✒ Chapter 19: Children With Blue Ship
Chelsea tahu benar jika ayahnya juga membutuhkan cinta semenjak kepergian ibunya yang memilih bersama pria Prancis yang bisa memberinya banyak cinta dan puisi romantis. Namun, apakah kehadiran Chelsea tak cukup? Atau sebenarnya sang ayah benci pada putrinya karena Chelsea punya wajah yang mirip dengan sang ibu? Chelsea hanya membutuhkan kasih sayang dan cinta ayahnya, tetapi sang ayah butuh cinta lain yang tak bisa Chelsea berikan. Maka cinta itu datang dari seorang wanita muda yang kini telah menjadi kekasih ayahnya, mereka sering pergi bersama. Jujur saja, wanita itu cantik-Gabriella, seorang model dan kaya serta sepertinya tulus mencintai Edward, ayah Chelsea. Ia juga menerima Chelsea, meski jauh dalam lubuk hati Chelsea, ia berharap jika ayahnya tak jatuh cinta lagi.
Hanya saja mustahil jika Chelsea melarang ayahnya mendapatkan kebahagiaan, benar bukan? Meskipun begitu, apakah bisa sang ayah ingat dan memberikan sebagian waktunya untuk Chelsea?
"Setidaknya ingat janjimu, berengsek. Kau berjanji akan makan bersama denganku malam ini, kenapa pergi dengan wanita sialan itu!
Kini hati Chelsea mencelos saat dia berdiri di apartemen kosong, aroma makan malam yang belum tersentuh memenuhi udara. Dia dengan penuh semangat menyiapkan makanan favorit ayahnya, berharap untuk berbagi momen spesial bersama, tetapi tampaknya usahanya tidak diperhatikan. Rasa sakit akibat pengkhianatan menjalar ke dalam nadinya, memperparah rasa sakit yang ditanggungnya selama ini.
Merasakan campuran kemarahan dan kesedihan, Chelsea mengepalkan tinjunya, kukunya yang halus menancap di telapak tangannya. Bagaimana dia bisa lupa? Bagaimana bisa dia memprioritaskan orang lain dibandingkan putrinya sendiri? Air mata menggenang di matanya, mengancam akan tumpah saat emosinya tidak terkendali.
Keheningan di apartemen itu mengejeknya, menggemakan perasaan ditinggalkannya. Perlahan dia berjalan menuju meja makan dan mematikan lilin yang berkelap-kelip penuh harapan. Setiap nyala api yang padam terasa seperti serpihan hatinya yang hancur, mengingatkannya akan kehampaan yang dia rasakan dalam hubungannya dengan ayahnya.
Dalam momen menantang dan putus asa yang impulsif, Chelsea meraih ponselnya dan menghubungi nomor ayahnya. Suaranya bergetar saat dia menghadapinya, kata-katanya penuh dengan kekecewaan dan rasa sakit hati. "Ayah ...."
"Maaf Chelsea, ayah sedang sibuk bersama Gabriella. Kebetulan ada urusan pekerjaan juga, jadi nanti saja ya kita mengobrolnya, kau jangan lupa makan."
Mendengar jawaban tersebut membuat Chelsea menjatuhkan ponselnya. Pekerjaan katanya? Ataukah hanya alasan semata agar makan malam mereka tak diganggu oleh putrinya sendiri! Chelsea tidak sanggup membayangkan ayahnya bersama wanita itu, sementara dia ditinggal sendirian untuk memunguti kepingan hatinya yang hancur.
"Kenapa semuanya saja saja, semua laki-laki berengsek!" Suaranya bergema di ruangan sunyi itu.
"Ayah sama saja dengan ibu yang lebih memprioritaskan orang lain dibandingkan putrinya sendiri." Tangisnya pecah dan hatinya terasa hancur dan semakin lebur.
Kini dia menatap meja makannya yang penuh dengan makanan lezat. Bertekad untuk tidak membiarkan usahanya sia-sia, tangan Chelsea yang gemetar meraih peralatan tersebut. Dia ragu-ragu sejenak, bayangannya terpantul pada kilauan peralatan makan perak. Suara dentingan halus bergema di ruangan kosong saat dia mulai menikmati pasta yang dibuatnya sendiri dengan susah payah. Setiap gigitan terasa pahit, rasanya bercampur dengan air matanya, menonjolkan kontras emosi yang dia alami. Kini dia bingung, siapa yang harus disalahkan di sini? Ibunya yang berselingkuh dan pergi meninggalkan Chelsea? Ayahnya yang butuh cinta dan didapatkan dari kekasih barunya? Ataukah Chelsea yang terlalu egois mengharapkan cinta?
Ya, kemungkinan jawabannya adalah karena keegoisannya. Chelsea yang bersalah di sini.
****
Pagi hari menyambut setelah malam yang penuh gemuruh. Chelsea dengan grogi membuka matanya, mengharapkan pagi yang damai dalam kenyamanan rumahnya sendiri. Biasanya di akhir pekan, Sabtu dan Minggu, ayahnya akan memasak sarapan pagi. Jadi barangkali tak bisa menepati janji semalam, ayahnya akan membayarnya pagi ini. Namun, dia malah merasakan ada yang tidak beres saat aroma sarapan yang tidak familiar masuk ke kamarnya.
Dengan campuran rasa takut dan frustrasi, Chelsea membuka selimutnya dan turun dari tempat tidur, langkah kakinya berat karena emosi yang saling bertentangan. Saat dia mendekati dapur, pandangannya tertuju pada pemandangan yang terbentang di hadapannya---seorang wanita, Gabriella, sibuk dengan keakraban yang sangat meresahkan Chelsea; Gabriella memasak sarapan pagi ini. Sementara Ayahnya duduk di kursi, diam-diam menunggu sarapannya, tampak puas dengan kehadiran wanita kesayangannya itu.
Chelsea mengepalkan tinjunya, kukunya menancap di telapak tangannya, saat kemarahan mengalir di nadinya. Apakah ayahnya begitu tidak menyadari dampak dari tindakannya? Apakah dia tidak melihat bagaimana pilihannya menghancurkan ikatan antara anak dan ayah? Menelan rasa tercekat di tenggorokannya, dia mengerahkan kekuatan untuk menghadapi mereka, suaranya membawa campuran rasa sakit dan kesedihan.
"Pagi kesayangan Ayah," salam Edward tersenyum tipis seraya menaruh korannya di ujung mejanya. Meskipun ayahnya memahami teknologi, tetapi dia punya kebiasaan kuno membaca koran dibanding berita melalui ponsel.
"Apa yang dia lakukan di sini, Ayah?" Kata-kata Chelsea tajam, setiap suku kata dibumbui dengan nada pahit. Dia melakukan yang terbaik untuk menahan amarahnya, meskipun suaranya yang gemetar mengkhianati emosinya yang sebenarnya.
"Chelsea," kata Gabriella sedikit terkejut atas perkataan putri kekasihnya itu.
Sementara itu, mata Edward berkedip-kedip karena terkejut. "Chelsea, Gabriella menginap di sini semalam dan dia ingin membuatkan kita sarapan sebelum dia pergi karena ada urusan. Kupikir akan menyenangkan memulai pagi dengan makan bersama sebagai sebuah keluarga."
Kata "keluarga" menusuk hati Chelsea seperti pisau. Keluarga adalah kata yang dimaksudkan untuk melambangkan cinta, dukungan, dan kesetiaan, telah menjadi pengingat menyakitkan akan keretakan yang kini terjadi dalam hubungannya dengan ayahnya. Kata yang tadinya sangat berarti kini terasa pahit di lidahnya.
Sambil menghela napas berat, Chelsea mencubit pangkal hidungnya, mencoba menekan luapan emosi yang terancam meledak. "Ayah ... aku hanya ingin waktu berduaan denganmu. Tidak bisakah ayah memahaminya? Tidak bisakah ayah melihat betapa aku membutuhkanmu?"
"Namun, Chelsea, Gabriella kini akan menjadi bagian dari keluarga kita." Satu kalimat yang langsung meruntuhkan dunia Chelsea.
Perlahan Gabriella mendekati Chelsea seraya mengusap lembut punggung gadis itu. "Kita akan membicarakan hal ini, jadi sarapan terlebih dahulu karena aku membuatkan omelet---"
"Tidak," balas Chelsea suaranya meninggi, "aku tak suka omelet buatanmu, aku mau omelet buatan Ayah."
Rahang Edward terlihat menegas. "Chelsea, tolong hargai masakan Gabriella. Dia susah payah memasak itu."
Chelsea berdecak, ia tersenyum mengejek dan meremehkan. "Aku bilang, tidak."
"Chelsea tolong cicipi saja sekali, jika kau tak menyukainya maka tak perlu kau makan," ujar Gabriella dengan lembut seraya menyodorkan kembali piring tersebut.
"Kubilang tidak, apakah kau tuli!" Maka Chelsea menampar piring di tangan Gabriella hingga terlepas dan jatuh ke lantai yang kini berserakan pecahan porselen itu.
"Chelsea Schwartz!" teriak Edward, suaranya bergema hingga menusuk hati Chelsea. "Ayah tak mengajarkanmu bersikap kasar seperti itu! Sekarang minta maaf pada Gabriella!"
Detik itu tangis Chelsea pecah. Untuk pertama kalinya sang ayah membentaknya begitu keras. Suara Chelsea pun tak kalah nyaring. "Ayah benar! Ayah juga pasti ingat kalau ayah mengajarkanku untuk menepati janji, tapi ayah yang ingkar!"
Tanpa berkata-kata, gadis itu beranjak dari dapur, menuju sudut meja lain dan mengambil kunci mobil. Lalu keluar dari apartemen.
"Chelsea Schwartz, jangan seenaknya kau pergi!" Edward berdiri dari kursinya. Namun, sayang sekali karena Chelsea sudah menuruni lift kemudian menuju parkiran dan memacu mobilnya dengan kecepatan penuh.
Waktu bergulir dan butuh 35 menit lamanya agar ia sampai di tempat tujuannya. Ia abaikan hujan deras di pagi hari yang sukses membuat pagi ini mendung membuat langit gelap dan tak sedikit pun ada cahaya mentari seolah-olah dunia pun paham ketika Chelsea sedang bersedih. Gadis itu memarkirkan mobilnya di parkiran pinggiran jalanan. Ia turun, tak peduli hujan sukses membuatnya basah kuyup, ia segera masuk ke lobi apartemen yang menjadi tujuannya. Tersenyum pada penjaga lobi tersebut lalu menuju salah satu lantai di apartemen ini.
Dengan langkah ragu, ia menuju salah satu kamar apartemen. Menarik napas dalam-dalam, merasakan dinginnya air hujan di kulitnya dan pakaiannya yang basah. Tangannya perlahan bergerak dan mengetuk pintu beberapa kali. "Viole, ini aku Chelsea. Tolong buka pintunya, maaf aku kemari tanpa memberitahukanmu."
Chelsea menunggu respons, tapi tak ada sahutan bahkan pintunya masih terkunci. Jadi dia mengetuk pintu tersebut beberapa kali lagi. "Violetta, ini aku Chelsea. Apakah kau ada di dalam?"
Sayangnya hingga beberapa menit berlalu, tak kunjung juga pintunya terbuka bahkan tak ada tanda-tanda atau suara seseorang dari dalam. Kemungkinan Viole tidak ada di kamarnya. Maka perlahan isak tangis Chelsea terdengar. Tubuhnya melorot karena kedua kakinya tak mampu menopang tubuhnya lagi. Jadi dia duduk seraya menyandarkan punggungnya di pintu kamar apartemen Viole. Ia tekuk lututnya, ia peluk erat, sementara tangisannya tak mau berhenti. Kini dia hanya berharap agar Viole segera kembali.
****
Selesai makan di restoran yang lumayan jauh dari kediamannya. Violetta sudah menebak jika hujan akan turun jadi ia mempersiapkan diri dengan membawa payung biru kesayangannya. Saat ia berjalan cepat melewati hujan lebat, payung birunya melindunginya dari hujan yang tiada henti. Derai rintik-rintik air hujan di payungnya menciptakan melodi yang menyejukkan, tetapi bagi Viole membuat risi dan menyebabkan perasaannya jadi tak senang karena Viole tak terlalu menyukai hujan. Bahkan kini angin dingin menyeruak ke dalam dirinya.
Viole berjalan dengan lebih lamban, langkahnya menjadi sedikit lebih hati-hati, ketika dia menyadari sekelompok tiga kakak kelasnya. Seringai jahat mereka membuat tulang punggung siapa pun yang melihatnya akan merinding, tetapi Viole tetap tenang, teguh pada tekadnya. Bisa ditebak alasan ketiga kakak kelas tersebut berada di sini.
Mereka sangat membenci Viole karena iri dengan kedekatannya dengan Chelsea, padahal kedekatan Viole dengan Chelsea semata-mata karena adek-kakak kelas atau teman. Dipicu oleh rasa iri dan kebencian, mereka bergerak, menghalangi jalannya.
"Hei, lihat siapa bocah ini," salah satu kakak kelas-Steven, menggeram, melangkah maju sementara yang lain mengapitnya, Gerrard dan Jordy. "Jadi si kecil memutuskan untuk berani menghadapi hujan, ya?"
Tawa Jordy terdengar. "Aku penasaran kenapa biasa Chelsea tertarik padamu?" Ia menepuk bahu Viole, sesaat payungnya mengenai payung Viole. "Kau pasti mudah dipengaruhi karena bodoh."
Bukannya takut, Viole malah tersenyum manis, sedikit menelengkan kepalanya, lalu berujar, "Tuan-tuan, apa yang membawa kalian semua ke sini pada pagi hujan yang cerah ini?"
Maka Gerrard merasakan perutnya tergelitik. "Ternyata tidak hanya wajahmu yang cocok jadi pelacur dan banci, tapi suaramu terdengar menjijikkan juga?"
"Lebih baik kau ganti kelamin saja bocah karena kau tak cocok jadi laki-laki," tukas Steven.
Viole membalas dan masih mempertahankan senyumannya. "Kalau begitu, kalian lebih baik tidak punya kelamin bukan? Apa ya istilahnya, dikebiri?"
Wajah Steven menggelap. "Bajingan, seret dia."
Dengan hujan deras yang mengguyur atap-atap logam dan gema lalu lintas di kejauhan menyatu, suasana menjadi semakin tegang ketika ketiga kakak kelas tersebut dengan kejam menyeret Viole ke dalam gang sempit, tawa mereka bergemuruh di udara seperti guntur.
Dengan kekuatan yang tiba-tiba dan brutal, Steven mengangkat tubuh Viole, kemudian membantingnya dengan kejam ke tanah berpasir, dampaknya mengirimkan getaran rasa sakit ke seluruh tubuhnya. Meskipun Viole yang selalu ulet, menyembunyikan emosinya, tetapi dia merasakan tubuhnya kesakitan. Kini payung birunya terlepas dari genggamannya dan jatuh ke jalan trotoar di gang sempit yang basah kuyup, tawa mengejek muncul dari para penyiksanya. Suara cemoohan mereka bergema di dinding gang yang dingin, memenuhi udara dengan permusuhan yang nyata. Namun, Viole tetap tidak terpengaruh, ekspresinya datar dan tidak bergerak.
"Bocah payah!" Jordy maju selangkah, mengangkat tubuh Viole dengan mencengkeram kuat kerah bajunya, lalu diempaskan tubuh tersebut ke tanah lagi hingga terdengar gesekan antara kulit dan trotoar.
"Tendangan bola dimulai!" Suara ibarat kayu ditendang kuat-kuat terdengar ketika ujung sepatu Gerrard menghantam perut Viole. Membuat lelaki itu meringis dan memuntahkan darah serta saliva. "Goal, Gerrard mencetak angka!"
Kegembiraan kakak kelas semakin kencang ketika menatap betapa naasnya Viole yang terbaring tak berdaya di tanah. Ejekan mereka menari-nari di atas tetesan air hujan yang menetes dari langit gelap.
"Apakah dia mati?" kata Jordy karena Viole hanya diam saja.
"Kenapa dia tak memohon dan berteriak." Kini Gerrard bingung karena biasanya jika seseorang mereka perlakukan seperti ini. Pasti sudah bersimpuh dan memohon ampun.
Mereka jadi diam, sesaat terkejut karena kurangnya reaksinya, bertukar pandang dengan bingung. Tawa itu bergetar dan memudar menjadi keheningan yang tidak nyaman. Mereka saling bertanya-tanya, apakah lelaki itu mati? Namun, masih terlihat jika perutnya naik turun dengan artian Viole masih bernapas. Hanya saja kenapa dia diam?
"Kurasa dia pingsan atau berpura-pura pingsan agar selamat dari kita," kata Steven, melangkah mendekati Viole dan hendak menarik rambut lelaki itu. Namun, dia urungkan niatnya ketika suara Jordy terdengar.
"Hey ada perahu kertas!" kata Jordy kebingungan.
Di gang sempit ini, tidak rata dan rusak meski mirip, banyak yang berlubang sehingga air menggenang. Lalu tak heran jika ada aliran air di sepanjang jalanan rusak ini. Maka di aliran air inilah sebuah sebuah perahu kertas berwarna biru tengah berlayar hingga berhenti persis di dekat kaki Steven. Membuatnya urung menyentuh Viole dan terfokus pada perahu kertas tersebut.
"Dari mana asalnya?" kata Gerrard.
"Kurasa ada anak kecil yang bermain di sini," kata Steven mengambil perahu biru tersebut. Ia kembali menegakkan tubuhnya.
"Oh shit, sepertinya ada anak kecil," ujar Jordy.
"Pergilah dari sini!" teriak Gerrard, "tempat ini bukan untuk bermain."
Kini tercipta suasana suram dan firasat buruk. Steven berpegangan pada perahu kertas biru yang rapuh, ujung-ujungnya sudah basah oleh hujan yang tiada henti. Perasaan tidak nyaman menggelitik di udara, seolah-olah tetesan air hujan membawa peringatan awal yang mengerikan.
Dari sudut mata mereka, mereka melihat sesosok tubuh muncul dari kejauhan yang berkabut. Seorang anak laki-laki, berusia tidak lebih dari lima tahun, mengenakan kemeja putih bersih. Celana putih selutut dan kaos kaki panjangnya berwarna biru meneteskan air hujan.
Kengerian semakin bertambah karena topeng kelinci aneh yang kemungkinan terbuat dari keramik porselen menutupi kepalanya, lalu mata merah menyala, membuat mereka merinding. Keheningan yang menyelimuti anak kecil itu meningkatkan ketegangan, keheningan yang begitu menakutkan hingga mencakar indra mereka. Mereka dibiarkan menghadapi pikiran mereka yang berlomba-lomba, tidak yakin akan maksud di balik kehadiran anak kecil bertopeng tersebut. Apakah sekadar bermain-main? Atau anak itu hanya ingin menakut-nakuti mereka dengan topeng barunya. Namun, ketakutan sangat membebani mereka, mengancam akan memakan seluruh keberadaan mereka.
"Hey, kau!" teriak Jordy, "pergilah, apakah kau tuli?! Di sini bukan tempat bermain!"
"Bagaimana jika anak itu melaporkan kita?" Jordy berucap dan menilik pada Viole yang masih senantiasa terbaring di tanah. "Kurasa kita harus membuat anak itu tutup mulut."
Anak kecil laki-laki itu tetap tenang, tatapannya tertuju pada ketiganya, sikap diamnya membawa beban menyeramkan. Tidak adanya respons hanya menambah kecemasan mereka, menyebabkan jantung mereka berdebar lebih cepat, napas mereka menjadi pendek.
"Kau mau apa bajingan, jangan diam saja!" teriak Gerrard lalu terkejut ketika sang anak itu menjulurkan tangannya dengan telapak terbuka seolah-olah meminta sesuatu.
"Kurasa perahu ini miliknya," kata Steven.
Lekas Gerrard berteriak kembali. "Hey bocah, kau mau perahu ini? Kau akan dapatkan asalkan kau tutup mulutmu karena melihat semua ini!"
"Dia takkan menurut." Kini Jordy jadi geram.
"Kau mau perahu ini?" kata Steven mengangkat tinggi perahu biru tersebut. "Sayangnya sudah hancur!" Maka ia remuk perahu tersebut hingga tak berbentuk lagi lalu dia lempar sisa kertas tersebut yang jatuh di atas genangan air.
Tawa Jordy dan Gerrard terdengar melengking, mereka sampai memegangi perut saking lucunya apa yang dilakukan Steven. "Kau jahat sekali, anak itu akan menangis nanti." Jordy berucap.
Saat hujan mengguyur tanpa henti, angin dingin bertiup melalui gang membawa bisikan peringatan. Bayangan menari dan bermetamorfosis, menyelubungi kehadiran misterius anak kecil itu dan membuatnya nyaris semakin menyeramkan.
"Kuyakin anak itu akan berlari ketakutan setelah ini," tukas Gerrard.
"Pergilah! Pulang ke mamamu dan buat perahu baru!" teriak Steven.
Sayangnya hingga tangan anak kecil itu turun pun, anak itu tak berlari seperti yang mereka harapkan. Kengerian melanda dada Steven, Gerrard, dan Jordy saat mereka menyaksikan pemandangan yang meresahkan di hadapan mereka.
Anak kecil itu yang kehadirannya sudah meresahkan, tiba-tiba bergerak menuju dinding terdekat dengan tekad yang menakutkan. Waktu terasa lambat, ketakutan menyeruak pada ketiganya saat melihat anak kecil laki-laki itu membenturkan wajahnya berulang kali ke permukaan padat, setiap benturan disertai dengan bunyi gedebuk yang mengerikan. Membuat topeng porselen itu retak, telinganya patah, dan sebagian topengnya hancur, hingga memperlihatkan sebagian kulit anak itu, tetapi mereka masih tak bisa mengenali jelas wajah anak tersebut.
"Hey, kau gila! Apa yang kau lakukan!" teriak Steven.
Suara daging yang menusuk tulang bertabrakan dengan dinding batu bata yang keras, bergema di seluruh gang, meresap ke dalam intinya. Lalu terdengar pula tawa anak itu setiap dia membenturkan wajahnya sendiri ke dinding batu bata. Membuat seluruh tubuh ketiga lelaki sekolah merinding dan ketakutan. Darah yang kini bercampur dengan derasnya hujan, melukiskan pemandangan yang mengerikan di dinding. Anak kecil tersebut terus tertawa dan tanpa henti membenturkan wajahnya sekuat mungkin hingga semakin banyak darah.
"Aku takut," ujar Gerrard yang kini kedua kakinya gemetar hebat.
Jordy berujar pelan. "Dia gila. Suruh dia berhenti!!!"
"Berhenti!!! Berhenti kau bocah gila!" Steven berteriak seperti kehilangan akalnya dan mereka mulai menangis. Tubuh mereka gemetar tanpa henti.
Ketika serangan gila-gilaan anak kecil itu terhadap dirinya terus berlanjut. Mereka sangat ingin melarikan diri, tetapi mereka tetap membeku, terjerat dalam jaring teror mereka sendiri. Kedua kaki mereka, tak mampu mereka gerakkan. Hingga akhirnya, hantaman berhenti dan keheningan kembali menyelimuti gang yang basah kuyup itu. Bocah laki-laki itu yang kini babak belur dan penuh darah, kini berdiri diam, gerakannya tidak stabil. Darah menetes dari topeng putih porselennya yang sebagian sudah hancur.
Apakah sudah usai? Tentu saja tidak karena saat air mata mengalir di wajah mereka dan jantung mereka berdebar kencang karena ketakutan, mereka menajamkan mata ke arah kabut yang menakutkan. Dari sanalah, muncul sosok badut yang wajahnya merupakan parodi kegembiraan yang mengerikan---wajah yang dibalut riasan menyeramkan, berkilau dengan seringai bengkok.
Darah menghiasi wajahnya, mengalir di kulitnya yang pucat dengan guratan-guratan mengerikan, menambah kesan meresahkan yang ia proyeksikan. Di satu tangan, dia menggenggam tali beberapa balon cerah, warna-warnanya sangat ceria. Sebaliknya, benda yang dicengkeram erat oleh tangannya yang lain itulah yang memicu gelombang teror baru dalam jiwa ketiganya---Steven, Gerrard dan, Jordy---yang sudah hancur. Tongkat besi, tajam dan berkilauan dalam cahaya redup, menjanjikan bahaya yang tak terkatakan. Itu adalah senjata, instrumen mimpi buruk yang bukan lagi milik imajinasi.
Kini sang badut mengangkat tinggi tongkat besi tajamnya dan berlari sangat cepat ke arah mereka bertiga. Sementara ketiganya berteriak dan lari tunggang-langgang, kini mereka menghilang di antara kabut dan dinginnya hujan.
"Kepala dan badanku sakit," kata Viole perlahan bangun, mengambil posisi duduk setelah merasakan kepalanya yang pusing dan tubuhnya yang sakit. Kini dengan manik mata hitamnya, dia mengedarkan pandangannya yang tak ia temukan siapa pun bahkan juga kakak kelasnya tadi, hanya ada dirinya sendiri di tempat sempit itu. "Kuharap mereka ahli bermain petak umpet."
****
Sesampainya di depan apartemen Cerulean, Viole menurunkan payung birunya. Ternyata hujan hari ini sangat awet karena tak kunjung juga matahari menampakkan cahayanya. Sesaat dia menghela napas karena masih tak menyangka apa yang terjadi beberapa saat lalu. Tiga kakak kelas hendak membunuhnya, tetapi berakhir pergi? Viole sesaat menatap kaca yang sedikit memantulkan bayangannya. Terlihat jika ia agak berantakan, tetapi noda kotor dan darah sudah ia singkirkan agar tak ada yang tahu jika dia habis melewati kejadian buruk.
Memasuki lobi yang ternyata cukup banyak orang berlalu-lalang meski hari ini hujan dan akhir pekan, entah kesibukan apa yang mengusik mereka di hari ini. Viole tersenyum tipis pada beberapa orang termasuk penjaga yang ada di lobi.
Melangkah menuju lift, dia menunggu karena lift tersebut akan turun, ketika pintu terbuka. Dia bertemu dengan pria yang tinggal di sebelah kamar apartemennya, pria tersebut sekitar umur 33 tahun, berotot karena rajin gym, kulitnya kecokelatan, dia pernah menyapa Viole dan memperkenalkan diri dengan nama Benjamin. "Oh halo Viole, aku tidak tahu siapa yang ada di depan kamar apartemenmu, tapi kurasa perempuan itu sudah lama menunggumu, mungkin hampir satu jam dia di sana."
Setelahnya pintu lift menutup, menyisakan Viole dengan kebingungannya. Mengapa ada perempuan menunggu di depan kamar apartemen Viole? Dia merasa tak punya banyak teman, ia juga tak mendapatkan pesan jika semisal ada yang hendak mengunjunginya. Namun, Viole bisa menebak siapa yang tengah menunggunya. Maka ketika pintu lift terbuka. Viole melangkah keluar lift. Ternyata Benjamin tak berbohong karena manik mata Viole mendapati seorang gadis yang masih mengenakan piyama, tengah duduk di depan pintu kamar apartemen Viole. Persis di depannya dengan kedua kaki menekuk, ia tenggelamkan wajahnya di antara lipatan lutut tersebut. Piyamanya sedikit basah sehingga menempel di kulitnya. Rambutnya kusut dan ujung rambutnya meneteskan air. Terlihat sangat kacau gadis itu.
Maka ketika langkah Viole berhenti, gadis itu mendongak dengan mata sembab. "Viole. Kau lama sekali, aku sudah menunggumu dari tadi."
Senyuman Viole terukir tipis, ia berjongkok agar sejajar dengan gadis itu. "Aku minta maaf, Chelsea, tadi ada urusan mendadak jadi aku butuh waktu lebih lama. Kamu sudah makan atau belum? Kalau belum, aku buatkan sup hangat ya."
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Sedih banget ya jadi Chelsea... mamanya selingkuh, terus bapaknya punya pacar lagi dan mau menikah padahal Chelsea^^ Untungnya ada Viole, jadi dia larinya ke Viole meski si cowok cantik kelihatannya polos.
Waduh, ngeri banget nih para kakak kelas main keroyok Viole! Lalu siapa yah anak kecil seram bertopeng kelinci, lalu bagaimana bisa ada badut tiba-tiba muncul dan membunuh para kakak kelas tersebut?!
Prins Llumière
Kamis, 16 November 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top