Chapter 22: Falling in Love with Cute Boy
Hari itu di sekolah Viole menjalani rutinitas harian yang biasa. Dia mengenakan kaos putih lengan pendek yang dilapisi blazer berwarna kuning dengan celana biru muda, kali ini ia mengenakan kacamata dan earpod-nya memutar lagu Olivia Rodrigo. Tidak bisa dimungkiri jika kehadirannya di sekolah tersebut semakin dikenali, banyak murid menatapnya karena tertarik dengan wajah serta kepribadiannya yang terkadang ada yang menilai jika dia imut padahal Viole akan menatap sinis siapa pun yang berpikiran seperti itu.
"Dia tak suka menarik perhatian, tetapi kenapa menggunakan pakaian yang membuat sebagian manusia di sekolah ini tertarik padanya."
"Oh ayolah, kapan lagi sekolah ini punya pemandangan yang segar dan baru. Anak itu membawa suasana yang berbeda di sekolah ini."
"Kuning jadi warna favoritku sekarang."
"Kudengar kantin menambahkan stok susu pisang, vanila, dan cokelat karena anak itu sering membelinya."
"Apakah dia punya kekasih?"
Begitulah para murid terutama kaum perempuan yang bergosip mengenai Viole ketika melihat lelaki itu berjalan di koridor. Wajahnya yang cantik sekaligus tampan itu menjadi sesuatu yang bisa membuat seseorang jatuh cinta, barangkali terobsesi. Lalu terkadang mereka memperhatikan interaksi Viole dengan teman-temannya, dia mungkin banyak diam, tetapi pernah beberapa kali dia melakukan tindakan yang membuat hati berdebar-debar. Sayangnya lelaki itu sepertinya tertarik dengan kisah percintaan.
Kelas pertama hari ini adalah matematika. Papan tulis dipenuhi dengan rumus-rumus yang memusingkan, tetapi Viole tidak terpengaruh. Dia dengan hati-hati mencatat setiap detail yang diajarkan oleh guru dan dengan cermat menyelesaikan setiap soal yang diberikan. Matematika memang selalu menjadi pelajaran yang dia kuasai dengan baik. Membuat para murid di kelasnya menatap lelaki itu dengan heran terutama Theodore dan Louie karena mereka berdua sangat membenci matematika!
"Bolehkah aku menyontek tugasmu!" kata Theodore karena dia duduk persis di belakang Viole.
"Jika jadi orang bodoh, jangan menyusahkan orang lain," balas Viole.
Louie menahan tawa membuat bahunya terlihat bergetar. Maka tanpa sepengetahuan guru, Theodore memukul kepala Louie kemudian bicara pada Viole. "Ayolah, Violetta. Aku akan mentraktirmu susu pisang, bagaimana?"
"Aku bisa beli sendiri." Viole hampir selesai dengan tugasnya.
"Lima kotak susu pisang," kata Theodore, "dan kue keju."
"Deal. Kau sudah berjanji ya." Viole lekas memberikan bukunya pada Theodore sementara Louie menatap dengan tatapan melongo.
"Sialan aku juga mau," bisik Louie, tetapi malah dibalas dengan lidah memelet oleh Theodore.
Baru hendak Theodore menyalin tugas Viole. Lelaki cantik itu berdiri dari kursinya dan dengan lantang dia berkata, "Sir, Theodore mengambil bukuku dan menyontek tugasku."
Mata Theodore membulat sementara Louie menahan tawanya ketika guru mereka yang terkenal galak perlahan berdiri dari kursinya. "Theodore Lucariah! Kembalikan buku itu dan kerjakan tugasmu tanpa menyontek! Lalu aku akan menghukummu karena memaksa teman memberikan sontekan!"
"Fuck you, Viole," ujar Theodore menahan amarahnya.
"Fuck yourself Theodore."
Kemudian kelas berlanjut ke pelajaran sejarah. Ini adalah saat-saat yang cukup mengantuk di antara mata pelajaran lain. Guru sejarah mereka, Mr. Johnson, memiliki suara yang lembut dan monoton yang hampir bisa membuat para murid tertidur. Lihat saja Louie yang beberapa kali mencubit dirinya agar tidak terlelap, sementara Theodore tidak perlu ditanyakan karena dia sudah tidur nyenyak sejak tadi bahkan sedikit mendengkur. Lalu bagaimana dengan Viole? Untuk kali ini dia merasa mengantuk juga, tetapi dia memaksakan dirinya untuk tetap terjaga dan mencatat sebanyak mungkin informasi yang diajarkan. Maka seperti itulah hari-hari berjalan saat di sekolah dan ketika kelas dimulai.
Berada di kantin, Viole dan teman-temannya mengambil meja agak pojok agar menghindari tatapan para murid. Terutama dari mereka menatap sinis dan tajam seolah-olah mencari beberapa orang yang sering jadi bahan perbincangan karena tindak perundungan yang mereka lakukan. Lalu entah mengapa akhir-akhir ini sudah tidak ada murid yang dirundung lagi oleh Tyler, Lola, dan Ben. Kemungkinan mereka mulai mengurangi perbuatan keji mereka karena takut diseret oleh petugas kepolisian di kota ini.
"Jujur aku merasa aneh dengan sikap Tyler, Lola, dan Ben akhir-akhir ini," ujar Emma seraya menyantap makanannya. "Mereka jarang pergi ke kantin, seperti menghindariku juga lalu mereka terlihat gelisah apalagi mau buka loker seperti ada rasa takut."
"Ya dia benar," timpal Louie, "waktu itu aku ada disuruh memotret anak-anak basket sebagai bahan mading sekolah. Lalu aku perhatikan Tyler dan Ben seperti lebih banyak diam dan melamun padahal mereka harus berlatih keras karena terpilih jadi perwakilan lomba basket."
"Mungkin kejadian akhir-akhir ini membuat mereka terguncang, maksudku mereka kan dituduh satu sekolah sebagai dalang kematian Liza dan Eddie." Sophia ikutan berucap lalu mencomot satu kentang Viole.
"Permisi," balas Viole, "kautak punya adab?"
"Aku hanya meminta satu," balas Sophia terkekeh pelan.
"Tapi kaubisa mengambilnya di kantin, bukan mengambil punya orang lain seenaknya," sahut Viole. Sementara yang lain mengabaikan pertengkaran mereka dan terus membicarakan mengenai tingkah aneh Tyler, Lola, dan Ben.
"Mereka bertingkah aneh cuma ada dua alasan, satu, mereka takut karena dituduh sebagai pembunuhnya. Kedua, mereka takut jika mereka terus merundung maka orang lain akan menemukan bukti jika mereka adalah pembunuhnya." Theodore berujar seraya menaruh dua potong kentang ke piring stainless Viole. "Aku tak terlalu suka kentang, kau saja yang makan."
"Oke thank's" balas Viole lanjut makan kembali.
"Theodore jangan berkata seperti tadi, sudah ditetapkan oleh pihak polisi jika kematian mereka murni karena bunuh diri," ujar Emma.
Theodore menghela napas. "Okay, aku salah. Kau selalu benar dan mendukung mereka."
"Aku bukan mendukung tindakan perundungan mereka, tapi tidak baik menuduh seseorang begitu saja."
Suasana jadi sedikit menegang, ketika yang lain diam, Viole terlihat menikmati makanannya. "Theodore jangan kaulupa jika kauharus mentraktirku susu rasa pisang." Seketika Viole memecah kecanggungan mereka.
"Kau bajingan ya," balas Theodore kesal.
Selain bertengkar kecil dengan mereka entah karena masalah serius maupun remeh-temeh. Teman-teman Viole juga dikejutkan dengan kenyataan jika kepopularitasan Viole meningkat drastis hingga ke tahap ada banyak penggemar dari kalangan murid perempuan terutama kakak kelas mereka. Bahkan ada yang mulai menyatakan rasa sukanya pada Viole.
"Seriusan kenapa mejaku penuh dengan makanan?" kata Viole menatap Theodore dan lainnya yang sama-sama bingung juga.
"Oh, si cantik ini akhirnya punya klub penggemar tersendiri, jujur aku iri padamu," ujar Sophia.
"Kinikau tak perlu beli susu pisang di kantin lagi," timpal Emma, "mereka akan datang sendirinya setiap hari."
Maka begitulah para murid yang menyukai Viole mengungkapkan perasaannya dengan diam-diam menaruh makanan atau minuman di meja lelaki itu. Perlahan-lahan, para murid itu tidak hanya menaruh hadiah di atas meja Viole melainkan memberinya secara langsung pada Viole, di hadapan banyak murid, ketika Viole melewati koridor, berada di kantin, bahkan saat pelajaran olahraga. Mereka juga ada yang memberi buket bunga, boneka, hingga surat yang ditulis dengan penuh perasaan, tak urung ada yang menyatakan perasaannya pada Viole. Lalu apakah semua hadiah itu diterima oleh Viole? Dan bagaimana dengan perasaan mereka, apakah diterima atau ditolak?
Viole yang notabenenya pertama kali menghadapi situasi ini tentu saja memerlukan teman-temannya, lebih tepatnya, mereka yang langsung turun tangan begitu saja tanpa diminta Viole sedikit pun. Jadi paling banyak berperan dalam membantu Viole melewati masa-masa ini adalah Theodore dan Sophia yang mereka seperti pakar cinta saja.
"Ambil saja hadiahnya, tapi tolak dengan halus menggunakan alasan jika kau belum tertarik dengan hubungan percintaan," kata Sophia.
"Oke." Viole mengangguk.
"Alasan klise! Kau bilang saja jika kau tidak menyukai mereka, katakan, jika mereka tak sesuai standarmu! Tapi tetap saja ambil pemberian mereka, lumayan, tadi banyak yang memberimu susu pisang dan ada jam rolex." Kini giliran Theodore berucap.
Viole menyahut, "oke."
Sophia mengecek ponsel. "Ini tentang media sosial. Aku baru tahu jika Emma yang membuat akun media sosialmu, lalu semakin banyak followers-mu, tapi intinya, jika ada yang mengirimimu pesan di instagram dan meminta agar kau mengikuti mereka balik, jangan mau, abaikan saja pesannya."
"Okay, akan kuabaikan," sahut Viole.
"Saran dariku, jika ada yang seperti itu, kaublokir saja langsung instagramnya," ujar Theodore.
"Done sudah ku blokir," balas Viole.
"Theodore, kaumengajarkan hal jahat!" sahut Sophia.
"Tidak, itu adalah cara terbaik," balas Theodore karena biasanya dia akan melakukan hal itu jika ada oknum yang mengganggunya di sosial media.
"Kalau ada yang meminta nomormu, katakan saja jika kau tak bisa memberi nomor ponselmu pada orang asing," saran Sophia.
"Baiklah."
"Semisal ada yang meminta nomormu, kasih saja, tapi jangan tulis nomormu melainkan nomor jasa sedot tinja atau perbaikan ledeng," ujar Theodore dengan penuh kelicikan.
"Baiklah, tapi aku bahkan tak punya nomor jasa sedot tinja," ujar Viole.
"Tenang, aku ada." Theodore pamer. "Aku bahkan punya nomor jasa tukang kebun, menangkap tikus dan hama di rumah, aku bahkan punya nomor orang ahli supranatural seperti Ed dan Lorraine Warren."
Seperti itulah ajaran yang diberikan oleh Theodore dan Sophia pada Viole, sementara Emma dan Louie hanya menonton saja dan sesekali geleng-geleng kepala ketika Theodore dan Sophia bertengkar satu sama lain agar Viole menuruti saran mereka. Sedangkan Viole, dia terlihat seperti anak kecil yang dengan senang hati mendengar pertengkaran keduanya dan mendengarkan ajaran mereka, ajaran sesat terutama Theodore.
"Ibu, anak, dan ayah," kata Louie.
"Ya, aku kasihan dengan Viole yang memiliki orang tua seperti mereka," balas Emma.
****
Bisakah kau datang ke lapangan sekolah sore ini? Kurasa Chelsea sangat ingin menemuimu.
Satu pesan dari Monica yang awalnya hendak Viole tolak karena dia ingin sampai lebih cepat di apartemennya dan menikmati kesendirian, terlebih ada film baru yang hendak ia selesaikan. Namun, baru hendak membalas dengan penolakan. Pesan baru dari Monica datang yang berisi: Jangan kauberani menolak, jika kautolak datang ke latihan Chelsea, niscaya aku akan menonjokmu hingga babak belur.
Maka mau tak mau, di sinilah Viole berada dengan mengedarkan pandangannya karena tak hanya ada dirinya, tetapi banyak murid lain bahkan ada juga tim ekskul bola rugby yang sedang berlatih. Manik matanya lalu jatuh di lapangan agak ujung, para tim pemandu sorak yang sudah berlatih sejak tadi, jadi Viole agak terlambat. Namun, tak masalah bukan? Karena yang terpenting dia hadir. Maka ia berjalan menyusuri lapangan. Beberapa mata perempuan melirik ke arahnya, ada yang hendak memanggil Viole agar bergabung dengan mereka, tetapi mereka urungkan ketika sadar jika Viole menuju tim pemandu sorak.
Kini Viole duduk di bangku pinggiran lapangan karena tim pemandu sorak tersebut sedang berlatih sangat serius. Latihan yang formasi mereka membentuk segitiga dengan salah satu dari mereka berada di paling puncak, lalu melakukan lompatan berputar, beberapa dari mereka hampir terjatuh, tetapi lekas ditangkap rekan mereka yang ada di bawah. Namun, si ketua pemandu sorak yang paling sempurna melakukan lompatan tanpa terjatuh. Selain memperhatikan tim pemandu sorak, Viole juga mengedarkan pandangannya dan mengamati orang lain yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ia juga membawa dua kotak susu, satu rasa pisang dan satunya rasa stroberi.
Kini matahari sore menyinari lapangan, memberikan rona keemasan yang hangat di lingkungan sekitar yang semarak, Chelsea berputar dan melompat dengan sikap atletis yang anggun. Gerakannya dipenuhi rasa percaya diri dan ketepatan, tubuhnya merupakan simfoni kekuatan dan ketangkasan. Sorakan dan tepuk tangan rekan satu timnya bergema di telinganya.
Hingga di tengah sorak-sorai dan rutinitas yang sinkron, perhatian Chelsea melayang sejenak saat pandangannya tertuju pada Viole. Duduk di bangku penonton, rambut hitamnya, ditata dengan sempurna, ekspresi polos membingkai wajahnya yang tampan sekaligus cantik, perpaduan paling sempurna seolah-olah wajahnya itu diukir oleh para dewa Olympus. Dia punya cara untuk memikat Chelsea, bahkan ketika dia hanya diam di sana, tenggelam dalam pandangannya yang memperhatikan sekitar lapangan, mengamati aktivitas orang lain seraya menyeruput susu pisangnya.
"Chelsea, fokus!" kata teman setimnya.
Irama Chelsea tersendat sejenak, sebuah tanda bahwa pikirannya telah melayang dari latihan pemandu sorak. Saat sorakan diputar di latar belakang, mata Chelsea tertuju pada Viole, detak jantungnya semakin cepat. Senyuman tersungging di sudut bibirnya, membuatnya mustahil untuk mengabaikan tarikan magnetis yang ada pada diri lelaki polos itu. Dengan gerakan cepat, Chelsea permisi dari formasi, melesat menuju Viole dengan langkah lincah, rok pemandu soraknya bergoyang di setiap langkah. Tawanya yang riang memenuhi udara saat dia mencapainya, matanya berbinar karena kegembiraan.
"Kau benar-benar pembuat onar, kau tahu itu?" godanya, suaranya dipenuhi nada main-main. "Siapa yang menyuruhmu kemari dan mengalihkan perhatianku selama latihan?"
Wajah polos Viole tersenyum hangat. "Monica mengirimiku pesan jika kau ingin aku menonton latihanmu, jadi mau tak mau aku datang karena Monica mengancam akan meninjuku kalau aku tak datang."
Chelsea tersenyum simpul meskipun dalam hatinya sangat kesal karena Monica mengancam anak ini! Chelsea sempat berpikir jika Viole datang atas kehendaknya sendiri, ternyata tidak, pupus sudah harapan Chelsea. "Aku tak memintamu kemari, itu hanya keisengan Monica."
"Ah jadi begitu, dia mengerjaiku," balas Viole.
"Iya, maaf, dia suka terlewat kalau bercanda," balas Chelsea sesaat bingung. Jantungnya berdebar kencang dengan kegembiraan karena kehadiran lelaki itu. Ia merasakan kebahagiaan yang melebihi bahagia ketika ayahnya meluangkan waktu untuknya. "Bagaimana latihanku? Maksudku penampilanku saat aku melompat?"
"Menakutkan," balas Viole, "apakah kau tak takut saat dilempar ke atas lalu melakukan putaran?"
Sebenarnya bukan ini respons yang ia harapkan, ia ingin pujian dari Viole seperti mengatakan jika Chelsea cantik dengan seragam pemandu soraknya atau pujian lainnya mengenai wajah dan proporsi tubuhnya yang seksi. Namun, di hadapannya adalah Viole, lelaki unik yang seolah-olah habis keluar dari tempat antah berantah kemudian menghadapi kehidupan dengan kepolosan dan terkadang menyebalkan juga.
"Tidak, aku tidak takut. Sebenarnya pernah beberapa kali jatuh, tenang saja ada matrasnya, meskipun begitu tetap saja sakit, tapi aku sudah terbiasa," balas Chelsea.
Viole mengangguk seraya menyeruput minumannya. "Apakah kau berdebar-debar saat dilempar ke atas, rasanya bahagia?"
Chelsea tersenyum tipis, semburat merah hadir di kedua pipinya. "Tentu saja, mustahil aku tak gugup dan tak berdebar-debar, tapi ketika berhasil melakukan lompatan dan putaran dengan sempurna lalu banyak yang bertepuk tangan, rasanya sangat membahagiakan."
Kini para murid memperhatikan dari kejauhan, beberapa penonton yang niatnya melihat latihan rugby kini teralihkan menatap pemandangan yang membuat cemburu terutama karena Viole sepertinya menarik perhatian ketua tim pemandu sorak. Di sisi lain, anggota tim pemandu sorak saling senggol siku dan berpikir jika ketua mereka jatuh cinta pada pria yang lebih muda padahal dulu Chelsea mengatakan jika ingin pria lebih tua karena lebih menarik, maskulin, dan bertanggung jawab, sayangnya semua pria yang pernah Chelsea temui adalah pria berengsek yang hobi berselingkuh. Hingga akhirnya Chelsea bertemu Viole.
Perlahan Viole berdiri dan memberikan susu kotak rasa stroberi. "Untukmu karena kurasa kamu lelah, aku juga tak terlalu suka rasa stroberi."
Chelsea hendak menggila, degup jantungnya semakin cepat seolah-olah hendak meledak, wajahnya memerah padam ketika mengambil susu tersebut. "Terima kasih banyak."
Terkadang hal sederhana sudah membuatnya bahagia. Sesederhana pemberian lelaki itu.
"Sama-sama," balas Viole, "aku pergi ya, nanti keburu sore."
"Okay, hati-hati." Chelsea melambaikan tangannya pada Viole yang melangkah pergi dan ternyata lelaki itu membalas lambaian tangannya.
"Dadah!" teriak Viole yang perlahan punggungnya menghilang dari pandangan Chelsea.
Sepeninggalan Viole, tak lama kemudian Monica tiba dengan peluh keringat. Dia harus joging dulu di sekitar sekolah karena pagi tadi dia tak ada joging. "Bagaimana kabarmu?"
"Sial, kau memanggil anak itu kemari?" sahut Chelsea seraya menggenggam susu kotak stroberi.
"Tentu saja karena kau sudah lama tidak mengobrol dengannya." Monica menatap pada sesuatu yang Chelsea genggam. "Apakah anak itu yang memberimu?"
"Iya," balas Chelsea, tapi pikirannya entah berada di mana.
"Woah betapa imutnya dia memberi susu kotak," ujar Monica sedikit tak menyangka jika seorang Chelsea mau menerima pemberian kecil seperti itu karena mantan Chelsea dulu lebih sering memberinya barang-barang brand mahal. "Malam ini mau ke mal? Aku mau menonton film baru tayang di bioskop. Chelsea, kenapa kaumelamun?"
"Monica," kata Chelsea pelan.
"Ya?"
"Sepertinya aku jatuh cinta pada anak itu."
"Oh shit, here we go again," balas Monica seraya terkekeh.
****
Hari-hari itu di sekolah dipenuhi dengan sibuknya persiapan untuk perlombaan besar yang akan segera diadakan, tepatnya pekan depan. Semua murid dan guru bekerja keras untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Akan ada perlombaan basket, renang, rugby, dan berbagai cabang olahraga lainnya yang akan diadakan dan semua tim berlatih dengan keras.
Tyler dan Ben adalah dua pemain terbaik dalam tim basket sekolah mereka dan harapan banyak orang bergantung pada kinerja mereka dalam lomba. Setiap hari setelah jam pelajaran, mereka bersama anggota lainnya berlatih dengan keras, mencoba mempertajam keterampilan mereka. Namun, ada sesuatu yang mengganggu Tyler dan Ben. Beberapa hari terakhir, mereka mulai menerima foto-foto polaroid yang misterius di dalam loker mereka. Foto-foto itu menggambarkan mereka berdua sedang berlatih di lapangan basket, tetapi yang membuatnya aneh adalah bahwa tidak ada yang tahu siapa yang mengambil foto-foto itu. Paling parahnya adalah foto seorang lelaki culun dan cupu yang kini hadir lagi di hidup mereka padahal sudah lama mereka lupakan.
"Aku ingin membakar semua foto ini," ujar Ben sedikit frustrasi. "Mengapa harus dia dari sekian banyaknya manusia di sekolah kita dulu?"
Tyler menyahut seraya menutup lokernya. "Sial, mari abaikan dulu masalah ini dan jangan sampai ada yang tahu terutama Emma, Louie, dan Viole."
Mereka merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Mereka tidak tahu apa maksud dari orang yang mengirim foto-foto itu. Apakah itu hanya lelucon atau ada sesuatu yang lebih serius di baliknya? Mereka memutuskan untuk tidak memberitahu siapa pun tentang hal ini, takut akan mengganggu fokus mereka dalam lomba.
Suatu hari, ketika mereka sedang berlatih tiga poin, Ben menemukan sebuah Polaroid di dalam tasnya. Dia segera menunjukkannya kepada Tyler, dan keduanya saling memandang dengan kebingungan. Foto itu menggambarkan mereka berdua berlatih basket dengan detail yang sangat dekat, seolah-olah seseorang berada di dekat mereka saat itu.
"Keparat, ini mulai mengganggu," kata Ben dengan nada kesal.
Tyler berucap, "aku benar-benar tidak suka ini. Namun, kita harus tetap fokus pada lomba. Kita akan menyelesaikan masalah ini setelah semuanya berakhir."
Sementara itu Lola adalah perwakilan lomba renang. Dia adalah perenang yang sangat berbakat dan diharapkan bisa membawa pulang piala untuk sekolah mereka. Setiap hari, dia berlatih di kolam renang dengan tekun, mencoba meningkatkan kemampuannya. Namun, hari demi hari, dia mulai merasa terganggu oleh sesuatu yang aneh. Ketika dia membuka tas renangnya, di dalamnya dia menemukan beberapa foto polaroid yang aneh. Foto-foto itu menggambarkan dirinya sedang berenang di kolam, selain itu, juga ada foto lelaki yang sangat ia benci dulu, lelaki yang sudah mati, tapi malah meneror kehidupannya.
"Jika sudah mati, jangan ganggu aku lagi." Meskipun dia berkata seperti itu, tapi jauh dalam lubuk hatinya, ia sangat takut dan terkadang bermimpi buruk pada malam harinya.
Hingga pada suatu hari, setelah latihan selesai, Tyler, Lola, dan Ben memutuskan untuk berkumpul di salah satu sudut lapangan basket untuk membicarakan hal yang telah mengganggu pikiran mereka selama beberapa waktu.
"Dia sudah mati, lalu siapa pelaku yang mengirimkan foto-foto sialan ini!" Suara Lola seolah-olah menggelegar ke seluruh gedung basket.
"Kurasa yang mengirimkan foto ini adalah manusia bertopeng," kata Ben yang sudah sejak lama menceritakan tentang dirinya diteror sosok bertopeng misterius yang ternyata Tyler juga mengalami hal yang sama.
"Apa dia Bloodied Tortuner?" kata Lola kini ketakutan merasukinya.
"Bukan dia," balas Tyler, "aku yakin pasti ada orang lain di balik semua ini. Seseorang yang tahu akan masa lalu kita ketika sekolah menengah pertama dan merundung si anak culun. Dan kurasa orang ini hendak menggunakan masa lalu kita untuk menghancurkan kita baik secara fisik dan mental."
Lola dan Ben terdiam, lalu Ben berujar, "itu artinya orang ini yang menjadi sosok bertopeng bukan? Apa mungkin dia juga yang meneror Charlie dan Thomas?"
"Aku juga berpikir seperti itu," sahut Tyler dengan nada gemetar. "Mungkin saja, sosok bertopeng itu jugalah yang membunuh Liza dan Eddie, tapi membuatnya seolah-olah bunuh diri."
Lola mulai menangis dan tubuhnya gemetar ketakutan. "Tidak, mustahil, aku tak mau. Tyler, Ben, aku tak mau mati!" Kini ia lekas mendekap erat tubuh Tyler. "Aku takut."
"Sialan, aku juga takut," ujar Ben merasa jika air matanya akan turun. "Haruskah kita melaporkan hal ini pada guru atau pihak berwajib? Mungkin deputy Francis."
"Ya, aku setuju, mereka pasti bisa melindungi---"
"Tidak!" tegas Tyler, "jika kita melaporkan lalu mereka tahu jika kita dulu membunuh Spencer. Maka hidup kita juga akan hancur, kita bisa dikeluarkan dari sekolah karena dianggap mantan pembunuh. Jangan lakukan. Kita harus menyelesaikan semua ini sendirian."
"Bagaimana caranya?" teriak Lola.
"Aku tidak tahu!" balas Tyler. "Namun, intinya kita lebih baik fokus pada perlombaan kita dan setelah perlombaan, baru kita memikirkan cara untuk menangkap dalang yang meneror kita. Lalu aku bersumpah saat kuketahui siapa dalangnya, maka kubuat hidupnya akan menderita!"
****
Sore itu, Emma bersiap-siap untuk pergi ke rumah Lola. Mereka memiliki tugas kelompok sejarah yang harus mereka kerjakan bersama. Emma sudah menunggu di luar rumah Lola, mengingat perjanjian yang telah mereka buat. Sebenarnya Emma dilarang oleh ibunya untuk berteman dengan Lola, tetapi dia meyakinkan pada ibunya jika dia hanya mengerjakan tugas dan pulang sebelum pukul delapan malam. Maka Jocelyn pun mengizinkan dan akan menjemput Emma sebelum pukul delapan.
Setelah beberapa menit, pintu rumah Lola terbuka dan teman baiknya itu muncul dengan senyum cerah di wajahnya. "Hai, Emma! Maaf aku membuatmu menunggu."
Emma tersenyum sebagai balasan. "Tidak apa, Lola."
Mereka berdua masuk ke dalam rumah Lola, berada di kamar dan mulai mengerjakan tugas kelompok sejarah mereka. Mereka merujuk buku-buku, mencatat informasi penting, dan berdiskusi tentang bagaimana menyusun presentasi mereka. Mereka merasa bersyukur bisa bersama untuk mengerjakan tugas ini dengan mudah.
Waktu berlalu dengan cepat dan sebelum mereka menyadari, matahari sudah mulai tenggelam di cakrawala. Mereka merasa puas dengan kemajuan tugas mereka dan Lola menawarkan Emma untuk makan malam bersama sebelum dia pulang.
"Terima kasih, Lola, tapi aku harus pulang sebelum jam delapan malam, ibuku juga akan menjemputku," kata Emma dengan lembut.
Lola mengangguk mengerti. "Okay. Aku tidak ingin membuatmu pulang terlambat."
Saat Emma bersiap-siap untuk pergi, pintu rumah Lola terbuka lagi dan suara tertawa dari luar terdengar. Datanglah beberapa teman kakaknya Lola. Mereka sepertinya baru pulang dari perjalanan.
Bobby tersenyum kepada adiknya serta Emma. "Halo adikku yang manis, oh ada Emma sedang apa kalian?" Lola menjelaskan bahwa Emma hanya datang untuk mengerjakan tugas kelompok.
"Lola, ibuku sebentar lagi tiba, aku pergi ya, bye!" teriak Emma dan dibalas lambaian tangan oleh Lola.
Kini Emma memasang sepatunya, saat hendak menelepon ibunya karena sepertinya ibunya agar tersesat. Langkah Emma berhenti di depan sebuah motor harley. Degup jantungnya berdetak sangat cepat, napasnya tercekat, dan kini ingatannya dibawa saat dia mengalami kecelakaan yang menyebabkannya kakinya terluka hingga ia gagal menjadi perwakilan lomba renang. Motor harley itu adalah motor yang sama yang menabraknya, bahkan plat nomornya pun sama karena Emma sangat mengingat plat nomor tersebut.
"Jadi Lola tahu, apa Lola yang merencanakan tabrakan itu agar aku tidak menjadi perwakilan lomba."
Maka dunianya runtuh, tangisnya pecah, dan kini ia menyadari jika Lola telah menusuknya dari belakang. Namun, mengapa dia melakukan hal itu? Bukankah mereka adalah sahabat? Bukankah mereka saling mendukung dan menyayangi bahkan Emma sangat bangga ketika Lola juga terpilih menjadi perwakilan lomba. Kenapa, kenapa sahabatnya melakukan hal menyakitkan itu?
Kini ketika berada di dalam mobil, Emma menahan tangisnya agar sang ibu tak menyadarinya. Setelah sampai rumah, Emma berlari ke dalam kamarnya, menutup pintu dan ia kunci, bahkan ia tak dengar ketika ibunya berkata agar Emma makan malam. Perlahan Emma meringkuk di atas kasur. Ia tak menyangka jika Lola mengkhianatinya bahkan tega menyakiti diri Ema agar Emma tidak menjadi bagian dari perwakilan lomba renang.
"Kenapa Lola." Emma terisak, "kenapa kau melakukan hal ini padaku. Aku menganggapmu sebagai sahabatku, mengapa ...."
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Viole nih tingkahnya kadang nggak bisa kebaca, meskipun kelihatan dingin dan bodo amatan ternyata dia cukup perhatian dan juga ada polos-polosnya^^
Uhuk, Chelsea kalau suka sama Viole, mohon langsung diungkapkan karena Viole pasti takkan peka, takutnya juga lebih dulu diambil perempuan lain, hehe~
Kepada Emma, sepertinya paling dilanda kes
Prins Llumière
Minggu, 19 November 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top