Chapter 27 - Arc 03: Grim Squad Terror
Hari ini Erysvale High School sangat ramai karena menjadi tempat perlombaan beberapa cabang olahraga antara sekolah terutama basket, renang, dan rugby. Sehingga seluruh pembelajaran di sekolah ini ditiadakan dan ada banyak murid di luar sekolah terutama luar kota Erysvale yang datang kemari, tetapi kebanyakan yang datang adalah para perwakilan atau tim yang berlomba dan beberapa suporter sekolah mereka, sehingga para penonton pertandingan yang dilaksanakan adalah para murid di sekolah tersebut saja.
Dekorasi di sepanjang koridor berupa bendera dan pita warna merah kemudian dekorasi lainnya di beberapa tempat yang terlihat oleh para tamu. Sehingga memberi kesan bahwa sekolah ini sangatlah kreatif dan sangat mementingkan penilaian dan kesan baik dari para tamunya. Lalu banyak sekali para murid yang mondar-mandir di sekitaran koridor hingga lapangan sekolah karena mereka hendak menonton berbagai pertandingan yang akan dilaksanakan hari ini, paling antusias adalah pertandingan basket karena mereka bersemangat sekali melihat kemenangan tim Deadly Wolves setelah kekalahan setahun terakhir.
Kelas-kelas menjadi sepi karena banyak yang berada di gedung olahraga maupun area kolam renang. Namun, kantin tidak sepi karena banyak pula murid-murid yang menghabiskan waktu di kantin atau mengisi perut mereka. Kemudian mereka mendapatkan kabar jika banyak guru-guru yang tidak di sekolah terutama Kepala Sekolah itu sendiri karena mereka menghadiri seminar penting dan wajib di Universitas Varenheim. Atas hal inilah, seluruh kepengurusan dan tanggung jawab untuk mengatur para murid diserahkan pada Student Council atau OSIS. Sebenarnya masih ada beberapa guru yang tidak pergi ke Universitas Varenheim untuk memantau pula para muridnya semisal para anggota OSIS tidak sanggup melakukannya.
"Kurasa mereka sangat gila, terutama Lola, aku tak menyangka dia akan melakukan hal itu padamu," ujar Louie setelah mendengar cerita mengenai pengkhianatan Lola pada Emma. Sebenarnya Louie ingin marah dan mengamuk karena Lola secara sengaja hendak mencelakai Emma, tetapi ia urungkan karena permintaan Emma untuk tidak memperkeruh keadaan. "Lalu mereka kehilangan akal mereka karena mengirimkan video dan foto menjijikkan ini. Apa pula mereka melakukan perbuatan keji, ugh!"
Selain terkejut dengan pengkhianatan Lola, Louie terkejut pula karena Lola dan Tyler melakukan hubungan seksual kemudian video mereka disebarkan pada Emma. Lola masih bermaksud menjatuhkan mental Emma sehancur-hancurnya terutama karena ia tahu jika Emma menyukai Tyler.
"Aku saja merasa mual melihat foto mereka, aku langsung menyuruh Emma menghapus semua foto dan video menjijikkan itu," timpal Sophia yang menjadi pencerita atau yang menceritakan semua masalah yang menimpa Emma pada Louie dan Viole.
"Kau serius tak apa Emma?" kata Louie, menatap Emma yang matanya sedikit bengkak karena menangis semalaman.
"Aku tak apa meski aku menangis semalam. Aku tak masalah jika Tyler melakukan perbuatan gila itu pada siapa pun bahkan pada Lola, tapi jika mereka melakukannya hanya untuk menghancurkan diriku ... aku tak bisa menerima hal itu," ujar Emma sudah tak mampu lagi menangis. Kini baginya pertemanannya dengan Tyler, Lola, dan Ben sudah berakhir. Ia tak mau peduli, tetapi rasanya masih saja sakit, sangat sakit.
"Hey, sudah jangan pikirkan mereka lagi okay? Kau tidak pantas mendapat laki-laki seperti Tyler atau sahabat seperti Lola, jadi ayo lupakan mereka dan fokus pada dirimu sendiri," ujar Sophia.
"Kali ini aku setuju dengan maniak horor ini," sahut Louie, "mereka adalah orang-orang gila yang tak pantas dipikirkan jadi ayo lakukan hal lain untuk melupakan mereka."
Emma mengangguk pelan. "Kalian benar, thanks karena sudah ada untukku dan menjadi temanku."
Viole yang sedari tadi hanya mengamati jadi kebingungan pasalnya ia tidak diizinkan untuk melihat foto atau video yang dimaksudkan. "Sebenarnya apa yang kalian bicarakan dan foto apa yang kalian maksudkan?" Viole bertanya seperti itu karena saat bagian penting diceritakan Sophia, Viole malah pergi ke toilet dan mampir kantin sekolah.
"Anak kecil dilarang tahu," sahut Sophia, "kau masih bayi."
"Kau mirip anak anjing ya," sahut Viole yang perkataannya bermaksud menyindir. "Anak anjing yang terkena rabies."
"Mulutmu jahat ya!" Ingin sekali Sophia menonjok wajah Viole.
"Kalau begitu beritahukan aku foto atau video apa yang kalian maksudkan? Aku ingin melihatnya juga!" ujar Viole.
"Kau gila ya, kau masih bayi, bodoh! Lagi pula video itu adalah video sex Tyler dan Lola," ujar Sophia sangat kesal pada Viole.
"Oh." Mereka bisa melihat sedikit ekspresi terkejut pada wajah Viole. Lekas lelaki itu kembali menyeruput susu rasa cokelatnya karena rasa pisang sudah habis.
"Tenanglah Sophia," ujar Emma lalu terkekeh.
"Dia selalu saja membuatku darah tinggi," balas Sophia kembali duduk di bangku. Kini mereka berada di taman sekolah, di meja kayu bawah pohon rindang.
"Hipertensi, tekanan darah tinggi. Hipotensi, tekanan darah rendah," ujar Viole mulai random.
"Kupukul kau sekarang juga, Viole!" teriak Sophia yang kini sisi kejamnya sudah mulai terlihat.
Kegiatan di sekolah itu terus berlanjut. Para perwakilan lomba yang berasal dari sekolah lain mulai lebih banyak berdatangan dan bersiap untuk perlombaan hari ini. Terlihat Louie dan Sophia dipanggil ketua tim jurnalistik karena semua anggota harus meliput dan mengambil dokumentasi mereka hari ini, sehingga mereka siap dengan kamera tempur mereka. Louie harus mengambil dokumentasi di perlombaan renang sementara Sophia di perlombaan rugby di luar gedung sekolah.
Emma yang meskipun bukan bagian dari perwakilan lomba tetap diminta berkumpul oleh ketua tim renang karena ada beberapa hal yang harus dirapatkan seperti semisal ada kecelakaan di kolam renang sehingga perwakilan yang berlomba bisa digantikan, meskipun begitu Emma tetap takkan terpilih karena luka di kakinya masih tak memungkinkan dirinya menyentuh air terlalu lama.
Sesat manik mata Emma bertemu dengan Lola yang memperlihatkan wajah kebanggaan. Lola sengaja hendak mengejek Emma dan terlihat betapa ia bahagia setelah malam bersama Tyler. Sementara Emma hanya merasa jijik, ia tidak cemburu atau sakit karena hubungan terlarang kedua mantan sahabatnya itu. Emma sudah menguatkan dirinya jika ia tak pantas berteman dengan mereka. Lagi pula kini Emma punya sahabat yang lebih baik berkali-kali lipat dari pada mereka.
"Kuharapkau tenggelam di kolam," gumam Emma ketika manik mata mereka bertemu lagi.
"Kau memang jalang sialan Emma," balas Lola melalui gerakan bibir tanpa bersuara.
Kini persahabatan mereka sudah benar-benar berakhir.
Berada di gedung olahraga. Pertandingan sedikit ditunda karena ada kendala dari tim lawan yang dikatakan salah satu anggotanya terluka karena jatuh kemudian keseleo pergelangan kaki sehingga harus dicari pengganti, saat-saat seperti ini, Tyler dan Ben mendapatkan pesan dari ketua tim basketnya jika mereka berdua diminta bertemu karena ada strategi baru yang hendak didiskusikan dengan keduanya serta anggota lain. Tyler dan Ben adalah pemain inti dan terbaik jadi mereka diberi banyak kepercayaan untuk meraih kemenangan bagi tim Deadly Wolves.
"Kurasa sebentar lagi semua akan tahu kehebatan kita berdua!" ujar Ben sangat bahagia dan melangkah menuju kamar ganti.
"Mereka semua akan tahu betapa cemerlangnya kita berdua." Tyler sudah memikirkan betapa ia akan menerima banyak pujian ketika berhasil membawa kemenangan bagi tim mereka.
Di sisi lain, Viole hanya sendirian karena hanya dirinya yang tak ada kesibukan atau rapat atau dicari seseorang. Ia harusnya bisa bersama Theodore, tetapi lelaki itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya bahkan tadi Sophia berkata jika ia sudah menelepon dan mengirimkan Theodore pesan, tetapi tak juga dibalas. Lelaki itu suka sekali menghilang dan muncul tiba-tiba.
"Sialan, firasat buruk ini muncul lagi," ujar Viole lekas mengambil botol kuning dengan tutup hitam, ia buka, ambil tiga butir obat, dan ia minum bersamaan dengan air mineral di dalam tumbler-nya
Perlahan dia mengecek ponselnya dan mendapati Chelsea mengirimkannya pesan yang berisi: Setelah pertandingan basket, temui aku di ruangan ekskul pemandu sorak, ada yang hendak kubicarakan padamu.
"Kuharap dia mau mentraktirku susu rasa pisang atau kue keju." Ia menaruh kepalanya di lipatan tangan.
Viole tak berkeinginan menonton perlombaan jadi dia diam di kelasnya yang kosong karena kebanyakan para murid ada di gedung olahraga dan lapangan. Ia juga sudah mengatakan pada yang lainnya jika ia hanya ingin di kelas, mereka memaklumi sifat Viole yang ini, tetapi mereka berjanji akan mengajak Viole menonton salah satu perlombaan setelah kesibukan mereka usai.
Hanyut dalam pengaruh obatnya, Viole merasa mulai mengantuk. Saat matanya terpejam sepenuhnya. Ia bermimpi, berada di sebuah tanah luas yang dipenuhi rerumputan hijau serta banyak bunga matahari yang cantik. Viole melirik kedua kakinya yang ternyata tak mengenakan alas kaki, pantas saja ia merasakan geli karena rerumputan langsung menyentuh kedua kakinya. Kini dia menatap hamparan padang rumput yang indah ini terutama langitnya yang biru dengan matahari bersinar cerah.
Kini dia mendengar seseorang melangkah di belakangnya, langkah pelan, tetapi pasti dan berhenti tepat di belakang punggung Viole. Ia bisa merasakan telapak tangan menyentuh punggungnya, usapan lembut yang mengantarkan sengatan listrik ke sekujur tubuhnya. Viole hendak berbalik dan melihat siapa sosok di belakang punggungnya itu, tetapi ia tak bisa menggerakkan tubuhnya, kaku, terpaku seperti ia adalah patung.
Hanya saja, ia bisa menggerakkan bibirnya jadi perlahan-lahan ia sebut sebuah nama yang menjadi tebakannya jika seseorang di belakangnya adalah pemilik nama itu. "Dite."
Tidak ada sahutan.
"Dite, apakah itu kau?"
Tidak ada sahutan, malah telapak tangan itu perlahan menjauh dari punggung Viole.
"Dite, ini aku Viole, apakah itu kau?"
"Bangun." Suara itu terdengar lembut dan sangat halus, sehalus kain sutra. Membuat Viole tenang.
"Aku tak mau."
"Bangun Viole, kumohon. Mereka kemari, mereka akan membunuhmu jika kau tak bangun."
"Apa maksudmu?" ujar Viole yang terdengar dari belakang, langkah kaki menjauh pergi. "Dite, jangan pergi."
Semakin menjauh pergi.
"Dite!"
Langkah itu menghilang dari pendengaran Viole yang seketika pemandangan di hadapan Viole berubah mengerikan. Rerumputannya layu, mati, dan perlahan-lahan menjadi hitam, awan-awan terlihat meleleh dan meneteskan cairan berwarna merah darah, hingga langit pun runtuh.
"ADA TERORIS DI SEKOLAH KITA!"
Sukses suara teriakan itu membangunkan Viole dari tidurnya, terlihat sekeliling Viole, para murid panik mengambil barang-barang dan tas mereka. Sementara di luar jendela kelas, ketika Viole melongok, ia melihat banyak para murid berlarian dengan wajah ketakutan, dan terdengar suara tembakan senjata api serta teriakan dan jeritan dipenuhi kesakitan ketika peluru-peluru senjata api tersebut menembus tubuh beberapa murid hingga darah memuncrat dan ambruk, bergelimpangan di tanah dan rerumputan.
"Sialan, jadi ini maksud firasat buruknya!" Viole lekas mengambil ponselnya. Ia melangkah keluar kelas, tetapi teriakan para murid terdengar ketika suara tembakan senjata api bergema di seluruh koridor.
Manik mata Viole membulat ketika melihat beberapa murid berjatuhan di koridor dan darah mengalir dan menggenangi lantai putih. Hening sesaat terdengar ketika para murid di sekitar Viole berhenti berlari dan kini menatap pada seseorang dengan pakaian serba hitam dan sepatu boots besar nan tinggi melangkah pelan, penuh rasa percaya diri, bersamaan dengan senjata api berupa senapan serbu atau assault rifle jenis M-16.
Semua mata terkejut karena pemilik senjata mengerikan itu tidak menutupi wajahnya dengan topeng seperti teroris pada umumnya untuk menyembunyikan identitasnya. Ia memperlihatkan wajahnya secara terang-terangan terlebih lagi pemilik senjata itu adalah seorang perempuan dengan rambut merah, kini dia tersenyum, senyuman yang memperlihatkan gigi-gigi putihnya.
"Surprise, kami Grim Squad siap membunuh kalian semua!" teriak perempuan itu, "perkenalkan namaku Lucy Bates! Ayo lari lah seperti domba kecil!" Ia menekan pelatuknya yang berhasil membunuh seorang murid lelaki hingga tubuhnya terjengkang dan ambruk serta mengejang di lantai, lalu tiada. Para murid langsung berteriak kembali, beberapa murid yang tak mempedulikan sekitarnya dan para murid lain, mereka berhasil menyenggol dan menabrak tubuh Viole beberapa kali hingga ia terjatuh dan ponselnya terlempar ke lantai. Sialan, ia benci fisiknya yang lemah ini!
Kini Viole berlari tanpa mengambil ponselnya tersebut. Ia mengikuti arus para murid yang berusaha menuju pintu keluar, tetapi sesampainya di sana, pintunya terkunci, mereka sudah berusaha menggedor dan menggebrak pintu tersebut secara bersamaan, tetapi tak kunjung terbuka, membuat mereka banyak berkumpul di sana dan ketakutan serta menjerit-jerit ketika Lucy Bates berjalan mendekat. Viole berdecak, ia pergi ke arah koridor lain, beberapa murid juga berlari ke koridor lain dan mencari tempat berlindung dengan memasuki beberapa kelas. Namun, berakhir dengan kematian juga karena ditembak Lucy Bates secara brutal menggunakan assault rifle; peluru menembus paha, perut, punggung, leher, hingga kepala. Ia menembak begitu akurat sehingga tak satu pun targetnya berhasil kabur.
"Ayo, domba-domba kecilku, kembalilah padaku," ujar Lucy Bates seraya menekan tombol sebuah alat komunikasi yang terpasang di telinganya. "Aku sedang mencari anak-anak yang ada di daftar nama, tapi aku tak melihat Lola Powell maupun Emma Walter." Ia menghubungi salah satu rekannya yang berada di gedung olahraga.
Perlahan manik mata Lucy Bates jatuh pada salah satu murid di antara kerumunan murid yang berlari, ia tersenyum seolah-olah mendapatkan domba paling gemuk dan menarik perhatiannya. "Hey, ada laki-laki cantik di sini, aku menyukainya, kurasa aku ingin bermain-main dengannya dahulu." Ia mematikan sambungan komunikasinya dengan rekannya.
Maka di seberang sana, tepatnya di gedung olahraga yang sudah ada beberapa mayat anak-anak sekolah Erysvale bergelimpangan, kemungkinan ada sekitar empat atau enam murid. "Lucy, hey Lucy Bates, jangan bermain-main! Dasar perempuan gila!" teriak Freddie Houghton. Lelaki dengan wajah masih muda meski umurnya lebih dari 23 tahun, rambutnya cokelat, manik mata hazel, serta ada luka di pelipisnya. "Harusnya tak kubawa perempuan gila itu." Ia seraya mengisi pelurunya lagi, Freddie membawa senjata assault rifle jenis M-16 dan pistol desert eagle.
"Tenanglah dude," sahut Dexter Brown, rambutnya pirang dan tubuhnya lebih berisi dibandingkan Freddie. Dia juga membawa jenis senjata yang sama dengan Freddie. "Dia hanya bersenang-senang lagi pula yang terpenting adalah sesuai rencana bukan? Kita membunuh anak-anak di daftar nama ini. Jika terbunuh anak lainnya, yah, anggap saja bonus."
Mereka adalah anggota lain dari Grim Squad yang totalnya ada lima dengan pemimpinnya adalah Freddie Houghton. Mereka melakukan teror di sekolah ini sebagai bentuk balas dendam Freddie atas kematian adik satu-satunya yakni Spencer Houghton yang dulu pernah dirundung hingga mati. Ya, Freddie sangat meyakini jika adiknya mati karena dibunuh oleh seseorang bukan karena bunuh diri. Setelah bertahun-tahun menyelidiki kematian adiknya tanpa bantuan polisi karena ia tak percaya pada pihak polisi, Freddie menemukan kenyataan tersebut jika adiknya selalu menjadi korban perundungan ketika di sekolah menengah pertama dan ada banyak sekali nama-nama terlibat dalam perundungan tersebut terutama tiga anak bernama Tyler Robertson, Lola Powell, dan Ben Turner.
Kemarahan Freddie meningkat ketika ia tahu jika ketiga manusia sialan itu jugalah yang membunuh adiknya lalu membuat kematian Spencer seolah-olah bunuh diri. Maka atas perenungan selama bertahun-tahun semenjak kematian adiknya, serta setelah Freddie mengetahui jika para perundung hidup dengan bahagia dan aman, Freddie memutuskan untuk membentuk Grim Squad dan melakukan penyerangan ini. Mereka juga kelompok yang sempat diberitakan mencuri senjata toko penjualan senjata legal. Semua persiapan dilakukan sematang mungkin agar mereka bisa membunuh para anak-anak yang mengejek Spencer serta merundungnya. Jika ditotalkan, maka ada 40 anak lebih yang menjadi target utama mereka.
"Tetap saja yang paling berperan besar dalam penyerangan ini adalah orang dalam di sekolah ini," ujar Dexter tersenyum simpul.
"Ya, pacarku itu memang gadis yang cerdas dan hebat. Dia berhasil mengumpulkan semua informasi mengenai ketiga pembunuh adikku bahkan melakukan serangkaian teror untuk menghancurkan mental mereka," balas Freddie tersenyum cerah.
Tentu saja keberhasilan mereka ini didukung oleh pengkhianat yang ada di sekolah ini sekaligus menjadi kekasih Freddie. Kekasihnya ini jugalah yang merencanakan penyerangan dilakukan pada saat perlombaan dan ketika banyak guru-guru serta kepala sekolah tidak ada di sekolah, bukankah dia sangat cerdas? Pantas saja Freddie jatuh cinta meski umur mereka terpaut jauh.
"Hubungi Ruby dan Jamari, jika Lucy sibuk bermain-main, maka suruh mereka untuk mencari Lola Powell dan Emma Walter, kita berdua akan membunuh Tyler Robertson dan Ben Turner," ujar Freddie sedikit kesal karena ia pikir akan langsung membunuh kedua targetnya di lapangan basket. Kenyataannya mereka berdua berhasil kabur.
"Baiklah, lalu bagaimana jika ada yang berhasil menghubungi polisi?" ujar Dexter, "bukankah masih ada guru-guru di sekolah ini?"
"Jangan khawatir karena pacarku akan mengurus hal ini." Senyuman Freddie terukir lebar. "Lagi pula dia sudah memasang alat untuk merusak koneksi internet dan sinyal di sekolah ini. Kau tahu 'kan jika perusahaan sialan Æthelwulfos bekerja sama dengan perusahaan elektronik untuk menciptakan alat penghancur sinyal dan internet dalam jangkauan tertentu. Alat itu sudah dipasang di sekitar sekolah, jadi mustahil jika ada yang berhasil menembusnya."
Di dalam gedung sekolah sudah banyak terdengar tembakan serta jeritan melengking dan para murid terjatuh, perut bolong, paha tertembus banyak peluru, kepala pecah, serta tubuh ambruk ke lantai bersamaan jeritan meminta pertolongan. Kini Jamari Dixon dan Ruby Hunt dengan senjata assault rifle mereka terus mencari target terutama yang wajahnya ada di ponsel mereka karena daftar target inilah yang termasuk 40 murid yang dulunya paling gencar merundung Spencer.
"Fuck sebenarnya di mana gadis bernama Lola ini? Freddie bilang dia lari ke dalam gedung sekolah bersama temannya, Emma." Ruby Hunt menendang loker hingga suara berkelontang terdengar. Lalu ia arahkan senjatanya, ia tarik pelatuknya yang sukses membunuh murid yang berniat menyerangnya. Ternyata ada beberapa murid yang berani menyerang padahal para pembunuh menggunakan senjata.
"Jangan tembak murid yang tak bersalah, tolong," ujar Jamari, "Freddie meminta kita sebisa mungkin jangan membunuh murid yang tidak termasuk target."
"Sudah kulakukan, tapi yang bodoh ini mau memukulku!" teriak Ruby merasa perutnya sakit karena penyerangan ini dilakukan saat dia sedang dalam masa menstruasi. "Sialan yang memilih Minggu ini jadi waktu penyerangan."
"Tenangkan dirimu, ayo kita cari---" Mata Jamari membulat ketika melihat perempuan rambut pendek dengan manik mata hijau. "Hey itu dia!! Kemari kau jalang! Ruby ayo cepat!"
Emma langsung panik dan menarik lengan Lola. "Cepat Lola, mereka mengejar kita!" Entah karena rasa kemanusiaan, ia jadi berjuang bertahan hidup dengan Lola.
"Sialan, ke mana kita harus lari?! Semua pintu keluar terkunci!" teriak Lola yang manik matanya memerah karena tangis.
"Berhenti kabur kalian berdua!!" Ruby Hunt menembak langit-langit agar Emma dan Lola berhenti berlari, tetapi keduanya malah tetap berlari dan semakin cepat. "DASAR KALIAN PELACUR SIALAN!"
Di sisi lain sekolah, jauh dari penembakan yang dilakukan Jamari Dixon dan Ruby Hunt, dalam ruangan kelas. Ada tiga orang yang sangat panik dan ketakutan; Mrs. Ivanna, Chelsea Schwartz, dan Monica Antonio. Sebenarnya mereka bertiga sudah berusaha menghubungi kepolisian setempat, tetapi tidak kunjung berhasil; sinyal dan internet seketika mati. Kini mereka semakin ketakutan karena banyak murid menjadi korban bahkan beberapa murid diketahui tengah disandera di gedung olahraga sebelum timur gedung utama.
"Mrs. Ivanna, jadi kita harus bagaimana?" ujar Chelsea yang mengenakan seragam pemandu soraknya. Ia dan Monica berhasil lari dari gedung olahraga dan kejaran para pembunuh itu kemudian bertemu Mrs. Ivanna.
"Sialan, kenapa sinyal dan internet mati, apakah ini perbuatan mereka? Para pembunuh itu yang merusak sinyal di sekolah ini?" ujar Monica seraya mengintip melalui jendela, ia bisa melihat beberapa murid terkapar di tanah. Ia meringis melihat pemandangan gila ini.
"Aku takut, aku ingin pulang, kenapa sekolah kita tiba-tiba jadi target para teroris itu," gumam Chelsea yang kini ia menangis kembali. Monica mendekati Chelsea seraya mengusap pundak sahabatnya itu.
"Hey, tenanglah okay? Kuyakin semuanya akan baik-baik saja," ujar Monica dengan suara yang menenangkan.
Chelsea menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Kita harus tetap bersama, jangan sampai berpisah, aku tak mau terjadi sesuatu padamu."
Senyuman Monica terukir tipis. "Ya sudah pasti, kita harus selamat dari teror ini."
"Aku berhasil!" teriak Mrs. Ivanna yang kini memegang ponselnya dan sebuah alat kecil, berbentuk kotak, berwarna hitam. "Sudah kuduga jika para teroris itu menggunakan alat khusus untuk membuat sinyal dan internet di sekolah ini gangguan. Jadi aku menggunakan alat ini yang diberikan wakil kepala sekolah, alat ini dapat menangkal gangguan sinyal. Ibu bisa menghubungi sheriff atau deputy. Kalian berdua tenanglah okay?"
Mrs. Ivanna hendak mengangkat ponselnya dan mencari kontak Sheriff Jude Dawson. Namun, ketika ia hendak menekan nomor kontak tersebut. Suara yang mencekam terdengar bersamaan dengan pistol terarah tepat ke kepala Mrs. Ivanna. "Kau wanita yang menyebalkan Mrs. Ivanna, jangan sekali-kali kau berani menekan nomor kontak itu."
Detik itu dunia terasa runtuh, suara gemetar terdengar ketika melihat pistol ditodongkan. "Monica, apa yang kau lakukan?" Chelsea menatap sahabatnya dengan penuh ketidakpercayaan. "Jangan katakan jika kau...."
"Monica Antonio," ujar Mrs. Ivanna, mengurungkan diri menelepon kepolisian. "Kau adalah bagian dari mereka?"
"Ya, surprise! Dan selamat tinggal!" Maka satu tarikan pelatuk berhasil melesakkan peluru yang sukses menembus kepala Mrs. Ivanna hingga darah memuncrat ke dinding di belakangnya dan wanita itu ambruk ke lantai. Darah menggenangi lantai bersamaan teriakan Chelsea.
Alami naluriah Chelsea memaksanya untuk kabur dan mengambil alat kecil di tangan Mrs. Ivanna, ia tak punya waktu untuk menangis karena sahabatnya adalah pengkhianat. Namun, sebelum ia berhasil meraih alat tersebut, Monica sadar akan rencana Chelsea maka tanpa belas kasihan. Dia menendang perut Chelsea hingga memuntahkan saliva kemudian dia membanting tubuh Chelsea ke lantai. Suara berdebum terdengar bersamaan rasa sakit menjalar di tubuh gadis itu dan alat milik Mrs. Ivanna diambil dan dihancurkan Monica sekali injakkan.
"Kenapa," ujar Chelsea, ia menangis dan terisak begitu kesakitan. Masih tak percaya jika sahabatnya selama ini adalah pembunuh. "Apakah kau juga yang mencelakai Charlie dan Thomas, lalu membunuh---"
"Ya," sahut Monica lekas menarik lengan Chelsea kemudian menyudutkan gadis itu ke dinding. Lekas ia ikat kuat kedua tangan Chelsea. "Aku adalah dalang dari semua kejadian gila dan pembunuhan di sekolah ini. Aku yang mencelakai Charlie dan Thomas karena mereka sering menggodaku dan aku membenci mereka. Aku jugalah yang membunuh Liza di apartemennya, kasihan sekali dia karena tinggal bersama neneknya yang buta. Lalu aku jugalah yang membunuh Eddie di laboratorium sekolah dan kubuat kematiannya seolah-olah karena keracunan bahan kimia."
Monica mengempaskan tubuh Chelsea ke lantai, menyeretnya ke dekat meja kemudian mengikat tangan Chelsea di kaki meja agar gadis itu tidak bisa bergerak. "Kenapa kau lakukan semua ini?!"
"Sewaktu sekolah menengah pertama, ah kautak tahu kejadiannya, tapi singkatnya aku jatuh cinta pada seorang lelaki bernama Spencer Houghton. Namun, dia dirundung dan kemudian mati!! Aku sakit, sangat sakit karena kehilangan cinta pertamaku. Lalu setahun kemudian aku bertemu dengan kakaknya Spencer, Freddie Houghton, lalu kami akhirnya berpacaran dan aku mengungkapkan jika aku ingin balas dendam begitu pula Freddie. Kami akan balas dendam atas kematian Spencer, kami tidak terima karena para pelaku perundungan hidup dengan aman dan bahagia sementara Spencer meregang nyawa!"
Kini Monica berjongkok di hadapan Chelsea yang terus meneteskan air matanya. Perlahan Monica menarik rambut Chelsea, menaruh ujung pistol tepat di dahi Chelsea. "Kami memikirkan penyerangan ini selama bertahun-tahun dan kami memutuskan untuk membunuh para perundungan Spencer terutama tiga orang yang membunuh Spencer. Mereka bahkan memalsukan kematian Spencer sebagai bunuh diri, kau bisa menebak mereka siapa, benar bukan?" Ada jeda sesaat. "Tyler, Lola, dan Ben! Aku sangat benci setiap melihat mereka, darahku mendidih setiap mereka berlaku semena-mena pada murid lain. Maka keputusanku dan Freddie sudah bulat, kami akan membunuh mereka dan murid-murid lain yang dulu terlibat membenci dan merundung Spencer! Kami membentuk kelompok Grim Squad, merampok toko senjata, dan aku memasang alat yang menghancurkan transmisi internet dan sinyal di sekolah ini, hingga akhirnya hari pembantaian massal ini pun tiba!"
Jari telunjuk Monica bergerak ke arah pelatuk. Kepalanya tertunduk sesaat. Ia merasakan sesak di dadanya. "Kami akan membunuh para perundung itu."
"Monica ...." Suara Chelsea gemetar. "Aku tahu kau sakit, tapi bukan seperti ini caranya, balas dendam itu---"
"Kau berkata seperti itu karena tidak pernah kehilangan seseorang yang kau cintai dengan cara yang tragis, kau hidup dengan baik Chelsea, kekayaan, kecantikan, kasih sayang ayahmu meskipun kau ditinggalkan oleh ibumu yang tukang selingkuh. Namun, kau masih bisa tersenyum sementara aku sangat hancur!" teriak Monica yang kini jarinya gemetar. Ia juga menangis. "Dunia ini tak adil, yang berkuasa selalu mendapatkan segalanya, lihat saja para perundung itu yang bisa hidup bebas tanpa beban padahal ada banyak mental dan fisik yang mereka hancurkan! Aku tak perlu menunggu balasan dari Tuhan untuk para penjahat itu karena akulah yang akan membalaskan dendam itu!"
"Monica, tapi jika kau melakukan hal ini, kehidupanmu akan tetap hancur juga," ujar Chelsea, "kumohon hentikan, sebelum semuanya semakin hancur."
"Maaf Chelsea, tapi sejak awal, hidupku sudah hancur." Monica tersenyum tipis. "Maaf, aku sahabat yang buruk untukmu padahal aku ingin lebih lama menghabiskan waktu denganmu, aku ingin pergi ke mal dan menonton bioskop denganmu, aku ingin lulus bersamamu dari sekolah ini, tapi kebencian dan amarahku lebih mendominasi dibandingkan semua keinginan itu, jadi ...."
"Monica tidak ...." Chelsea menutup kedua matanya karena merasakan jika pistol di dahinya bergetar seolah-olah siap untuk melesakkan pelurunya dan menembus kepala Chelsea. "Jujur, kau adalah sahabat terbaikku selama aku berteman dengan banyak orang."
Maka tangis Monica pecah dan ia menarik pistolnya menjauh dari dahi Chelsea. Ia berdiri dan tanpa berkata apa pun, dia keluar dari ruangan tersebut, pergi menjauh dari Chelsea karena dia tak kuat untuk menembak sahabatnya yang tak bisa ia mungkiri bahwa ia menyayangi Chelsea. Dadanya terasa sangat sakit, ia menangis sepanjang langkahnya di koridor. Ia tahu jika ia adalah penjahat dan pada akhirnya pantas dihukum bahkan dilemparkan ke neraka, tetapi dia masih punya hati untuk sahabatnya.
****
Suara tembakan terdengar, Ben dan Tyler saling menopang dan terus berlari dari kejaran pria yang memperkenalkan namanya sebagai Freddie Houghton dengan artian kakaknya Spencer. Kini mereka paham jika penyerangan ini adalah untuk menargetkan mereka dan balas dendam seorang saudara atas kematian adiknya.
"Fuck!!! Kita tak bisa kabur, semua pintu keluar terkunci!" teriak Ben lalu Tyler menarik Ben menuju arah lain koridor kemudian mereka menaiki lantai dua, jika lantai satu dikunci semua pintunya maka mereka bisa menggunakan pintu darurat di lantai dua yang kemudian ada tangga besi dan mengarah pada lapangan sekolah, jaga-jaga semisal ada kebakaran terjadi dan ada yang terjebak di lantai dua.
"Terus berlari!" teriak Tyler, tetapi mereka tak menyadari jika Dexter Brown melihat mereka. Maka senyuman Dexter terukir sangat lebar dan dia merasakan adrenalin semakin menegang karena target utama sudah ditemukan.
"Dasar anak-anak sialan, akan kubunuh kalian dengan sangat menyakitkan!" teriak Dexter lekas mengejar mereka.
Detak jantung mereka berpacu sangat cepat, langkah kaki tak beraturan terdengar sepanjang koridor yang terlihat beberapa murid juga berusaha kabur, terpaksa Ben dan Tyler menabrak tubuh para murid tersebut bahkan mereka sengaja menarik para murid itu untuk dijadikan tameng ketika Dexter melesakkan pelurunya. Suara jeritan penuh rasa sakit bergema ketika satu demi satu peluru menembus tubuh para murid itu dan Dexter memekik kesal karena terus gagal menembak Ben atau pun Tyler. Ia meraung kesal lalu mengganti sejatanya menjadi AK-47 karena assault rifle M16-nya sudah habis pelurunya.
"Aku tak peduli lagi pada siapa yang kubunuh!" teriak Dexter dan menembak siapa pun yang ada di hadapannya terutama yang dijadikan Tyler dan Ben sebagai tameng mereka. Peluru menembus tubuh para murid semakin brutal hingga koridor dipenuhi dengan darah. "TYLER DAN BEN, BERHENTI BERLARI KALIAN KEPARAT!"
Sayangnya kedua target tersebut tidak mendengarkan dan mereka menuju pintu yang akan mengarahkan pada rooftop sekolah,lekas Tyler dan Ben menarik gagang pintu tersebut, tetapi berkali-kali mereka coba, pintu tersebut tak mau terbuka karena terkunci dan tidak ada kunci yang dapat mereka gunakan untuk membuka pintu.
"Motherfucker! Pintunya terkunci! Sialan, kita terjebak di sini!" teriak Ben sangat-sangat frustrasi. "Tidak, aku tak mau mati, siapa pun tolong kami."
Kini Tyler berada dipergulatan dengan dirinya sendiri. Ia sangat ketakutan. Ia bisa mendengar langkah mencekam milik Dexter yang perlahan-lahan mengejarnya dan mendekati dirinya hingga membuat napas Tyler jadi tak beraturan. Dia lalu melihat pintu kecil yang ternyata tempat penyimpanan alat kebersihan, ia juga melirik ke arah koridor lain yang seingatnya mengarah pada sebuah ruangan komputer, lalu beberapa belokan lagi akan menuju lantai bawah lagi. Setidaknya berada di lantai bawah tidak sesempit berada di lantai atas.
"Tyler, kita harus kabur dan mencari tempat sembunyi, kuyakin jika kita bersembunyi dengan baik sampai polisi datang, kita akan selamat," ujar Ben, tetapi Tyler hanya diam saja.
Kini terlintas di pikiran Tyler jika terlalu beresiko jika pergi berbarengan terus-menerus karena akan membuat para penjahat itu menyadari kehadiran mereka. Tyler harus hidup, dia tak mau dirinya mati karena teror gila yang dilakukan kakak dari anak gangguan mental yang dulu ia rundung. Maka Tyler siap melakukan segala macam cara agar dirinya bisa selamat dan pulang ke rumahnya dalam keadaan utuh.
"Tyler apa yang kau lakukan?" ujar Ben ketika Tyler menuju pintu yang di baliknya ada alat-alat kebersihan, maka ia ambil sapu tersebut dan digenggamnya sangat kuat.
"Ah, benda itu bisa jadi senjata kita!" ucap Ben, "kau sangat cerdas---Tyler, kenapa kau arahkan padaku, Tyler!!! Kau gila!!"
Sukses ayunan tongkat sapu yang keras itu menghantam wajah Ben hingga mengenai matanya dan lelaki itu terjengkak ke lantai, Tyler kembali memukuli Ben hingga darah muncrat dan beberapa bagian wajahnya babak belur. Lalu dengan sekuat tenaga, ia angkat tubuh Ben, ia banting ke lantai hingga membuat lelaki itu tak bisa bergerak.
"Maaf Ben, tapi aku harus hidup," ujar Tyler berlari menjauh, meninggalkan Ben sendiri yang terkapar di lantai.
"Bajingan kau Tyler!!!" teriak Ben yang tidak bisa melihat karena penglihatannya sangat buram, matanya sakit akibat dihantam Tyler berkali-kali tepat di area matanya. "Sakit! Siapa pun, tolong aku! Aku tak bisa melihat dengan jelas."
Terdengar langkah kaki yang mendekati Ben dengan pelan hingga berhenti persis di samping Ben. Itu adalah Dexter Brown, tetapi Ben tak menyadarinya. Maka ketika Ben tahu ada yang berhenti di dekatnya, ia meraba-raba kaki orang itu yang ia pikir adalah salah satu murid. "Kumohon tolong aku, aku dipukuli oleh Tyler, membuat mataku sakit, aku tak bisa melihat dengan jelas."
Kini ia menyentuh kaki seseorang yang ada di dekatnya, tetapi ia merasakan jika pakaian yang digunakan seseorang ini tidak seperti pakaian anak-anak karena bahan pakaiannya tebal dan penuh dengan kantong serta mengenakan sepatu boots. Tubuh Ben merinding seketika, ia ketakutan. Perlahan seseorang di hadapannya berjongkok dan berbisik di dekat telinga Ben. "Kasihan sekali kau dikhianati sahabatmu."
Suara itu adalah suara Dexter Brown.
"Jangan bunuh aku, kumohon aku menyesal telah merundung Spencer dan membunuhnya kemudian menjatuhkannya dari atas gedung." Ia memohon ampun bahkan rela memeluk kaki Dexter dengan erat.
"Sayangnya aku tak peduli dengan Spencer, aku di sini karena hanya ingin bersenang-senang dan membantu sahabatku Freddie untuk membunuh kalian semua!" Dengan satu tendangan, berhasil menghantam perut Ben hingga salivanya memuncrat.
"Waktunya penyiksaan dimulai! Aku adalah penggemar film Saw dan karena penyerangan ini kurasa aku tertinggal menonton film Saw X!"
Dexter mengangkat tubuh Ben lalu ia empaskan ke dinding hingga kepalanya terbentur, ia lalu menghantamkan wajah Ben ke kaca jendela sebuah ruangan tak jauh darinya hingga kacanya pecah, berhamburan, dan menggores wajah Ben hingga darah bercucuran. Jeritan melengking Ben ibarat simfoni paling indah yang pernah didengar oleh Dexter. Penyiksaan ini terus berlanjut dengan cara mematahkan tangan kanan Ben hingga terdengar suara memekakkan telinga ketika tulang itu bengkok kemudian patah, teriakan Ben bergema hingga terdengar pada para murid yang bersembunyi di beberapa ruangan. Mereka takkan ada yang berani membantu dan memilih untuk terus bersembunyi. Mereka membuang rasa kemanusiaan dan saling tolong-menolong untuk menyelamatkan nyawa mereka sendiri.
"Ayo teriak lagi!" ujar Ben.
Ia kembali mematahkan tangan kedua Ben hingga lelaki itu menjerit-jerit, kesakitan, memohon ampun, dan menangis seperti orang kehilangan akalnya. Hingga akhirnya tubuhnya ambruk ke lantai, ia tak bisa berlari atau bangkit bahkan menyeret tubuhnya saking rasa sakit kedua tangannya tak tertahankan.
"Ampuni aku, aku akan memberikan segalanya padamu, tapi ampuni aku dan jangan bunuh aku!" Suaranya serak seolah-olah pita suaranya akan putus sebentar lagi. Wajahnya tak berbentuk dan darah terus mengucur dari hidungnya.
"Aku tak terima permintaan maaf," ujar Dexter mengeluarkan desert eagle-nya. Mengisinya dengan beberapa peluru sesuai dengan slot peluru pistol tersebut. "Sampai bertemu dengan malaikat kematian!"
Satu tembakan terdengar, peluru melesak sangat cepat menembus paha Ben hingga ia menjerit-jerit lagi. Semakin kencang jeritan tersebut ketika peluru lain menembus paha sebelah kanan. Dexter tertawa kencang melihat penderitaan tersebut. Ia kembali menarik pelatuknya yang kini peluru menembus perut dan dada Dexter berkali-kali. Dexter kembali mengisi pelurunya yang bersamaan sudah tak terdengar lagi jeritan Ben. Maka untuk terakhir kalinya, Dexter menarik pelatuk pistol tersebut yang sukses pelurunya menembus leher Ben hingga akhirnya lelaki itu benar-benar meregang nyawa. Darah menggenangi lantai yang mengubah ubin putih menjadi merah menjijikan dan mengerikan.
Kini Dexter menekan alat komunikasi yang terpasang di telinganya. "Ini Dexter Brown dan aku berhasil membunuh Ben Turner. Lalu sepertinya Tyler Robertson berlari ke lantai satu."
Sesaat Dexter menatap lantai putih yang sebelum ditutupi darah merah, lelaki itu tersenyum hingga gigi-giginya terpatri dengan rapi dan putih. "Ini sangat menyenangkan!"
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Gawat sekolah diserang kelompok teroris bernama Grim Squad!! Dan mereka menargetkan anak-anak yang merundung Spencer! Jadi Emma dan lainnya termasuk dalam daftar kematian tersebut! Selamatkan mereka!
Kasihan banget Viole dikejar perempuan gila! Lindungi dia!!
Teruntuk Tyler^^ Ternyata sejahat itu ya sampai rela buang teman sendiri, mengheningkan cipta untuk Ben dimulai~
Lalu untuk Monica, ternyata dia pengkhianatnya. Apakah tebakan kalian ada yang benar? Kasihan Chelsea~
Kira-kira apakah akan banyak korban dari teror ini?
Prins Llumière
Selasa, 21 November 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top