Chapter 28: Backstabber!
Chelsea berusaha melepaskan ikatan di tangannya. Ia menggoyang-goyangkan tangannya yang terikat ke kaki meja, tetapi tak kunjung membuat meja itu bergeser karena berat. Chelsea tidak bisa pula berdiri atau menggerakkan kedua kakinya karena juga terikat oleh tali. Ia terus meminta pertolongan berharap ada seseorang yang melewati ruangan ini, tempatnya disekap. Namun, tak kunjung juga ada yang membantunya. Sebenarnya ia mendengar beberapa langkah kaki di luar sana, tetapi tak ada yang mau membantunya, barangkali enggan atau lebih mementingkan diri sendiri karena juga berada di ujung tanduk.
Kini pikirannya berkecamuk, banyak sekali ketakutan dan kesedihan bercampur menjadi satu. Ia masih berusaha menerima meski hatinya sangat sakit bahwa sahabatnya yang sangat ia sayangi dan percayai adalah seorang pembunuh dan merencanakan teror pembantaian massal ini bersama dengan rekan-rekannya. Teringat suara Monica, ibarat simfoni paling menusuk hingga relung hatinya. Jika selama ini Monica hanyalah berakting, apakah pertemanan dan tawa mereka selama ini jugalah akting? Apakah Monica tak pernah menganggapnya sebagai teman sekali pun? Kenapa Monica membiarkan Chelsea hidup padahal ia bisa membunuhnya?
"Kenapa kau membiarkanku hidup? Kenapa kau melakukan semua ini, kenapa harus balas dendam dengan cara ini, Monica ... kau adalah sahabatku dan aku sangat hancur karena semua ini." Tangisnya kembali pecah dan ia berusaha terus-menerus untuk melepaskan ikatan di kedua tangannya, tetapi selalu gagal.
Kini ketakutan Chelsea berubah menjadi kecemasan yang tertuju pada Viole. Sesaknya semakin terasa karena para pembunuh menargetkan Tyler, Lola, dan Ben dengan artian Viole pasti menjadi incaran mereka juga. Apakah Monica berniat membunuh Viole? Ketakutannya membesar, Chelsea takkan pernah memaafkan Monica jika dia berani menodongkan pistolnya pada Viole. Bukankah lelaki polos itu tak bersalah sedikit pun? Ia baru pindah ke sekolah ini dan tak juga terlibat dengan perundungan yang dilakukan geng Tyler, seharusnya nyawa Viole diampuni, benar bukan? Tuhan, meski Chelsea bukanlah orang yang religius, dia berdoa pada Kuasa-Mu untuk melindungi lelaki yang sangat Chelsea sayangi itu! Ahh, kini hatinya terkoyak karena hari ini sebenarnya dia berniat mengungkapkan cintanya pada Viole, tetapi apa daya jika pembunuhan massal ini terjadi dan Chelsea belum tentu punya kesempatan untuk bertemu Viole lagi. Barangkali Chelsea lah yang akan mati nantinya, jika tak di tangan Monica, maka di tangan pembunuh lain.
"Siapa pun yang ada di luar, aku Chelsea!! Tolong selamatkan aku karena aku terikat!" teriak Chelsea yang merasa bahwa ia tak mau menyerah. Ia yakin meski lelaki itu polos dan menyebalkan, tetapi ada sesuatu dalam diri Viole yang membuatnya takkan terbunuh dengan mudah.
"Kumohon siapa pun tolong aku!" Kembali Chelsea berteriak hingga detik selanjutnya tiba-tiba saja pintu didobrak dengan kuat lalu dua orang masuk; perempuan berambut hitam sebahu yang memegang kuat pemukul bisbol serta seorang laki-laki, ada plester di wajahnya dan rambutnya berantakan dan membawa pemukul bisbol juga.
"Oh My Goddess," ujar Sophia terkejut, "ketua pemandu sorak, kau baik-baik—Oh God!!! Apakah itu Mrs. Ivanna?! Dia mati ...." Sophia mematung.
"Shit!" kata Theodore seraya menurunkan pemukul bisbolnya karena tadi siap memukul. "Tidak ada pelajaran biologi lagi."
"Hey! Bukan waktunya bercanda, bodoh!" Sophia berusaha menenangkan dirinya, meskipun masih syok karena mayat guru biologinya yang terkapar di lantai dan penuh darah. Kemudian lekas dia mendekati Chelsea, berjongkok, meletakkan pemukul bisbolnya di lantai, dan perlahan hendak membukakan ikatan tali di kaki Chelsea.
"Sophia biarkan saja dia terikat karena takutnya dia akan menculik Viole dari kita!" ujar Theodore setengah bercanda.
"Bajingan kau, Theodore!" teriak Chelsea yang bingung harus bersyukur atau marah karena kedua manusia ini yang menyelamatkannya.
"Benarkah kau akan menculik Viole?" Seketika Sophia berhenti melepaskan ikatan di kaki Chelsea dan dia menatap dengan polos.
Sialan, Chelsea ingin sekali meninju wajah Theodore. Kini dia mulai berteriak, "tidak bodoh! Theodore berhenti bercanda dan bantu lepaskan ikatan di tanganku! Dan kau lanjutkan lepaskan ikatan di kakiku, ini bukan saatnya bermain-main."
"Okay ... Theodore sialan, cepat bantu, jangan hanya diam saja!" teriak Sophia.
"Iya, iya," ujar Theodore, menaruh pemukul bisbolnya kemudian berangsur-angsur ke dekat Chelsea dan membantu melepaskan ikatan tali di tangan gadis itu. "Siapa pelakunya? Apakah Monica?"
"Bagaimana kau tahu?!" Chelsea menatap lelaki itu.
"Kami sempat melihat Monica mengobrol dengan salah satu pembunuh, lalu kami berhasil kabur hingga kemari," jelas Theodore entah mengapa terukir kesedihan di wajahnya, barangkali ia berduka karena Chelsea dikhianati sahabatnya.
"Kau baik-baik saja?" ujar Sophia setelah melepaskan ikatan tali tersebut, di tangan Chelsea juga sudah lepas. Kini Chelsea duduk dengan kepalanya sedikit menunduk. "Maaf aku bertanya. Abaikan saja."
"Dia mengkhianatiku dan rasanya sangat sakit, lebih sakit dibandingkan ketika aku kehilangan ibuku." Perlahan Chelsea berdiri. "Namun, ini tak penting. Ayo pergi dan temukan Viole serta dua teman kalian lagi. Aku khawatir pada Viole."
"Baiklah!" Sophia menyeka air matanya, ia sempat menangis kemudian mengambil kembali pemukul bisbolnya. "Ayo kita cari Viole, Emma, dan Louie! Aku sangat khawatir pada mereka!"
Theodore tiba-tiba menahan Sophia dengan cara menarik kerah baju gadis itu. "Bagaimana jika kalian cari jalan keluar dari sekolah ini atau bersembunyi dari pada terluka karena bertemu para teroris di luar sana. Aku yang akan mencari Viole."
"Tidak bisa! Mana mungkin aku membiarkanmu pergi sendirian!" ujar Sophia lekas melepaskan tangan Theodore dari kerah bajunya.
"Dia benar, kita akan mencari mereka bersama-sama," ucap Chelsea menatap sinis pada Theodore. Hal ini membuat Theodore kesal dan kini melangkah hingga tepat berhadapan dengan Chelsea.
"Ini bukan film superhero, bukan fisik fantasi, ini kehidupan nyata, kalian bisa saja terluka dan terbunuh." Mata Theodore menatap sinis.
"Begitu juga kau," balas Chelsea tak mau kalah dari lelaki ini.
"Setidaknya aku masih bisa melawan mereka, jika terlalu banyak yang mengikutiku, kemungkinan ketahuan lebih besar dan salah satu dari kita bisa saja mati tertembak. Sekali lagi, ini bukan film, ini kenyataan!" Theodore tidak ingin melihat seseorang yang dekat dengannya harus meregang nyawa. Ia ingin menyelamatkan Viole dengan tangannya sendiri karena ia menganggap lelaki itu sebagai sahabatnya, baru kali ini Theodore mau menganggap seseorang sebagai sahabat.
"Aku tahu ini kenyataan karena salah satu sahabatku adalah pembunuh itu," balas Chelsea, ia kembali meneteskan air mata. Sukses membuat Theodore terdiam, sementara Sophia hanya mengamati dan berusaha menahan tangisnya juga. "Kau tak punya hak melarangku? Kaupikir dirimu siapa, pacarnya Viole atau ibunya? Aku masih sakit karena Monica mengkhianatiku, aku akan lebih sakit jika Viole terluka atau lebih parahnya ...." Chelsea tak berani menyebutkan kata menyakitkan itu; ia harus percaya jika Viole takkan mati. "Aku ingin mencari Viole, keputusanku sudah bulat."
"Aku juga!" teriak Sophia.
"Baiklah!" Kini Theodore tahu alasan mengapa ia tak mau memiliki pacar karena wanita sangat keras kepala. "Namun, nyawa kalian adalah tanggung jawab kalian sendiri. Aku takkan bersikap seperti tokoh utama dalam film yang akan menjadikan tubuhku tameng ketika kalian akan tertembak."
"Ya, tentu saja! Aku takkan memintamu menggantikanku mati," sahut Sophia seraya menguatkan genggaman tangannya pada pemukul bisbol.
"Aku takkan merepotkanmu," sahut Chelsea, "jadi ayo kita pergi."
Maka dengan langkah terpaksa, Theodore pun mengikuti kedua gadis ini keluar dari ruangan dengan hati-hati. Celingak-celinguk untuk memastikan tak ada tanda-tanda dari para pembunuh bahkan tak terdengar suara tembakan. Perlahan mereka pun mulai berjalan di koridor, tentu saja dengan langkah kaki yang tak berisik agar tidak mengundang para pembunuh. Mereka harus secepatnya menemukan Viole, Emma, dan Louie yang mereka yakini jika para pembunuh menjadikan mereka sebagai target utama pula selain Tyler, Ben, dan Lola. Kini dalam hati ketiganya terus berdoa demi keselamatan Viole, Emma, dan Louie. Mereka harus percaya jika ketiga manusia itu akan baik-baik saja.
****
Di sisi lain koridor sekolah. Langkah kaki terdengar bersama suara tembakan yang menghancurkan banyak kaca jendela hingga berhamburan di lantai, tetapi hal ini tidak menghentikan dua laki-laki terus berlari dari kejaran perempuan gila bernama Lucy Bates. Louie lekas menarik lengan Viole agar berbelok ke koridor lain, mereka sudah mencoba membuka pintu keluar, tetapi terkunci dan tak mampu mereka dobrak, kini mereka merasa terperangkap di sekolah ini, seperti seekor tikus yang terkurung dan harus bertahan hidup dari kejaran kucing gila dan liar.
"Sebanyak apa peluru yang ia bawa? Sejak tadi dia terus menembak tak menentu dan tak mau berhenti mengejarmu," ujar Louie.
Viole berusaha menstabilkan napasnya yang kini kedua kakinya sudah sangat lelah berlari. Ia perlahan duduk di lantai setelah mereka berhasil kabur dari kejaran Lucy, meski hanya sementara. Louie juga sangat kelelahan, keringat dingin bercampur air mata menetes, ia sempat menangis tadi karena serangan mengerikan di sekolah ini. "Aku tidak tahu, dia terus mengejarku kurasa karena tertarik dengan wajahku."
"Fuck, karena inilah dia memanggilmu, bocah cantik?" balas Louie yang tetap berdiri. Ia memperhatikan Viole yang wajahnya pucat karena sepertinya lelaki itu tak terlalu punya fisik yang kuat.
"Ya sialan, aku benci situasi ini," ujar Viole merasa dadanya kini terasa sangat sesak.
Keduanya sama-sama berusaha menenangkan diri. "Sudah tak banyak murid di dalam gedung ini, beberapa sudah meregang nyawa, sisanya berhasil kabur, tapi aku tak melihat tanda-tanda Emma maupun Lola, sejak tadi aku berusaha menghubungi mereka, tapi sinyal dan internet tiba-tiba lenyap. Namun, syukurlah kita bertemu tadi, hampir saja kau ditangkap perempuan gila itu."
Dalam pikiran Viole, ia meyakini jika pasti ada alat yang digunakan para teroris itu untuk melenyapkan sinyal dan internet di sekolah ini dalam radius beberapa kilometer. Tidak Viole sangka jika Grim Squad merencanakan pembantaian massal ini dengan sangat baik dan terstruktur bahkan mereka sudah memikirkan cara untuk mencegah kepolisian datang kemari.
"Kita harus mencari Emma dan Sophia," ujar Viole, "agar kita cepat terbebas dan keluar dari sini." Ia menatap Louie.
"Ya, ayo lekas cari mereka!" Louie mengulurkan tangannya yang perlahan diraih oleh Viole.
"Kurasa kita harus berpencar---"
Suara tembakan terdengar dan seorang murid berhasil tertembus peluru hingga tubuhnya ambruk ke lantai. Viole dan Louie lekas menoleh ke belakang yang kini seorang perempuan gila muncul seraya mengisi kembali pelurunya. "Akhirnya kutemukan kalian berdua! Hey bocah cantik kemarilah jika kau tak mau kubuat lumpuh!"
"Lari," ujar Viole pelan.
Kini dimulai lagi permainan kejar-kejaran yang membuat Lucy semakin mengamuk! Mengapa kedua murid itu terutama si bocah cantik sangat sulit ditangkap? Lucy sudah mengerahkan segala upaya, tetapi mereka terus saja berhasil kabur padahal murid lain dengan mudahnya Lucy bunuh. Detik ini saja Viole dan Louie berhasil kabur dari cengkeraman Lucy dan mereka berpisah di koridor yang berbeda. Membuat Lucy kebingungan harus mengejar siapa dahulu. Namun, sejak awal prioritas Lucy adalah mendapatkan si lelaki cantik. Maka ia membiarkan Louie berlari pergi tanpa menembaknya. Ia tak peduli pada Louie dan menginginkan Viole.
"Jangan kaburkau bocah cantik sialan!" teriak Lucy kembali, seraya mengangkat senjatanya dan mengarahkannya pada Viole, kali ini Lucy sudah muak, mungkin tak apa jika lelaki itu terluka sedikit saja, kecuali wajahnya jangan tergores. Sayangnya sebelum peluru berhasil menembus paha Viole, lelaki itu berhasil mengelak. "Keparat kau!"
Viole merasa jantungnya berdegup begitu kencang hampir seperti ingin meledak. Suara letusan senapan assault rifle jenis AK-47 milik Lucy Bates menggema di lorong sekolah yang perlahan gelap dan mulai sepi, membuat Viole semakin terperangkap dalam ketegangan yang tak terhingga. Viole tahu dia harus terus berlari, tak peduli betapa lemah fisiknya.
Koridor yang sempit itu penuh dengan pecahan kaca dan beton yang berserakan akibat tembakan-tembakan liar Lucy dan para pembunuh lainnya. "Sialan, kenapa dia tak mencari target lain!" Viole harus berlari dan terus berusaha menghindari tembakan maut yang seolah-olah datang dari segala arah. Setiap langkahnya adalah potensi kematian.
Napasnya semakin berat dan tak beraturan, memaksa dia untuk mengambil napas dalam-dalam. Sejatinya, Viole bukanlah seseorang yang berolahraga atau memiliki kebugaran fisik yang prima. Hal inilah yang membuatnya terhambat.
Kini Viole bergerak dengan kecepatan yang dia pikir tak mungkin bisa dicapainya. Keringat menetes dari wajahnya yang pucat. Dia mendengar suara tembakan yang semakin mendekat dan merasa peluru melesat begitu dekat dengannya.
"Fuck!" Pecahan kaca dari jendela yang hancur menggoreskan kulitnya, menyebabkan rasa sakit yang tajam. Namun, dia terus berlari, tak peduli rintihan rasa sakit yang memayungi dirinya. Sementara itu, di luar sekolah, cuaca yang tadi paginya cerah kini telah berubah mendung dan gelap. Angin bertiup dengan kencang, menggoyangkan ranting-ranting pohon di sekitarnya. Hujan gerimis mulai turun, membasahi tanah dan mengundang aroma yang segar dan bersih. Akan tetapi, situasi yang terjadi di dalam sekolah jauh dari kata damai.
"Sialan, kenapa selalu aku yang berhadapan dengan bagian terburuknya," gumam Viole seraya terus berusaha mengatur napasnya. Kini ia berhasil lolos dari kejaran Lucy, tapi ia yakin jika hal ini takkan berlangsung lama. Maka ia harus terus bergerak entah mencari jalan keluar atau bertemu dengan yang lain.
Dengan hati-hati, dia berbelok menuju koridor lain. Langit-langit koridor ini terasa terlalu dekat dan dinding-dindingnya tampak seperti penjara. Dalam kondisi fisik yang semakin melemah, Viole mencoba untuk tidak berpikir terlalu banyak tentang betapa sulit situasinya. Dia perlu bertahan hidup dan itu adalah satu-satunya fokusnya. Hanya saja, takdir memang suka bercanda.
Sebelum dia bisa memutuskan langkah berikutnya, sebuah pemukul bisbol mendarat dengan keras di wajahnya ketika ia berbelok ke koridor lain. Viole merasa rasa sakit yang luar biasa menghantam kepalanya hingga ia jatuh terjengkang ke lantai dengan darah yang mengucur dari pelipisnya yang terluka. Kepalanya menghantam lantai cukup keras. Penglihatannya menjadi kabur dan dia tengah berjuang untuk tetap sadar.
Ketika dia mencoba menyentuh pelipisnya yang terluka, dia merasakan langkah kaki seseorang berhenti di depannya. Viole mengangkat kepala dan melihat bahwa seseorang sedang menodongkan pistol padanya. Mata Viole melebar ketika dia mengenali sosok itu—Monica.
"Hello little boy, sudah lelah bermain kucing dan tikusnya?" kata Monica tersenyum tipis dengan keringat mengucur dan mata sembab.
Viole tak butuh waktu untuk mencerna semua ini karena ia langsung paham. "Jadi kau pengkhianatnya, aku memang menduga jika ada seseorang yang berkhianat di sekolah ini, tapi aku tak menduga jika itu kau."
"Wah, kupikir kau takkan paham dan memasang tampang polos, ternyata kau cerdas juga. Lalu ya benar, aku merencanakan semua pembunuhan massal ini." Tangan Monica gemetar dan ia tak mau mengalihkan pandangannya pada Viole yang terbaring di lantai.
"Apakah aku juga masuk dalam daftar target kalian? Atau kalian asal membunuh seperti Bloodied Tortuner?" Viole tak memperlihatkan ketakutan karena yang terukir di wajahnya adalah rasa lelah karena terus berlari.
"Harusnya tidak, tapi kau berpotensi menggagalkan rencana kami, jadi kurasa aku harus membunuhku." Suara Monica gemetar.
"Then do it now!"
"What?" Degup jantung Monica berdetak kencang, kenapa Viole malah mengatakan hal itu?
"Kill me, if you dare, so kill me right now."
"Fuck!!" Monica menarik Viole ke atas dengan kasar, membuatnya berdiri dengan susah payah, lalu menyudutkannya ke dinding dan mengunci lelaki itu seraya tangan kanan Monica menekan pistol yang dingin ke pelipis Viole. Monica tersenyum dengan senyum yang penuh kebencian bercampur kesedihan.
"Kau sebenarnya tak mau melakukan hal ini," ujar Viole.
"Kau takkan paham! Aku harus melakukannya untuk membalaskan dendam kematian orang yang kucintai!" Tubuh Monica gemetar.
"Bukan seperti ini caranya," ujar Viole.
"Kau bisa berkata seperti itu karena kau tak pernah merasakan apa yang kurasakan!" teriak Monica yang kini jarinya sudah berada di pelatuk. "Kau harus melihat dengan mata kepalamu sendiri kematian seseorang yang paling kau cintai, baru kau akan paham tindakanku kini."
Ah ya, Monica benar. Viole harus kehilangan seseorang yang ia cintai agar ia bisa paham rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Viole harus paham dan merasakan langsung ketika di balik dinding putih yang mengurungnya. Ia melihat dinding tersebut runtuh karena serangan para tentara, anak-anak seumurannya mati, tetapi sosok cinta yang dimaksudkan datang untuk menyelamatkannya. Detik itu, Viole bukanlah pangeran yang menyelamatkan, tetapi pangeran yang diselamatkan tuan putri. Namun, kini sang tuan putri yang cantik jelita sudah tak lagi ia raih genggaman tangannya.
"Kau benar, aku takkan paham." Viole berbohong. "Namun, bagaimana dengan Chelsea? Apakah kau membunuhnya, apakah kau memikirkan perasaannya yang sakit karena semua ini."
"DIAM, DIAM DAN TUTUP MULUTMU!" Kini jari telunjuk Monica gemetar dan siap untuk ia tarik pelatuknya. "Diamlah agar aku bisa membunuhmu dalam sekali tembakan."
Hanya butuh satu tarikan pelatuk, maka peluru akan menembus tengkorak kepala Viole. Namun, dengan kecepatan yang mengejutkan, seseorang muncul di belakang Monica---Theodore, dia memegang pemukul bisbol kemudian memukul keras Monica dari belakang. Monica berteriak kesakitan dan urung menarik pelatuknya.
"Bajingan!" Pukulan itu mengakibatkan Monica melepaskan cengkeramannya dari Viole, gadis itu sesaat tersungkur ke lantai karena kesakitan. Theodore lekas bergerak secepat kilat untuk meraih lengan Viole untuk menjauh dari jangkauan pistol yang sudah hampir ditembakkan Monica.
"Ayo cepat pergi!" teriak Theodore.
"Jangan harap kalian kabur, bocah sialan!" teriak Monica sudah berdiri dan menodongkan pistolnya. Namun, sebelum peluru melesak menembus kepala Theodore. Dari arah samping, Chelsea menerjang cepat, menarik lengan kanan Monica sehingga berhasil membelokkan tembakan Monica.
"Cepat lari!" teriak Chelsea yang terbesit air matanya. Ia menatap pada Viole dan Theodore. "Aku akan menahannya, kalian harus lari!"
Suara Monica terdengar kencang. "Sialankau!"
Monica dengan cepat menyerang Chelsea, ia membanting tubuh sahabatnya itu ke lantai, Chelsea tersungkur lalu tanpa belas kasihan dia melesakkan peluru hingga menembus kaki Chelsea. Jeritan Chelsea terdengar bersamaan darah mengalir ke lantai dan membuat genangan kecil di sana.
"Bajingan kau!" teriak Theodore mengangkat pemukul bisbol hendak ia hantamkan ke wajah Monica, tetapi gagal dan pemukul tersebut hancur karena ditembak Monica. Maka gadis itu lekas menendang dan meninju Theodore hingga wajah lelaki itu menghantam loker.
Kini Viole berlari ke arah Monica yang menodongkan pistolnya ke arah Viole, lelaki itu hendak merebut pistol tersebut, tetapi tenaga Monica yang sering berolahraga jauh lebih kuat dibandingkan fisik Viole. Maka berhasil ia empaskan tubuh Viole ke loker, menghantam wajahnya dengan pistol hingga darah mengucur dari pelipisnya yang terluka. Bahkan satu peluru berhasil ditembakan dan sedikit menggores perut kanan Viole meski tak terlalu dalam. Viole menahan jeritan dan terus berupaya melepaskan pistol tersebut dari tangan Monica yang cengkeramannya sangat kuat. Suara berkelontang terdengar ketika terus-menerus Monica mengempaskan kepala belakang Viole ke loker besi.
"Berhenti melawan atau kau akan lebih menderita!" teriak Monica yang suaranya sudah bercampur tangisan.
"Kau tak pantas disebut sahabat, kau menyakiti sahabatmu sendiri!" balas Viole yang membuat Monica sesaat tersentak.
"Sialan, sudah kubilang aku melakukan semua ini untuk balas dendam atas kematian seseorang yang kucintai!" Kini pistol tersebut persis di rahang Viole, lelaki itu berusaha agar Monica tidak menarik pelatuknya. Detik itu pertarungan hidup dan mati telah dimulai. "Sudah takkan ada yang menyelamatkanmu lagi, pangeran kecil."
"Maaf, tapi masih ada maniak horor," sahut Viole.
"Apa?!" Tiba-tiba Sophia muncul dan sukses tubuh Monica kejang ketika stun gun menyerangnya, membuat aliran listrik bertegangan tinggi mengalir dalam dirinya hingga Monica ambruk serta pistolnya terlepas.
"Viole," teriak Sophia lekas menarik lelaki itu.
"Sialan kalian semua! Bajingan!" Monica masih merasakan sakit menjalari tubuhnya yang sedikit kejang. Ia hendak mengambil pistolnya, tetapi terkejut karena seseorang lebih dulu meraih pistol tersebut. "Chelsea."
Hening terdengar ketika Chelsea susah payah berdiri dengan berpegangan di loker karena kaki kirinya mengalir darah yang tak berhenti. Sementara tangan kanannya memegang pistol yang ia arahkan pada Monica. Tangis sudah menutupi wajah Chelsea dan tangannya gemetar ketika jari telunjuknya persis di pelatuk.
Monica merasakan kesedihan dan rasa bersalah tak berujung menyelubungi dirinya ketika melihat Chelsea terus menangis. Wajah sahabatnya itu tak seharusnya menangis karena yang Monica tahu, Chelsea selalu tertawa dan tersenyum. Gadis itu selalu ngambek jika ada keinginannya yang tak dituruti dan sangat cantik ketika menghadiri pesta di malam hari. Meski ia sudah beberapa kali diselingkuhi, Chelsea tak pernah lelah dan menyerah hingga ia jatuh cinta pada lelaki lebih muda darinya. Ah kini Monica baru ingat jika Chelsea ingin menyatakan perasaannya pada Viole. Namun, ia tebak jika Viole pasti akan menolak Chelsea karena lihat saja lelaki polos itu yang sepertinya belum mengerti pasal cinta antara lawan jenis apalagi hubungan seksual.
Kini semua kebahagiaan mereka sudah pupus. Tidak bisa lagi waktu terulang. "Maafkan aku Chelsea."
Bibir Chelsea gemetar, ia siap membunuh sahabatnya karena ini adalah pilihan terbaiknya. "Maafkan aku juga."
"Makasih sudah jadi sahabatku, maaf aku jahat padamu," kata Monica.
Maka suara tembakan terdengar memecah keheningan, bergema ke seluruh koridor ini. Menghancurkan banyak hati yang tak bisa lagi diperbaiki. Mematahkan semua kenangan dan persahabatan serta masa depan yang penuh kebahagiaan. Darah mengalir semakin banyak di lantai setelah peluru menembus kepala Monica. Sophia yang sejak tadi tak berani melihat masih menenggelamkan wajahnya di dada Viole, sementara Theodore melangkah mendekati Chelsea yang tubuhnya ambruk ke lantai karena darah tak kunjung juga berhenti mengalir dari luka tembak di kakinya.
"Kita harus membawanya ke rumah sakit," ujar Sophia.
"Aku akan menggendongnya," ucap Theodore, "Viole kau---"
"Kalian bawa Chelsea ke rumah sakit," sahut Viole perlahan berjongkok dan mengambil pistol tersebut. "Aku akan mencari Louie dam Emma."
"Tapi ...."
"Sophia, aku baik-baik saja. Kumohon kalian pergilah selagi Chelsea bisa diselamatkan, kumohon Demi Tuhan, aku akan baik-baik saja." Baru kali ini, mereka melihat Viole memohon maka mereka menurutinya.
"Jaga dirimu," ujar Theodore lekas membawa tubuh Chelsea yang semakin melemah.
"Jangan mati, kau ada janji nonton film horor setiap malam Jum'at!" Sophia berujar lalu mengikuti langkah Theodore. Kini mereka perlahan menghilang dari pandangan Viole.
Dalam kesunyian koridor yang hanya suara-suara gemuruh petir dan suara hujan semakin deras menjadi latar belakang, Viole sendirian. Ia berjongkok di samping Monica. Perlahan Viole menutup kedua kelopak mata Monica, menaruh kedua tangannya di atas perut, lalu Viole berujar pelan. "Semoga Tuhan meringankan hukumanmu di akhirat."
****
Lola Powell berlari secepat kakinya bisa melewati koridor sekolah yang gelap dan hanya terdengar suara gemuruh guntur. Dia merasa detak jantungnya berdegup begitu kencang sehingga hampir meledak di dadanya. Rasa panik memenuhi dirinya dan dia tahu bahwa tidak ada tempat yang aman selama dia masih di dalam sekolah ini.
Di kejauhan, dia bisa mendengar suara langkah kaki berat yang semakin mendekat. Freddie Houghton bersenjata shotgun, terus mengejarnya. Teriakan marahnya memenuhi koridor-koridor yang sepi dan Lola merasa seperti dia sedang dikejar oleh maut itu sendiri.
Setiap tembakan shotgun yang dilepaskan oleh Freddie meleset, hujan peluru berhamburan ke dinding-dinding koridor, lantai, maupun menghancurkan lampu membuat koridor menjadi semakin gelap. Debu dan kotoran terbang di udara, membuat pandangan Lola semakin kabur. Wajahnya penuh dengan luka lecet dan goresan akibat pecahan kaca berserakan di koridor.
"Tolong aku siapa pun, Ben, Tyler, Emma!" Dia terpisah dari Emma karena serangan-serangan yang diluncurkan oleh Freddie. Kini rambutnya yang sebelumnya terikat dengan rapi, menjadi acak-acakan dan pakaiannya telah kotor oleh debu dan darah karena ia sempat jatuh ke genangan darah murid yang telah meregang nyawa. Lola tahu dia harus terus berlari, tidak peduli betapa lelahnya dia atau betapa jauhnya dia bisa kabur dari Freddie.
Tangisnya campur aduk dengan napas tersengal dan dia terus mencari jalan keluar yang mungkin bisa menjadi penyelamatnya, sayangnya semua pintu yang ia coba buka ternyata terkunci. Lola tiba-tiba merasa begitu kecil di tengah ketakutan ini. Dia merasakan penyesalan yang dalam dan berat dalam hatinya karena pernah merundung Spencer, yang kini Freddie balas dendam dengan penuh kebencian.
"Tidak, tidak, tidak!" Lola kini berada di sebelah utara pintu keluar gedung sekolah ini. Namun, sudah berusaha ia tarik gagang pintunya, ia dobrak, tetapi tak bisa terbuka. Lekas ia berbalik karena langkah kaki berhenti persis di hadapannya. "Kumohon jangan bunuh aku, aku menyesal telah menyakiti adikmu, kumohon ampuni aku. Aku ingin kembali ke rumah dan bertemu dengan kakak dan orang tuaku!"
Freddie menatap sinis seraya mengisi peluru shotgun-nya. Wajahnya Freddie dipenuhi amarah, keringat mengucur, debu membuat wajahnya sedikit kotor, tetapi ia tak gentar dan akan siap mengejar para perundung Spencer bahkan hingga ujung dunia sekali pun. "Perkataanmu itu terucap hanya karena kau berada di ujung tanduk, jika tidak, kau hanya akan terus merundung murid lain dan menambah korban!"
Kini Lola duduk bersimpuh, kedua tangannya ia satukan, ia seolah-olah pendosa yang memohon pengampunan. "Tidak, aku takkan merundung dan menyakiti orang lain lagi. Aku berjanji, jadi kumohon, biarkan aku hidup ...."
Perlahan Freddie menunduk dan bicara tepat di samping telinga Lola. "Katakan hal itu kembali di neraka!"
Satu hantaman di wajah sukses membuat Lola tersungkur ke lantai. Lalu tendangan di perut membuat saliva dan darah dari dalam mulut perempuan itu memuncrat keluar. Freddie tak peduli jika Lola adalah perempuan, maka ia empaskan dan hantamkan wajah Lola berkali-kali ke pintu yang ada di belakangnya hingga ke kaca buram di pintu tersebut yang sukses membuat kacanya pecah dan menggores wajah Lola hingga berdarah. Tangis Lola terdengar dan ia terus memohon, melakukan perlawanan, tetapi hasilnya nihil.
"Kau harus mati!" Freddie membanting tubuh Lola ke lantai, suara tulang retak terdengar yang kemudian dalam hitungan detik, satu tembakan bergema dan berhasil menembus paha Lola hingga lengkingan jeritan penuh rasa sakit menggelegar ke seluruh koridor sekolah. Belum puas, Freddie kembali menembakkan peluru shotgun ke paha yang sama hingga paha gadis itu putus dan urat-uratnya tampak jelas, bersamaan darah menggenangi lantai semakin banyak. Lola sudah hampir tak bernyawa karena suara teriakannya tak terdengar lagi.
"Inilah kematianmu!" Maka dalam jarak yang sangat dekat. Freddie menembak kepala Lola hingga otaknya berhamburan, berceceran, darah memuncrat ke sekitar dinding hingga loker-loker sekolah. Maka sudah tak berbentuk lagi kepala maupun wajah perempuan itu dan ia mati sangat mengenaskan.
Freddie kini terdiam, menatap tanpa perasaan pada mayat perempuan di hadapannya. Ia merasa tak bersalah sama sekali. Ia tahu jika perbuatannya ini akan membawanya ke penjara atau hukuman mati, tetapi ia tak peduli jika ia juga akan berakhir mati karena tujuannya adalah membunuh para perundung, lalu setelahnya, ia tak peduli lagi bagaimana kehidupannya.
Alat komunikasinya yang terpasang di telinga berbunyi, ia menekan tombolnya kemudian terdengar suara Jamari. "Monica mati. Seseorang menembaknya di kepala."
Freddie sontak mengepalkan kedua tangannya, menggigit bibirnya, ia menangis. "Tetap fokus pada tujuan kita, kini tersisa Tyler Robertson dan Emma Walter."
"Baiklah, aku dan Ruby akan mencari mereka, teruntuk Lucy, dia masih mengejar targetnya," ujar Jamari.
"Apa? Dia masih belum bisa menangkap anak itu, sebenarnya mengapa Lucy tergila-gila padanya, kenapa tak bunuh saja langsung?!" teriak Freddie seraya melangkah dan mengisi peluru shotgun-nya.
"Kudengar jika Lucy berniat membawa laki-laki itu pulang ke rumahnya," jelas Jamari.
Freddie menghela napas seharusnya ia tak mengajak perempuan gila itu. "Terserah padanya, selagi dia selamat, aku tak peduli apa yang dia lakukan pada anak itu."
****
Viole merasa seakan-akan dia tengah berada dalam mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Dalam kegelapan koridor sekolah yang sunyi, dia terus berlari dengan napas tersengal-sengal, sementara di belakangnya, Lucy Bates mengikuti dengan senjatanya yang terus menembak.
"Sialan, berapa banyak peluru yang dia bawa!" Suara tembakan maut itu menggema di seluruh koridor, menciptakan suara dentuman yang mencekam.
Tubuh Viole penuh dengan debu dan kotoran dan dia merasa fisiknya semakin melemah seiring berjalannya waktu, kakinya sudah lelah berlari dan beberapa kali ia tersandung lalu jatuh. Kini di tangannya, memegang sebuah pistol dengan tiga peluru tersisa. Peluru itu adalah satu-satunya harapan Viole untuk bertahan hidup, tetapi dia tahu dia bukan ahli dalam senjata tembak. Lebih tepatnya, ia bahkan tak pernah menggunakan senjata tembak!
Dalam kelelahan yang semakin melanda---ia lebih lelah dibandingkan takut---Viole berhenti sejenak dan mengarahkan pistolnya ke arah Lucy yang semakin mendekat. Dia menarik pelatuk, tetapi tembakannya meleset begitu jauh dari sasaran. Viole mengutuk dirinya sendiri karena ketidakmampuannya menggunakan senjata ini.
Lucy, sementara itu, semakin dekat. Dia tidak akan memberi Viole kesempatan kedua. Dia menarik pelatuk senjatanya dan melepaskan hujan peluru, tetapi Viole segera berlari menyamping, menghindari serangannya. Tembakan-tembakan liar Lucy menghancurkan jendela dan dinding-dinding koridor. Viole merasa tubuhnya hampir diambang batas, tetapi dia harus terus berjuang. Dia berlari menuju ujung koridor, ke arah kantin sekolah. Mungkin ada tempat di sana di mana dia bisa bersembunyi atau menemukan perlindungan.
Saat dia mendekati pintu masuk kantin, dia mendengar langkah kaki berat Lucy yang semakin mendekat. Maka Viole berbalik mendadak dan menembakkan sisa peluru yang dimilikinya ke arah Lucy. Tembakan pertama meleset, tembakan kedua juga gagal, pelurunya habis. Viole merasa kesal pada dirinya sendiri.
"Kau pikir kau bisa melarikan diri dariku?" Lucy berkata dengan suara yang mengerikan.
Viole tahu dia harus terus berlari, meskipun senjatanya kosong. Dia melemparkan pistolnya ke lantai dan berlari masuk kantin dengan napas tersengal-sengal. Dia bisa mendengar peluru dari senjata Lucy yang terus melesat di belakangnya. Ketika dia masuk ke dalam kantin sekolah yang cukup gelap dan hanya cahaya petir yang terkadang menerangi ruangan ini, Viole berusaha mencari tempat bersembunyi. Meja-meja dan kursi-kursi yang tergeletak di sana memberinya beberapa perlindungan sementara.
Lucy memasuki kantin dengan senjata di tangannya, tersenyum dengan rasa gembira, ia yakin sebentar lagi akan mendapatkan lelaki cantik itu. Dia bergerak dengan hati-hati, mencari tahu di mana Viole mungkin bersembunyi. "Ayolah bocah cantik, kemari padaku! Aku janji takkan membunuhmu asalkan kau tak memberontak."
Viole bergerak diam-diam di balik meja-meja, mencoba untuk tidak mengeluarkan suara apa pun yang bisa mengkhianati posisinya. Dia tahu bahwa dia hanya punya sedikit waktu sebelum Lucy menemukannya.
"Fuck." Viole mengumpat pelan karena Lucy malah berjalan ke arah meja tempatnya bersembunyi. Bahkan kini kaki Lucy persis berhenti di samping Viole. Kini ia sangat berharap jika perempuan gila itu tidak menyadari kehadirannya.
Tiba-tiba, Viole merasa genggaman kuat di kakinya. "Peek a boo! Kutemukan kau!"
Maka dengan kasar, Lucy menarik Viole keluar dari bawah meja. Sebelum Viole bisa bereaksi, Lucy mengangkat tubuhnya dan membantingnya dengan keras ke atas meja kantin. Kepala Viole berputar dan tubuhnya seolah-olah remuk saat terempas ke atas meja.
"Akhirnya kudapatkan kau, bocah sialan!" Lucy mendekati Viole, menatapnya dengan mata yang penuh dengan hasrat dan kegilaan. Lucy bukannya menembak Viole seperti yang diharapkan. Sebaliknya, dia mendekat dan menahan kedua tangan Viole di atas kepala. Matanya yang penuh nafsu memandang Viole dengan intensitas yang mengganggu.
Untuk kali ini, Viole merasa sesak dan ketakutan. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan Lucy. Dia mencoba keras untuk membebaskan diri, bergerak-gerak dan mencoba memberontak. Namun Lucy dengan kekuatan yang melampaui Viole, dia memegang kedua tangan Viole dengan cengkeraman yang kuat.
"Keparat! Apa yang kau lakukan! Lepaskan aku sialan!" teriak Viole.
Lucy mendekatkan tubuhnya ke arah Viole, mengenakan senyum yang penuh dengan niat jahat. Lucy perlahan mencium leher Viole, membuat Viole merinding dan merasa ketakutan yang jauh lebih dalam daripada sebelumnya.
Viole mencoba untuk berteriak atau berontak, tetapi dia merasa kedua tangannya yang dipegang Lucy tidak bisa bergerak. Ada ketakutan yang tak terkendali yang merasukinya saat Lucy semakin menciumi leher Viole.
"Fuck you're smell is good. Aku tak sia-sia mengejarmu." Kini Lucy meraba tubuh Viole dengan tangan kasarnya, membuat Viole merasa seperti seorang buruan yang terjebak dalam cengkraman predator. Kejadian ini membuat Viole merasa marah dan terkejut, tetapi dia masih tidak bisa melepaskan diri.
Viole akhirnya mengumpat dengan suara parau. "Lepaskan aku, kau gila! Lepaskan!"
Lucy tersenyum dengan licik. "Oh, aku tidak akan melepaskanmu begitu saja. Kau sangat menggodaku. Sekarang waktunya bagiku untuk menikmati kembali hidupku. Let's fuck with me, boy!"
"Bajingan!"
Maka sebelum Lucy melampaui batasannya, seakan-akan pertolongan datang dari langit. Suara gebrakan keras memenuhi kantin. Viole memandang ke arah suara itu dan melihat seseorang yang sangat ia kenal. Itu adalah Sophia Reid dengan busur panah yang sudah siap.
"Dasar jalang! Lepaskan dia!" Sophia dengan cepat melesakkan anak panahnya yang melintas dengan cepat di antara Viole dan Lucy. Anak panah itu hanya menggores sedikit pipi Lucy, cukup untuk membuatnya terkejut dan melepaskan cengkeramannya atas Viole.
Lucy meraung marah, meremas pipinya yang tergores. "Siapa kau, sialan?!"
Sophia dengan ekspresi terkejut dan mengerjap-ngerjap karena anak panahnya meleset. Dia lekas memutar otak lagi dan lekas mengangkat tempat sampah yang ada di dekatnya dengan keras, langsung mengarahkannya ke Lucy. Lucy tidak punya waktu untuk menghindar dan tempat sampah itu menabraknya dengan keras, menjatuhkannya ke lantai dengan benturan keras.
Viole merasa terbebaskan dan Sophia segera menarik tangannya. Mereka berdua berlari menjauh dari kantin yang penuh kekacauan ini, di mana Lucy masih berteriak dan berusaha bangkit. Mereka berlari melewati koridor sekolah, Sophia menuntun Viole dengan cepat. Viole masih terengah-engah dan ketakutan, tetapi dia merasa terima kasih karena Sophia telah muncul tepat pada waktunya untuk menyelamatkannya.
Saat mereka berdua mencapai area yang lebih aman, Sophia akhirnya berhenti dan menoleh pada Viole. "Kau baik?"
"Fuck, kenapa kau kembali! Harusnya kau bersama Theodore dan Chelsea? Lalu di mana mereka berdua, bagaimana keadaan Chelsea!" teriak Viole.
"Ceritanya panjang, tapi Theodore dan Chelsea baik-baik saja, aku kembali tentu saja untuk menolongmu dan lihat!" Ia mengangkat busur panahnya. "Aku menemukan busur panah ini!" jelas Sophia.
"Baiklah, sekarang kita harus kabur!" Lekas Viole meraih tangan Sophia. "Dan terima kasih sudah menyelamatkanku."
Di sisi lain, kantin sekolah. Dexter tiba di kantin dengan suara langkah kakinya yang berat. Wajahnya yang dingin penuh dengan tanda tanya saat dia melihat Lucy yang terluka dan meratapi kehilangan Viole. Lucy memandang Dexter dengan pandangan yang penuh harap, berusaha untuk memberitahunya bahwa Viole dan Sophia sudah melarikan diri. Namun, begitu Dexter melihat wajah Lucy yang membiru akibat tamparan tempat sampah tadi, dia tidak bisa menahan tawa.
"Kau benar-benar kacau, Lucy!" Dexter tertawa, tak berperasaan. "Wajahmu sepertinya sudah cukup biru tanpa kita perlu membekukannya. Ini benar-benar menyedihkan."
Lucy yang penuh kemarahan, mencoba untuk berbicara, tetapi suaranya terbata-bata. "Tutup mulutmu sialan!! Berhenti tertawa. Kedua anak itu melarikan diri! Kejar mereka!"
"Baiklah, baiklah!" Dexter membantu Lucy berdiri. Kini Dexter dan Lucy kemudian memutuskan untuk berburu Viole dan Sophia. Mereka keluar dari kantin dan berlari melewati koridor sekolah yang gelap.
Viole dan Sophia terus berlari sejauh yang mereka bisa, mencoba untuk menjauh dari kejaran pembunuh. Mereka tahu bahwa mereka harus tetap berhati-hati dan mencari tempat perlindungan.
Koridor sekolah yang sunyi terasa seperti labirin yang gelap. Suara langkah kaki Dexter dan Lucy yang mendekat semakin membuat mereka merasa ketakutan. Mereka mencoba untuk memutar-mutar jalur dan membingungkan pengejar mereka, tetapi Dexter dan Lucy tampaknya terlalu berpengalaman dalam berburu.
"HEY KALIAN BERHENTI!" teriak Dexter yang membuat Viole dan Emma semakin berlari. Kini mereka melewati koridor yang mengarah pada bangunan yang terdapat kolam renangnya.
"Jangan bunuh lelaki itu, aku belum sempat mencicipi tubuhnya," ujar Lucy.
"Dasar pedofil," balas Dexter.
"Persetan, aku tak peduli dengan opinimu." Kini dua-duanya mengisi senjata mereka dengan peluru.
Viole dan Sophia terus berlari secepat yang mereka bisa, dengan Dexter dan Lucy yang tetap mengejar mereka. Mereka tahu bahwa mereka harus menemukan tempat perlindungan segera, sebelum dua pembunuh itu bisa menyusul mereka. Gedung sekolah terasa seperti labirin yang gelap, dengan lorong-lorong yang terbentang tanpa akhir.
Akhirnya, Viole dan Sophia berhasil keluar dari gedung sekolah, tubuh mereka basah kuyup terguyur hujan. Namun, Lucy dan Dexter berhasil mengejar mereka. Bahkan menembakkan peluru yang hampir mengenai Sophia jika Viole tak menarik gadis itu secepat mungkin menghadapi peluru.
"BERHENTI KALIAN BERDUA!" teriak Lucy Bates. Seraya menodongkan senjatanya lagi.
"Gedung kolam renang, cepat!" teriak Sophia lekas menarik Viole menuju gedung kolam renang karena gedung lain terlalu jauh dan takutnya mereka berhasil ditangkap kedua pembunuh.
****
Mencapai gedung kolam renang. Mereka memasukinya dengan cepat dan menutup pintu di belakang mereka. Air kolam terlihat dalam dan tenang di dalamnya, menciptakan rintangan alami yang tidak mudah dilewati. Mereka merasa terjebak, tetapi tidak punya banyak waktu untuk berpikir.
"Sialan mereka di sini!" ujar Sophia.
"Shit." Viole mengumpat.
Saat Dexter dan Lucy tiba di gedung kolam renang juga, Viole dan Sophia memutuskan untuk mencoba menghadapi ancaman mereka. Sophia mempersiapkan busur panahnya, mengambil anak panah dengan cepat. Dia merentangkan busur dan membidik ke arah Dexter dan Lucy yang mendekat.
Sophia melesakkan anak panah pertamanya, tetapi sayangnya itu meleset dan mengenai dinding di belakang Dexter dan Lucy. Anak panah berikutnya juga meleset, dan ketegangan semakin meningkat. Sialan, Sophia tidak punya banyak anak panah untuk melawan.
"Sudah lelah bermain kucing dan tikusnya?" ujar Lucy.
"Bajingan, mereka berdua susah juga ditangkap!" Andai Lucy tak tergila-gila pada lelaki yang berwajah cantik itu. Sudah Dexter tembak sejak tadi. Namun, entah mengapa, perempuan dengan busur panah itu menggoda juga.
Dexter dan Lucy terus mendekati mereka, senjata mereka siap untuk menyerang. Viole merasa harus mencari cara untuk melawan. Dia memberi kode pada Sophia dengan isyarat cepat, menunjukkan bahwa mereka harus berpisah untuk meningkatkan peluang bertahan hidup.
Sophia paham dan dengan cepat berbalik untuk melarikan diri. Dia berlari ke pintu yang ada di ujung kolam renang, berusaha untuk menemukan tempat perlindungan atau peluang untuk menyerang Dexter.
"JANGAN PERGI KAU GADIS SIALAN!" Maka Dexter pun mengejar Sophia, meninggalkan Lucy bersama dengan target cinta perempuan pedofil itu.
Lucy tersenyum dengan mengerikan. "Waktumu sudah habis, sayang. Mari lanjutkan hubungan intim kita yang tertunda tadi."
Sementara itu, Viole tetap berdiri di tempatnya. Di belakangnya adalah kolam renang yang tidak bisa dilewati dan sangat dalam. "Kau sangat gila dan aku enggan bersama dengan orang gila."
"Wah, padahal bersama perempuan gila jauh lebih seru lho, baby boy!" Lucy terus melangkah pelan.
"Teori sialan apa itu," sahut Viole.
Lucy menghentikan langkahnya lalu melihat leher Viole yang memar. "Apakah kau sangat sensitif baby boy? Ciumanku di lehermu sepertinya membuat lehermu memar membiru."
Ah, perempuan itu sadar. Perlahan Viole menyentuh lehernya sendiri dan ia menatap Lucy dengan sangat sinis, tatapan Viole menjadi gelap. "Dikarenakan hanya kita berdua. Kurasa ini waktu yang tepat, bagaimana jika kumulai sebuah permainan? Namun, sebelumnya izinkan aku bertanya dahulu. Apa genre novel atau film favoritmu?"
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Nangis kejer gegara Monica dan Chelsea! Andai kata Monica nggak punya dendam kayaknya bakal baik-baik saja persahabatan mereka dan Chelsea nggak harus mengakhiri hidup sahabatnya sendiri^^
Semoga Chelsea berhasil selamat dari kematian ya~
Viole apes banget yah dari chapter sebelumnya karena diincar sama cewek gila! Mana sempat cium-ciun Viole lagi, waduh, Viole harus dilindungi dari para cewek gila!!
Beruntungnya ada Sophia yang menyelamatkan Viole! Sekarang keduanya harus melawan pada penjahat! Dan apakah Viole akan mulai menggunakan kekuatannya?
Lola mati, kasihan^^
Prins Llumière
Selasa, 21 November 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top