✒ Chapter 29: I Will Kill Them!
Jamari dan Ruby, dua pembunuh yang terus mengejar Emma Walter, melangkah dengan langkah mantap melalui koridor sekolah yang gelap. Mereka tahu bahwa mereka harus menyelesaikan tugas mereka, tidak peduli apa pun yang menghalangi.
Emma Walter, target mereka, tampak berantakan. Rambutnya kusut, wajahnya penuh debu dan sedikit terluka dan pakaiannya kotor. Meskipun dalam keadaan genting, dia tidak akan menyerah begitu saja. Emma terus berlari, mencoba untuk menghindari serangan mematikan yang terus menerus ditembakkan kedua pembunuh yang mengejarnya.
Jamari menarik pelatuk senjata di tangannya dan menembakkan beberapa peluru ke arah Emma. Tembakannya meleset jauh dari sasaran dan Emma berhasil menghindari ancaman yang mendekatinya. Ruby juga mencoba menembaki Emma, tetapi hasilnya sama saja---pelurunya meleset dan hanya mengenai tembok koridor yang sudah rusak.
Emma menghela napas dalam lega saat dia berhasil melewati koridor yang gelap dan berhasil menghindari serangan kedua pembunuh. Dia terus berlari, mencoba untuk mencari tempat perlindungan. Tubuhnya bergetar oleh ketakutan dan kelelahan, tetapi dia harus tetap kuat. Nyawa Emma bergantung pada kemampuannya untuk selamat dari kedua pembunuh yang mengincarnya. Sementara itu, Jamari dan Ruby terus mengejar Emma dengan tekad yang kuat. Mereka tahu bahwa mereka harus menyelesaikan pekerjaan mereka, bahkan jika itu berarti melanjutkan perburuan melelahkan ini. Meskipun peluru mereka semakin menipis, mereka tidak akan menyerah.
"Sialan. Aku harus pergi ke mana!" Emma celingak-celinguk hingga tiba-tiba seseorang menariknya yang kini membawanya masuk ke ruangan lab komputer.
"Tenanglah, ini aku, Tyler," ujar Tyler yang sangat kacau dan ada lebam di matanya. "Bersembunyi di sini kita akan aman."
Emma awalnya enggan, tetapi kini tak ada pilihan karena yang terpenting adalah keselamatan nyawanya. Maka dia mengikuti Tyler dan bersembunyi di ruangan lab komputer. Kini Emma dan Tyler bersembunyi di antara meja-meja dalam lab komputer yang gelap dan sunyi serta sesaat menyesakkan dada karena rasa takut mereka, kini mereka berusaha untuk membuat diri mereka setenang mungkin.
Di sisi lain, Jamari dan Ruby kehilangan jejak Emma. Mereka kini seolah-olah tersesat dan sudah sangat kelelahan karena sebenarnya tersisa dua target utama yakni Tyler dan Emma, tetapi keduanya sangat sulit ditemukan.
"Sialan! Sebenarnya ke mana gadis itu lari!" Jamari memukul dinding seraya menatap Ruby yang terduduk di lantai. "Kau seperti hendak melahirkan saja."
"Diam bajingan, aku sedang menstruasi dan sejak tadi perutku sakit! Fuck, semua ini karena perempuan sialan itu! Dia terus berhasil lolos!" teriak Ruby berusaha menenangkan dirinya.
"Kalau begitu tahan sedikit sakit perutmu dan ayo segera cari perempuan itu, kuharap Freddie menemukan si Tyler," ucap Jamari sambil mengulurkan tangannya untuk membantu Ruby berdiri.
Jamari dan Ruby melanjutkan pencarian mereka untuk menemukan Emma Walter. Mereka berjalan melalui koridor sekolah yang gelap dan berdebu, mata mereka waspada untuk melihat tanda-tanda keberadaan Emma. Mereka merasa semakin frustrasi karena terus gagal menangkapnya, sementara peluru mereka hampir habis.
Saat mereka berjalan di sekitar koridor yang gelap, mata mereka tiba-tiba tertarik pada sebuah pintu besar yang terlihat sangat aneh. Pintu itu terbuat dari kayu yang dicat warna hitam pekat dengan ukiran yang sangat rumit dan aneh yang menghiasi seluruh permukaannya. Tampak sangat kontras dengan lingkungan sekolah.
"Aku baru sadar ada pintu aneh itu?" ujar Jamari.
"Aku juga," balas Ruby yang terlihat memegangi perut sebelah kanannya karena sakit. "Aneh sekali ada pintu itu di sekolah ini?"
Jamari dan Ruby merasa tertarik oleh pintu aneh tersebut. Aneh sekali karena ada pintu terbuat dari kayu dan terlihat sangat kuno padahal sekolah ini tidak ada lagi bangunan yang terbuat dari kayu, semuanya sangat modern. Kedua pembunuh pun melangkah pelan hendak mendekati pintu, barangkali Emma bersembunyi di baliknya, pikir mereka. Sesaat mereka saling berpandangan, mencoba memahami apa yang ada di balik pintu tersebut. Semakin diperhatikan pintu sangat kuno dan misterius itu, semakin memicu rasa ingin tahu mereka. Mereka mengamati pintu itu lebih dekat, mencoba memahami ukiran yang ada di permukaannya. Itu seperti simbol-simbol aneh dan tak dikenal dan mereka tidak tahu apa arti sebenarnya.
Saat mereka terus menatap pintu itu, perlahan terdengar suara gemuruh yang datang dari dalam. Mereka menarik napas dalam-dalam dan menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak wajar di sana.
"Kau dengar itu?" kata Ruby, "seperti suara air atau pipa bocor."
"Sepertinya ada sesuatu di dalam pintu ini." Jamari terus mempertajam pendengarannya yang kini terdengar seperti suara air terjun.
Hingga detik selanjutnya keanehan terjadi. Cairan merah mulai keluar dari celah-celah pintu dan mengalir ke lantai, ke bawah sepatu mereka, cairan itu seperti wine merah yang kini menggenangi lantai putih yang mereka pijak. Jamari dan Ruby terkejut oleh pemandangan ini, mereka sontak memundurkan langkah. Mereka mempertimbangkan apakah harus membuka pintu tersebut atau meninggalkan sesegera mungkin. Namun, semakin banyak cairan merah keluar, membuat langkah mereka semakin mundur, mereka merasa harus meninggalkan koridor ini, tetapi rasa penasaran dan asal cairan merah ini membuat mereka terpaku.
"Sial cairannya semakin banyak! Apakah ada gentong wine di dalam sana!" teriak Jamari.
"Aku tak yakin, apakah ini benar wine?" ucap Ruby karena merasa cairan ini lebih kental dari wine. "Kurasa ini mirip dengan---"
Mereka teralihkan, saat pintu aneh itu terbuka dengan perlahan, cairan merah yang awalnya mengalir keluar dari celah-celah pintu kini keluar ibarat air terjun atau bendungan hancur yang kini airnya menerjang dengan tekanan yang besar. Manik mata mereka membulat, terkejut bukan main karena menemukan fakta bahwa cairan tersebut bukanlah wine melainkan darah!!
"Ruby kabur!!" teriak Jamari.
Meskipun belum bisa menangkap semua keanehan ini dengan pemikiran yang masuk akal. Naluriah Ruby lekas membawa menuruti perkataan Jamari. "Fuck!"
Detik itu adalah mimpi yang sangat buruk. Ketika banjir darah menerjang tubuh mereka, menutupi pakaian mereka dengan warna merah yang mengerikan. Kini tubuh mereka terseret banjir darah tersebut. Mereka merasa seperti tercekik dan berusaha untuk tidak tenggelam dalam banjir darah yang semakin meningkat.
Jamari berpegangan pada salah satu gagang pintu kelas, mencoba untuk tetap kokoh berdiri dan menahan lengan Ruby agar gadis itu tak terseret arus banjir darah ini. Mereka berdua merasa seolah-olah hal supernatural terjadi. Mereka mencoba untuk melindungi diri mereka sendiri dari cairan merah yang mencekik ini.
"Apa yang terjadi di sini!" teriak Ruby seraya memuntahkan darah yang tak sengaja masuk ke mulutnya. Bau amis kini menusuk hidungnya.
"Aku tidak tahu!" balas Jamari
Mereka merasa takut dan frustasi. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan atau bagaimana mereka bisa keluar dari situasi yang sangat mengerikan ini. Mereka hanya bisa mencoba untuk tidak tenggelam dalam darah yang kini mencapai dada mereka. Namun, pegangan Jamari terlepas atau lebih tepatnya gagang pintu tersebut lepas dari pintunya yang membuat keduanya terseret banjir darah. Hingga tubuh mereka menghantam loker. Mereka selama beberapa detik tenggelam dalam banjir darah tersebut, tetapi berusaha menyelamatkan diri dengan berpegangan pada atas loker dan berusaha agar kepala mereka tak tenggelam meski kini seluruh tubuh mereka berada di dalam banjir darah.
"Tolong aku," ujar Ruby, tubuhnya lemas dan wajahnya pucat pasi.
"Bertahanlah," balas Jamari.
Saat mereka terus berjuang, darah yang mengalir mulai mengendur dan banjir darah tersebut perlahan mulai surut. Mereka pun ambruk ke lantai yang kini hanya menyisakan genangan darah saja.. Keduanya terbatuk-batuk. Seluruh tubuh mereka menggigil, pakaian mereka kini hanya berwarna merah darah, rambut mereka lepek dan lengket, serta bau amis dan menjijikan mulai merebak. Mereka merasa seperti diambang kematian karena kejadian di luar nalar ini.
"Senjata kita menghilang," ujar Ruby terbatuk-batuk dan memuntahkan darah yang terasa tertelan olehnya.
"Aku tak peduli," balas Jamari, "ini gila. Sekolah ini gila! Aku hanya ingin kembali. Biarkan yang lain menyelesaikan pembunuhan gila ini!"
Ruby setuju, kini dia menyesal. "Kau benar, ayo kita pergi ... sialan, ada yang mendekat ke arah kita." Ia berkata begitu karena mendengar langkah kaki tak beraturan yang menginjak-injak genangan darah.
"Siapa?" Jamari menoleh ke sumber suara, sementara itu Ruby mendongakkan kepalanya.
Ketika mereka memalingkan pandangan mereka ke arah sumber suara dan apa yang mereka lihat membuat mereka membeku dalam ketakutan. Dua sosok entitas mengerikan yang mendekati mereka, entitas itu sudah pasti bukanlah manusia. Entitas itu adalah empat murid di sekolah ini yang mati karena Jamari dan Ruby bunuh. Namun, kini empat murid itu, dua tubuh mereka menjadi satu menciptakan dua entitas monster mengerikan dan menjijikkan.
Tubuh mereka menyatu, menciptakan entitas mengerikan dengan dua kepala, empat tangan, dan empat kaki. Wajah mereka hancur tak berbentuk, satu kepala tanpa mata dan hidung patah, satu kepala lainnya memiliki mulut sobek sehingga memperlihatkan gigi-giginya yang tajam dan lidah menjulur panjang. Kini kedua entitas itu berdiri di lantai yang dipenuhi darah dengan senyuman yang sadis di wajah mereka. Lebih parahnya lagi. Dua entitas itu memegang pisau yang tajam dan darah masih menetes dari pisau-pisau itu ke dalam genangan darah di bawah mereka.
"Monster," ujar Jamari, "aku pasti sudah gila. Mereka murid yang kita bunuh dan kini menjelma menjadi monster. Hahaha, aku pasti gila!!"
"Aku mau pulang, aku mau pulang!!" teriak Ruby.
Jamari dan Ruby terpaku pada pemandangan yang sangat mengerikan ini. Mereka merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tidak ada akhirnya atau kini mereka sudah gila seperti yang dikatakan Jamari dan semua yang mereka lihat hanyalah halusinasi semata? Ketakutan melanda mereka dan mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Monster itu mulai mendekat dengan langkah yang berat. Mereka menatap Jamari dan Ruby dengan pandangan yang penuh dengan niat jahat. Suara darah di lantai yang terinjak semakin menambah ketegangan.
Ruby berteriak dalam ketakutan, mencoba untuk meraih pistol di pinggangnya. Namun, pistolnya sudah tak ada. "Jangan bunuh aku!" Belum sempat ia berdiri dan berlari dari kegilaan ini, salah satu entitas melompat ke arahnya dengan kecepatan yang tak terduga. Pisau yang tajam menusuk dada Ruby dan raut wajahnya berubah menjadi ekspresi kesakitan yang tak terbayangkan. Lalu pisau lain terus menusuk perut kanannya, berulang kali. Suara daging yang ditusuk-tusuk terdengar bersamaan darah memuncrat keluar.
Ruby merasakan sakit yang luar biasa saat darahnya mengucur keluar dari luka tersebut. Dia mencoba untuk menangis, tetapi suaranya hanya berubah menjadi erangan kesakitan. Belum usai penderitaannya, salah satu kepala yang mulutnya sobek dengan cepat menggigit hidung Ruby dan menariknya hingga hidung itu putus dan tersobek dari wajah Ruby. Kini saraf-saraf dari hidung tersebut terlihat. Kematian Ruby terukir ketika kedua matanya ditusuk oleh pisau hingga menembus kepalanya. Kini tubuh Ruby ambruk dan ia meninggal dunia.
Jeritan Jamari terdengar saat dia melihat temannya disiksa dengan sangat sadis dan mati. Maka lekas ia berdiri, meninggalkan Ruby yang tak bernyawa, tetapi entitas kedua terlalu cepat mengejar Jamari dan pisau yang tajam dengan mudah menusuk punggung Jamari. Rasa sakit yang menusuk melanda tubuhnya dan dia merasa darahnya mengalir dengan deras. Jamari tersungkur dan wajahnya menghantam lantai begitu keras.
Entitas itu tidak memberinya belas kasihan. Mereka terus menusuk dan mencederai Jamari, hingga tubuhnya berlumuran darah dan dia merasakan kelemahan yang luar biasa. Jamari merintih dan mencoba untuk bertahan hidup, tetapi perlawanan tak berguna. Penyiksaan ini semakin parah ketika kedua kepala monster menggigit telinga Jamari kemudian menariknya hingga putus. Suara jeritan bergema ke seluruh koridor, tetapi tak berlangsung lama ketika dua tangan entitas itu memegang kepala Jamari lalu dengan cepat memutar kepala Jamari hingga tulangnya patah. Lalu dua pisau sukses merobek wajah Jamari.
Sebelum Jamari benar-benar meregang nyawa. Salah satu kepala monster itu berkata dengan suara mengerikan, "kami telah berhasil melunasi utang kematian setiap nyawa yang kalian ambil." Maka sebagai penutup, entitas itu menusuk-nusuk perut Jamari hingga ususnya terburai, darahnya memuncrat ke mana-mana, dan ia lenyap di antara kegelapan.
****
Lucy berdiri di pinggiran kolam renang dengan wajah yang dipenuhi kemarahan. Dia merasa sangat frustrasi karena gagal menangkap Viole yang sudah hampir berada di depannya. Senjata pistolnya gemetar dalam tangannya ketika dia mencoba menembakkan peluru ke arah Viole yang berlari menghindar.
"Aku muak denganmu, bajingan!" teriak Lucy kini ia tak peduli jika harus menembak kaki Viole agar lelaki itu berhenti kabur!
Sayangnya peluru yang Lucy tembakkan selalu meleset, malah mengenai bangku tribune dan Lucy merasa semakin frustrasi, hampir gila barangkali. Dia merasa terjebak dalam situasi yang sangat mendebarkan dan Viole terus menghindarinya dengan kecakapan yang membuatnya semakin marah. Seolah-olah ada malaikat saja yang menjaga lelaki itu atau malaikat kematian enggan mencabut nyawa Viole.
"Di mana kau, sialan!!" Kini dia kehilangan jejak Viole. Viole tiba-tiba menghilang dari pandangan Lucy dan itu membuatnya merasa panik. Dia tahu bahwa dia harus menemukan Viole segera sebelum Viole mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri.
Lucy Bates mengedarkan pandangannya dengan jarinya siap menarik pelatuk. Ia menatap sebelah kanan bangku tribune, tetapi tak terlihat tanda-tanda lelaki cantik itu, ia edarkan lagi pandangannya ke sebelah lain bangku tribune, tetapi tak kunjung ia temukan Viole. "KELUARKAN SIALAN!!"
Detik selanjutnya, bukan dia berhasil menarik pelatuk dan melumpuhkan Viole. Tiba-tiba sesuatu yang dingin dan basah menyemprot tubuhnya dari arah samping, mengenai wajah dan mengaburkan pandangannya. Lucy merasa terkejut ketika menyadari bahwa Viole telah menyemprotkan fire extinguisher. Busa dari alat fire extinguisher itu mengenai wajah dan tubuh Lucy, membuat pandangannya buram, ia berteriak dan semakin marah, darahnya mendidih.
"Keparat kau! Berhenti kau pelacur!" teriak Lucy, dia berusaha menembakkan peluru ke arah Viole, tetapi selalu terhenti karena tak kunjung berhenti Viole menyemprotkan fire extinguisher tersebut.
Saat Lucy hampir berhasil menembak Viole karena busa dari fire extinguisher perlahan habis, tiba-tiba saja secara tak terduga, dari arah pintu keluar gedung kolam renang, dua ekor anjing menerjang masuk.
"Selamat bersenang-senang!" ujar Viole dengan senyuman tipis.
"Berengsek kau!" teriak Lucy.
Kedua anjing yang tiba-tiba datang dengan cepat, menggonggong ganas, melewati Viole, menargetkan Lucy, dan gigi tajam mereka berhasil menggigit Lucy. Lucy merasa rasa sakit yang hebat menjalar ke seluruh tubuhnya saat gigi-gigi tajam anjing merobek pakaian dan kulitnya, menggigit kaki kanan serta tangan kirinya. "Anjing sialan!"
Lucy yang kesakitan, melangkah mundur, menendang para anjing itu, tetapi ia malah jatuh ke dalam kolam renang, tercebur membuat pakaiannya basah, sementara darah mulai bercucuran keluar dari luka-luka gigitan para anjing. Sesaat ia tenggelam, tetapi dia masih memiliki insting bertahan hidup yang kuat. Kini dia mengapung di air dan terbatuk-batuk.
"Di mana kau anak sialan!" teriak Lucy, mengedarkan pandangannya yang masih buram, ia tak melihat di mana pun Viole. Hanya melihat keberadaan para anjing yang menatapnya di pinggiran kolam, meneteskan air liur, serta menonton Lucy seolah-olah akan ada pertunjukkan sebentar lagi ditampilkan.
Hingga terdengar langkah mendekati kolam renang, lekas Lucy menoleh ke sumber suara, kecipak air terdengar ketika Lucy memutar tubuhnya, kini pandangan Lucy sudah kembali seperti sedia kala dan ia dapat melihat jelas serta menangkap kehadiran Viole. Namun, pada detik itu rahangnya tertutup karena Viole berdiri di ujung lain dari kolam renang dan membawa sebuah ....
"Benda apa itu, sialan!" teriak Lucy yang masih berada di air.
"Hadiah untukmu karena berusaha menyentuhku tanpa izin!" Maka perlahan ujung senjata itu mengeluarkan api membara.
"Kau gila! Itu flamethrower!!"
"Sesuai dengan genre yang kau sukai, dark comedy jadi mari kuberikan judul untuk cerita dark comedy-mu." Api flamethrower-nya semakin membesar dan di arahkan tepat ke Lucy. yang mengapung di air. "Once upon time in Erysvale High School: The Burning Girl!"
Dengan tenang, Viole menyalakan flamethrower tersebut dan nyala api besar, langsung memuntahkan api panas membara serta mematikan menuju Lucy. Teriakan keras bergema di seluruh gedung ini saat api memakan tubuh Lucy. Api merah-jingga membakar pakaian hingga kulitnya dan menyebabkan rasa sakit yang luar biasa.
Tubuh Lucy mulai terbakar. Rambutnya yang panjang, kini terbakar menjadi kobaran api dan wajahnya yang dulunya cantik, sekarang dipenuhi ekspresi penuh rasa sakit, melepuh dimakan api. Tangisannya yang penuh keputusasaan menciptakan suara yang mengerikan di sekitar kolam renang. Nyala api menyelimuti tubuhnya, dia berteriak-teriak dalam keputusasaan.
Viole tetap tenang dan terus membiarkan flamethrower-nya menyemburkan api mematikan, tidak memberi kesempatan pada Lucy untuk melarikan diri bahkan bernapas dengan lega. Dia tahu bahwa ini adalah pertarungan hidup dan mati, dan dia tidak akan memberikan kesempatan kepada lawannya yang sangat berbahaya ini.
Tubuh Lucy akhirnya melemah. Namun, Viole terus menyemprotkan api, memastikan bahwa Lucy benar-benar mati. Hingga akhirnya, Lucy berhenti bergerak. Tubuhnya yang hangus, perlahan tenggelam ke dasar kolam renang, meninggalkan jejak merah dan hitam yang menyebar di permukaan air. Viole terus menjaga api di flamethrower-nya hingga dia sangat yakin bahwa Lucy telah mati. Dia tak mau ada kejadian klise dalam film ketika musuhnya masih hidup dan menyerang tiba-tiba.
Setelah beberapa saat yang penuh ketegangan, Viole akhirnya mematikan flamethrower-nya, lebih tepatnya, senjata itu sudah kehabisan bahan bakarnya. Kini Viole meletakkan senjata itu di tepi kolam renang. Dia merasa lega, tetapi juga tahu bahwa perang masih belum berakhir. Dia harus terus waspada terhadap ancaman yang mungkin datang.
Viole melihat ke dasar kolam renang, di mana tubuh Lucy yang hangus terbaring dalam keheningan yang menyeramkan. Air kolam terlihat seperti berubah menjadi merah darah dan abu dari tubuh yang sudah tidak hidup menyebar.
"Fuck," kata Viole, ia duduk di lantai dan menekuk lututnya. Ia kini menatap pada lengannya yang memar membiru. Ia berdecak sebal. "Aku ingin susu rasa pisang."
****
Koridor sekolah yang sepi menjadi saksi dari kejaran mengerikan yang sedang berlangsung. Emma dan Tyler terus berlari secepat yang mereka bisa, dengan satu tujuan: melarikan diri dari ancaman mematikan yang datang dari belakang mereka.
Freddie berhasil menemukan mereka. Suara dentuman peluru yang terus menghantam lantai dan dinding koridor memberikan dorongan tambahan untuk terus bergerak maju. Setiap kali peluru menghantam dekat mereka, Emma dan Tyler merasa seolah-olah kematian ada di ambang pintu.
Emma sudah sangat lelah, napasnya terengah-engah dan kaki-kakinya terasa berat. Namun, Tyler terus memaksa dia untuk berlari lebih cepat. "Kita harus terus bergerak, Emma! Dia semakin dekat mengejar kita!" seru Tyler dengan napas tersengal.
Emma mencoba untuk menjaga langkahnya, tetapi kelelahan dan ketakutan membuatnya semakin kesulitan. Dia tahu bahwa mereka harus menemukan tempat perlindungan secepat mungkin atau keluar dari sekolah ini. Namun, kenyataan bahwa Freddie begitu dekat dan tidak akan berhenti mengejar mereka terus menghantuinya.
Di sisi lain, Freddie melihat bahwa senapan shotgun-nya hampir habis pelurunya dan dia merasa perlu menghemat amunisi. Dengan cekatan, dia melempar senjata itu ke samping dan menggantinya dengan desert eagle, sebuah pistol yang mematikan dengan daya tembak yang sangat tinggi. Freddie tahu bahwa dengan senjata ini, dia bisa mengenai sasaran tanpa perlu menghabiskan terlalu banyak amunisi.
"Emma cepatlah, dia semakin dekat!" teriak Tyler.
"Tyler, aku tidak kuat lagi," ujar Emma terengah-engah.
Hanya saja, tidak butuh waktu lama bagi Freddie untuk menyesuaikan diri dengan senjata lainnya. Dia mengarahkan pistolnya pada Emma dan Tyler yang berlari di depannya. Tanpa ragu, dia menarik pelatuk. Peluru menembak dengan kecepatan yang mengerikan, melesak dari sasaran utama, tetapi cukup dekat untuk mengenai kaki kanan Emma. Hal ini membuat Emma berteriak kesakitan saat peluru menggores kulitnya, meninggalkan luka yang memancarkan darah. Dia jatuh tersungkur dan tidak mampu untuk melanjutkan berlari.
Tyler berhenti sejenak dan berbalik untuk melihat Emma yang terluka. "Emma, cepatlah! Kamu harus bangun!" serunya panik.
Emma meraih kakinya yang terluka sambil menangis. Dia tidak bisa berdiri dengan mudah dan setiap langkah yang dia ambil terasa sangat menyakitkan. "Tolong, Tyler! Bantu aku! Gendong aku karena aku tak bisa berlari lagi," pintanya dengan suara yang penuh ketakutan.
Hanya saja Tyler yang juga penuh ketakutan lalu memikirkan jika Freddie semakin mendekat ke arah mereka, membuatnya paham bahwa dirinya dalam bahaya dan menolong Emma berarti risiko untuk nyawanya, Emma kini hanyalah beban yang akan menghambat Tyler. "Maaf, Emma. Aku harus berpikir tentang diriku sendiri sekarang!" serunya saat dia memaksakan diri untuk berlari menjauh dari Emma yang terluka.
"TYLER!!" Emma merasa terkhianati saat Tyler meninggalkannya begitu saja. Dia mencoba untuk berdiri dan berjalan, tetapi luka di kakinya membuatnya sangat kesulitan. Air mata mengalir dari matanya dan dia tahu bahwa dia akan segera tertangkap oleh Freddie.
"Di mana kalian, para bocah sialan!!" teriak Freddie yang suaranya bergema di seluruh koridor. "Ternyata di sana kau, perempuan jalang!"
Emma sudah sangat pasrah. Namun, tiba-tiba saja seorang laki-laki muncul di hadapannya dengan membawa alat fire extinguisher dan lekas disemprotkannya ke arah Freddie hingga lelaki itu sesaat pandangannya kabur.
"Louie," kata Emma.
"Cepatlah!" seru Louie dan langsung menggendong Emma yang terluka.
"Bajingan sialan kalian!" teriak Freddie.
Louie berlari secepat yang dia bisa, membawa Emma yang terluka dalam pelukannya. Emma berpegangan erat pada Louie, merasa aman dalam pelukannya. Dia tahu bahwa Louie telah menyelamatkannya dari nasib yang mengerikan. Saat Freddie menyadari bahwa kedua targetnya telah melarikan diri, dia merasa sangat marah dan frustrasi. Dia melempar senjata desert eagle-nya ke tanah dengan marah. Senjata itu menghantam lantai dengan keras, menciptakan dentuman yang menggelegar. "KEPARAT KALIAN!"
Sementara itu, Emma dan Louie terus berlari menjauh dari koridor sekolah yang penuh ketakutan. Mereka tidak tahu ke mana harus mencari perlindungan, tetapi mereka harus tetap bergerak dan menjauh dari Freddie yang mungkin akan segera mengejar mereka lagi. Emma merasa sangat berterima kasih pada Louie yang telah datang untuk menyelamatkannya. Dia tahu bahwa tanpa bantuan Louie, dia mungkin akan mati mengenaskan.
Di sisi lain. Tyler terus berlari sendirian di koridor gelap nan panjang. Tak sedikit pun terlintas rasa bersalah meski sudah meninggalkan Emma yang terluka. Baginya yang paling penting adalah kelangsungannya sendiri. Dia tahu bahwa dia harus terus berlari dan mencari tempat perlindungan sendiri, tanpa menghiraukan nasib orang lain.
****
Hujan semakin deras mengguyur Sophia saat dia berlari keluar dari gedung kolam renang. Tubuhnya basah terkena hujan dan dia merasa dingin sekaligus merasa panas karena ketegangan yang menyelimutinya. Dia tahu bahwa Dexter masih mengejarnya dengan senapan assault rifle jenis M16 yang mematikan.
Sophia mencari perlindungan di gedung olahraga yang berdekatan dengan gedung kolam renang, yaitu gedung basket. Dia berlari ke dalam gedung tersebut, air hujan yang mengalir dari pakaiannya membuat lantai menjadi licin. Sophia tahu bahwa dia harus menemukan tempat yang aman dan strategis untuk menghadapi Dexter.
Sementara itu, Dexter perlahan-lahan memasuki gedung basket juga, hatinya berdebar-debar karena ia sangat waspada terutama perempuan yang ia incar masih membawa busur panah. Dia mencari-cari di sekitarnya dengan assault rifle di tangannya yang ia todongkan, jarinya berada di pelatuk, kapan saja ia siap menembak. Dexter mendekati panggung utama gedung basket, tempat yang biasa digunakan untuk pertandingan basket. Dia merasa semakin dekat dengan Sophia, tetapi dia tidak bisa melihatnya dengan jelas karena cahaya remang-remang menyinari gedung ini, sebagian lampu sudah pecah akibat serangan Freddie pertama kali di gedung ini saat pertandingan berlangsung. Dexter bisa melihat beberapa mayat di lantai.
"Keluarlah gadis kecil, aku janji takkan menyiksamu jika kaubersikap baik dan tidak melawanku," ujar Dexter.
Sophia yang sudah mempersiapkan diri, bersembunyi di balik salah satu bangku tribune. Dia masih dapat merasakan denyut jantungnya yang berdebar kencang, tetapi dia tahu bahwa dia harus tetap tenang. Tangannya kini dengan erat menggenggam busur panahnya, ia sudah memasang anak panahnya, siap untuk melesakkan anak panah ini tepat ke dada si pembunuh sialan itu!
Saat Dexter berjalan mendekati panggung utama, Sophia tiba-tiba berdiri dan mengarahkan busur panahnya. Dia menarik busur itu dengan cepat, melepaskan anak panah yang melesat menuju Dexter. Dexter melihat bayangan anak panah yang melesak dengan sangat cepat dari arah samping dan secara refleks mencoba untuk menghindar. Namun, sayangnya, anak panah Sophia berhasil mengenai lengannya, tembus dan merobek kulit serta dagingnya, serta menciptakan luka yang dalam. Dexter berteriak kesakitan saat darah bercucuran dari lukanya tersebut.
"KEPARAT KAU!" Dexter mengurungkan niatnya untuk menembak Sophia karena rasa sakit menjalari tangannya.
Sophia segera mengambil kesempatan untuk menembak lagi. Dia membidik paha Dexter yang masih berada dalam jarak jangkauannya. Busur panah Sophia dilepaskan dan anak panah itu dengan tepat menembus paha Dexter. Dexter berteriak kesakitan lagi dan dia merasakan darah yang mengalir deras dari luka yang baru terbentuk.
"KUBUNUH KAU DASAR PELACUR JALANG!"
Dexter merasa semakin terdesak. Dia tahu bahwa dia harus melumpuhkan Sophia secepat mungkin jika ingin selamat. Meskipun luka yang dideritanya sangat menyakitkan, dia memutuskan untuk menyerang lagi. Dia menembak dengan assault rifle-nya, peluru terus menghantam bangku tribune, menciptakan suara yang menggelegar berkelontang.
"Gawat, Tuhan tolong Hamba-Mu ini!" ujar Sophia yang kini berusaha menghindari tembakan-tembakan tersebut, terus bergerak dari satu tempat ke tempat lain dan mendekati tangga yang membawanya turun, ia lekas menuju koridor yang mengarah ke ruangan ganti di gedung ini.
Dexter, sementara itu, terus mengejar Sophia. Meskipun luka yang dia alami membuatnya berjalan dengan kesulitan, dia tidak akan berhenti mengejar gadis itu. Dia ingin menangkap Sophia dan segera menyiksa karena kini ia sangat membenci Sophia. "Saat kutangkap kau, kupastikan kau akan sangat menderita!"
Dexter masuk ke kamar ganti dengan hati-hati, senapan assault rifle-nya masih siap menembak, kini ia hanya tersisa enam peluru. Kamar ganti ini lampunya cukup remang-remang, tetapi Dexter masih bisa melihat dengan jelas. Suara hujan yang deras menjadi latar belakang menegangkan. Dexter merasa bahwa dia semakin dekat dengan menemukan Sophia dan hasrat untuk menangkapnya semakin kuat. Saat ia berada di antara loker-loker biru, suara derit dari loker terdengar. Maka Dexter dengan cepat berpikir bahwa suara itu disebabkan oleh Sophia---dengan tindakan cepat, ia mengarahkan senapannya ke loker tersebut dan menembaknya. Peluru menembus loker, tetapi tak ada Sophia di sana. Dexter mulai merasa tertipu dan semakin frustrasi, kini pelurunya tersisa tiga, jika ia menembak lagi dan gagal atau meleset maka habis sudah kesempatannya, ia tak punya senjata atau peluru lagi.
"Keluar kau gadis sialan!" teriak Dexter.
Dia terus bergerak, perlahan memeriksa setiap sudut ruangan, mencari jejak Sophia yang terus mengelabui keberadaannya. Tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki di dekatnya. Ia segera berbalik, menodongkan senjatanya ke sumber suara. Ia tiba di area bilik toilet, dia memutuskan untuk memeriksa setiap bilik toilet satu per satu, sementara senjatanya siap menembak; mana tahu Sophia bersembunyi di dalam salah satu bilik, maka Dexter akan langsung membunuhnya. Namun, setiap bilik yang ia periksa, tak ditemukan tanda-tanda keberadaan Sophia. Ia merasa kebingungan dan marah.
Hingga akhirnya ia berada di bilik toilet terakhir, ia merasa yakin jika Sophia bersembunyi di sini karena sudah setiap sudut ruangan ia periksa dan tak ada tanda-tanda Sophia. Ia buka pintu dengan hati-hati dan menodongkan senjatanya. "Fuck, dia tak ada di sini!" Kini ia semakin marah dan frustrasi.
Tanpa diketahui Dexter, ternyata Sophia telah bersembunyi di dalam lemari tempat alat-alat kebersihan bola basket disimpan, ia terus memantau gerakan Dexter. Menunggu saat yang tepat untuk menerjang. Begitu Dexter berada di depan bilik toilet paling akhir, Sophia dengan cepat melesakkan pintu lemari dan muncul dengan busur panahnya. Ia membidik dan melepaskan anak panah dengan kecepatan kilat. Anak panah itu menembus bahu Dexter dan ia berteriak kesakitan. Hal ini pula, membuat Dexter tak sengaja menarik pelatuk, senapan assault rifle-nya menembak dinding bilik toilet, kini pelurunya habis, bahkan senapannya terjatuh ke lantai.
Sophia tidak memberikan kesempatan pada Dexter untuk mengambil senjatanya kembali. Ia menendang Dexter dengan keras, membuatnya terhuyung dan wajahnya masuk ke dalam kloset toilet. Dexter tergeletak di dalam kloset dengan bahu yang berdarah dan kesakitan.
"Ini balas dendamku!!" teriak Sophia, menarik anak panah terakhirnya dan langsung ia tancapkan dengan kuat ke punggung Dexter hingga lelaki itu kesakitan, darah keluar cukup banyak.
Sophia yang belum mengampuni Dexter, dia meraih assault rifle di dekat kakinya, bukan berniat menembakkan pelurunya, tetapi ia memukul Dexter berkali-kali di punggung, leher, dan belakang kepalanya menggunakan badan senapan tersebut. Hingga berkali-kali Dexter menjerit dan sangat kesakitan. Bahkan punggung dan bahunya semakin berdarah akibat senapan itu menyenggol anak panah yang menembus tubuh Dexter. "Mati kau, mati, mati, mati!!" Sophia berteriak dan terus memukul Dexter dan tangis Sophia berjatuhan karena rasa sakit ketika mengingat banyaknya murid di sekolah ini yang meregang nyawa. Setelah tubuh Dexter tak bergerak lagi, Sophia baru berhenti memukulnya.
Sejenak ia meratapi semua ini. Ternyata kenyataan lebih buruk dibandingkan sebuah film. Hanya saja ia tak menyesal karena ia melakukan semua ini demi kelangsungan hidupnya dan melindungi teman-temannya. Maka ia melangkah pergi dengan menyeret senapan tersebut dan busur panahnya, ia keluar dari kamar ganti, menuju pintu keluar yang ketika ia buka serta melangkah, air hujan menerpa wajahnya, rasa dingin menjalar cepat. Ia benci hujan karena selalu membuatnya gagal pergi keluar rumah. Namun, kini ia butuh hujan untuk menutupi tangisannya. Ia menangis di bawah hujan, ia sudah lelah, dan kini hanya berdoa agar Viole selamat dari kematian. "Kumohon jangan mati, begitu juga Emma dan Louie, kita sudah saling berjanji untuk menonton film dan menghabiskan waktu bersama sebagai sahabat dekat."
****
Viole dengan perasaan lega karena terbebas dari perempuan gila dan pedofil, kini dia memutuskan memasuki gedung sekolah lagi dibandingkan kabur karena ia sudah terlanjur menggunakan kemampuannya, maka ia akan menyelesaikan hingga akhir lagi pula ia belum bertemu Louie dan Emma. Melangkah masuk ke dalam, koridor terasa sangat sepi dan penuh dengan keheningan yang menyeramkan, serta terlihat beberapa mayat murid yang tidak berdosa tergeletak di lantai. Dia tak merasa ngeri melihat pemandangan ini dan hanya merespons dengan helaan napas pelan.
Kini langkahnya bergema, ia terus mencari-cari keberadaan kedua temannya. Saat dia melangkah lebih jauh, Viole melihat cahaya flashlight ponsel yang menyinari seorang perempuan yang tengah duduk di lantai. Ternyata itu Louie, ia sedang merawat luka gores di kaki Emma akibat tembakan Freddie yang meleset dan hanya menggores kulit Emma.
Viole mendekati mereka. Emma yang terluka segera menoleh dan melihat Viole. Air mata mengalir saat dia mengetahui bahwa Viole selamat. "Viole!" teriak Emma sambil merangkul Viole dengan penuh kebahagiaan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu dan aku tidak berani berpikir hal buruk, tapi kamu selamat, kamu benar-benar selamat!"
Viole sesaat merasa hampir tak percaya jika semua ini adalah kenyataan terutama ketika seseorang hadir dan memberikan pelukan ketika Viole selamat dari ambang kematian. Detik ini seolah-olah mimpi, tetapi pelukan hangat dari Emma mengingatkannya bahwa ini adalah kenyataan. Dia membalas pelukan Emma dengan erat, merasa bersyukur bahwa kedua temannya masih hidup.
Louie tiba-tiba juga mendekap tubuh Viole, lebih tepatnya memeluk Viole dan Emma secara bersamaan. "Aku bersyukur kau selamat, aku sangat yakin jika kau akan selamat," kata Louie yang terisak seperti Emma.
Viole tersenyum lembut. "Aku juga senang karena kalian berdua selamat."
Emma mengusap air mata di wajahnya. Mereka melepaskan pelukan satu sama lain. "Kita harus keluar dari sini."
Louie berujar, "ya, aku setuju, ayo segera keluar dari sini sebelum---"
Suara tembakan yang menggelegar membuyarkan ketenangan mereka. Ketiganya terkejut. Tiba-tiba, Tyler muncul, wajahnya sedikit terluka, mata bengkak sebelah, bibir terluka dan berdarah, serta sedikit kotoran pada pakaiannya. Tyler dengan cepat menarik lengan Emma dan menyandera gadis itu, menodongkan pistol ke pelipisnya yang pucat.
Ketika Louie melihat Emma disandera, rasa marah memenuhi hatinya. "Tyler, apa yang kau lakukan bajingan!" bentak Louie dengan suara gemetar. "Lepaskan dia!"
"Tyler," ujar Emma gemetar ketakutan. "Kumohon jangan lakukan ini."
Tyler menatap mereka dengan pandangan bingung dan takut. "Aku tidak punya pilihan." Suaranya gemetar. "Freddie berjalan kemari, dia mengejarku. Jika kalian ingin Emma, tetap hidup, maka kalian berdua harus melindungiku dari Freddie selagi aku mencari jalan keluar dan berhasil keluar dari sekolah ini! Lakukan perintahku atau kupecahkan kepala gadis ini!"
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Semuanya berusaha untuk bertahan hidup, tapi manusia seperti Tyler pantas untuk mati saja, hehe~
Ngeri juga ya Jamari dan Ruby, kematian mereka berdua sangat brutal mana kerendam banjir darah! Hmm, ada yang bisa jelasakan, dari mana asal banjir darah mereka? Apakah karena kekuatan Viole--uhuk!
Selamat tinggal Lucy Bates, dia mati dengan cara hangus terbakar. Ngeri juga ya Viole! Namun, gimana bisa di sekolah nyimpan alat mengerikan itu? Apakah ini juga karena kekuatan....
Sophia si maniak horor selamat juga^^ Nggak disangka dia bakal sekeren dan kejam banget, mukulnya pake emosi yah~
Kepada Tyler... jadi penasaran gimana dia nantinya^^
Prins Llumière
Selasa, 21 November 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top