan perempuan dan anak-anak di sekolah ini selain kita."
"Tapi dia terkenal," balas Sophia mengangkat kameranya kemudian memotret Louie, tetapi Louie tak terlihat bahagia. "Viole disenangi dan ditaksir banyak gadis di sini karena wajahnya yang cantik dan tampan."
"Diamlah dan aku tidak cantik!" balas Viole jadi kesal karena dirinya selalu dipanggil cantik! For God's Sake, Viole adalah lelaki! Jangan panggil cantik!
Mendengar percakapan bocah-bocah ini, Amelia berujar, "Viole ditaksir banyak gadis?" Entah mengapa suara Amelia terdengar rendah dan dingin.
"Err, ya," balas Sophia merasakan aura menusuk dan dingin di sekitarnya. "Sebenarnya sejak semester pertama, Viole sudah jadi pusat perhatian dan sering jadi perhatian anak-anak sekolah terutama murid perempuan, banyak yang naksir dia."
"Ah sudah kutebak jika kau memang populer, bocah." Amelia berujar sambil menggenggam kedua bahu Viole. Hal ini membuat punggung Viole merinding, ia diam tak berani menyahut.
Theodore lalu berucap untuk memperkeruh suasana. "Sejak lama Viole ditaksir banyak gadis, hampir setiap hari, para gadis itu memberinya hadiah kayak cokelat, susu kotak, surat, bunga, dan masih banyak lagi. Dia bahkan punya klub penggemar tersendiri."
"Sering diberi cokelat dan bunga?" Amelia seketika mencengkeram erat kedua bahu Viole yang sukses membuat lelaki itu jadi semakin takut dan menahan sakit karena cengkeraman gadis gila itu seolah-olah hendak mematahkan bahu Viole. "Dan punya klub penggemar, huh?"
"Aku ingat, Viole dalam sehari, lebih dari sepuluh kali diajak kencan sama kakak tingkat yang beda orang," ujar Sophia, ia sepertinya punya telepati dengan Theodore dan ingin sekali menjadi bensin dalam api berkobar-kobar. Sementara Emma hanya dapat menghela napas karena merasa jika kedua temannya hanya akan membuat hidup Viole di ujung tanduk.
"Begitu." Seketika Amelia menarik tubuh Viole hingga menempel padanya, gadis itu sedikit menunduk agar ia bisa berucap tepat di telinga Viole. "Kira-kira apakah ada gadis yang kau terima dan kautaksir kembali?"
Perlahan Viole menarik napas dan menelan salivanya. "Tidak, aku menolak mereka semua."
"Goodboy, jangan pacaran sebelum umurmu legal okay?" ujar Amelia tersenyum tipis. Lalu melirik ketiga bocah lainnya. "Kalian juga ya, suka sama seseorang itu normal dan boleh saja menyatakan perasaan, tapi jangan pacaran dulu karena teori relativitas atau Newton saja kalian belum tentu paham, got it guys?"
Para bocah itu hanya diam. Mereka sungguh tak habis pikir mengenai jalan pikiran gadis cantik dan mengerikan ini. Bukankah dia yang terlihat seperti hendak menerkam Viole kapan saja? Namun, dia menjadi menyeramkan karena Viole ditaksir oleh perempuan lain. Mereka berempat memutuskan untuk terus ingat bahwa apa yang terjadi kini bukanlah bagian dari series seperti Gossip Girl atau film Mean Girl karena semua ini adalah kehidupan nyata.
"Kau seram," cicit Sophia seperti tikus kecil yang ketakutan. "Mirip Jill Roberts dan Amber Freeman di film Scream."
Demi Tuhan! Kenapa Sophia malah mengatakan hal itu? Tidakkah ia paham jika Amelia tersinggung maka hidup mereka bisa dalam bahaya! Bukan bahaya secara harfiah, ini hanya hiperbola karena mereka tak mau dihajar oleh gadis sakti itu.
"Ah sweetie," ujar Amelia, suaranya manis, tapi menusuk. "Are you comparing me to those two killers?"
"No, I mean." Sophia lekas mengklarifikasi perkataannya. "You're scary, just like them. Not part of being the killer. Aku juga sangat suka film Scream kok, nggak maksud menghinamu, maaf jika kau tersinggung."
Amelia terkekeh pelan, ia merasa lucu karena si bocah rambut pendek dan menyebalkan ini merasa ketakutan begitu pula ketiga temannya, padahal Amelia hanya bercanda, dia benar-benar tak berniat untuk berbuat jahat sedikit pun. "Okay, tapi aku tetap tak suka jika kau menyamakanku dengan mereka."
"But I like them," ujar Viole, "I like Jill and Amber, they are my favorite characters in Scream movies, including Queen Bailey."
Sungguh hal ini membuat mereka diam sejenak, secara tak langsung Viole menyatakan jika ia menyukai tokoh pembunuh dari film tersebut. "Yeah, siapa yang tak suka tokoh-tokoh itu, maksudku aktris yang memainkan Jill adalah Emma Roberts." Theodore berucap seraya menatap Louie yang akhirnya selesai mengobrol. Lama juga ya ungkapan cinta perempuan itu pada Louie.
"Lagi pula, waralaba Scream jadi banyak karena tokoh penjahatnya para wanita cantik," balas Sophia.
Viole terlihat menganggukan kepala. Sementara Amelia menaikkan satu alisnya, lalu tersenyum manis seraya mendekatkan wajahnya pada Viole agar ia bisa berbisik pada lelaki itu lagi. "Jadi kau suka tokoh perempuan yang berperan sebagai pembunuh huh?"
"Aku suka akting aktrisnya dan alur yang menjadikan para perempuan itu sebagai pembunuh," ujar Viole, "lagi pula aku suka semua jenis film seperti itu meski tidak kecanduan seperti Sophia."
Amelia terlihat bahagia, hendak ia peluk Viole, tetapi lekas lelaki itu menghindar. "No! No, jangan peluk tanpa izin."
"Boleh peluk?" Amelia memanyunkan bibirnya.
"Tidak." Viole balas dengan tegas, lalu bergegas menuju Louie karena teman-temannya sudah mengelilingi Louie di sana.
"Fuck," gumam Amelia, "kesekian kalinya lagi dia menolakku."
Di sisi lain, Viole bingung melihat Louie yang wajahnya biasa saja, tidak bahagia dan tidak pula muram, bukankah harusnya dia bahagia karena diberi surat dan cokelat satu kotak? Bahkan ada pita kuning di kotak cokelat tersebut.
"Untukmu," ujar Louie menyodorkan kotak cokelat dan suratnya pada Viole.
"Huh, kenapa kau berikan padaku?" balas Viole.
"Dia suka kau," balas Louie tersenyum tipis. Sungguh hal ini membuat yang lain jadi syok. "Dia tidak berani langsung kasih ke kamu karena pasti ditolak jadi dia kasih ke aku dulu. Jadi gadis tadi bukan naksir padaku, tapi naksir kau."
Mereka menatap pada Louie, merasa iba karena seolah-olah Louie dibawa naik ke angkasa kemudian dijatuhkan sekuat mungkin. "Kau baik-baik saja?" ujar Emma merasa sedih. Barangkali Louie sudah senang karena ditaksir perempuan lain, tetapi malah target si perempuan adalah Viole.
"Oh Goddess, aku sudah tahu, sejak awal dia sudah berkata padaku kalau menyukai Viole dan minta bantuan padaku agar dia dekat dengan Viole, tapi kutolak, hingga akhirnya dia mau kasih surat ini saja. Semisal masih ditolak, dia akan berhenti menyukaimu." Louie menyodorkan suratnya. "Ambil, jujur, aku baik-baik saja, aku juga tak suka gadis tadi."
Viole menatap bingung pada surat berwarna kuning ini bahkan diberi stiker bebek dan pita kuning, seolah-olah banyak yang tahu jika warna favorit Viole adalah kuning dan sejatuh cinta itu dia sama bebek imut. "Kurasa aku---"
"Apa itu pretty?" Amelia muncul di belakang Viole. Teman-temannya jadi menatap Amelia, mereka sesaat lupa jika ada gadis mengerikan ini masih di sini. "Wow, surat cinta? Apakah dari crush-mu pretty? Kupikir ini untuk Louie."
"Tidak, dia berikan padaku untuk Viole karena tidak berani kasih langsung," balas Louie.
"Pengecut," balas Amelia, "seharusnya kalau sayang, langsung hadapi langsung bukan? Bukan melalui perantara. Benar bukan, pretty? Gadis seperti mereka tak pantas kau terima." Senyum gadis itu terukir entah apa maknanya.
"Ihh mirip cewek di film Smile," balas Sophia, "yang jadi hantunya itu lho. Kalian tahu 'kan?"
"Kau samakan aku dengan hantu di film Smile?!" sahut Amelia.
"Tidak! Dia hanya bercanda!" sahut Viole seraya memberi kode pada Louie dan Emma, maka lekas mereka di samping Sophia agar gadis itu tak mengucapkan sepatah kata pun lagi.
Amelia menghela napas. "Bersama dengan kalian, aku selalu dianggap menyeramkan padahal semua orang selalu memujiku."
"Kau memang seram," sahut Theodore.
"Mau kubanting lagi?" balas Amelia.
Lekas Theodore mengelak. "Jadi mau kau apakan surat dan cokelatnya? Kau tolak dia seperti biasanya kau tolak yang lain?"
"Bajingan, aku diabaikan," sahut Amelia, lalu mengambil ponselnya karena tiba-tiba dihubungi oleh Francesca.
"Lebih baik buang saja suratnya kalau nggak diterima, percuma juga disimpan di apartemenmu, bikin numpuk kertas," ujar Sophia. Ia malas juga memberi saran baik karena baginya jika tak suka sama seseorang, langsung tolak saja, dibandingkan memberi harapan. "Takutnya jika kau simpan, nanti gadis itu terus nagih perasaanmu, kan mengerikan jika dia jadi stalker."
"Tolong bekap mulutnya dengan lem atau kain," balas Viole.
"Sejak tadi, kau selalu saja mengucapkan hal mengerikan," balas Louie.
"Sophia, tenang okay? Tidak semua hal harus kaukaitkan dengan hal-hal menyeramkan." Emma berujar lalu dia mengambil cokelat batangan yang diberikan Viole. "Makasih."
"Jadi kau putuskan untuk dibagi saja?" ujar Theodore seraya menatap cokelat isi kacang mede ini.
"Suratnya kubuang, cokelatnya kubagi saja, mubazir kalau dibuang, terus kebetulan ada enam picis satu kotak ini," ujar Viole.
"Satu picisnya lagi untuk siapa?" ujar Louie, "oh ya ada dia." Mereka tak sangka jika Viole dengan senang hati memberikan satu batang cokelat terakhir pada si gadis menyeramkan.
"Kalau di film thriller, kayak film Crush 2013 atau series You di Netflix, tuh cokelat bakal disimpan selamanya karena dikasih orang yang dia taksir," ujar Sophia dengan wajah sumringah sambil mengunyah cokelatnya.
"Someone please get some duct tape to cover her mouth," ucap Emma.
"Yes, mulutnya harus dikunci selama beberapa jam," sahut Louie.
Theodore ikutan menyahut, "jangan hanya lakban, tapi lem cair yang tahan lama."
Sophia mendengus kesal dan berucap, "sialan kalian!"
Di sisi lain, Viole abaikan semua perkataan bodoh teman-temannya. Kini dia mendekati Amelia yang fokus menelepon temannya, gadis itu sadar jika Viole melangkah ke arahnya jadi ia memberikan kode dengan tangannya agar Viole menunggu sebentar karena Amelia masih membahas beberapa hal di telepon tersebut. Setelah sambungan teleponnya dengan Francesca selesai, gadis itu berbalik menatap Viole.
"Kenapa Pretty?"
"Untukmu," balas Viole.
Amelia terkekeh pelan. "Cokelat, kau tidak salah memberiku cokelat?"
"Kelebihan satu, mubazir kalau dibuang."
"Bukan itu pretty," balas Amelia, ternyata Violetta ini benar-benar polos. "Cokelat ini banyak kalorinya dan dapat membuat gemuk."
Viole memperhatikan Amelia lalu berkedip sesaat. "Kau tidak gemuk tuh."
"Bukan itu maksudku, pretty, tapi kalau aku makan cokelat ini, aku akan jadi gemuk nanti, tidak baik mengkonsumsi banyak gula," ujar Amelia.
"Jadi tak mau cokelatnya?" Viole menelengkan kepalanya, menatap dengan mata membulat.
"Bocah sialan ini kenapa sangat imut sih, benar-benar vitamin hari ini." Gadis itu bergumam dalam hati, lalu perlahan Amelia berujar, "tenang, aku terima cokelatnya, lagi pula satu cokelat takkan langsung gemuk, aku juga rutin workout. By the way, thank's."
Maka Viole mengangguk. "My pleasure." Dia lalu melangkah menuju teman-temannya yang kini mereka hendak kembali ke kelas. Amelia tentu saja mengikuti para bocah itu.
"Ayahmu pasti sangat sibuk," ujar Sophia.
"Ya, dia sejak semalam hanya pulang sebentar untuk mengecek keadaanku dan makan, lalu kembali bertugas sampai siang ini."
"Pembunuhnya juga belum ditemukan," ucap Louie, "sangat meresahkan."
"Apa yang kalian bicarakan tentang kebakaran kabin?" ujar Amelia dan mendapatkan anggukan para bocah. "Ah, keenam korban adalah kakak tingkatku, sebelum aku kemari, aku bertemu deputy Francis, dia akan menginterogasi beberapa mahasiswa di Departemenku."
"Apakah mereka temanmu?" ucap Theodore.
"Nope, aku hanya tahu mereka sebagai kakak tingkat, tidak pernah berinteraksi sedikit pun," ujar Amelia seraya menatap Viole yang fokus makan cokelat dan menyeruput susu rasa pisangnya. Huh, dari mana lelaki itu mendapat susu pisangnya?
"Kabarnya mereka dibunuh lalu kabinnya dibakar jadi seolah-olah kecelakaan," ujar Emma.
"Yeah, kemungkinan pelakunya sangat cerdas," balas Amelia, "dia tahu bagaimana cara menutupi jejak pembunuhannya dengan membakar kabin, jadi seolah-olah para korban lalai dan tak sengaja kabin mereka terbakar sedangkan mereka tertidur di dalam."
"Tapi pembunuhnya tetap gagal," ujar Sophia, "kebakaran berhasil dihentikan sebelum seluruh kabin hangus dan jasad korban masih bisa diotopsi dan berhasil ditemukan bekas sayatan benda tajam. Jadi pembunuhnya tak benar-benar cerdas."
"Sherlock Holmes beraksi," ujar Theodore lalu Louie terkekeh.
Sedangkan Sophia kesal jadi ia tendang kaki Theodore lalu pukul bahu Louie. "Jangan mengejek!"
"Menurutku." Viole menyeruput susu rasa pisangnya. "Pembunuhnya sengaja, dia sudah memprediksi kalau kebakaran kabinnya akan dihentikan dan polisi berhasil mengidentifikasi korban serta hasil investigasi menyatakan kalau ini pembunuhan berencana."
"Untuk apa dia lakukan itu?" ujar Louie.
"Entahlah, mungkin untuk menunjukkan kalau sheriff serta kepolisian mana pun tidak akan bisa menyelesaikan kasus ini. Maksudnya menangkap pembunuhnya," ujar Viole.
"Seperti pembunuhnya hendak menantang orang-orang untuk menangkapnya?" kata Emma.
"Kemungkinan terburuknya itu," balas Viole.
"Ternyata kalian tidak bodoh juga ya, kupikir kalian akan berteori seperti anak kecil atau bodo amat dengan kasus ini," ucap Amelia.
"Kami cukup aware dengan isu seperti ini, terlebih lagi karena kami pernah diincar kelompok teroris dan hampir terbunuh sebulan lalu." Sophia berucap dengan mudahnya.
Hening menyeruak, mereka seharusnya membekap mulut Sophia karena sejak tadi, mulutnya tak punya batasan sedikit pun. Dikarenakan teman-temannya hanya diam, Louie berujar, "kami sedikit lebih peduli pada isu sekitar demi keselamatan kami juga."
"Aku turut berduka atas kejadian teror di sekolah ini," ujar Amelia, "beberapa temanku di kampus juga kehilangan adiknya yang bersekolah di sini."
"Tenang saja," ujar Emma, "sekolah ini keamanannya sudah ditingkatkan jadi kita akan lebih aman."
"Semoga," balas Viole.
"Jangan hanya bilang semoga," ujar Sophia sedikit memukul bahu Viole.
Amelia merasa harus mengakhiri topik ini, tetapi ia penasaran karena kabar yang ia ketahui jika para teroris di sekolah ini, mereka semua berakhir dengan kematian mengenaskan, seperti kena luka tusuk, wajah sobek, hingga hangus terbakar. Bukankah semua itu pasti karena ada perlawanan? "Kudengar para teroris di sekolah ini, mereka semua juga mati. Apakah artinya ada orang-orang yang melawan para teroris itu?"
Tuhan, tolong selamatkan kami. Setidaknya kalimat itu yang kemungkinan digumamkan kelima bocah sekolah itu karena mereka paling menghindari pertanyaan tersebut, terlebih lagi, mereka berlima yang selamat ketika berhadapan dengan para teroris tepat di depan mata. Sementara murid lain yang selamat adalah mereka yang berhasil kabur keluar sekolah jauh sebelum para teroris masuk ke gedung utama sekolah dan menarget ketiga perundung. Sebenarnya, anak-anak sekolah ini tak ada yang tahu jika mereka berlima yang selamat setelah menghadapi para pembunuh, tetapi jika orang luar melempar pertanyaan mengenai kejanggalan kematian para teroris, mereka juga bingung harus menjawab dengan apa, terutama kematian para teroris yang sangat tragis.
"Entahlah," balas Viole, lekas Emma dan Louie menoleh. Hanya mereka berdua yang tahu jika kematian janggal para teroris seperti wajah atau tepatnya telinga robek karena perbuatan Viole menggunakan kekuatannya sebagai ævoltaire. "Kami juga penasaran karena yang kami dengar kalau para terorisnya mati hari itu juga dan tak diketahui mengapa mereka mati meski sudah dilakukan investigasi."
"Kata Mr. Xaviera jika kemungkinan ada murid atau guru atau staf sekolah yang melawan," ujar Theodore yang paham jalan permainan ini jadi dia ikutan menyahut, tetapi tetap menyembunyikan kenyataan jika ia dan teman-temannya yang sebenarnya terlibat melawan para teroris, meski ia tak tahu mengenai kematian janggal seperti salah satu pembunuh terbakar. "Kami berhasil keluar dari sekolah ketika para teroris mencari target mereka di gedung utama."
Semoga kebohongan itu dipercaya, batin Emma dan Louie karena jika terus dibahas takutnya mengarah pada ævoltaire.
"Begitu, pasti menjadi trauma yang berat untuk kalian," ujar Amelia, "kuharap ke depannya kalian tidak menghadapi marabahaya seperti sebulan lalu."
Mereka hanya mengangguk singkat seraya mempercepat langkah untuk kembali ke kelas karena bel sudah berbunyi. Cokelat mereka sudah habis dan bungkusnya segera dibuang ke tong sampah. Hari ini adalah kelas Bahasa Inggris jadi mereka akan lebih nyaman dibandingkan kelas Fisika sebelumnya.
"Pretty, sampai di sini untuk hari ini karena kau ada kelas dan aku berjaga di klinik, kemungkinan sebelum kau pulang, aku sudah kembali ke kampus lagi." Amelia berujar setelah Viole tengah mencuci tangannya di wastafel, ada wastafel di luar kamar mandi.
"Ya." Viole balas singkat sambil mengeringkan tangannya dengan tisu, ada tisu gratis di dekat wastafel. Teman-teman Viole sudah masuk kelas lebih dulu.
Senyuman Amelia hanya terukir tipis karena Viole masih saja bersikap dingin padanya. "Okay, have a nice day, pretty."
Detik itu berhenti, ketika tanpa disangka-sangka, Viole menarik kecil nan pelan ujung lengan dress Amelia, seperti anak kecil mencubit ujung baju ibunya. Hal ini membuat Amelia berbalik dan menatap lelaki cantik itu yang sedikit mendongak agar manik mata mereka saling bertautan. Lalu terdengar suara dingin lelaki itu, tetapi penuh perhatian.
"Di chat-mu sebelumnya, kau berkata jika kau diganggu dan hampir dilecehkan ...." Viole mengambil jeda sesaat. ".... oleh dua pria. Kau baik-baik saja 'kan? Mereka tidak menyakitimu 'kan?"
Entah mengapa hati Amelia terasa tenang dan hangat karena sesosok manusia dingin ini ternyata diam-diam menaruh kekhawatiran pada Amelia. "Ah pretty, ternyata kau khawatir padaku, huh?"
"Jawab saja pertanyaanku," sahut Viole menarik tangannya.
"Aku baik-baik saja pretty," ujar Amelia, "aku kuat, kau ingat? Aku takkan disakiti oleh siapa pun. Aku sangat pemberani hanya untuk melawan cecunguk berengsek seperti mereka."
"Syukurlah." Viole tersebut sangat teduh meski kini dia tak menatap Amelia lagi. "Tetap jaga dirimu." Maka lelaki itu lekas melangkah pergi karena kemungkinan gurunya yang mengajar sudah memasuki kelas.
Amelia menatap Viole dengan jantung berdegup kencang, lalu gadis itu berucap, "jangan lupa untuk selalu menjaga dirimu juga, semoga harimu bahagia."
"My pleasure," balas Viole, "May God is always blessing you."
Amelia menatap Viole melangkah ke dalam kelasnya, senyuman Amelia terukir manis, ia lalu berujar, "ah ternyata dia anak Tuhan, manis sekali. Suasana hatiku benar-benar membaik karenanya."
Kini Amelia mengambil ponselnya, lalu memotret cokelat yang ia miliki, kemudian diunggah ke Instagram dengan memberikan caption berupa May God Blessing you all, serta tambahan emot love warna kuning. Dia sangat bahagia hari ini.
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
|| Afterword #9
Duh siapa kira-kira pembunuh dalam kasus kali ini? Mengapa sulit sekali ditangkap?
Amelia sepertinya punya banyak pengalaman menghadapi banyak manusia terutama para pria, lalu barangkali dia juga belajar bela diri sehingga tak segan untuk melayangkan tinju atau perlawanan pada musuhnya^^ Dia tak hanya cerdas melainkan kuat juga.
Apakah cocok untuk Violetta? Karena sepertinya lelaki itu memerlukan seseorang yang dapat membantunya menghajar wajah orang-orang jahat ataukah malah malapetaka karena Amelia masuk ke hidup Viole?
Btw di akhir ternyata Viole perhatian juga ya^^
Prins Llumière
Rabu, 15 Mei 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top