Chapter 31: Breaking News [Part One End]
Berita tentang pembantaian massal di Erysvale High School, Indiana, menjadi sorotan di seluruh negeri. Stasiun berita dan saluran televisi menyiarkan laporan terperinci tentang tragedi tersebut, yang sukses mengguncang seluruh masyarakat. Reporter berdiri di luar sekolah yang telah menjadi tempat terjadinya aksi kekerasan mengerikan ini, siap memberikan informasi terbaru.
Reporter berita, Jessica Reynolds, mengenakan mantel tebalnya untuk melindungi diri dari hawa dingin akibat hujan terus melanda dan menyergap Kota Erysvale sore itu. Dia memegang mikrofonnya dengan tangan gemetar, mencoba untuk mengumpulkan kata-kata yang tepat untuk memberikan berita yang mengerikan ini kepada pemirsa di seluruh negeri.
"Dalam kejadian yang mengguncang hati kita semua, hari ini Erysvale High School menjadi saksi tragedi yang sangat menyedihkan. Pada pagi tadi, kelompok yang dikenal sebagai Grim Squad menyerang sekolah ini, memicu aksi kekerasan yang menewaskan banyak orang dan melukai sebagian besar yang selamat," ucap Jessica dengan suara yang hampir terdengar serak.
Dia melanjutkan. "Penyerangan dimulai sekitar pukul 10:00 pagi dan berlangsung hingga menjelang pukul tiga sore, memakan banyak korban tak bersalah. Kelompok Grim Squad, yang terdiri dari lima orang, menggunakan assault rifle dan pistol desert eagle dalam serangannya. Mereka menyerang dengan cara membabi-buta bahkan tanpa pandang bulu."
Reporter berita lain, Robert Carter, berada di lokasi tempat serangan pertama terjadi, yakni gedung olahraga sekolah. Di lokasi tersebut, darah masih terlihat berserakan dan bekas-bekas peluru menandai dinding-dindingnya. "Sekarang kita berada di lokasi serangan pertama, gedung olahraga Erysvale High School. Inilah tempat di mana para penyerang pertama kali memulai aksinya. Saat ada pertandingan basket. Darah dan kerusakan terlihat di mana-mana dan ini adalah saksi dari ketakutan yang dialami oleh para korban," kata Robert, berusaha menjelaskan gambaran horor yang terlihat di sekitarnya.
Dia melanjutkan. "Para saksi mata menggambarkan adegan kekacauan saat penyerang memasuki gedung ini, melepaskan tembakan ke arah murid dan guru yang sedang berada di dalamnya. Sebagai hasilnya, banyak dari mereka terluka bahkan tewas."
Reporter berita lainnya, Sarah Mitchell, memberikan laporan tentang perkembangan terbaru dari dalam gedung utama sekolah. Gedung ini menjadi tempat penyerangan lanjutan yang merenggut banyak nyawa. "Dalam beberapa jam berikutnya, penyerang berhasil merambah ke dalam gedung utama sekolah, meninggalkan jejak kehancuran dan kengerian di setiap sudutnya. Terdapat banyak korban yang telah berhasil dievakuasi dan sedang menjalani perawatan medis di rumah sakit setempat, sementara korban yang telah meninggal dunia, sebagian dari mereka diautopsi dan akan dimakamkan pada hari esok."
Sarah terlihat berusaha untuk tetap tenang di tengah situasi mengerikan ini. "Empat guru dan kurang lebih 38 murid dilaporkan menjadi korban penyerangan ini. Beberapa murid yang selamat, diantaranya mengalami luka-luka serius dan kritis. Upaya penyelamatan masih terus berlangsung dan tim medis dan petugas penegak hukum bekerja keras untuk memberikan pertolongan."
Reporter Jessica Reynolds kembali berbicara, kali ini memberikan informasi tentang penemuan tubuh para teroris atau pembunuh. "Selain kematian banyak korban dimulai dari para murid hingga guru. Ternyata para penyerang yakni anggota Grim Squad ditemukan mati di beberapa lokasi dalam gedung sekolah. Tiga di antaranya ditemukan di koridor sekolah, satu di area kolam renang, dan yang terakhir di dalam kamar ganti gedung basket."
Dia kemudian melanjutkan. "Hingga kini belum ada kejelasan atas kematian para penyerang ini apakah karena perlawanan para murid atau ada alasan lainnya. Pihak kepolisian setempat dan para dokter forensik masih berusaha mencari tahu alasan kematian mereka."
Berita tentang pembantaian ini memicu gelombang reaksi dan kecemasan di seluruh negeri. Pemerintah daerah dan pusat segera memberikan pernyataan resmi mengenai tindakan brutal yang terjadi di Erysvale High School. Warga setempat, keluarga korban, dan para murid yang selamat meratapi kejadian ini.
****
Hari yang suram dan mendung tiba di Erysvale. Ini adalah hari setelah pembantaian massal yang mengguncang seluruh kota. Para reporter terus memberikan liputan terkini tentang kejadian tragis ini, sementara Erysvale High School untuk saat ini diliburkan selama beberapa minggu ke depan.
Dalam sebuah laporan yang disampaikan oleh Jessica Reynolds, dia berdiri di depan pintu gerbang sekolah yang telah ditutup. Di sebelahnya terlihat ornamen-ornamen peringatan, seperti karangan bunga dan bingkai foto para korban. Suasana sangat hening, dihiasi dengan kesedihan yang mendalam.
"Sehari setelah kejadian yang tragis di Erysvale High School, sekolah ini telah diliburkan selama beberapa Minggu ke depan dan pintu gerbangnya ditutup untuk menghormati para korban," ucap Jessica dengan suara yang penuh empati. "Banyak orang tua yang terhanyut oleh kesedihan atas kematian anak-anak mereka dan warga kota ini merasakan kekosongan yang mendalam."
Sejumlah warga kota yang bersedih hati datang ke depan pintu gerbang sekolah dengan karangan bunga, lilin, dan bingkai foto para korban. Mereka ingin memberikan penghormatan terakhir kepada mereka yang telah meninggalkan dunia ini dengan begitu tragis.
Reporter berita lainnya, Sarah Mitchell, mendekati beberapa warga yang tengah menaruh karangan bunga dan berbicara dengan mereka. Salah seorang warga yang dia temui adalah Mr. Jameson, seorang ayah yang kehilangan anaknya dalam pembantaian tersebut. "Dia adalah anak saya, anak lelaki saya," kata Mr. Jameson dengan suara serak, matanya yang penuh dengan air mata. "Kemarin dia masih ceria saat berangkat ke sekolah, dan sekarang dia pergi selamanya. Saya tidak tahu harus bagaimana untuk bisa mengatasi kehilangan ini."
Seorang ibu yang juga berada di lokasi yang sama, Mrs. Anderson, menambahkan, "anak-anak kita seharusnya tidak pernah mengalami hal seperti ini. Ini adalah mimpi buruk yang tak berkesudahan."
Di tempat lain, seorang warga yang tidak memiliki hubungan langsung dengan korban juga memberikan penghormatan. Dia berbicara dengan nada sedih. "Saya tidak mengenal anak-anak ini secara pribadi, tetapi kehilangan ini adalah kehilangan kita semua. Ini sangat sulit untuk dipahami. Saya hanya ingin menunjukkan solidaritas saya dan memberikan dukungan kepada keluarga yang terkena dampaknya."
Reporter Jessica Reynolds melanjutkan laporannya dengan berbicara tentang dampak sosial media pada kejadian ini. Media sosial telah menjadi tempat di mana berbagai tanggapan dan bela sungkawa ditunjukkan oleh masyarakat luas. "Sosial media menjadi tempat di mana banyak orang berbagi bela sungkawa dan dukungan kepada keluarga korban. Banyak juga yang mengungkapkan ketidakyakinan mereka terhadap kejadian ini dan mendiskusikan isu-isu terkait keamanan sekolah," jelas Jessica.
Beberapa posting di media sosial memuat foto-foto para korban, kenangan indah bersama mereka, dan ungkapan rasa kehilangan yang mendalam. Hashtag seperti #ErysvaleStrong, #JusticeForVictims, #NeverForgetErysvale menjadi tren dan banyak orang membagikan cerita-cerita dan pengalaman mereka tentang bagaimana tragedi ini mempengaruhi mereka serta bela sungkawa yang sangat mendalam.
Dalam beberapa postingan lainnya, muncul seruan untuk perubahan dalam kebijakan keamanan sekolah dan upaya untuk mencegah tragedi serupa terjadi di masa depan. Diskusi tentang kontrol senjata api dan peran sekolah dalam melindungi siswa terus menjadi topik yang ramai diperbincangkan.
Sementara itu, para reporter berita terus menyampaikan berita terbaru, mencoba untuk memberikan pencerahan dan pemahaman kepada masyarakat tentang apa yang terjadi. Meskipun kota Erysvale tenggelam dalam kesedihan, semangat untuk berdamai dan bersatu dalam menghadapi masa sulit ini tetap kuat.
Tiga hari berlalu. Kini di rumah sakit Erysvale yang masih dipenuhi kesibukan untuk menangani para korban penembakan. Sejak dua hari lalu banyak tenaga medis sudah dikerahkan bahkan ada bantuan dari kota-kota di luar Erysvale, begitu juga Kota Indianapolis dan Kota-kota lainnya yang memberikan bantuan. Di salah satu ruangan perawatan sekelompok anak-anak yang selamat tengah berkumpul bersama. Mereka tidak terluka parah, bahkan perempuan bermata hijau yang terkena sedikit tembakan peluru di kaki sudah bisa duduk. Hanya saja lelaki cantik yang berada di ranjang pesakitan tengah dilanda demam tinggi. Jadi mereka menjaga lelaki itu.
"Sangat menyedihkan untuk Viole karena belum setahun di kota dan sekolah ini, tapi sudah mengalami kejadian yang hampir membawanya bertemu malaikat kematian," ujar Theodore yang duduk di ranjang Viole sementara lelaki cantik itu terbaring lemas.
"Diamlah, kenapa kalian di sini?! Kalian hanya mengganggu waktu istirahatku!" ujar Viole dengan nada kesal.
Sophia yang duduk di salah satu kursi berujar, "oh ayolah, yang lain sudah sembuh, bahkan Emma saja sudah bisa berjalan, tapi kau masih sakit."
"Bajingan, aku juga terkena luka tembakan ya!" balas Viole seraya mengerang saking ia kesalnya. "Keluar kalian!"
Louie terkekeh. "Hey berhenti mengejeknya."
"Kau punya fisik terlalu lemah, Viole," balas Theodore, "hanya kau saja yang masih sakit sedangkan kami sudah cukup sehat."
"Sudah, sudah," kata Emma, "jangan mengejeknya lagi. Semua orang punya fisik dan ketahanan yang berbeda-beda."
Sophia membuat wajah penuh ejekan. "Katakan saja jika kau memang bayi Viole! Pretty dan baby boy!"
"Keparat kau!" Viole bangun dari posisi baringnya. Ia menarik tangannya membuat tiang infusannya hampir saja jatuh. Mereka sama-sama terkejut dan berusaha menahan agar tiang tersebut tidak jatuh. "Berhenti mengejekku!"
Maka mereka semua tertawa melihat tingkah Viole yang ternyata sangat imut. Lelaki itu menyembunyikan sikapnya imutnya di balik topeng dingin dan denial serta gengsian.
Ruangan perawatan di rumah sakit diisi oleh canda tawa Theodore, Emma, dan Sophia. Mereka masih bersenang-senang dengan mengolok-olok Viole yang masih terbaring sakit sementara yang lain sudah pulih. "Oh Viole, kau benar-benar harus berolahraga lebih banyak, setidaknya lebih tinggi dariku," kata Theodore sambil tertawa.
Sophia juga bergabung dalam lelucon. "Mungkin kau harus makan banyak gula agar bahagia kembali."
"Hey!" Tawa mereka terhenti tiba-tiba ketika Louie, mendongak dan berkata seraya memperlihatkan siaran berita dari ponselnya. "Kalian harus melihat ini."
Berita terbaru yang menggemparkan datang dari luar kota Erysvale dan reporter berita, Nancy Jane, berada di lokasi untuk memberikan laporan terkini. Hotel mewah di Manhattan telah menjadi saksi penemuan yang mengerikan: Kepala Sekolah Erysvale High School di Kota Erysvale, Indiana, Mr. Gilberto Rasmussen telah ditemukan tewas dengan luka tembak di kepalanya.
Nancy Jane memulai pelaporannya dengan penuh berhati-hati, mencoba untuk merangkum informasi yang baru saja diterimanya. "Kami berada di depan salah satu hotel di kota Manhattan, di mana ditemukan Mr. Gilberto Rasmussen, kepala sekolah Erysvale High School, tewas dengan luka tembak di kepalanya. Berita ini telah menggemparkan komunitas dan masyarakat Erysvale."
Dia melanjutkan, "Selain luka tembak yang fatal, penyelidikan awal mengungkapkan bahwa Mr. Rasmussen terlibat dalam sejumlah tindakan yang sangat kontroversial. Ini termasuk tindakan menggelapkan dana sekolah, perselingkuhan, dan bahkan dugaan keterlibatannya dalam membantu kelompok teroris Grim Squad masuk ke sekolah."
Reporter berita lain, Jessica Reynolds, berada di luar gedung sekolah Erysvale, di mana berita tentang Mr. Rasmussen sudah mulai tersebar. Orang-orang berkumpul di luar sekolah, dan beberapa di antaranya memberikan tanggapan mereka terhadap berita ini. Salah seorang warga, Mr. Henderson, mengungkapkan kekecewaannya. "Kami tidak pernah menduga bahwa kepala sekolah anak-anak kami akan terlibat dalam hal seperti ini. Ini adalah pukulan besar bagi kami. Kami mengharapkan kepala sekolah untuk memberikan teladan yang baik, bukan terlibat dalam tindakan yang merusak citra sekolah dan kota. Beruntunglah kini dia telah mati."
Jessica terus mengumpulkan tanggapan dari warga setempat dan banyak dari mereka merasa terkejut dan kecewa dengan berita ini. Mereka merasa bahwa ini adalah tambahan beban bagi komunitas yang sudah dilanda oleh tragedi sebelumnya. Banyak orang merasa terkejut dengan informasi yang baru saja muncul tentang kepala sekolah di Erysvale High School. Ada pula yang merasa bahwa berita ini hanya menambah kesedihan dan ketidakpastian yang mereka rasakan setelah pembantaian massal di sekolah mereka.
Kepolisian setempat Erysvale terutama sheriff Jude Dawson telah mulai menyelidiki keterlibatan Mr. Rasmussen dalam berbagai aktivitas yang kontroversial dan mereka akan terus mencari tahu lebih lanjut tentang latar belakang dan motif di balik kematiannya yang misterius.
"Diberitakan pula jika hingga kini tak diketahui siapa yang melakukan penembakan pada Mr. Rasmussen karena kamera pengawas di hotel tersebut tak berfungsi dan tidak ditemukan tanda-tanda penyerangan maupun perampokan," ujar Louie membaca salah satu artikel berita yang sukses membuat mereka yang berada di ruangan perawatan terdiam.
"Apa yang akan terjadi nanti?" kata Sophia, "apakah sekolah kita akan ditutup?"
"Kurasa akan diselesaikan oleh Mr. Xaviera," sahut Theodore, "kemungkinan dia akan naik jadi Kepala Sekolah yang baru."
Emma mengangguk. "Kurasa lebih baik dia dibandingkan Mr. Rasmussen."
"Sudah kuduga jika si tua bangka itu jahat dan pedofil," ujar Sophia.
"Semoga saja ke depannya, sekolah kita akan baik-baik saja," balas Louie, "aku tak mau pindah sekolah karena biaya sekolah akan sangat tinggi."
"Aku mau tidur," kata Viole, "aku lelah."
"Sialan, kupikir kau akan memberi tanggapan pasal berita ini!" ujar Theodore.
"Aku mau tidur, pergilah kalian," balas Viole.
"Okay mungkin saatnya kita pergi, Emma juga sudah diperbolehkan pulang," ucap Sophoa.
"Ya, Ayahku sebentar lagi menjemput." Emma meraih tongkat besinya karena dia perlu benda itu untuk membantunya berjalan.
"Apakah kau perlu ditemani Viole?" kata Louie.
"Tidak perlu, kemungkinan besok aku akan pulang jika demamku sudah turun," balas Viole.
"Kalian pergilah, masih ada yang hendak kubicarakan sebentar dengannya," ujar Theodore.
"Okay! Sampai jumpa esok, nanti kami berkunjung lagi jika kau belum sembuh," kata Sophia seraya membantu Emma. Kini mereka berjalan keluar, meninggalkan Viole dan Theodore di ruangan tersebut.
"Katakan intinya saja," ujar Viole.
Theodore terlihat menghela napas dan memikirkan cara untuk merangkai kata-kata yang tepat. "Chelsea pergi ke London, Inggris kemarin. Keadaannya sempat kritis karena pendarahan. Namun, seperti ada keajaiban, dia selamat, meski belum sehat total. Ayahnya menikah lagi dan karena pekerjaan, dia membawa Chelsea pergi ke London. Chelsea belum sempat mengatakan apa pun karena ayahnya membawa Chelsea pergi ketika dia belum siuman. Kemungkinan Chelsea akan menetap lama di London atau bisa saja selamanya dan takkan kembali ke Amerika."
"Dan ...." Viole bingung harus menanggapi dengan kata apa.
"Ayahnya sempat menemuiku. Dia mengatakan padaku untuk tidak menghubungi Chelsea lagi karena ia tak mau kenangan buruk di sini diingat oleh putrinya lagi jadi kita takkan bisa menghubungi Chelsea bahkan mengetahui kabarnya bagaimana, kita diminta untuk tak berteman dengannya lagi. Namun, ayahnya berjanji jika Chelsea akan baik-baik saja." Perlahan Theodore turun dari ranjang pesakitan. "Hanya itu yang bisa kukatakan. Beristirahatlah, jika ada sesuatu, hubungi grup chat kita, jangan sungkan."
"Theodore," kata Viole.
"Ya?"
"Terima kasih."
"Sama-sama."
Perlahan-lahan Viole menarik selimut putihnya, hingga menutupi seluruh tubuhnya dan menyisakan kepalanya saja. Ia menghela napas. Sesak menyelubungi dirinya, tetapi ia bingung apa maksud rasa sesak ini. Maka ia menutup kelopak matanya dan berangsur-angsur terlelap dalam tidur yang nyenyak.
Kini yang ia harapkan adalah kebahagiaan atau kehidupan yang tenang. Bisakah Tuhan mengabulkannya? Atau ke mana pun, Viole melangkah, ia akan terus diikuti kematian dan nasib buruk?
"Maafkan aku Chelsea, semoga Tuhan memberi hidup yang lebih baik untukmu."
****
Malam yang cerah di hutan Kota Erysvale dipenuhi dengan keheningan yang hampir menyeramkan, tetapi langkah-langkah Bobby Powell menggema melalui pepohonan, dedaunan, dan ranting-ranting yang menutupi jalan setapak hutan. Tubuhnya tampak lelah, dan pakaian yang dikenakannya kini sudah berantakan dan kotor, tercerai berai oleh percobaan putus asa untuk melarikan diri.
Wajah Bobby penuh luka dan bercak darah dan tatapannya penuh ketakutan saat ia terus berlari. Setiap langkah yang ia ambil terasa sebagai jeratan maut yang mengikutinya, karena di baliknya, sang pembunuh berantai yang dikenal sebagai Bloodied Torturer terus mengejarnya.
Bloodied Torturer itu menggunakan topeng kelinci yang terbuat dari karung goni dan membawa senjata crossbow. Sehingga, di kegelapan malam ini, ia seperti muncul dari dalam mimpi buruk yang tidak pernah berakhir. Saat Bobby terus berlari, dia tidak pernah melepaskan waspada. Dia tahu bahwa setiap langkah yang ia ambil bisa menjadi langkah terakhirnya. Hati Bobby berdegup kencang dalam ketakutan, karena ia telah mendengar cerita-cerita mengerikan tentang pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Bloodied Torturer.
"Sialan, kenapa dia mengincarku!" teriak Bobby merasa sesak, tak mampu bernapas dengan benar, tetapi dia harus melanjutkan. Ia mendengar langkah kaki pembunuh di belakangnya semakin mendekat dan itu adalah pendorong kuat bagi Bobby untuk berlari lebih cepat lagi.
Sayangnya, kecepatan dan ketangkasannya tidak cukup untuk menghindari nasib buruk yang telah menantinya. Tiba-tiba dari balik pepohonan yang lebat, seutas panah tajam meluncur, melesat dengan kecepatan mematikan, dan mendarat tepat di kaki Bobby. Bobby berteriak kesakitan saat panah menusuk dagingnya. Dia terjatuh, dan rasa nyeri yang tak tertahankan menelannya. Namun, ia tidak punya waktu untuk merenunginya. Darah mengalir deras dari luka di kakinya dan dia merasa seperti mangsa yang rentan di depan pembunuhnya.
Tepat saat ia mencoba merangkak menjauh, Bloodied Torturer muncul di depannya, mengenakan topeng kelinci yang menakutkan. Dia kini tak memegang crossbow lagi karena telah diganti dengan sebuah kapak besar dengan tangannya yang terbungkus sarung tangan kulit dan senyum mengerikan terpancar dari balik topengnya, meski tak tampak di mata Bobby.
"Bobby Powell." Suara pembunuh itu yang penuh kegembiraan terdengar, ia menyembunyikan suara aslinya menggunakan voice changers. "Akhirnya, kita bertemu."
Bobby hampir tidak bisa bicara, rasa takut melumpuhkannya, tetapi ia menjawab, "apa yang kamu inginkan dariku? Kumohon ampuni aku!"
Bloodied Torturer hanya tertawa geli. "Ah, perkataan klasik. Aku hanya mengikuti panggilan hatiku, Bobby. Aku hanya bersenang-senang!"
Dengan segera, Bloodied Torturer mengayunkan kapaknya dengan cepat dan akurat. Tubuh Bobby terpotong menjadi beberapa bagian yang berceceran di sekitarnya dan darah segar membanjiri rerumputan dan tanah. Kegelapan hutan menyelimuti adegan yang mengerikan ini dan Bobby Powell tak akan pernah bisa melanjutkan pelariannya lagi. Dia menjadi korban berikutnya dari pembunuh berantai yang tak berperasaan ini.
Di bawah topeng kelinci yang menjijikkan, Bloodied Torturer meraih alat komunikasinya karena rekannya menelepon. Namun, pembunuh itu berbicara masih menggunakan pengubah suaranya. "Kenapa kau menghubungiku, Eirene?" Dia berujar seraya membersihkan darah dari kapaknya kemudian ia masukkan ke dalam tasnya yang besar.
"Kau sudah mendengar berita heboh tiga hari ini?" Suara Eirene tidak bisa ditebak apakah aslinya perempuan atau laki-laki karena tertutupi voice changers yang menyerupai suara anak kecil yang cempreng.
"Tentu saja, pembantaian massal di sekolah Kota Erysvale, dilakukan sekelompok orang bodoh," sahut Bloodied Tortuner. Seraya menggendong tasnya dan ia genggam rambut Bobby Powell karena kini kepalanya sudah terpisah dari badannya. Hendak dibawa pembunuh itu ke suatu tempat. "Kenapa kau mengabari hal ini?"
"Kalau begitu, kau pasti tahu jika para pelaku pembantaian massal itu, kelimanya juga mati dalam keadaan mengenaskan, pihak dokter telah mengautopsi mayat mereka, tetapi ditemukan hal-hal aneh pada tubuh mayat-mayat itu. Mati tertusuk, digigit bagian leher, kepala dipatahkan, mata hilang, tubuh mereka dipenuhi darah, tapi bukan darah mereka, hingga tubuh hangus terbakar padahal tak ditemukan tanda-tanda senjata sejenis flame thrower atau korek api maupun bensin andai kata menggunakan kedua benda itu. Semua kematian mereka adalah bentuk perlawanan yang tak wajar dan hingga kini tak diketahui siapa yang membunuh mereka."
"Kesimpulannya?" kata Bloodied Tortuner seraya melangkah pelan di tengah kegelapan malam.
"Semua kematian mereka janggal dan setelah aku periksa, aku mendeteksi ada kegiatan supranatural di sekolah itu meski tipis meskipun kini kini sudah menghilang. Jadi kesimpulannya adalah ...." Senyuman rekan Bloodied Tortuner yang bernama Eirene terukir. "Kemungkinan besar ada seorang ævoltaire di sekolah itu."
Maka tawa Bloodied Tortuner terdengar kencang memecah keheningan hutan. "Ini hebat, sangat hebat!! Aku tak menyangka jika seorang ævoltaire menggunakan kekuatannya untuk membunuh dan mempertahankan hidupnya! Jadi menurutmu, berada di tingkatan apa ævoltaire itu?"
"Kemungkinan berada di tingkatan B atau A bahkan bisa jadi A+."
"Ini sangat menyenangkan. Benar-benar menyenangkan, inilah yang aku tunggu! Karena ævoltaire yang sebelum-sebelumnya kubunuh adalah para pecundang semua! Kuharap kali ini adalah seorang ævoltaire yang akan membuatku merasakan kesenangan berkali-kali lipat!" teriak sang Bloodied Tortuner. "Eirene, siapkan kendaraanku! Aku akan kembali ke Kota Erysvale! Aku sudah tak sabar bermain dengan bonekaku! Aku berdoa agar boneka itu sangat menyenangkan saat kumainkan." Maka dalam kegelapan malam, sang Bloodied Tortuner menghilang, tetapi ia akan terus kembali dengan membawa lebih banyak kematian.
◇ The Little Fairytale ◇
Part One End
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Akhirnya tamat juga Part One!!
Ternyata teror di sekolah itu menuai banyak simpati dari seluruh masyarakat bahkan masyarakat di luar kota Erysvale lho^^
Turut berduka bagi para orang tua dan keluarga yang kehilangan putra-putri mereka.
Untuk geng Viole, ternyata mereka selamat semua! Meskipun Viole masih sakit.
Mengejutkan juga ya, ternyata Mr. Gilberto Rasmussen a.k.a kepala sekolah, ternyata orang jahat dan termasuk dalang dari penyerangan, tapi apa motifnya yeah, sampai dia harus bantu para teroris masuk ke sekolahnya? Masih ada banyak teka-teki ternyata!
Kemudian untuk Chelsea, kasiham banget dia karena tidak bisa mengungkapkan perasaan dia dan pergi ke London bahkan dilarang menghubungi teman-temannya~
Waduh, waduh, Bloodied Tortuner mau kembali ke Erysvale nih! Sepertinya teror berdarah takkan bebas dari Viole, semangat cowok cantik^^
Thanks yang sudah baca sampai Chapter ini, ditunggu Part Two-nya!! See you next hiding time!
Prins Llumière
Selasa, 21 November 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top