Chapter 21: The Terror!
Sial adalah satu kata yang diperuntukan bagi Ben karena hanya dia yang beri hukuman menyusun banyak buku matematika di perpustakaan karena dia tidak mengerjakan tugas sekolahnya. Kini sinar matahari sore merembes melalui jendela perpustakaan, menimbulkan bayangan panjang di seluruh ruangan, Ben merasakan getaran merayapi tulang punggungnya. Dia dengan enggan menjalani hukumannya, mengatur buku matematika di rak tanpa pengawasan siapa pun, bahkan kini di perpustakaan seolah hanya ada dirinya seorang di sana.
Setelah Ben menyelesaikan tugasnya dan mendekati meja yang ada di tengah perpustakaan untuk mengambil barang-barangnya, dia melihat sesuatu yang tidak biasa. Sebuah kotak kecil yang mencolok terletak di samping tasnya, menarik perhatiannya, maka ia melihat lebih dekat, hatinya tenggelam saat mendapati kotak tersebut berisi koleksi foto polaroid, masing-masing menangkap pemandangan yang meresahkan.
Salah satu foto menggambarkan sosok bertopeng yang bersembunyi di balik bayang-bayang, mata yang menatap tajam melalui jendela kecil penumbra. Yang lain memperlihatkan foto tangan berlumuran darah. Detik selanjutnya napas Ben tercekat saat melihat di salah satu foto polaroid tersebut ada sosok lelaki yang sangat ia kenal serta berasal dari masa lalunya.
"Kenapa foto anak yang sudah mati ini, ada di sini!" Tangannya yang gemetar menggenggam bukti adanya sesuatu yang menyeramkan. Hingga matanya membelalak ngeri saat melihat cairan lengket, tekstur dan warnanya mirip darah, tampak merembes dari sudut foto. Bahkan cairan lengket tersebut ada banyak di dalam kotak. "SIAL INI SANGAT MENJIJIKKAN!" Ia pun melepaskan foto tersebut dan berusaha membersihkan tangannya dari cairan lengket itu.
Gelombang ketakutan yang tak terkendali semakin melanda dirinya ketika dia menemukan banyak polaroid di dalam kotak tersebut yang menampilkan seseorang yang dia kenali, semuanya berisi wajah si lelaki culun yang sudah mati bertahun-tahun lalu. Jantungnya berputar, berdebar kencang di telinganya saat pikirannya berpacu. Siapa yang melakukan semua ini? Kenapa harus foto orang yang sudah meninggal itu?!
"Hey, keluar kalian!! Jangan bercanda padaku jika kalian tidak mau hancur di tanganku!"
Paranoia menguasainya saat dia dengan hati-hati mengintip ke dalam perpustakaan, bertanya-tanya apakah ada seseorang yang sedang mempermainkannya. Namun, tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini terkecuali dirinya.
"Bajingan!" Lekas ia menutup kotak tersebut, ia masukkan ke dalam tasnya agar ia serahkan entah pada siapa, barangkali Tyler dan Lola harus tahu jika ada yang mempermainkannya menggunakan foto si anak yang sudah mati. "Aku harus menelepon Tyler."
Ketika ponsel Ben berdering, menunggu Tyler menjawab panggilannya, tetapi tak kunjung Tyler menjawab Ben. Hingga dari manik matanya, ia menangkap sosok misterius muncul di antara lorong rak buku. Sosok manusia mengenakan jubah hitam compang-camping, wajahnya tersembunyi di balik topeng putih pucat mirip kulit yang dikeringkan sehingga sedikit berkerut, manik mata hitam, mulut yang tersenyum lebar seolah-olah hendak merobek mulut tersebut, lalu rambut hitamnya yang panjang dan kusut. Tongkat baseball yang dia pegang, dihiasi dengan tonjolan besi yang tajam, mengeluarkan suara logam yang mengerikan saat menyentuh rak. Paku-paku yang seperti pisau berkilau dengan sinar jahat, memantulkan cahaya redup dalam tarian yang mengerikan.
Jantung Ben berdebar kencang di dadanya, mengancam akan menembus tulang rusuknya, napasnya menjadi pendek dan matanya membelalak ketakutan. Ketakutan mencengkeramnya dengan tangan besi, membuatnya lumpuh, tidak mampu lepas dari kehadiran jahat yang membayang di hadapannya.
"Kau! Jangan main-main padaku!" teriaknya memberanikan diri. "Kau pasti salah satu anak bodoh yang hendak menakut-nakutikukan!"
Tidak ada jawaban, sosok bertopeng itu malah melangkah maju, gerakannya lambat dan disengaja, suara langkah kakinya bergema di perpustakaan yang sunyi. Dia memiringkan kepalanya sedikit, wajahnya yang bertopeng tanpa emosi, memancarkan aura yang sangat mengerikan. Lebih mengerikan dibandingkan adegan dalam film horor.
"Ada apa, Ben kecil? Takut padaku." Suara sosok bertopeng tersebut terdengar, teredam oleh topeng, serta suaranya disembunyikan menggunakan voice changers. "Kamu pikir kamu bisa lolos dari konsekuensinya? Bahwa kamu hanyalah seorang pembunuh."
Lumpuh karena rasa takut, Ben berjuang untuk menemukan suaranya, tubuhnya gemetar tak terkendali. Setiap naluri berteriak padanya untuk lari, tapi dia mendapati dirinya terpaku di tempat, terkurung oleh kehadiran dingin dan menyeramakan di hadapannya. "Aku, aku bukan pembunuh! Kau yang pembunuh!"
"Kau terlihat takut Ben!!" Kini dia mengacungkan tongkat pemukulnya, memutarnya dengan keanggunan yang mengganggu yang hanya meningkatkan teror di dalam hati Ben. Setiap ujung besi yang tajam membisikkan janji akan rasa sakit dan penderitaan, sebuah simfoni mengerikan yang sepertinya meramalkan kehancurannya. "Kau sudah membunuh seseorang di masa lalu! Kini aku datang untuk mengambil nyawamu!"
Pikiran Ben berpacu dengan panik mencari jalan keluar, tapi setiap jalan sepertinya terhalang, beban dominasi si pembunuh bertopeng mencekik hingga tak bisa berpikir jernih. Ben harus bergulat dengan kenyataan yang kejam—dia berada di bawah kekuasaannya, terjebak dalam permainan kucing dan tikus yang menyeramkan. Ketika ia tersudutkan dan di hadapannya adalah si pembunuh. Ben merasa jika celananya basah, tubuhnya gemetar hebat, hingga pandangannya buram, ia ambruk di lantai akibat rasa takut yang mencekiknya begitu kuat. Ketika penjaga perpustakaan datang. Betapa dia terkejut dan marah menatap Ben tergeletak tak sadarkan diri dengan bau amis di sekitar celananya. "Bocah nakal, bisa-bisanya kau ngompol di perpustakaan!"
****
Senja menyelimuti langit dengan warna-warna yang memikat, menciptakan lanskap yang memukau di kota kecil itu. Cahaya merah-jingga matahari terbenam memantul di atas jendela-jendela rumah, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak perlahan. Emma melihat cakrawala berubah dari terang ke gelap sambil berjalan pulang menuju rumahnya. Waktu hampir mencapai pukul tujuh malam ketika Emma akhirnya sampai di depan pintu rumahnya. Dia tahu dia sudah terlambat pulang, tetapi ada banyak hal yang dia pikirkan akhir-akhir ini, sejak kematian Liza disusul kematian Eddie yang tak lama dari itu membuat mental Emma sedikit terguncang. Setiap mengingat mereka, kesedihan menyeruak ke dadanya.
Ia tahu jika Tyler, Lola, dan Ben bukanlah pelaku dari semua kematian itu, setidaknya itulah yang ia percayai. Namun, setelah mendapatkan ceramah dari ayahnya beberapa hari lalu serta ia mengamati sikap ketiga sahabatnya, membuat Emma bertanya-tanya apakah ia harus mempertahankan persahabat tersebut? Namun, dia dengan yang lainnya sudah lama berteman, ia takut untuk melepaskan mereka.
Kini dia menatap seberang jalan dengan tatapan kosong. "Kurasa di antara kami, hanya Viole yang tidak terlihat seperti punya beban. Dia seharian hanya sibuk dengan susu rasa pisangnya. Apakah aku harus bercerita padanya atau Louie?"
Sesaat ia baru sadar jika ia punya teman yang sangat dekat dan baik padanya selain Tyler, Lola, dan Ben. Sebenarnya Emma hanya takut jika tak bisa memiliki teman, ia takut terasingkan karena ia tak punya banyak kelebihan selain bisa berenang dan mudah akrab dengan orang lain. Namun, dulu beberapa orang memandang Emma hanya cari muka saja dengan sikapnya yang mudah bergaul tersebut. Membuatnya jarang punya sahabat dekat, hingga akhirnya ia bertemu Lola, Tyler, dan Ben yang baginya mereka sangat tulus, hanya sifat semena-mena mereka saja yang menjadi masalah.
"Aku pulang." Ketika dia membuka pintu dan masuk ke dalam rumah, dia merasa udara dingin menyambutnya. Ia melihat ibunya, duduk di sofa dengan ekspresi khawatir di wajahnya. Emma tahu bahwa ibunya sangat peduli tentang keamanannya, terutama dengan kasus pembunuhan yang baru-baru ini sering terjadi di kota mereka. "Ibu."
"Kau ke mana saja? Pergi dengan teman-teman nakalmu itu?" sahut Jocelyn yang kini kekkhawatiran berubah menjadi amarah.
"I-ibu aku tidak---"
"Cukup! Sudah ibu berikan peringatan padamu Emma agar tidak sering berteman dengan mereka!! Apakah kau lupa? Kini saja kau melanggar aturan, ibu memintamu pulang tidak lebih dari jam lima, tapi kau malah berkeliaran di luar sana!" Emma tak mengerti mengapa ibunya bisa semarah itu, tetapi hal ini menyakiti diri Emma.
Kemarahan Emma mendidih dalam dirinya saat ibunya memarahinya sekali lagi. Rasa frustrasinya menumpuk, menggerogoti isi hatinya hingga dia tidak bisa menahannya lagi. "Kenapa Ibu selalu seperti ini, Bu?! Aku bukan anak kecil lagi!" Suaranya penuh dengan tantangan dan kebencian. Matanya menyipit saat dia menatap ibunya, menolak untuk mundur.
Raut wajah Jocelyn menegang, campuran antara kekecewaan dan kekhawatiran menyebar di wajahnya. "Emma, aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Teman-temanmu ini, mereka pembuat onar, para perundung. Tidakkah kau paham jika mereka menyakiti murid lain hingga ada yang bunuh diri! Mereka memberi pengaruh buruk padamu."
Suara Emma menurun sesaat, rasa frustrasinya berubah menjadi sedikit rasa sakit hati. "Mereka bukan orang yang sejahat itu, Bu. Mereka---"
"Mereka perundung, Emma!!" teriak Jocelyn, "selama ini Ibu diam karena Ibu tak mau mengekangmu, tapi kau seperti anak bodoh yang tak bisa membedakan mana yang candaan dan mana yang merusak kehidupan orang lain!! Oh atau jangan-jangan kau juga merundung para murid seperti mereka ...."
"Ibu aku bukan orang seperti itu!! Aku bukan perundung!" teriak Emma yang kini tangisnya pecah dan hatinya hancur. Pikirannya berputar-putar di masa lalunya.
"Kalau begitu, turuti perkataan Ibu untuk menjauh dari mereka! Aku melakukan semua ini untuk melindungimu!! Dasar kau anak tak tahu diri, kau mirip ayahmu yang tidak bisa memahami orang lain dan selalu egois, karenanya Ibu lelah dengan ayahmu itu!
Api kemarahan berkobar di mata Emma saat dia melangkah maju, bahasa tubuhnya menegaskan kemandiriannya. "Melindungiku, kau melindungiku?! Kau tidak pernah bisa melindungiku!! Di mana Ibu dan ayah saat aku ditangkap oleh mereka? Saat aku diseret dan menangis sepanjang waktu di tempat mengerikan itu?! KAU TAK PERNAH ADA BU! KAU TAK PERNAH MELINDUNGIKU, BU!"
Maka tanpa mendengar jawaban sang ibu atau melihat tatapan kebingungan ibunya. Emma melenggang pergi secepat mungkin ke kamarnya, ia membanting pintu kamarnya kuat-kuat.
"Emma, Emma apa maksudmu?! Emma!!" teriak Jocelyn menuju kamar putrinya, mengetuknya. "Emma buka pintunya!" Namun, hingga beberapa menit berlalu pintu tersebut tak kunjung terbuka, membuat Jocelyn akhirnya membiarkan Emma menenangkan dirinya di dalam kamar.
Kini Emma merangkang ke atas kasurnya, menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya, kakinya menekuk dan ia terisak hingga air mata tak berhenti turun. Kini kepalanya sangat sakit, semua masa lalu seram yang hendak ia lupakan, perlahan-lahan merangkak, naik ke permukaan. Membuat luka yang ia tutup rapat-rapat kini terbuka kembali bahkan sangat menyesakkan.
"Aku benci mereka, kenapa harus aku yang diambil mereka, kenapa bukan anak lain saja."
Kenangan menyakitkan itu menyelubungi dirinya. Hari di mana, Emma kecil yang berusia empat tahun dikunjungi oleh beberapa orang berpakaian putih, mirip jas laboratorium. Mereka menyeret Emma menuju mobil van putih. Emma ingat sekali pada saat itu dia terisak, menangis, dan memohon agar tidak dipisahkan dari orang tuanya. Namun, percuma bahkan ayah-ibunya terlihat tak peduli dan merelakannya pergi. Memasuki van putih yang berjalan entah pergi ke mana hingga mereka tiba di sebuah gedung yang menampilkan lebih banyak orang berjas putih.
Andai tempat itu adalah wahana permainan atau Disneyland, barangkali ia akan bahagia. Namun, ketika tubuhnya mengejang karena tersengat aliran listrik bertegangan tinggi. Emma ambruk. Tubuhnya dibawa ke sebuah laboratorium. Ia diletakkan di lantai ubin putih bersih tak bernoda. Ketika ia bangun, Emma hanya mendapati dirinya sendirian di ruangan tersebut. Ia memohon dan berteriak kembali agar dikeluarkan, seperti orang gila yang menginginkan kebebasan dari balik rumah sakit jiwa. Hanya saja tak seorang pun mau menolongnya, malahan para manusia berjas putih hanya memantau dirinya dari balik jendela satu arah.
Hari esok dan esoknya lagi adalah neraka baginya. Jarum suntik, makanan dingin dan tak memiliki rasa asin maupun manis, ia juga harus melewati serangkaian ujian dan percobaan yang membuat tubuhnya mati rasa dan setiap malam ia akan bermimpi buruk. Ia juga dirundung oleh anak-anak lain yang lebih berkemampuan dibandingkan dirinya. Saat itu, Emma merasa sendiri dan iri, ia dengki melihat yang lain diperlakukan istimewa; mendapatkan makanan lezat dan pakaian bagus serta prosedur yang dijalani tak menyakitkan seperti dirinya.
"Aku harus bisa, kemampuanku harus tumbuh agar aku bisa diistimewakan juga!" Setidaknya ia memiliki tekad agar bisa mendapatkan hak istimewa tersebut, tetapi berapa kali pun ia mencoba. Ia selalu gagal, gagal, dan gagal. Tubuhnya sakit, hancur, remuk, redam, tetapi tak sedikit pun menarik simpati para manusia berjas putih itu. Selalu begitu hingga tiga tahun berlalu dan Emma tak kunjung mendapat keistimewaan yang ia dambakan.
Hingga suatu hari dia mendengar kalimat yang berkata: "Mari buang atau kembalikan saja dia karena dia mati dan tidak punya kemampuan sebagai ævoltaire. Dia tak berguna sama sekali."
Hari itu, dunianya runtuh, seruntuh-runtuhnya. Jika ia dibuang, lalu untuk apa empat tahun yang ia jalani dan penuh siksaan? Apakah mereka melupakan Emma begitu saja padahal hampir setiap malam gadis itu menangis menahan rasa sakit di tubuhnya. Namun, siapa dia bisa melawan orang-orang itu. Maka pada umurnya yang kedelapan tahun. Emma pun dibebaskan dan dipulangkan ke rumah orang tuanya.
"Setidaknya aku bisa pulang dan bertemu ayah dan ibu setelah empat tahun berpisah. Aku akan pulang dan menjalani kehidupan baruku, aku akan bercerita dan menangis dipelukan mereka jika aku menjalani hari-hari yang menyakitkan."
Sayangnya, semua harapan itu pupus.
Saat Emma pulang. Ayah dan ibunya terlihat menjalani kehidupan normal, tanpa ada kesedihan dan rasa sakit. Ketika langkah kecil Emma memasuki pekarangan rumah. Ayah dan ibunya menyambut seraya berkata, "Bagaimana sekolahnya tadi, menyenangkan?"
Mereka melupakan apa yang terjadi di masa lalu, semua ingatan mereka dirusak dan diganti dengan ingatan baru. Mereka tak pernah ingat, hari ketika Emma diseret oleh orang-orang berjas putih, mereka takkan ingat dan takkan tahu bagaimana penderitaan putri mereka selama menjadi kelinci percobaan. Mereka melupakannya bahkan jika Emma berteriak dan menangis bahwa ia pernah jadi kelinci percobaan, mereka takkan mengingat apa pun.
"Lalu jika ingatan mereka dihapus, mengapa ingatanku tidak?! Mengapa aku dibawa pulang dengan semua ingatan menyakitkan itu! Mengapa tidak hapus saja ingatanku karena aku selalu sakit, takut, dan hancur ketika mengingat semua kenangan buruk itu!"
Maka begitulah Emma terus menjalani kehidupannya dengan menyimpan ingatan paling menyakitkan jika ia pernah menjadi bagian dari serangkaian percobaan yang sangat menyakitkan. Tidak urung dia bermimpi buruk, tetapi ia tak pernah menceritakan hal itu pada ayah dan ibunya. Ia harus melawannya sendiri meskipun ketika berada di situasi tertentu, ia akan merasa sangat hancur dan runtuh. Hal ini diperparah ketika cinta antara ayah dan ibunya yang kian memudar seolah-olah penghapusan ingatan di masa lalu juga berdampak pada cinta mereka. Emma yakin jika suatu hari nanti, cinta itu akan mencapai waktunya untuk berpisah. Maka ia tak akan melarangnya, kini pun ia harus rela jika ayah dan ibunya punya kekasih lagi.
"Mereka tak pernah melindungiku, mereka tak pernah menjadi pahlawan untukku." Kini perlahan tubuh Emma melorot hingga ia terbaring di kasurnya yang membawa rasa dingin dan menyakitkan.
Bagi Emma, mustahil dia tak mempercayai para ævoltaire dan perusahaan yang meneliti mereka karena Emma adalah bagian dari serangkaian percobaan itu. Dia adalah bagian dari anak-anak ævoltaire yang gagal dan berakhir mati atau dikembalikan ke tempatnya. Ya, dia hanyalah bagian dari anak-anak yang dikorbankan untuk menciptakan ævoltaire paling sempurna.
****
Suasana sekolah itu terlihat lebih tenang dan tentu saja sepi karena para murid belum banyak yang datang, masih membutuhkan waktu sekitar 45 menit sebelum pembelajaran dimulai. Terdengar suara langkah-langkah ringan menyusuri koridor, siapa pun yang melihat lelaki itu pasti akan terpesona, ya siapa lagi kalau bukan Violetta Beauvoir. Dia mengenakan pakaian yang terlihat rapi, kaos lengan panjang berwarna putih yang dipadukan dengan vest hijau memberikan sentuhan mempesona pada penampilannya. Celana kain panjang warna hitam dan sepatu hitam menyeimbangkan penampilannya dengan sentuhan elegan yang disematkan padanya. Ia semakin tampan dan cantik juga, siapa pun pasti terpesona padanya, barangkali kini sudah ada klub penggemar lelaki itu yang diketuai oleh gadis yang maniak film horor dan pembunuhan.
Viole mengenakan earphone dengan kabel, serta membawa satu kotak susu rasa pisang. Ia menggenggamnya dengan lembut, seakan merawat harta berharga, padahal hanya susu kotak. Ketika Viole akhirnya sampai di depan pintu kelasnya, membuka pintu dan memasuki ruang kelas, dia segera mendapati pemandangan yang tak terduga. Di salah satu kursi di sudut kelas, yaitu kurisnya Viole ternyata sudah ada yang duduk di sana---seorang gadis berambut cokelat pendek, Emma. Oh sialan, kenapa Emma di kelas ini? Viole memperhatikan, pakaian Emma terlihat kacau dan berantakan, seolah-olah dia baru saja melewati badai. Lalu rambut gadis itu agak acak-acakan. Matanya yang biasanya bersinar dengan keceriaan, sekarang bengkak dan terasa begitu berat.
Viole merasa kebingungan sejenak, berusaha memahami apa yang sedang terjadi. Dalam hati Viole, sesaat ia kesal, barangkali karena di antara banyaknya kursi, mengapa harus kursinya Viole? Padahal Emma juga bisa duduk di kursi Louie! Meskipun begitu, Viole tahu bahwa dia harus tetap tenang dan bersikap lembut, karena Emma adalah ... perempuan? Okay, intinya Viole tak mau terjadi keributan di pagi hari, maka dengan langkah lembut, Viole mendekati Emma.
Sebenarnya juga Emma tidak tidur dan ia sadar kalau Viole sedang melangkah mendekatinya, tetapi ia penasaran respons apa yang akan diberikan lelaki itu. "Hey Emma, apakah kau masih hidup?"
Sangat mencerminkan sifat Viole! "Tentu saja aku masih hidup!" Emma mendongakkan wajahnya dan menatap Viole. "Bisakah kau menyapa seseorang atau bertanya dengan kalimat yang lebih manusiawi?"
"Aku hanya memastikan saja, kau masih hidup atau aku harus berbela sungkawa untukmu," ujar Viole dengan ekspresi tak begitu kentara.
Emma berdecak. "Dasar laki-laki aneh."
Viole tak menjawab, dia menaruh tasnya di atas mejanya, lalu duduk di kursi depannya seraya berniat menancapkan sedotan ke kotak susunya. Emma agak melongok karena tak ia sangka jika Viole tidak berniat sekali pun menanyakan keadaan Emma padahal gadis itu matanya memerah dan sedikit bengkak. "Seriously Viole? Apakah kau tak mau menggunakan simpatimu dan bertanya mengapa aku di sini dan mengapa aku terlihat berantakan begini?"
Viole menoleh sedikit, menyeruput susu pisangnya. "Tidak."
Emma menggeram kesal, ia tak menyangka jika menghadapi Viole akan membuat darah tinggi. Apakah sudah salah jika dia memutuskan untuk menceritakan semua bebannya pada Viole ataukah ia harus cerita pada Louie saja? Tidak, jika Louie, dia terlalu perasa dan pasti akan bingung sendiri dan menyalahkan dirinya. Haruskah ia cerita pada Sophia? Oh tidak, ia malu terutama karena mereka belum seakrab itu. Theodore, tidak juga karena ia bahkan tak pernah melihat lelaki itu akhir-akhir ini. Jadi pilihan satu-satunya adalah Viole yang dia rasa paling punya mental yang stabil, harapannya begitu. Namun, nyatanya lelaki itu mengguncang mental Emma.
"Kau menyebalkan," kata Emma perlahan menenggelamkan wajahnya di antara lipatan tangan. "Padahal aku sedang bersedih."
Sejenak Viole melirik Emma, ia lalu meletakkan susu pisangnya di atas meja. Kini Viole menghadap pada Emma, kedua tangannya ditanggalkan di atas sandaran kursi, sementara ia turunkan kepalanya sehingga dagunya bertopang pada kedua tangannya. "Baiklah, aku minta maaf jika membuatku kesal. Jadi kalau begitu, apa yang mau kauceritakan? Aku di sini akan mendengarkan ceritamu."
Perlahan senyuman tipis Emma terukir. Dia meleleh dengan kalimat Viole itu. Tenyata tidak hanya wajahnya saja yang mempesona, tetapi setiap tutur katanya juga. Maka perlahan, Emma mendongak dengan matanya berair saat dia memandang Viole. Lalu, dia mulai menceritakan semua kegundahannya. Dia bercerita tentang pertengkarannya dengan ibunya yang masih berlangsung hingga kini bahkan ia tak mau sarapan pagi agar tidak melihat wajah ibunya, ia menceritakan tekanan dan kekhawatiran yang dia rasakan, tentang perasaan sendirian dan terasing, serta kegundahannya akan persahabatannya dengan Lola, Tyler, dan Ben.
Viole mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia tahu bahwa saat seperti ini yang terbaik yang bisa dia lakukan adalah mendengarkan semua rasa sakit itu. Sementara Emma, dia hanya ingin Viole mendengarkannya tanpa perlu memberinya saran atau semacamnya. Entah mengapa ketika menceritakan semua itu pada Viole, perlahan rasa sakit di hatinya berkurang.
"Kau teman yang baik Viole, meski sangat menyebalkan." Itulah kalimat terakhir Emma sebelum para murid di kelas berdatangan termasuk Louie yang agak terlambat karena ban sepedanya bocor.
****
"Kenapa dari sekian banyaknya manusia harus aku yang menemanimu?" ujar Viole seraya berjalan beriringan dengan Emma. Mereka berniat ke gedung kolam renang.
"Karena Louie ada rapat dadakan jurnalistik, sedangkan yang lain ... Lola kurasa bersama Ben dan Tyler jadi hanya ada kau, kau kan tidak sibuk dan hanya menyendiri sambil minum susu kotak." Emma membalas dengan sedikit ejekan. Beberapa menit lalu Emma menerima pesan dari seniornya di klub renang jika ada pengumuman penting dan berkumpul di kolam renang jadi Emma harus hadir di sana.
Viole menghela napas. "Tapi kau berutang mentraktirku ya!"
Senyuman Emma terukir, lihatlah Viole yang sifatnya suka berubah-ubah. Ia jadi semakin aneh. "Okay aku akan mentraktirmu susu rasa pisang atau cokelat."
Viole tak membalas dan hanya melangkah dan menatap lurus ke depan, tetapi ada senyuman simpul terukir di wajahnya dan hal ini sangat menggemaskan bagi Emma. Lelaki itu mudah dibuat bahagia hanya dengan memberikannya minuman favoritnya.
Kini keduanya berjalan menyusuri koridor, keluar dari gedung utama berjalan di jalan setapak berupa paving block, angin sepoi-sepoi membelai rambut Viole yang poninya menyentuh alisnya, membuat pandangannya hampir tertutup. Warna-warna cerah dari bunga-bunga bermekaran di sekitaran jalan yang mereka lalui, kemudian terlihat beberapa murid berlalu-lalang dan duduk di rerumputan.
"Aku hanya dengar saja dari seniorku yang lain kalau kemungkinan pertemuan ini hendak membahas siapa saja yang akan dipilih untuk ikut lomba renang," kata Emma tersenyum penuh kebahagiaan. "Aku berharap jika aku terpilih, jujur aku sangat takut dan gugup."
Viole melirik Emma yang tak berhenti senyuman terukir di wajah perempuan bermanik mata hijau itu. "Ya, aku berdoa agar kau terpilih."
"Oh wow, tak kusangka kau akan berdoa? Kurasa aku seratus persen terpilih karena ada kau yang mendoakanku." Emma berucap meski ia tak terlalu yakin apakah doa tersebut akan dikabulkan Tuhan.
Sepanjang langkah santai mereka, Emma mulai bercerita hal remeh-temeh pada Viole yang tak disangka mau mendengarkan semua cerita itu, membuat hati Emma menghangat. Hingga perlahan langkahnya menjadi pelan dan merasakan sakit menyeruak. Mau tidak mau Viole menghentikan langkahnya karena kini matanya tertuju pada pemandangan yang memperlihatkan Tyler sedang bersama seorang perempuan, bukan Lola, karena Emma tahu bagaimana postur tubuh Lola. Maka saat Emma mengenali wajah tersebut, perempuan itu adalah salah satu senior dan anggota dari ekskul dance yang kini mengobrol begitu dekat dengan Tyler bahkan membuat lelaki itu tertawa dan tersenyum.
Pemandangan Tyler bersama perempuan lain sukses menghancurkan kegembiraan dalam diri Emma. Seolah-olah ada sambaran petir, menembus dadanya, merobek jantungnya. Sesaat Viole memperhatikan secara bergantian pada Emma dan Tyler yang sedang bermesraan dengan perempuan lain. Senyum cerahnya Emma, memudar menjadi ekspresi kehancuran total, matanya dipenuhi air mata yang hampir tumpah. Perpaduan antara rasa tidak percaya, kesedihan, dan pengkhianatan melanda dirinya, seiring dengan kenyataan yang ada di dalamnya. Dia memegangi dadanya, jari-jarinya gemetar karena campuran kemarahan dan sakit hati.
"Viole, aku tak salah lihat bukan? Seingatku, mataku sedikit bermasalah, kayaknya aku penderita rabun jauh jadi bisa saja, aku salah mengenali seseorang." Emma berusaha mengontrol emosinya.
"Tidak, itu memang Tyler," balas Viole yang ibarat kaca pecah maka begitulah hati Emma remuk.
Emma sadar jika ja menyukai Tyler sejak mereka bertemu untuk pertama kalinya hingga akhirnya mereka sangat akrab dan menjadi bisa sahabat. Namun, Emma masih menyimpan perasaan mendalam pada Tyler dan tak urung jika ia pernah berharap agar menjadi kekasih lelaki itu.
"Tak masalah, itu hak dia bukan? Aku bukan siapa-siapanya Tyler."
Emma sadar pula jika ia bukanlah kekasih lelaki yang ia cintai. Jadi Tyler puas dan bebas jika hendak berkencan atau menyukai perempuan mana pun. Hanya saja, Emma ingat, Tyler pernah berkata jika ia tak mau jatuh cinta dan hendak fokus pada pendidikannya saja hingga ia memasuki jenjang perkuliahan. Namun, kenapa dia ingkar dengan perkataannya sendiri. Apakah saat itu Tyler hanya asal saja berbicara? Padahal sebenarnya dia punya seseorang yang dicintainya dan tentu saja bukan Emma.
"Viole ...." Kehancuran dan patah hati yang menyelimuti Emma. Dia bisa merasakan pipinya menjadi basah saat air mata mengalir di wajahnya, tubuhnya gemetar karena emosi yang sulit dia kendalikan. "Kita lewat jalan lain saja." Maka lekas dia menarik Viole menjauh dari sana.
Ketika sekiranya sudah menjauh dari Tyler, Emma melepaskan tangan Viole dan mulai menutup wajahnya sendiri untuk menyembunyikan kekacauannya. Emma merasa sangat bodoh dengan membiarkan kesedihannya menyeruak. "Maaf, aku menangis, tunggu sebentar okay, aku belum sanggup melangkah."
Viole hanya diam memperhatikan perempuan tersebut yang kini dalam keadaan rentan. "Apakah rasanya sakit?"
Emma mengangguk tanpa ragu. "Sakit sekali, meskipun aku bukanlah pacar Tyler dan dia tidak sedang berselingkuh. Namun, rasanya sangat sakit. Aku tak bisa menjelaskan padamu bagaimana rasanya, tapi sakit, benar-benar sakit." Kini Emma kembali menangis, ia berusaha menutupi wajahnya yang ia yakini sangat jelek karena air mata dan kini hidungnya terasa sesak. "Viole, kalau kamu mau pergi, pergi saja. Aku bisa sendiri ke gedung kolam renangnya."
Hanya saja Viole tak beranjak, dia mengamati Emma dengan raut wajah tak di bisa ditebak apa artinya. "Emma ...."
"Kumohon Viole, aku tak apa, aku hanya perlu mengontrol diriku karena jika aku menangis---"
"Menangis saja tidak apa," sahut Viole yang perlahan membuat Emma mendongak menatap lelaki itu. "Kau hanya perlu menangis, tidak perlu ditahan karena rasanya akan semakin sakit."
Maka tanpa peringatan, Emma melangkah maju, mendekap tubuh Viole, menenggelamkan wajahnya di dada lelaki itu dan menangis sekencang mungkin. Tubuh Viole menegang beberapa menit, dia tak terbiasa dipeluk seseorang, dia hendak mendorong Emma, tetapi tak tega jadi ia biarkan perempuan itu menumpahkan kesedihannya. Lalu perlahan lengan Viole bergerak dan memeluk erat tubuh Emma. Kehangatan menjalar ke tubuh Emma yang gemetar ketika ia merasakan pelukan lelaki tersebut.
"Menangis saja dulu," kata Viole selembut mungkin. "Sampai kau puas, aku akan di sini untuk menunggumu."
****
Barangkali Tuhan sedang berbaik hati pada Emma karena kini kebahagian berlipat ganda menggantikan tangisnya. Emma sangat ingat saat dia di gedung kolam renang setelah menumpahkan kesedihannya pada Viole. Saat itu para anggotanya sudah berbaris termasuk Lola yang terlihat khawatir karena Emma tak kunjung datang. Segera Emma mengambil barisan dan menatap pelatih mereka yang katanya akan menyebutkan nama-nama siapa saja yang akan menjadi perwakilan lomba renang. Saat pelatih mengumumkan perwakilan terpilih, jantung Emma berdebar kencang. "Dan dua perwakilan terakhir kita berasal dari tahun pertama, mereka adalah ...." Pelatih itu menjeda perkataannya seraya membalikkan sebuah kertas. "Emma Walter dan Lola Powell!"
Gelombang kegembiraan memenuhi seluruh diri Emma maupun Lola dan senyum lebar muncul di wajahnya. Lola yang tak bisa membendung kebahagiaannya karena ia dan sahabatnya terpilih menjadi perwakilan kompetisi renang bersama seniornya, ia langsung memeluk Emma erat-erat, kegembiraan mereka terjalin.
Maka kebahagiaan itu terus menguar. Dengan langkahnya yang melompat, Emma praktis melayang di udara saat dia dalam perjalanan pulang. Dia tidak sabar untuk berbagi kegembiraannya dengan seseorang yang sangat berarti baginya. Ia menelepon Louie dan Viole untuk memberitahukan kabar gembira ini. Ketika sampai di rumah, kekesalan Emma pada ibunya akibat ibunya sering melarangnya, kini semua itu lenyap dan digantikan dengan senyuman manis, semanis madu. Melesat melalui pintu depan, Emma menemukan ibunya di ruang tamu sedang asyik membaca buku.
"Ibu!" seru Emma membuyarkan lamunan Jocelyn. Wanita yang lebih tua itu berkedip karena terkejut, senyuman hangat terlihat di wajahnya saat dia meletakkan bukunya dan berdiri untuk menyambut putrinya.
"Ada apa sayangku?" Jocelyn bertanya, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu dan kelembutan.
Dengan terengah-engah, Emma membagikan berita menggembirakan itu, kata-katanya keluar dengan penuh semangat. "Ibu, kamu tidak akan percaya! Aku telah terpilih sebagai salah satu perwakilan klub renang untuk kompetisi tidak lama lagi!"
Jocelyn menoleh ke arah putrinya, campuran keterkejutan dan kebanggaan terlihat di matanya yang berbinar. Dia memeluk Emma dengan hangat, tertawa kegirangan. "Itu luar biasa, Sayang! Aku tahu kamu bisa melakukannya. Aku sangat bangga padamu."
Malam itu, saat Emma terbaring di tempat tidur, beban kebahagiaan mengelilinginya. Mau tak mau dia mengingat kembali kejadian hari itu berulang-ulang di benaknya. Antisipasi kompetisi yang akan datang memenuhi dirinya dengan kegembiraan, hatinya menari-nari dengan kegembiraan di dalam dadanya. Perasaan berhasil, diakui atas bakatnya, mengirimkan getaran kegembiraan ke dalam tulang punggungnya. Kebahagiaan ini sampai membuatnya sulit tidur malam itu. Dia berbaring di sana, matanya tertuju pada langit-langit, senyuman seperti mimpi terlihat di bibirnya. Hingga hari esok ketika fajar menyingsing, sinar matahari yang lembut menyelinap melalui tirai dan menyinari kamar Emma dengan cahaya lembut---kebahagian tersebut masih memenuhi dirinya.
Hanya saja kebahagiaan takkan bertahan lama. Takdir terlalu kejam dengan membawa Emma naik ke atas kemudian diempaskan begitu kuat ke tanah.
Semua berjalan cepat ketika sore hari, sepulang sekolah, Emma menemani Lola yang hendak membeli kue bolu untuk ibunya Lola. Dunia Emma hancur dalam sekejap saat motor Harley merobek perjalanan damai mereka. Dampak yang tiba-tiba membuatnya terjatuh ke trotoar, rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya seperti kilat. Penderitaan berdenyut dari kakinya yang terluka, dan dia mengatupkan giginya untuk menahan jeritan.
Lola dengan mata terbelalak dan panik, bergegas ke sisi Emma, gemetar karena campuran rasa takut dan ketidakberdayaan. Air mata menggenang di matanya saat dia menyadari parahnya luka Emma terutama darah mengalir di kaki kanan sahabatnya. "Emma tenanglah, aku sudah menelepon ambulans, mereka akan segera kemari."
Dengan kedatangan ambulans, Emma segera dibawa ke rumah sakit, kakinya berdenyut-denyut setiap kali melakukan gerakan yang menggelegar. Beban kekecewaan dan impian yang hancur menimpanya, mengetahui bahwa dia tidak akan mampu memenuhi dirinya, ia berpikir akan semua kemungkinan yang ada setelah mengetahui jika kaki kanannya terluka parah, kulitnya sebagian sobek sehingga memperlihatkan daging merah, kakinya memang tak patah, tetapi keadaan buruk ini bisa saja menggagalkannya menjadi perwakilan. Maka ketika hari esok tiba, Emma memang mendapatkan kabar tersebut jika pelatih mereka terpaksa mengganti peran Emma dengan anggota lain demi kesehatan Emma.
****
Saat Lola menyelesaikan latihan berenangnya, gema percikan air yang familiar berangsur-angsur memudar, meninggalkan keheningan yang mencekam di kolam kosong. Rekan satu timnya sudah bubar, meninggalkan dia sendirian karena dia hendak berlatih lebih lama lagi. Dia berjalan ke ruang ganti, langkahnya semakin hati-hati karena rasa tidak nyaman menetap di dalam dirinya.
Memasuki ruang remang-remang, Lola mendekati lokernya, perasaan antisipasi bercampur gentar menarik hatinya. Dengan tangan gemetar, dia menggenggam kunci itu dan memutarnya, mengeluarkan bunyi klik pelan. Namun, saat dia membuka pintu loker, pemandangan mengejutkan menantinya. Sebuah amplop terjatuh ke lantai, menyebabkan napas Lola tercekat di tenggorokannya. Rasanya seperti suhu turun, kabut dingin menyelimuti ruangan. Jari-jari gemetar meraih ke bawah untuk mengambil amplop itu, mata tertuju pada isinya.
"Sialan siapa yang mengirim surat ini? Apa jangan-jangan surat cinta?"
Saat dia perlahan membukanya, sebuah foto Polaroid menyelinap ke tangannya yang gemetar. Dia menahan napas, jantungnya berdebar kencang, saat matanya tertuju pada gambar yang diambil dalam foto itu---seorang lelaki culun dan cupu serta kutu buku yang dibenci semua orang karena sifatnya yang aneh, ya, lelaki ini adalah target yang sangat cocok dijadikan bahan lelucon hingga perlahan lelucon itu menjadi kematian.
Kini kebingungan bercampur ketakutan dalam diri Lola semakin menjadi-jadi, pikirannya berpacu untuk memahami situasi yang meresahkan ini. Kini dia mengalihkan perhatiannya ke selembar kertas di dalam amplop, dia ambil kertas tersebut dengan ragu-ragu membaca kata-kata yang tertulis dalam tulisan tangan yang marah dan bergerigi: "Bagaimana rasanya menjalani kehidupan tanpa beban padahal sudah pernah membunuh orang lain?"
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
HEH! Nggak disangka ternyata Emma adalah seorang ævoltaire yang gagal jadi dia harus dikembalikan ke orang tuanya. Kasihan juga ya, orang tuanya, dicuci otaknya jadi nggak ingat apa pun~
Kasihan juga Emma, sudah mendapatkan kebahagiaan karena menjadi perwakilan lomba renang, tapi harus pupus kebahagiaan itu karena kecelakaan....
Teruntuk Lola ..... nasibmu sepertinya akan sial~
Prins Llumière
Minggu, 19 November 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top