Chapter 25: Fever
Saat malam semakin gelap, Viole mendapati dirinya terserang demam yang mencapai puncaknya. Butir-butir keringat mengucur di keningnya, badannya pegal dan lemas. Dengan tangan gemetar, dia menyentuh kepalanya yang sakit dan berdenyut, lalu ia perlahan bangun dari kasurnya, menuju meja yang tak jauh darinya, ia ambil kotak berisi obat-obatan dan mengambil dua obat yakin penurun demam dan sakit kepala. Maka dengan segelas air, ia telan kedua pil obat tersebut, setelahnya di sisi lain meja, ia membuka laci kecil dan mengambil botol kecil berwarna kuning yang berisi obat lain.
Rasa sakit di kepalanya tak tertahankan saat dia berusaha membuka tutupnya, pandangannya kabur karena kabut yang disebabkan oleh demam. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya gemetar kedinginan saat dia dengan hati-hati memakan obat tersebut. Setelah dia menelan obat khusus itu, ia berharap dengan setiap ons tubuhnya bahwa obat tersebut akan meringankan penderitaannya.
"Sialan, ini pasti karena kejadian tadi siang," gumam Viole merutuki dirinya karena dengan seenaknya dan tak memikirkan efek samping karena menggunakan kemampuannya.
Kini dia menuju kasurnya kembali. Pikirannya akhirnya dikaburkan oleh kelelahan saat ia tertidur, tubuhnya menyerah pada penyakit yang melanda dirinya. Beban tanggung jawabnya dan tekanan hidup sehari-harinya tidak lagi mempunyai arti yang sama.
Malam membisikkan simfoni keheningan saat tubuh Viole terbaring tak bergerak di tempat tidur, napasnya pendek, tetapi stabil. Ruangan itu bermandikan cahaya lembut dari cahaya bulan yang menyelinap melalui tirai, memberikan bayangan halus pada sosoknya yang lelah.
Dalam mimpinya yang terfragmentasi dan cepat berlalu, bisikan kekhawatiran terdengar di kejauhan. Suara lembut yang bergema jauh di dalam kesadarannya, membisikkan kata-kata penghiburan dan perhatian. Itu adalah suara yang bukan berasal dari dunianya, tetapi suara itu memanggilnya, menggerakkan sesuatu di dalam hatinya yang mengeras.
"Kau berhasil, jangan terlalu memaksakan dirimu."
"Aku selalu bertahan untukmu." Bibir Viole bergerak dan suaranya terdengar serak dalam tidurnya. Ia mengigau.
"Aku tahu, jadi kumohon jangan memaksakan dirimu karena aku tak mau kau sakit."
Sayangnya, saat malam semakin larut, mimpi-mimpinya yang demam tetap menjadi rahasia, terkunci di kedalaman pikirannya. Tanpa dia sadari, kerentanannya telah menyentuh alam hasrat yang tak terucapkan, menanam benih yang akan segera berkembang menjadi sesuatu yang tak terduga. Bahwa ia masih memerlukan kehadirannya dalam setiap detik hidupnya.
****
Seharusnya Viole tidak pernah mengizinkan Louie dan Emma memasuki kamar apartemennya. Namun, keadaan memaksanya harus membawa dua manusia yang semakin lengket dengannya itu kemari. Semua ini bermula karena Viole yang tak bisa dihubungi sejak pagi dan Viole tak memasuki sekolah hari ini. Sebenarnya Emma dan Louie juga tak bersekolah karena kejadian kemarin, lalu mereka juga laporkan hal ini pada deputy Francis, tentu saja mengenai kematian para preman karena serangan serigala dan beruang zombie mereka ubah dengan alibi mereka berhasil kabur dari kejaran mereka. Beruntungnya deputy dan ayahnya Emma percaya lalu mereka tak banyak di interogasi lagi karena takut menimbulkan trauma dan kini mereka diberi waktu istirahat dari sekolah demi kesembuhan mereka. Lagi pula mereka enggan ke sekolah dalam keadaan wajah babak belur.
Kini Emma dan Louie di kamar apartemen Viole setelah memaksa lelaki itu membukakan pintu. Keduanya khawatir karena Viole tak ada kabar sejak semalam dan benar saja, meskipun lelaki cantik itu tidak babak belur wajahnya, tetapi Viole terserang demam tinggi.
"Kau serius tak mau ke rumah sakit," tanya Louie untuk kesekian kalinya.
"Sudah kubilang tidak, bodoh! Aku tidak separah yang kalian pikirkan sampai aku harus dilarikan ke rumah sakit!" ujar Viole memegangi pangkal hidungnya. Lelaki itu berbaring di sofa sementara Louie duduk di karpet begitu pula Emma.
"Apa demammu karena efek samping ... kemampuan ævoltaire? Maaf jika aku membuatmu tersinggung," kata Emma takut, tapi penasaran.
"Bisa dikatakan begitu," sahut Viole.
Emma dan Louie mengangguk yang kini kecanggungan menguar mengelilingi ruangan tersebut. "Biasanya berapa lama?"
"Entahlah," balas Viole, "tidak menentu, tetapi kuyakin besok sudah sembuh."
"Syukurlah," sambung Louie, "maksudku jika kau sehat, kau bisa bersekolah besok."
"Aku enggan pergi sekolah," balas Emma menarik kedua lututnya, ditekuk, ia peluk. "Aku malas bertemu Lola dan lainnya."
"Ah ya, aku juga," gumam Louie meski tak nyaring, tapi dapat didengar oleh Viole dan Emma. "Namun, apakah kalian tahu jika Lola, Tyler, dan Ben bersikap aneh akhir-akhir ini?"
"Aneh bagaimana?" balas Viole perlahan bangun dan meraih segelas air di atas meja. Lekas dibantu Louie dengan mengambilkan gelas tersebut. "Thank's."
"Sama-sama ... intinya mereka bersikap aneh, temanku yang dari jurnalistik dan sekelas dengan mereka, merasa jika ketiganya bertingkah aneh seperti ketakutan dan panik," ujar Louie kembali.
"Kaubenar," timpal Emma, "aku sadar akan hal ini. Lola setiap selesai latihan renang, dia selalu takut ke kamar ganti sendiri, dia juga lebih banyak diam dan melamun dan akan marah jika ada seseorang memotretnya padahal dia dulu senang sekali dipotret. Sebenarnya ada yang hendak kuceritakan pada kalian sejak lama, tapi aku belum berani ...."
"Apa itu? Tentang mereka dan tingkah aneh mereka?" kata Louie sementara Viole hanya bersandar di sofa dan menatap lemas.
"Sebentar," kata Emma seraya mengobrak-abrik isi tasnya dan mengambil sebuah polaroid yang sudah disobek menjadi empat bagian. Ia taruh polaroid tersebut di atas meja dan disatukan kembali. Meski tidak rapi, tetapi terlihat jelas foto lelaki dengan kacamata dengan rambut jingga tua. "Aku tak sengaja melihat Lola membuang foto ini di tempat sampah dan dia terlihat mengumpat serta ketakutan."
Louie menatap foto tersebut dengan jeli, Viole juga melakukan hal yang sama meski tubuhnya masih lemas. Keduanya mengamat-amati dan tidak bisa menebak siapa lelaki di polaroid tersebut.
"Kurasa aku tak pernah melihat lelaki ini di sekolah kita," kata Louie.
"Mungkin bukan berasal dari sekolah kita?" sahut Viole.
"Ya mungkin saja begitu," Louie menyahut.
"Kau kan kenal lebih lama dengan mereka, mungkin saja berasal dari sekolah kalian dulu," ujar Viole lagi.
Emma diam sejenak seolah-olah ada yang memenuhi isi pikirannya, tetapi dia tak bisa mengungkapkannya. "Ada yang belum kuceritakan pada kalian. Jadi sebenarnya saat sekolah menengah pertama, aku murid pindahan di tahun kedua dan saat itu aku bertemu Tyler, Lola, dan Ben. Kami sangat akrab saat mau naik kelas ke kelas tiga. Jadi sebelumnya kami tak saling kenal, hanya saja, aku pernah dengar rumor jika mereka sering merundung seorang anak laki-laki sejak kelas satu yang kata banyak murid, anak yang mereka rundung itu punya gangguan mental. Perundungan terus terjadi sampai aku pindah, tapi saat itu aku tidak tahu jelas kabarnya karena ketika kelas dua, target yang mereka rundung ini jarang ke sekolah, lalu beberapa bulan berlalu, sebelum semester genap, lelaki yang punya gangguan mental ini dikabarkan meninggal dunia karena bunuh diri."
Hening terdengar menguasai ruangan itu.
"Kauyakin jika anak itu mati karena bunuh diri?" kata Viole.
"Dulu iya, tapi setelah kupikir-pikir lagi, sepertinya bukan bunuh diri ... mungkin dia dibunuh." Lidah Emma terasa kelu. "Saat itu aku murid baru jadi tidak tahu banyak informasi, hanya dengar desas-desus dan setahuku anak yang mereka rundung ini juga dibenci banyak murid karena sering mengacau kelas atau bertingkah aneh."
"Seperti apa?" tanya Louie.
"Aku tidak tahu karena ketika aku pindah, banyak yang tak mau membicarakan anak itu terlebih setelah ada kabar dia mati yang kata banyak orang karena bunuh diri jadi semakin tak ada yang mau membicarakannya. Aku juga enggan mengulik masa lalu itu." Emma menjelaskan.
"Siapa nama anak itu?" kata Viole.
"Uhm, seingatku namanya Spencer Houghton," balas Emma.
"Kau serius tidak tahu kenapa dia dirundung oleh Tyler dan dibenci banyak murid?" kata Louie.
Emma diam sejenak. "Aku dengar dia punya gangguan mental, kadang teriak sendiri, terkadang menangis dan ketakutan, tapi aku tidak tahu detailnya bagaimana," balas Emma.
"Mungkin kalian harus bertanya pada yang lebih tahu masalah Spencer ini." Viole kembali berbaring di sofanya.
"Masalahnya aku tak tahu harus bertanya pada siapa," balas Emma.
"Apakah tak bisa gunakan kemampuanmu sebagai ævoltaire, Viole?" tanya Louie yang langsung mendapatkan tatapan tajam nan menusuk dari Viole. "Maaf---ouch jangan memukulku!"
Emma habis memukul kepala Louie langsung berujar, "makanya jangan membawa-bawa ævoltaire, bodoh! Kautidak tahu sesusah apa mereka menyembunyikan identitas mereka!"
"Iya maaf!" teriak Louie, "maafkan aku Viole."
Viole perlahan menghela napas berat. "Kemampuanku bukan untuk mendeteksi orang lain atau mengungkapkan masa lalu seseorang, setidaknya begitu."
"Dengarkan perkataan Viole! Sekali lagi kau Louie mengulik masalah ævoltaire di hadapan Viole, kupastikan kau mengapung di kolam renang dalam keadaan tak bernapas!" ancam Emma.
"Okay, maaf, maaf, aku bersalah! Tadi aku hanya bercanda!" teriak Louie.
Viole memutar bola matanya. Mari abaikan percakapan mengenai ævoltaire ini. "Membahas Spencer lagi. Emma, apakah tidak ada yang satu sekolah denganmu lagi selain Tyler dan lainnya?"
"Kurasa di sekolah kita ada, tapi aku tak akrab dengan mereka," kata Emma lalu terdengar Louie menggebrak meja karena ide cemerlang muncul di pikirannya.
"Bisakah jangan lakukan hal itu?" sahut Viole sedikit terkejut tadi.
"Diam," balas Louie tak mau terdistraksi. "Emma aku tahu siapa yang satu sekolah denganmu dulu dan kita sangat dekat dengannya!"
"Benarkah siapa?"
"Sophia Reid! Dia dulu cerita padaku jika dia berada di sekolah yang sama denganmu, tapi dia tak terlalu mengenalmu karena kau hanya bermain dengan Tyler, Lola, dan Ben!" ujar Louie bersemangat. "Mari hubungi dia dan suruh dia kemari!"
"Kau serius? Oh aku lupa jika pernah satu sekolah dengan Sophia, kalau begitu kita minta dia kemari!" Emma lekas mengambil ponselnya.
"Hey, hey! Jangan seenaknya mengundang orang lain kemari! Apalagi mengundang maniak horor dan banyak oceh itu!" teriak Viole merasa tak dihargai sebagai pemilik kamar apartemen ini.
"Oh ayolah Viole!" sahut Louie, "kita harus menyelidiki masalah ini, terlebih kenapa orang yang sudah mati seolah-olah meneror Tyler dan lainnya lalu bisa saja jika Spencer ini ada hubungannya dengan kejadian pembunuhan yang akhir-akhir ini terjadi di sekolah."
"Viole kumohon, izinkan dia kemari," pinta Emma dengan manik mata anak anjing yang berbinar-binar. "Ini demi kebaikan sekolah kita, aku takut jika ternyata serangkaian teror yang terjadi dan membahayakan warga sekolah karena masalah Spencer ini."
Viole hendak menolak, tetapi jika tak ia izinkan maka bisa saja sekolah itu akan terus diteror dan barangkali mengundang pemerintah turun tangan, bisa bahaya juga jika ada organisasi asing menyusup lalu identitas Viole terbongkar. "Baiklah, suruh dia kemari."
"Hore!" teriak Emma dan Louie secara bersamaan sementara Viole merasa demamnya akan naik lagi.
"Aku benci perempuan maniak horor itu karena banyak oceh dan menyebalkan," gumam Viole mempersiapkan diri mendengar ocehan Sophia Reid dalam hitungan menit lagi.
****
Selain dikenal sebagai maniak film horor dan berbau pembunuhan, sepertinya Sophia punya banyak koneksi dan memiliki ingatan yang kuat sehingga dia punya informasi yang lebih terpercaya dan juga banyak bahkan dari berbagai macam sudut pandang. Gadis berambut pendek itu juga punya blog yang terkadang mengulik tentang hal-hal mistis. Jika di film horor seperti The Conjuring, sudah dipastikan jika ia akan menjadi incaran boneka Annabelle atau ia mendekati boneka itu dengan sendirinya karena rasa penasaran.
Meskipun Sophia sangat berguna untuk mendapatkan informasi, tetap saja mulutnya yang jauh lebih hiperaktif dibandingkan Emma sangat mengganggu ketenangan Viole. Kini saja sejak mulai perempuan itu melangkahkan kakinya ke kamar apartemen Viole, Sophia sudah banyak bertanya, seperti bagaimana bisa Viole tinggal sendiri, siapa yang memasak, mengapa apartemen ini sangat bersih dan minimalis serta nyaman ditempati, hingga pertanyaan mengapa ketiganya—Viole, Emma, dan Louie, tidak bersekolah serta wajah Emma dan Louie babak belur dan Viole sakit demam. Pertanyaan terakhir itu terpaksa mereka jawab karena akan menimbulkan masalah jika tak dijawab, bisa-bisa diselidiki Sophia hingga ke akar-akarnya, lalu tentu saja jawaban mereka sama seperti alibi yang mereka berikan pada deputy Francia dan ayahnya Emma dan tanpa menyinggung masalah identitas asli Viole.
"Oh My Goddess!" teriak Sophia, "kalian sungguh sudah tak apa? Tak kusangka kalian mengalami kejadian buruk itu, lalu syukurlah kalian kini baik-baik saja dan masalahnya sudah ditangani."
"Ya, kami sudah tak apa, hanya Viole yang masih demam," ujar Louie sedikit merasa tak nyaman karena terus berbohong.
Bibir Sophia sedikit maju. "Kasihan sekali bayi besar ini, padahal kau tidak digebukin, tapi kau yang masih sakit sampai sekarang. Bayi ini sangat rentan ternyata."
Emma dan Louie hanya diam dan saling memandangi satu sama lain karena perkataan Sophia pada Viole yang terlihat jelas jika lelaki itu menatap kesal pada Sophia. "Jangan panggil aku bayi! Atau kuusir kau dari sini!"
"Aww, little baby is very angry," ujar Sophia terkekeh yang semakin saja membuat amarah Viole naik ke permukaan.
"Sophia berhenti mengganggu dan mengejek Viole," kata Emma yang tak mau jika Viole dilanda amarah kemudian menggunakan kekuatannya, meski Emma yakin jika Viole takkan melakukan hal itu.
"Okay, okay, maaf ya, aku hanya membuat lelucon karena kalian sejak tadi merasa tegang," balas Sophia seraya meraih minuman jus jeruk yang dibuatkan Emma.
"Keparat," sahut Viole seraya menyandarkan punggungnya ke sofa.
"Jangan mengumpat baby," balas Sophia tersenyum manis. "Jadi mengenai masalah Tyler dan lainnya, kurasa aku perhatikan juga kalau tingkah mereka memang aneh."
Emma berucap, "see, mereka memang aneh akhir-akhir ini, bagaimana dengan keadaan di sekolah, apakah mereka---"
"Kacau," balas Sophia, "tiba-tiba saja ada murid kelas tiga yang berbuat rusuh pada Lola dan mereka bertengkar, lalu kudengar jika Tyler dan Ben minta istirahat sehari dari latihan basket."
"Kurasa mereka semakin kacau," ujar Louie, "apakah kau mencurigai sesuatu dari mereka?"
Sophia berpikir sejenak. "Aku pernah melihat Lola membuang banyak foto polaroid dari lokernya, kemungkinan itu foto Spencer yang seperti Emma ceritakan tadi."
"Bisakah kau ceritakan siapa Spencer ini? Jangan bahas yang lain dulu, aku lelah mendengar pembicaraan kalian yang keluar topik utama!" Viole menggeram kesal karena kini kepalanya sakit lagi. Andai bukan masalah Spencer atau berkaitan dengan kejadian pembunuhan yang terjadi di sekolah akhir-akhir ini maka Viole lebih memilih tidur di kasur ketimbang berada di sofa.
"Okay, akan kuceritakan, tapi sebelumnya, apakah kalian ada dihubungi Theodore atau saling kontak dengannya?" Sophia melirik secara bergantian pada Viole, Louie, dan Emma.
"Kenapa lagi dengannya?" balas Viole.
"Dia juga tak turun seperti kalian, sudah beberapa hari ini dia tak masuk sekolah dan tak membalas pesanku padahal aku perlu bicara dengannya," kata Sophia seraya menghela napas.
"Theodore memang suka seperti itu 'kan? Terkadang dia suka menghilang, kemudian muncul seperti hantu," balas Louie.
Emma mengangguk setuju. "Iya hanya karena ayahnya kaya jadi dia seenaknya---"
"Fookuussss!" kata Viole, "fokus pada Spencer, berhenti membicarakan hal lain, tolong."
"Okay, fine, sorry!" balas Sophia, "ayo fokus pada Spencer."
Hening terdengar selama beberapa ketukan karena mereka menunggu Sophia mulai menjelaskan tentang siapa Spencer Houghton dan alasan ia dirundung dan dianggap memiliki gangguan mental. "Namanya Spencer Houghton, katanya dia anak orang kaya jadi tidak miskin bahkan pakaiannya juga barang mahal. Namun, dia dirundung karena katanya punya gangguan mental, padahal sebenarnya dia bukan pengidap gangguan mental seperti ODGJ atau Skizofrenia, ini setahuku dari teman dekatku, kalau sebenarnya Spencer adalah seorang indigo sehingga dia bisa melihat makhluk tak kasat mata dengan artian...."
"Hantu," balas Emma.
"Ya," kata Sophia.
"Oh, sial aku merinding," ujar Louie sementara Viole hanya mendengarkan dan tak terbesit rasa takut.
"Aku lanjutkan. Jadi Spencer bisa melihat para makhluk tak kasat mata itu yang katanya, dia sering diganggu oleh mereka. Dia melihat mereka hampir setiap harinya, dia berinteraksi dengan mereka yang di mana wajah dan bentukan mereka sangat seram bahkan mencoba menyakiti Spencer sehingga atas inilah Spencer sering berteriak tiba-tiba ketika di kelas, ia juga dirundung dan dibenci karena hal ini. Mereka menganggap jika penglihatan Spencer terhadap makhluk tak kasat mata itu hanyalah tipuan atau akting agar menarik perhatian, padahal kenyataannya, dia benar-benar bisa melihat para hantu tersebut.
"Lalu selain tekanan dari apa yang dilihat Spencer, perundungan dari para murid juga membuatnya terbebani. Spencer jadi jarang masuk sekolah, jika pun bersekolah, dia terlihat seperti mayat hidup karena tak pernah berinteraksi dengan yang lain dan suka tiba-tiba menjerit dan kehilangan kendali. Karena ini pula banyak murid mencap Spencer sebagai anak gangguan mental yang meresahkan jadi sejak saat itulah, Tyler, Lola, dan Ben merundungnya."
"Kau yakin jika mereka bertiga merundung Spencer begitu saja karena alasan dia dianggap anak pengidap gangguan mental?" kata Viole.
"Tidak!" balas Sophia, "setahuku, Spencer pernah tak sengaja menumpahkan bekal makanannya di kepala Tyler ketika Spencer kumat, sejak saat itu Tyler menaruh dendam dan menjadikan Spencer target perundungan. Terlebih setelah Tyler mendengar rumor mengenai Spencer. Jadi semakin gencar, Tyler dan lainnya menargetkan anak malang itu."
"Bagaimana dengan rumor Spencer bunuh diri?" ujar Louie memberanikan diri. "Apakah itu benar?"
Sophia sedikit berpikir. "Emma apakah kau ingat bagaimana jasad Spencer ditemukan?"
"Jasadnya ditemukan tergeletak tak bernyawa di tanah, katanya patah tulang," sahut Emma.
"Spencer dikatakan bunuh diri dengan cara terjun dari lantai empat di gedung utama sekolah jadi ketika jasadnya ditemukan, seluruh tulangnya patah," ujar Sophia, "begitulah semua orang percaya dan begitu juga pernyataan sheriff Jude Dawson yang menangani kasus itu."
"Apakah sudah dilakukan penyelidikan?" kata Viole.
"Sudah dan hasilnya adalah dikatakan bunuh diri karena tak ditemukan percobaan pembunuhan," balas Sophia, "tapi banyak juga para murid membuat asumsi sendiri jika kematian Spencer bukan karena bunuh diri."
"Karena apa?" kata Louie.
"Karena dia dibunuh oleh seseorang, tapi tidak ada yang berani berteori siapa pelakunya." Sophia mengakhiri ceritanya dengan menghabiskan jus jeruknya.
"Aku tak menyangka, masa sekolah menengah pertama, tapi sudah ada bunuh diri atau pembunuhan," kata Louie.
"Kurasa zaman sekarang pun anak sekolah dasar sudah ada yang berani menyakiti teman sebayanya," balas Sophia.
Emma berujar dengan pelan. "Jika semisal Spencer dibunuh, apa mungkin jika Tyler, Lola, dan Ben adalah pelakunya?"
Kini keheningan kembali menguasai mereka setelah perkataan itu. "Kurasa bisa saja, terutama teror yang terjadi pada Tyler dan lainnya terdapat foto polaroid Spencer, maksudku, kenapa harus Spencer? Jika semisal mereka tak bersalah, maka mereka takkan peduli dengan foto itu dan melaporkan masalah ini kepada guru, tapi hingga kini mereka hanya menutupinya saja," ujar Sophia.
"Jadi kau berpikir jika kematian Spencer karena mereka bertiga? Bagaimana dengan teror pada mereka, siapa pelakunya?" sahut Viole.
"Pertanyaan yang bagus," balas Sophia, "karena sebagai penggemar film horor, aku punya asumsi dan teori!" Terlihat jika Sophia sangat bangga.
"Oh tolonglah jangan sangkut-pautkan masalah ini dengan film fiksi," balas Louie.
"Hey! Terkadang menonton film juga memberi kita kepekaan pada hal-hal janggal lho! Misalnya saja, jika kau menonton film The Conjuring---"
"Baiklah, nanti saja contohnya, langsung saja katakan teori gilamu mengenai semua ini," ujar Viole yang membuat wajah Sophia jadi cemberut.
"Bayi ini terkadang perkataannya bisa jahat ya," sahut Sophia. Andai Viole punya tenaga, ia sudah menyeret Sophia keluar apartemennya atau membuang perempuan itu ke bawah.
"Berhenti mengejek dan katakan apa teorimu, sialan," sahut Viole menatap sinis.
"Okay! Calm down baby," balas Sophia terkekeh. "Jadi menurutku jika ada seseorang yang hendak balas dendam pada kematian Spencer, jadi orang ini tahu kenyataan jika sebenarnya Spencer meninggal bukan karena bunuh diri melainkan dibunuh, akhirnya setelah persiapan selama bertahun-tahun, boom! Dia siap membunuh dan balas dendam pada mereka yang membunuh Spencer dan target mereka adalah ...."
"Tyler, Lola, dan Ben," kata Louie.
"Exactly!" balas Sophia.
"Jadi maksudmu serangkaian teror yang terjadi akhir-akhir ini, kematian Liza dan Eddie, lalu anggota tim basket terluka, dan lainnya, karena menargetkan mereka bertiga?" ujar Emma.
"Iya, bukankah semuanya saling tersambung? Kenapa Eddie dan Liza jadi korban, meskipun dikatakan jika mereka bunuh diri, tapi bisa saja ada dalang di balik layar kematian mereka. Seolah-olah, dalang utama ini hendak memperingatkan Tyler dan geng jika nyawa mereka diincar jadi dalang utama ini membunuh hal-hal berkaitan dengan Tyler dan geng," jelas Sophia seperti detektif andal, ia menganggap dirinya sebagai Sherlock Holmes.
"Sialan, jika dipikirkan dan saling dihubungkan, semuanya terasa masuk akal," balas Louie, "benar bukan? Bagaimana menurut kalian?" Louie melirik Emma dan Viole. "Bagaimana menurutmu, Viole?"
"Entahlah, kepalaku sakit, tapi kurasa masuk akal perkataan Sophia," balas Viole.
"Awww, kau percaya dan tidak menganggap teoriku bodoh, aku terharu," ujar Sophia tersenyum simpul sementara Viole membalas dengan wajah mengejek. "Sialan, sekali-kali coba apresiasi seseorang dengan baik."
"Okay, intinya kita dalam bahaya bukan?" kata Emma.
"Kenapa kau berpikiran begitu?" ujar Sophia
"Jika benar seseorang balas dendam atas kematian Spencer pada Tyler, Lola, dan Ben, artinya ada pembunuh berkeliaran di sekitar kita," jelas Emma.
"Bisa saja pembunuhnya ada di sekolah? Karena seolah-olah tahu tindak-tanduk Tyler dan geng," sambung Louie.
Mereka tak sadar jika Viole sudah perlahan terlelap karena sangat kelelahan.
"Dengan artian ...." Sophia hening sesaat. "Kita bisa jadi incaran karena termasuk dekat dengan Tyler geng, benar bukan? Kita bisa saja dibunuh nantinya!! Oh sialan, ini semakin intens dan seru seperti film Scream saja, kita harus menebak siapa pembunuhnya dan tak seorang pun bisa dipercaya!"
"Kau gila ya!! Kenapa malah senang!" teriak Louie tak paham dengan jalan pikiran Sophia.
"Oh ayolah, aku bukan senang hanya saja ini memacu adrenalin---"
"Tetap saja! Mana ada yang terpacu adrenalinnya padahal sedang diincar oleh pembunuh ...." Perkataan Louie menjadi pelan ketika melihat Emma menaruh jari telunjuk di depan bibir, memberi kode agar diam dan ia menunjuk ke arah Viole. "Oh dia tertidur ...."
Sophia melirik pula pada Viole. "Kurasa kita bisa menyambung pembicaraan ini di lain waktu dan beri dia waktu untuk tidur."
"Aku setuju," balas Emma, "ayo pulang, Viole harus beristirahat."
Louie mengangguk. "Baiklah, ayo pulang."
"Okay," sahut Sophia, "tapi sebelumnya." Perlahan-lahan dia mendekati Viole. Awalnya posisi tidur Viole adalah duduk, kini Sophia merebahkan tubuh Viole di sofa kemudian mengusap pelan puncak kepala lelaki itu. "Selamat beristirahat, pangeran tidur."
"Ayo pulang," kata Emma.
Maka mereka pun segera meninggalkan kamar apartemen Viole yang kini Viole tertidur di atas sofa tersebut. Sayangnya tidur Viole tak begitu lama karena dia sebenarnya sengaja pura-pura tidur untuk mengusir ketiga manusia tadi, ternyata rencananya berhasil.
"Sialan, mereka sangat mengganggu," kata Viole, bangkit dari posisinya dan berjalan sempoyongan menuju ponselnya yang tergeletak di atas meja belajarnya. Ia mencari kontak seseorang dan segera ia telepon.
"Ada angin apa sampai kau meneleponku lebih dulu?" kata seseorang di seberang sana.
"Berikan aku informasi mengenai Spencer Houghton," kata Viole, "rumah sakit tempatmu bekerja pasti menerima jasad anak itu dan sempat diautopsi, benar bukan?"
"Oh wow, kenapa tiba-tiba kau bertanya---lagi pula aku tak kenal Spencer...."
"Pembohong, aku sedang sakit jadi jawab saja pertanyaanku, Julis Cunningham, beri aku informasi mengenai Spencer Houghton. Dia ini termasuk salah satu ævoltaire benar bukan?"
Helaan napas terdengar dari seberang sana. "Baiklah, akan kukirimkan datanya saja padamu."
"Jangan terlalu lama," balas Viole yang tak lama kemudian dikirimkan file dokumen berisi identitas Spencer Houghton.
"Kau baca sendiri, aku tidak tahu kenapa kau tiba-tiba mempertanyakannya, tapi apa pun yang terjadi ke depannya, kuharap kau bijak dalam menggunakan kemampuanmu."
"Aku tutup teleponnya."
"Setidaknya katakan terima kasih---" Sambungan telepon mereka sudah putus dan bisa ditebak jika Julius mengumpat dari seberang sana. Kini Viole membuka file dokumen tersebut dan ternyata asumsinya benar.
Spencer Houghton, seorang ævoltaire, tetapi tidak dibawa ke perusahaan utama Æthelwulfos. Kemampuan istimewanya seharusnya adalah mengontrol para makhluk halus karena dia seorang indigo yang dapat berkomunikasi dengan makhluk halus sehingga dia bisa berinteraksi dengan mereka atau pun meminta bantuan para makhluk halus tersebut, tetapi karena ketidakmampuan dan tidak mendapatkan penanganan khusus untuk melatih kemampuannya, dia jadi tidak stabil dan kemampuannya tersebut malah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Hingga akhirnya kemampuan untuk mengontrol tersebut akhirnya mati.
Spencer menjadi salah satu ævoltaire yang sengaja tidak dibawa ke perusahaan utama karena dia hanya diteliti dari kejauhan; apakah mampu menguasai kemampuannya tanpa bantuan perusahaan atau tidak. Sayangnya, kemampuannya dinilai tak begitu berguna. Sepertinya ada anak-anak istimewa lain yang punya kemampuan sama dengan Spencer, tetapi lebih berguna. Maka dari itu, Spencer dianggap sebagai ævoltaire yang gagal. Kini Spencer Houghton sudah tiada karena kemungkinan bunuh diri.
"Ah jadi dia punya saudara," gumam Viole terkejut sedikit ketika membaca riwayat hidup Spencer. "Kakaknya bernama Freddie Houghton. Seorang ævoltaire yang kemungkinan kemampuannya adalah mahir menggunakan senjata api, tetapi kemampuan tersebut mati pada umur enam tahun dan tidak dibawa ke perusahaan utama. Hingga kini Freddie Houghton masih hidup dan telah menjalani kuliah, tetapi tidak jelas bagaimana kehidupannya sekarang."
Perlahan Viole menatap pantulan wajahnya melalui cermin. "Bukankah sudah ditebak jika pelakunya adalah Freddie Houghton. Pembalasan dendam seorang kakak atas kematian adiknya. Sungguh ironi."
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Congrats pada Emma dan Louie yang sudah terbebas dari lingkaran setannya Tyler, Lola, dan Ben!!
Waduh, Viole sakit nih~mana harus dengerin ocehan si maniak film horor^^
Tidak disangka ya ternyata Spencer adalah ævoltaire yang gagal, mana seram juga kekuatan dia bisa mengendalikan hantu, kasihan ternyata dia produk gagal, hehe, nggak kebayang kalau berhasil bakal bagaimana kekuatan dia!
Prins Llumière
Selasa, 21 November 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top