Chapter 26: The Murderer Number

Matahari telah tenggelam di ufuk barat ketika Tyler, Lola, dan Ben berjalan keluar dari sekolah. Ekspresi lelah dan frustrasi tergambar jelas di wajah mereka. Beberapa minggu terakhir ini telah menjadi mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Mereka terus-menerus diteror oleh foto polaroid Spencer Houghton, lelaki culun yang mereka rundung ketika masa sekolah menengah pertama.

Awalnya mereka ingin mengabaikan teror ini karena hendak berfokus pada perlombaan yang tiga hari lagi akan dilaksanakan bahkan sekolah saat ini sangat lah sibuk dengan segala persiapan serta para perwakilan yang akan berlomba juga gencar berlatih. Sayangnya teror dari Spencer yang entah siapa yang melakukannya terus saja terjadi tanpa henti, awalnya punya jeda, tetapi kini hampir setiap hari teror terus terjadi dalam satu minggu ini. Mereka tetap tak bisa melapor karena mereka pasti akan diinterogasi lagi dan mereka takut jika kebenarannya akan terungkap maka kehidupan sekolah mereka akan berakhir.

Kini mereka masing-masing mengingat serangkaian teror yang terjadi dalam waktu belakangan ini. Tyler sangat ingat ketika sorotan ruangan latihan basket sekolah terlihat lalu samar-samar di balik Tyler yang sedang berbicara dengan teman-temannya. Latihan mereka telah berakhir, tetapi Tyler terlambat menyadari bahwa sesuatu tidak beres telah terjadi. Saat yang lain sudah pulang, tersisa Tyler dan dia membuka tasnya untuk memasukkan barang-barangnya, ternyata dia merasakan sesuatu yang basah dan amis di dalamnya. Dengan cepat, dia menarik keluar benda yang mengganggunya. Itu adalah tumpukan foto-foto Spencer bersamaan dengan tasnya yang basah oleh cairan yang mirip air kencing. Dalam hatinya, Tyler merasa seperti ditertawakan oleh kenangan yang mengerikan.

Sementara itu, Lola ingat sekali ketika dia menuju ke lokernya setelah latihan renang. Dia merasa gelisah dan cemas, seperti yang selalu dia rasakan akhir-akhir ini. Ketika pintu lokernya terbuka, dia hampir menjerit kaget. Di dalam lokernya ada beberapa foto Spencer yang tersebar di atas rak dan belalang mati tergeletak, tersebar di dalam lokernya tersebut. Lola merasa seolah-olah semua ini adalah pesan yang ditujukan padanya, mengingatkannya pada kenangan yang ingin dia lupakan.

Terakhir adalah Ben yang sudah merasa tertekan oleh semua kejadian ini, lalu ada hari ketika dia perlahan-lahan membuka loker sekolahnya. Saat pintu loker terbuka, dia tiba-tiba menemukan polaroid Spencer lagi, foto yang sudah beberapa kali dia temukan di hari-hari sebelumnya, tetapi kali ini disertai dengan bangkai tikus yang sudah membusuk dan menjijikkan. Dia menutup loker dengan keras, hampir muntah akibat bau yang menyengat.

"Aku muak dengan semua ini!" ujar Lola dan air matanya perlahan turun. "Kita harus melaporkannya pada sekolah, kuyakin mereka akan membantu kita menyelesaikan masalah ini."

"Tidak!" sahut Tyler tegas. Kini mereka berada di kediaman Tyler karena Lola dan Ben merasa takut berada di rumah sendiri, takut jika seorang pembunuh menghampiri mereka ketika di rumah. "Tidak ada yang boleh melaporkan hal ini pada siapa pun! Tidakkah kalian paham bagaimana konsekuensinya? Jika kita melapor, mereka curiga, kita diinterogasi sheriff dan deputy, mereka bisa saja menemukan kebenaran jika Spencer tidak bunuh diri, tapi kitalah yang membunuhnya!"

"Lola, tenanglah okay, kita jangan melapor dulu, kita akan cari jalan keluarnya bersama," ujar Ben menjadi penengah.

"Kalian gila! Kalian pikir bisa menyelesaikan semua ini sendirian, huh! Semua ini salah kalian berdua, kenapa kalian memukuli anak culun itu sampai mati!" teriak Lola.

"Kau bilang apa? Salah kami?! Kau juga terlibat bodoh! Apakah kau lupa jika kaugunakan stun gun padanya hingga tubuhnya kejang!" teriak Tyler yang kini sudah kehilangan batas kesabarannya.

Lola menyahut lebih keras. "Ya, tapi dia tak mati, dia mati setelah kau empaskan kepalanya ke dinding! Harusnya tak kau lakukan hal itu! Semua ini salahmu bodoh!"

"Salahku, kau juga bajingan!" teriak Tyler.

"Guys, berhenti bertengkar," kata Ben.

"Namun, kau yang paling bertanggung jawab! Siapa yang punya ide membuang tubuh Spencer dari lantai 4 seolah-olah dia bunuh diri? Kau juga kan! Kau yang mulai merundungnya karena dia menumpahkan sup ke wajahmu!" teriak Lola.

"Gadis sialan ini!" Tyler hampir menampar wajah Lola jika tak dihentikan Ben.

"Cukup kalian berdua! Bukan saatnya saling menyalahkan!" teriak Ben dengan nada gemetar seolah-olah ia akan menangis kapan saja.

Tyler menarik tangannya. "Fuck, maaf aku hilang kontrol."

Sementara Lola mengepalkan kedua tangannya dan mulai menangis. "Maaf, aku takut, aku hanya ingin kehidupan normal dan amanku seperti dulu."

"Hey jangan menangis," kata Tyler perlahan mendekap Lola. "Kita akan cari solusi okay? Kita akan laporkan hal ini, tapi setelah perlombaan karena jika terjadi sesuatu kita tidak dikeluarkan dari tim, kumohon, kita akan mengurus masalah ini setelah lomba. Aku sangat ingin menjadi perwakilan lomba dan aku tak mau masalah Spencer menggagalkanku."

"Dia benar Lola, setelah lomba nanti, kita akan melaporkan masalah ini pada kepala sekolah," sahut Ben.

Perlahan Lola menganggukkan kepalanya. "Okay, tapi janji, setelah lomba nanti, kita akan laporkan masalah ini pada sekolah."

"Iya, aku janji," sahut Tyler.

Hingga tiba-tiba ponselnya Tyler berdering. Ketiganya langsung terkejut bukan main ketika melihat ponselnya Tyler yang ternyata peneleponnya adalah nomor yang tidak Tyler kenali. Kini degup jantung tak beraturan menyerang ketiganya.

"Nomor siapa itu?" ujar Lola.

Ben menelan salivanya. "Apakah seseorang yang meneror kita, bagaimana dia tahu nomormu?"

"Jangan diangkat," sahut Tyler.

"Okay, pilihan bagus." Lola menyahut.

Mereka pun membiarkan ponselnya tersebut terus berdering, mati, hingga kembali lagi nomor tak dikenali itu menelepon, jika dihitung sudah enam kali menelepon. Membuat ketiganya semakin ketakutan hingga pada panggilan ke sembilan. Sebuah pesan masuk, mereka pun memberanikan mengecek pesan tersebut yang berisi: Angkat teleponnya atau kalian akan mati malam ini juga!

"Keparat," ujar Tyler yang kini panggilan dari nomor tak dikenal tersebut muncul lagi. Lekas Tyler angkat panggilan tersebut karena kepanikan melandanya. "Apa yang kau inginkan keparat?! Aku bisa melaporkanmu ke polisi!"

"Tyler." Suara di seberang sana terdengar mengerikan terutama tidak terdengar seperti manusia karena suara itu seolah-olah ditutupi oleh voice changers. "Aku tahu kau dan lainnya takkan berani melaporkan apa yang terjadi."

"Apa yang kau inginkan dari kami!" teriak Ben saking ia takutnya.

"Berhenti mengganggu kami!" Giliran Lola berucap.

"Tentunya takkan kulakukan, kalian pembunuh maka balasan atas pembunuhan kalian adalah penderitaan dan kematian," ujar suara di seberang sana yang terdengar sangat mengancam seolah-olah mampu menggorok leher mereka saat ini juga.

"Kau mau apa dari kami? Siapa kau? Kenapa terus meneror kami dengan foto Spencer, huh?!" ujar Tyler

Suara tawa terdengar membuat sekujur tubuh mereka bertiga merinding. "Ternyata kalian masih ingat pada Spencer, kupikir kalian hanya pembunuh yang melupakan korbannya."

Kini tangis mereka pecah karena peneror mereka tahu kenyataan jika mereka adalah pembunuh Spencer. "Apa kau berniat melaporkan kami jika kami adalah pelakunya?"

"Tentu tidak, aku takkan bermain dengan permainan membosankan seperti itu. Ada yang lebih menegangkan dibandingkan kalian di penjara, lagi pula anak-anak di bawah umur takkan dihukum berat ...." Ada jeda sesaat. "Aku hanya ingin kalian menderita secara perlahan-lahan seperti penderitaan Spencer dulu."

"Jawab kami bajingan, apa maumu?" ujar Tyler kini mengepalkan kedua tangannya.

"Hmm, apa yang kuinginkan. Memohon ampunlah sekarang juga padaku atas kematian Spencer kemudian pergi ke sekolah dalam keadaan telanjang dan memohon ampun pada setiap murid yang kalian rundung, bagaimana?"

Mereka terdiam membisu. Permintaan gila apa itu?! "Aku takkan pernah melakukannya?! Di mana harga diriku melakukan perbuatan menjijikkan itu! Kau sama saja melecehkan kami, kami takkan melakukannya."

"Tyler...." Lola berujar.

"Tidak Lola! Aku takkan mau melakukannya, kau juga 'kan? Apakah kau bisa membayangkan dirimu bertelanjang dada ke sekolah, ini sangat gila! Aku tak mau melakukannya, kau pembunuh keparat sialan!" cecar Tyler kehilangan kendali emosinya.

"Jadi kau memilih untuk tidak memohon ampun padaku dan mengikuti perintahku?"

"Tidak akan pernah, kau pembunuh jalang! Aku tahu kau pasti ada di sekolah kami jadi aku pasti akan mendapatkanmu dan kau akan dihukum sangat berat!" ancam Tyler sementara Lola dan Ben hanya diam. Mereka juga tak berani melawan jika Tyler sudah marah.

"Baiklah, itu adalah pilihanmu. Maka bersiaplah dengan konsekuensinya, selamat bertemu dengan grim reaper kalian. Tyler, Ben, dan Lola." Maka panggilan tersebut terputus, lekas Tyler memblokir nomor tersebut.

"Tyler kau yakin ini pilihan terbaik kita?!" ujar Ben menarik bahu Tyler.

"Ya! Aku takkan melakukan hal gila yang menghancurkan reputasiku hanya untuk pembunuh sialan itu!" sahut Tyler seraya menatap Lola. "Lola aku berjanji, kita akan baik-baik saja nanti, percayalah."

"Baiklah aku percaya perkataanmu itu," ucap Lola meski jauh dalam relung hatinya. Ia merasakan firasat paling buruk seumur hidupnya akan segera datang.

****

Dua hari menuju perlombaan yang dilaksanakan di Erysvale High School, pembelajaran mulai ditiadakan hingga ke hari perlombaan, hal ini karena banyak kesibukan seperti dekorasi koridor, membersihkan ruangan kelas dan tempat yang akan digunakan untuk perlombaan, hingga latihan para perwakilan yang akan berlomba.

Viole kini terlihat bersama dengan Emma dan Louie serta Sophia, bahkan ada Theodore yang akhirnya bersekolah lagi. Entah mengapa anak satu itu suka bolos sekolah kemudian muncul di hari ketika tak ada pembelajaran.

"Setidaknya beritahu kami kenapa kau tidak masuk sekolah," ujar Sophia yang terlihat mengenakan bando putih.

"Aku ada urusan keluarga, kau tahu 'kan jika keluargaku kaya dan pebisnis," sahut Theodore seraya meminum sodanya.

"Tapi kau tidak terlibat mengurus bisnis itu 'kan? Harusnya kau bisa bersekolah," sahut Louie.

"Kau takkan paham kehidupanku jadi diam saja," sahut Louie sedikit kesal lalu menatap pada Viole yang fokus membaca novel padahal mereka sedang berjalan di koridor dan hendak menuju ke taman sekolah, hendak duduk di meja kayu di bawah pohon rindang.

"Awas bocah pendek!" ucap Theodore menarik kerah baju Viole karena lelaki itu hampir menabrak seseorang yang membuka loker. "Bisakah kau tidak membaca dulu ketika berjalan?"

Viole menggeleng sementara Theodore masih memegangi kerah baju Viole. "Sedang memasuki adegan klimaks jadi ini seru, aku tak bisa meninggalkannya."

Theodore berdecak sebal jadi dia perlahan menurunkan tangannya kemudian mencubit sedikit lengan baju Viole agar dia bisa mengontrol ke mana arah gerak Viole dan mengantisipasi lelaki itu menabrak orang lain. "Jadi bagaimana dengan mereka bertiga," ujar Theodore menatap pada Emma. "Kau tidak menyapa mereka lagi?"

Emma memutar bola matanya. "Tidak, aku sudah tak peduli pada mereka lagi. Aku lelah secara mental menghadapi mereka."

"Nice! Inilah keputusan terbaiknya, lebih menyenangkan kaubersama kami dan menonton film horor," sahut Sophia, "aku akan merencanakan malam Jum'at kita untuk menonton film bersama."

"Hell!" balas Louie, "kenapa malam Jum'at?"

"Karena setiap kejadian horor terjadi di malam Jum'at!" balas Sophia.

"Tolong siapa pun, buang gadis maniak horor ini ke sungai," ujar Theodore yang langsung mendapatkan pukulan di bahu dari Sophia.

"Kau sialan!" teriak Sophia yang mengundang tawa Emma dan Louie sementara Viole masih berfokus pada novelnya dan tentu saja Theodore masih memegangi lengan baju Viole untuk mencegah lelaki itu menabrak.

Seperti itulah kehidupan sekolah mereka berjalan di hari yang penuh kesibukan. Emma dan Louie sudah tidak lagi menyapa Tyler, Lola, dan Ben, mereka abaikan dan sebisa mungkin menjauh dari kehadiran mereka bertiga. Jika terdeteksi dari jarak tertentu mereka akan berputar arah melewati koridor lain untuk menjauhi mereka. Selain itu ketiganya---Tyler, Lola, dan Ben juga dilanda kesibukan yang seharian ini tidak ada tanda-tanda teror dari pembunuh yang mengincar mereka. Hari ini terdengar sangat tenang, membuat ketiganya jadi lebih puas fokus pada latihan mereka. Ben dan Tyler yang sangat semangat berlatih basket karena lusa sudah menjadi pertandingan tim mereka melawan sekolah lain, lalu Lola juga akan bertanding dengan anak-anak dari sekolah lain untuk memperebutkan juara.

Kesibukan ternyata juga melanda Sophia dan Louie yang anggota jurnalistik, mereka harus memotret berbagai macam aktivitas para ekskul dan murid yang akan berlomba nantinya sebagai bentuk dokumentasi dan dimasukkan sebagai isi majalah atau mading sekolah serta blog sekolah ini, perlu diketahui jika Sophia yang juga termasuk memegang blog sekolah karena dia sangat ahli dalam bidang tersebut. Sementara Emma dipanggil oleh ketua tim renangnya karena ada beberapa hal yang hendak dibicarakan, tetapi tidak bersangkutan dengan perlombaan renang.

Di sisi lain, kini Theodore kehilangan Viole ketika dia pergi ke toilet. Padahal dia sangat ingat jika Viole duduk anteng di kantin dan meminum susu rasa pisang dan membaca novel, tetapi kini lelaki itu sudah hilang seolah-olah ditelan bumi saja. Theodore celingak-celinguk mencari keberadaan Viole.

"Hey, kau tahu di mana lelaki cantik yang duduk di sini?" kata Theodore pada salah satu murid yang duduk di meja kantin.

"Oh, aku tahu," ujar murid tersebut, "tadi kurasa ada perempuan cantik membawanya pergi, seingatku perempuan itu ketua pemandu sorak."

Senyuman Theodore terukir penuh rasa kesal. "Okay, terima kasih atas informasinya." Kini dia lekas keluar dari area kantin. "Chelsea Schwartz, berani kaumenculik Viole!"

Oh ada apa ini? Mengapa Theodore tiba-tiba bertingkah seperti seorang ibu? Apakah kini dia merasa terancam karena anaknya diculik oleh perempuan lain? Bahaya sekali!! Viole terlalu muda untuk menjalin hubungan dengan preman macam Chelsea!

Kini Viole menatap dengan polos ketika dia diapit beberapa perempuan kakak kelasnya yang berada di tahun kedua dan ketiga, ada pula di tahun keempat, tetapi mereka fokus melatih para adik kelasnya.

"Hey, kenapa wajahmu imut?" ujar seorang perempuan dengan rambut diikat poni tail dengan pita biru.

"Apakah kau rajin menggunakan skincare, kulitmu mulus seperti bayi." Salah seorang kakak kelas lainnya perlahan mengusap pipi Viole yang membuat lelaki itu risi, ia menepis tangan perempuan tersebut.

"Tolong jangan menyentuhku," ujar Viole hendak beranjak dari bangku panjang, tetapi kedua lengannya ditahan para kakak kelas itu lagi.

"Jangan ngambek," ujar perempuan dengan rambut sedikit bergelombang dan mengenakan seragam latihan pemandu sorak. "Kau semakin imut jika ngambek."

"Coba beritahu aku, apa saja yang kau sukai? Apakah kau sudah punya pacar? Apa ada seseorang yang kautaksir?"

"Kudengar kau dekat dengan ketua kami, Chelsea, bagaimana dengannya? Kau menyukai Chelsea, bukankah dia seksi."

"Mau berbagi nomor ponselmu? Ayolah, pretty, kami tidak menggigit."

Salah satu dari mereka mengusap puncak rambut Viole kemudian mengelus leher lelaki itu hingga bulu romanya berdiri, Viole merinding. "Kubilang jangan sentuh aku! Tidakkah kalian paham!" Viole kembali berdiri. Namun, ditarik hingga ia duduk di bangku tersebut kembali.

"Jangan marah, baby," ujar perempuan berkacamata perlahan berbisik di telinga Viole. "Kau semakin menarik jika memberontak."

"Hey!" Suara Chelsea terdengar yang sukses membuat para perempuan di sekeliling Viole jadi terkejut dan lekas menjauh dari Viole lalu Viole berdiri dan berlari ke samping Chelsea. "Pergilah latihan, bukan mengganggu anak ini! Kita lusa nanti sudah tampil!"

"Baik!" teriak mereka serempak dan lekas mengambil pompom mereka masing-masing dan kembali ke barisan untuk berlatih.

"Seriously? Kau membiarkan mereka menyentuh dan menggodamu?" kata Chelsea dengan alis terangkat satu.

"Mereka terlalu banyak," cicit Viole, "aku sudah marah dan mereka terus memaksa. Aku tidak mungkin memukul mereka karena seseorang berkata padaku untuk tidak menyakiti perempuan."

For God's Sake! Chelsea merasa hatinya membuncah dan wajahnya memerah melihat keimutan lelaki ini! Mengapa bisa ada manusia seimut Viole dan sifat polosnya begitu melekat meskipun terkadang sifatnya menyebalkan dan perkataannya menusuk, tetapi dia sangat imut! Ini poin tak terbantahkan! Kini saja Chelsea hendak menyentuh pipi Viole kemudian mencubit dan memainkannya, tetapi ia tahan karena ia punya reputasi.

"Kau benar," kata Chelsea menarik Viole agar persis di hadapannya. "Lelaki gentleman tidak menyakiti perempuan, tapi jika seorang perempuan melampaui batasan mereka, kau harus melawan okay?"

"Jangan menasehatiku seperti anak kecil! Aku tahu, jika ada perempuan hendak memperkosaku tentu saja aku akan melawan, tidak peduli apakah aku harus menampar wajah mereka!" Lihatlah bagaimana sifat lelaki ini berubah dengan cepat. Tadi polos kini terdengar kejam. Ini sangat membuat Chelsea bingung.

"Iya kau benar, jangan beri ampun pada pelaku pemerkosaan okay?" kata Chelsea sedikit membungkuk kemudian menyelipkan anak rambut Viole di belakang telinganya. Ternyata lelaki ini rambutnya halus dan panjang. "Jujur, kau itu cantik, jadi jangan salahkan banyak orang jika mereka mengatakan hal itu. Mereka bukan bermaksud mengejekmu."

Viole mendongak sedikit, mata hitam cemerlangnya menatap intens pada Chelsea. Memperhatikan kontur wajah gadis itu yang ternyata nyaman dipandang. "Lalu jika aku memanggilmu tampan bagaimana?"

Chelsea terkejut dan merasa tak biasa, seumur hidup tak pernah ada yang memanggilnya tampan. Apakah bentuk wajah Chelsea terlihat tampan di mata lelaki ini? Mengapa Viole berpikiran seperti itu? Tidak bisakah Chelsea mendapatkan pujian yang bagus dari Viole? Karena sejak awal pertemuan mereka, Viole tak pernah memuji Chelsea dengan kata cantik atau menarik padahal lelaki lain akan dengan mudahnya memberikan semua pujian pada Chelsea.

Kini gadis itu bingung harus menjawab dengan kalimat apa. "Jika kau berpikiran seperti itu, tidak masalah kau menyebutku tampan, tetapi bukankah ada kata yang lebih bagus dari kata itu?"

Viole terlihat berpikir keras. Membuat Chelsea pupus harapan dipuji cantik oleh Viole. Sudahlah, biarkan Viole dengan pemikirannya yang random itu. "Lagi pula kenapa kau menganggapku tampan, huh?"

Perlahan jari telunjuk Viole terarah pada perut Chelsea yang terbuka karena gadis itu mengenakan seragam pemandu sorak yang hanya menutupi bagian dadanya sehingga memperlihatkan perutnya. "Karena kau punya sixpack."

Perkataan itu meluncur tanpa rasa malu dan begitu polos, bisa terlihat jelas di wajahnya Viole. Tanpa disadari lelaki itu jika wajah Chelsea memerah ... bisa-bisanya lelaki itu mengatakan Chelsea punya sixpack dengan mudahnya! Baiklah sebenarnya Viole tidak salah karena Chelsea memang memiliki sixpack meski tidak terlalu terbentuk, tetapi tubuhnya yang ideal itu benar-benar memperlihatkan pesonanya. Lagi pula, dia memang sering melakukan workout.

"Kenapa Chelsea diam?" tanya Viole sedikit menelengkan kepalanya.

"Tidak." Kini Chelsea berharap Viole tak mendengar degup jantungnya. "Tidak apa, terima kasih atas pujiannya, aku ... aku harus kembali berlatih! Kau boleh di sini atau kembali pada temanmu." Maka dia berlari menuju teman-temannya yang menertawakan Chelsea yang kini gadis itu meraung kesal lalu berteriak agar fokus latihan.

Sialan, jika terus seperti ini, maka ia benar-benar tak bisa menyembunyikan perasaannya. Lalu Chelsea bersyukur Monica tidak turun sekolah hari ini jadi sahabatnya itu takkan mengejeknya.

Sementara itu, Viole hanya menatap dengan bingung. "Apakah perkataanku salah? Lagi pula perutnya memang seperti itu." Ia mengedikkan bahunya, meraih tasnya yang di dalamnya ada susu rasa pisang kemudian dia berjalan keluar gedung karena lelah di dalam sana.

Dia berniat menuju Theodore karena lelaki itu berjanji akan mentraktir Viole dengan kue keju jika Viole mau kembali ke kantin dan pergi dari cengkeraman Chelsea. "Makan kue keju."

****

Emma sangat membenci keadaan ini. Ia terpojok oleh Lola yang sejak tadi terus mengejarnya padahal Emma sudah berusaha sekuat tenaga untuk menghindari perempuan pembuat masalah itu. Kini mereka berada di taman belakang sekola. Lola terlihat masih berkeringat karena dia sibuk olahraga untuk menjaga kesehatan serta pemanasan sebelum latihan renang nanti. Lola sebenarnya ingin berbicara dengan Emma karena sudah beberapa hari ini Emma menghindari Lola, membuat gadis itu merasa kesal.

"Kenapa kau menghindariku?" kata Lola seraya menyeka keringatnya.

"Aku hanya tak mau mengganggumu, kurasa kau harus fokus pada latihan dan kompetisimu lusa nanti," sahut Emma merasa tak enak, tetapi rasa dikhianati masih membekas di dalam dirinya.

"Kau bohong," sahut Lola, "bukan itu alasannya. Jika karena hal itu, kau tak mengabaikanku saat rapat dengan anggota renang tadi, kau juga tidak akan mengabaikan pesanku maupun pesan Tyler dan Ben! Ada apa Emma? Mengapa kau menghindariku?"

"Sudah kukatakan jika aku tak mau mengganggumu, aku juga tak mau mengusik Tyler dan Ben!" balas Emma berusaha menahan amarahnya.

Latar belakang mereka berupa keributan para murid karena tidak ada jam pelajaran seolah-olah teredam oleh perbincangan serius di antara keduanya. "Siapa yang membuatmu jadi mengabaikan kami? Louie juga mengabaikan kami, jika Viole, dia memang menyebalkan, tapi kau? Kau tidak pernah mengabaikan kami! Siapa yang mengajarimu seperti ini huh?! Sophia Reid dan Theodore itu 'kan yang membuatmu bersikap jahat pada kami?"

"Hey!!" Suara Emma meninggi, "jangan kau berani menghina mereka! Mereka itu sangat baik!"

"Lalu kami apa?! Kenapa kau mengabaikan kami, mengabaikanku? Kami berteman denganmu jauh lebih lama dibandingkan dengan mereka, Emma!" teriak Lola merasa kesal, sangat kesal. "Kami sahabatmu, aku sahabat dekatmu!"

"Sahabat!" Kini Emma sudah lelah menjadi orang baik dan selalu mengalah. "Kau sahabatku, lalu kenapa kau menusukku dari belakang? Kau mengkhianatiku, sialan!"

"Apa maksudmu?!" balas Lola. Beberapa murid yang melintasi mereka terlihat mempercepat langkah atau berputar balik karena merasakan aura pertengkaran yang sangat tajam.

Perlahan Emma memperlihatkan foto sebuah motor harley yang parkir di halaman rumah Lola. "Ini adalah motor harley milik sahabat kakakmu yang waktu itu parkir di halaman rumahmu saat kita kerja kelompok, motor yang sama dengan motor yang menabrakku sebelumnya!"

Lola terdiam, lidahnya tercekat. "Apa maksudmu? Kau menuduh sahabat kakakku adalah pelakunya? Ada banyak yang mengendarai motor itu---"

"Aku hafal plat nomornya karena aku sakit hati sekali pada hari itu dan plat nomor itu sama persis dengan motor harley milik sahabat kakakmu." Emma perlahan maju selangkah untuk menatap tajam Lola. "Kau pengkhianat sialan, kau pasti merencanakan hal ini agar aku tidak menjadi perwakilan renang benar bukan? Kau tak mau sahabatmu ini menjadi juara nantinya!"

"BAJINGAN KAU JALANG!" teriak Lola, "YA AKU MERENCANAKAN SEMUA ITU! Aku benci padamu, aku benci kau lebih hebat dalam renang dan dipuji terus-menerus, jadi aku meminta bantuan sahabat kakakku untuk menabrakmu, aku sengaja mengajakmu menemaniku membeli kue hanya agar rencanaku berjalan lancar dan berhasil, kau gagal jadi perwakilan, aku bahagia!"

"Kau tega sekali ...."

"Kau tahu Emma apa yang lebih jahat lagi dariku?" ujar Lola perlahan mendorong Emma dan kini perlahan-lahan di maju selangkah. "Aku mengancam Liza, aku akan membully-nya sepanjang tahun jika dia tak menuruti perkataanku. Lalu apakah kau bisa menebak apa yang kuperintahkan padanya? Aku menyuruhnya untuk menguncimu di ruang penyimpanan di kamar ganti gedung renang agar kau gagal ikut seleksi renang, agar kau tidak diterima keanggotaan renang. Namun, Violetta sialan itu berhasil menemukanmu! Aku sangat kesal karena rencanaku gagal. Maka untuk menutupi bukti bahwa aku pelakunya, aku menjadikan Liza kambing hitam dan dia dirundung! Hingga pada akhirnya dia mati bunuh diri, kasihan sekali."

"Sialan kau Lola!" teriak Emma, tetapi Lola dengan sigap mencengkeram kerah baju Emma kemudian dibalas Emma dengan melakukan hal yang sama. "Kau penjahat sialan!"

"Aku memang jalang sialan, Emma," balas Lola, "tapi kau manusia bodoh yang tidak mau lepas dari kami meski kau tahu kami orang jahat. Siapa yang paling kasihan di sini?"

Perlahan Emma meneteskan air mata. "Aku akan melaporkan perbuatanmu ini pada Tyler, dia akan membencimu!"

"Maka lakukanlah, kau pikir aku tak tahu jika kau menyukai Tyler? Maka lihat saja nanti Emma karena akulah yang akan mendapatkan Tyler! Kau akan menjadi perempuan paling menyedihkan nantinya." Maka Lola dengan sekuat tenaga mendorong Emma hingga terjatuh ke rerumputan. "Kau tetaplah perempuan lemah yang selalu kalah terutama dariku Emma, kasihan sekali hidupmu." Maka lekas Lola melenggang pergi sementara Emma hanya terdiam, menunduk, dan tetap duduk di rerumputan seraya merasakan tubuhnya sedikit sakit terutama telapak tangannya.

Perlahan Emma menarik kedua lututnya, ditekuk, lalu ia peluk dan ia terisak saking tak bisa menahan kesedihannya. Ia merasa hancur mendengar perkataan Lola. Jika Lola adalah dalang sebenarnya yang membuat Emma terkunci di kamar ganti. Itu artinya, Lola sudah berkhianat padanya sejak lama. Padahal selama ini, Emma selalu menganggap Lola sebagai sahabatnya.

"Aku benci semua ini," ujar Emma, "aku benci diriku."

Jauh sebelum ia hanyut dalam kesedihannya. Emma mendengar langkah kaki di rerumputan kemudian berhenti di hadapannya. Seseorang berjongkok seraya mengetuk-ketuk punggung tangan Emma dengan jari telunjuk. Membuat gadis itu mendongak. Mendapati seorang lelaki dengan wajah cantiknya yang polos dan menyeruput susu pisang.

"Viole."

"Aku lihat semua tadi, kau baik-baik saja?"

Emma menggeleng. "Tidak, rasanya sangat sakit. Maaf aku menangis."

Viole menghela napas. "Aku akan membantumu."

"Jangan!" ujar Emma terkejut. "Kumohon jangan, ini bukan masalah besar sampai kau harus menggunakan kekuatanmu---"

"Huh?" Viole kebingungan. "Bukan membantu dengan artian itu. Namun, telapak tanganmu, kau terluka dan sedikit berdarah, apakah kau tak sadar?"

"Ah." Emma terkekeh, ia pikir Viole akan menggunakan kekuatannya sebagai ævoltaire. "Maaf aku sudah salah sangka, maaf."

"Ayo," kata Viole membantu Emma berdiri. "Kau terluka, jadi mari ke klinik sekolah, nanti semakin sakit dan infeksi, bahaya."

Senyuman kecil Emma terukir, entah mengapa ia merasa tenang dan hatinya menghangat padahal ini hanyalah tindakan sepele saja. "Terima kasih, Viole."

Viole menjawab dengan anggukan kepala lalu berujar, "ayo, setelah ini kita ke kantin karena Theodore berjanji akan mentraktirku makan kue keju."

Emma merasa tidak masalah kehilangan Lola, Ben, dan juga Tyler karena mereka hanya membuat Emma sakit. Lalu meskipun mereka pergi, Tuhan telah menggantikan mereka dengan teman-teman yang lebih baik lagi dan menyayangi Emma dengan tulus.

Ya, dia bersyukur Tuhan mengirimkannya Louie, Sophia, Theodore, terutama Violetta.

"Viole terima kasih."

"Sama-sama."

"Huh, kau tak mau bertanya kenapa aku berterima kasih padamu?" kata Emma yang kini mereka masih di koridor dan menuju klinik sekolah.

"Sama-sama," balas Viole lagi, sengaja.

"Kau sialan sekali ya!" teriak Emma lalu tertawa.

****

Malam ini, setiap orang berada di rumahnya masing-masing. Louie yang terlihat merawat ibunya, kini kehidupannya dan ibunya sedikit membaik setelah kejadian yang hampir mengambil nyawa Louie. Ibunya berusaha untuk tidak berjudi lagi dan mencari pekerjaan, ia mendapatkan pekerjaan di sebuah toko penjual permen, meski gajinya kecil, setidaknya lebih baik dibandingkan mempertaruhkan hidup dari uang judi. Louie juga merasa kesehariannya menjadi lebih aman karena tidak ada lagi preman atau orang jahat yang mengincarnya.

Berada di sebuah mansion mewah, Theodore terlihat menikmati makan malamnya dengan kedua orang tuanya yang sudah lama tidak pulang karena pekerjaan mereka yang sangat sibuk dan kebanyakan membuat mereka harus pergi ke luar kota atau negara. Kini meski sesaat terbebas dari balapan motor dan rokok, Theodore menikmati makan malam tenang seperti keluarga kecil yang terbebas dari kesibukan pekerjaan yang banyak menyita waktu dengan keluarga.

Sementara di kamar yang remang-remang, sebuah macbook menampilkan video call wajah Monica sementara Chelsea duduk di atas ranjang dan terus mengoceh banyak hal. Dia menceritakan setiap kejadian yang terjadi pada hari ini ketika Monica tidak turun sekolah; dimulai dari pembelajaran yang ditiadakan, latihan pemandu sorak, hingga Chelsea menceritakan bagaimana dirinya menyeret dan menculik Viole lalu lelaki itu memujinya dengan kata ganteng.

Tawa Monica terdengar. "Tampan, sialan, anak itu memang berbeda. Baru kali ini ada yang memuji Chelsea Schwartz dengan kata tampan!"

"Diamlah," balas Chelsea sedikit memerah wajahnya. "Namun, aku suka pujian itu."

"Ah so cute ...." Monica merasa gemas. "Apakah kini kau semakin jatuh cinta padanya? Kapan kau mau mengungkapkan perasaanmu itu pada Viole? Ayolah dia itu polos, mustahil jika kalian bersama kalau kau tidak bergerak duluan dan menyatakan cinta."

"Aku akan melakukannya."

"Maksudmu?"

"Setelah perlombaan di sekolah, aku akan mengungkapkan perasaanku pada Viole."

Detik itu Monica bukannya tertawa malah tersenyum, senyuman yang tak biasa ia tunjukan pada siapa pun bahkan pada Chelsea. "Ada apa?" kata Chelsea, bingung.

"Tidak," balas Monica, "semoga kau beruntung."

Di rumah lain, Emma selesai makan malam dengan kedua orang tuanya. Ia juga membantu ibunya membersihkan piring dan gelas kemudian masuk ke dalam kamarnya dan melakukan video call dengan Sophia Reid melalui laptopnya. Mereka sudah janjian untuk saling menghabiskan malam ini karena Sophia hendak menceritakan salah satu film romansa favoritnya dan Emma mendengarkan dengan penuh semangat serta rasa antusias.

Hingga kesenangan Emma terputus ketika ponselnya berdering dan banyak sekali pesan berupa foto dari Lola.

"Ada apa Emma?" kata Sophia merasa bingung melihat wajah Emma.

"Lola mengirimkanku banyak foto," ujar Emma.

Maka lekas Emma cek foto tersebut, betapa dia sangat terkejut dan wajahnya jadi pucat pasi bahkan terlihat oleh Sophia seberapa pucatnya wajah Emma itu. "Hey Emma, ada apa, foto apa yang dikirimkan oleh Lola? Emma, kenapa kau menangis?!"

Dengan terisak, Emma perlahan berujar seraya manik mata masih tak percaya dengan foto yang ia lihat. "Lola mengirimkan foto dan video, dia ... dia melakukan hubungan seksual dengan Tyler."

"Oh My Goddess, mereka sangat gila!! Apakah mereka mau membawa bencana," ujar Sophia sangat terkejut juga.

Di apartemen Cerulean, Viole duduk di sofanya seraya membaca novel dengan mengenakan headphone dan musik berputar di gendang telinganya. Ia merasa risi saat ini, tidak fokus membaca, sedikit gelisah. Bukan, bukan karena dia tak meminum pil obat khususnya, tetapi karena ada perasaan tak nyaman menyeruak begitu saja. "Sialan, aku benci firasat buruk ini."

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Sudah dapat teror dan peringatan secara langsung, tapi Tyler, Lola, sama Ben nggak sadar juga ya^^ Jadi kesal~

Waduh, Chelsea semakin di depan nih, apakah ada yang dukung nih cewek? Atau kalian dukung Viole sama tokoh lain?

Lola semakin gila ya ke depannya! Bisa-bisanya dia melakukan perbuatan tersebut. Segara tobat sebelum malaikat kematian menjemput---eh?!

Prins Llumière

Selasa, 21 November 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top